Share

Mata-Mata

Author: Henya Firmansyah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

4.Di balik kematian adikku yang idiot

Mata-mata

Seperti biasa, setiap pagi aku berangkat bekerja. Setengah tujuh pagi, tukang ojek langganan yaitu Mas Beni, sudah siaga di jalan depan rumah. Mas Beni memang bukan murni tukang ojek, dia hanya narik jika dibutuhkan, karena angkutan umum di desa ini sangat jarang. Mas Beni anak orang berada, bapaknya punya sawah dan kebun yang lumayan luas. Status Mas Beni adalah mahasiswa.

"Bentar, Mas," kataku pada lelaki yang usianya lebih tua satu tahun dariku itu. Mas Beni mengangguk, pria itu turun dari motor dan duduk di beton pendek jalan masuk halaman rumahku. Mas Beni sudah biasa menungguku yang sering ngaret. Sebabnya karena aku harus mengurus Aida dulu sebelum aku titipkan ke Bu Salamah. Mandiin Aida, gantiin baju sama nyiapin sarapan buat dia.

Membonceng ojek Mas Beni, kami berdua tidak memakai helm hehe. Jarang ada operasi lalu lintas di jalur ini. Jarak enam kilometer ke terminal membuat kami punya waktu untuk mengobrol.

"Gimana kabar Aida, Ann?" Mas Beni bertanya.

"Baik, Mas," jawabku.

"Ann, bener nggak sih yang gossip tentang adikmu itu?"

"Gossip yang mana, Mas?" Aku pura-pura bego.

"Tentang adikmu yang hamil."

"Iya, Mas,"

"Kasian banget sih. Iblis itu yang tega berbuat tak senonoh pada Aida."

Aku terdiam. Kalau ngomongin tentang Aida, hatiku rasanya perih. Beberapa kali aku bertanya pada Aida siapa yang telah berbuat jahat padanya, tapi jawabannya tidak pernah jelas. Terkadang Aida hanya bengong, terkadang tertawa sendiri atau malah menangis seperti anak kecil.

"Sudah lapor polisi, Ann?"

"Belum,"

"Kenapa? Harusnya kamu sudah lapor dong?"

"Lha itu, Mas ... Sebenarnya aku mau bikin laporan kemarin, tapi tidak diperbolehkan sama dewan desa," kataku kesal.

"Lho kok aneh?"

"Katanya kalau sampai kasus ini viral akan mempermalukan seluruh warga desa."

"Jelas viral itu."

Mas Beni memperlambat laju motornya. Di perempatan pasar ini tidak ada lampu merah, jadi para pengendara sendiri yang harus waspada. Depan perempatan sana terminal, bentar lagi sampai.

"Makasih ya, Mas!"

Aku turun dari motor Mas Beni dan bersiap untuk berlari ke peron, aku tadi melihat bis merapat.

"Tunggu, Ann!"

Sesuatu menahan tanganku. Saat kulihat itu adalah tangan Mas Beni, aku berhenti bergerak.

"Kenapa, Mas?" Netraku menatap.

"Beberapa hari yang lalu, aku mendengar kedua orang tuaku membicarakan sesuatu," Mas Beni membalas tatapanku.

Aku diam menunggu kalimat selanjutnya dari Mas Beni.

"Katanya, orang yang telah menghamili adikmu adalah orang yang paling ditakuti oleh warga desa."

"Maksudnya, Mas?" Keningku mengerut.

"Aku tidak tahu, tapi aku hanya menghubungkan dengan omonganmu tadi," kata Mas Beni.

"Yang mana?"

"Tentang dewan desa yang melarangmu melapor ke polisi."

Keningku mengerut dalam, mendengar omongan Mas Beni. Masuk akal juga teorinya. Tapi aku tidak bisa berpikir sekarang, sebab waktu berangkat kerjaku sudah mepet.

"Mas, kita bicarakan nanti. Aku kerja dulu."

"Ok!"

**

Setelah menemani Aida hingga tertidur, aku keluar dari kamarnya. Hari ini Aida tidur lebih awal. Bu Salamah bilang, tadi Aida muntah-muntah beberapa kali.

Aku memang belum pernah hamil, tapi aku tahu itu adalah gejala morning sickness yang biasa dialami oleh orang hamil muda.

Huh! Tambah pusing kepalaku bila melihat perut Aida yang semakin membuncit. Yang aku heran, tidak ada tetangga di sini yang secara terang-terangan menanyakan kehamilan Aida. Bila bertemu, mereka hanya mencuri pandang ke perut Aida. Aku memang tidak pernah peduli dengan gossip yang beredar tentang adikku. Terkadang, memang lebih baik bila tidak mendengar sesuatu yang bisa menyakiti diri kita sendiri.

Sehari-hari, Aida memang memakai daster, aku yang membelikannya. Pertimbanganku adalah daster itu nyaman, tidak ribet makainya, juga tidak panas kainnya. Aida juga suka memakai daster yang coraknya warna warni. Aida berkulit putih bersih. Badannya bagus, rambutnya lebat. Dia cantik, hanya sayang wajahnya menunjukkan kalau dia adalah penderita down syndrom. Waktu kecil, liurnya sering menetes, tapi sekarang tidak.

Jendela kaca samping rumah belum ditutup, aku berjalan ke sana. Kulihat dari jendela, pawon ~dapur orang desa~ rumah Bu Salamah masih menyala lampunya. Dari sela-sela dinding bambu kulihat api tungku juga menyala. Bu Salamah belum tidur rupanya.

Kulihat jam di ponsel, masih jam sembilan lebih sedikit. Aku ingin ngobrol dengan Bu Salamah. Menutup jendela dan mengunci pintu depan, aku berjalan ke dapur. Lewat pintu belakang, aku bisa langsung menuju halaman belakang rumah Bu Salamah. Tetangga terdekatku adalah Bu Salamah. Tetangga yang lain, jaraknya cukup jauh.

"Bu Salamah?" Panggilku pelan. Kudorong pintu papan di belakang rumah Bu Salamah, dan langsung terbuka. Bu Salamah tidak mendengar panggilanku, tapi aku melihatnya sedang sibuk di depan tungku api yang menyala. Aku mendekat.

"Bu?"

"Eh, Mbak Anna!"

Bu Salamah mendongak dan kaget. Aku tersenyum. Perempuan tua itu lalu berdiri dan berjalan ke samping.

"Duduk sini, Mbak," dia menaruh dingklik kayu di depan perapian. Aku mengangguk. Rasa hangat langsung menjalar di tubuhku. Bu Salamah memasukkan beberapa potong kayu bakar di tungku. Aku memperhatikan.

Setelah itu, Bu Salamah membuka panci besar yang ada di atas tungku. Asap putih membumbung saat tutup panci terbuka. Dengan sendok kayu besar, Bu Salamah mengaduk beras lembek yang dia tanak di dalamnya. 'Ngaru' begitu orang Jawa bilang.

"Ada pesanan, ya, Bu?"

"Iya, Mbak. Arem-arem dua ratus biji. Dibungkusi sekarang, besok tinggal ngukus," jawabnya.

Bu Salamah tinggal sendirian. Anak lelaki satu-satunya merantau ke tempat yang jauh, di luar pulau. Pardi nama anaknya, dia menikah dengan perempuan sebrang. Pardi hanya pulang kalau Iedul Fitri saja. Terkadang juga tidak pulang. Entah lah apa yang ada di pikiran seorang anak. Ketika orang tuanya ada, mereka tidak peduli. Tapi, saat orang tuanya meninggal mereka bilang menyesal dan menangisi.

"Bu, boleh saya tanya sesuatu?" Tanyaku saat kami merasa nyaman dengan kehangatan yang tercipta dari api tungku.

"Apa, Mbak?"

Bu Salamah mendekatkan kedua telapak tangannya ke api.

"Apa yang Ibu tahu sebelum menyadari kalau Aida hamil?"

Netraku melihat Bu Salamah. Perempuan itu terdiam dan menghela nafas.

"Ibu tidak tahu, Mbak," jawabnya lirih.

"Kalau begitu, tolong ceritakan yang Ibu tahu saja."

Bu Salamah kembali memasukkan kayu bakar ke tungku. Api membesar, lalu Bu Salamah berdiri dan mengangkat panci berisi karon ke lobang tungku belakang yang apinya lebih kecil. Mengambil panci lain yang berisi air, Bu Salamah menaruhnya di tungku depan tadi. Aku sabar menanti.

"Waktu itu, Aida sedang tidur siang," Bu Salamah memulai ceritanya. Kupasang telinga baik-baik untuk mendengar.

"Ibu mau cari kayu bakar di hutan, biasanya Aida ikut. Tapi, karena lagi tidur, jadi Ibu tinggal."

Bu Salamah menatap nanar pada api yang menyala. Terang cahaya api, membuatku bisa melihat raut wajah sesal dan sedih dari wajah keriput Bu Salamah.

"Habis asar, ibu pulang. Naruh kayu di situ," Bu Salamah menunjuk sudut ruangan, "setelah itu, Ibu ke rumah Aida mau ngecek dia sudah bangun apa belum." Bu Salamah menjeda ceritanya dengan menelan ludah.

"Terus, Bu?"

"Ternyata Aida nggak ada di kamar,"

Mataku menatap lekat Bu Salamah. Dari awal bercerita, perempuan ini tidak pernah menoleh padaku.

"Ke mana Aida, Bu?"

"Ibu cari ke mana-mana tapi tidak ketemu ..." Bu Salamah mengusap ujung hidungnya. Apa Bu Salamah menangis? Aku tidak begitu jelas karena Bu Salamah menengok ke samping sana.

"Sekitar jam limaan, saat ibu kebingungan, ada motor berhenti di depan rumah Aida."

"Motor siapa?" Potongku cepat.

"Orang laki-laki, Mbak. Ibu ngintip dari sini ~rumahnya maksudnya ~ orang laki itu, nganterin Aida sampai teras rumah, terus pergi cepat-cepat."

"Siapa laki-laki itu, Bu?!" Nada suaraku meninggi. Apakah dia manusia setan yang telah memperkos* Aida?

"Ibu tidak tahu, Mbak ..." Kali ini, Bu Salamah menoleh padaku. "Tapi, kalau ketemu orangnya, Ibu masih ingat wajahnya. Badannya gede, kaosnya item, celananya juga item. Serem, Mbak."

Pakaian i tem-item? Aku jadi ingat dengan penjaga dan pengawal di rumah Pak Karto, semuanya memakai baju item-item! Apakah ini artinya ....

Brakkk!!

Buk!

Pyarr!!

Tap

Tap

Tap

Refleks aku berlari setelah mendengar suara ribut dari belakang rumah Bu Salamah. Seperti suara sesuatu yang jatuh, pecah, dan suara langkah kaki berlari!

"Siapa itu?!" Teriakku. Bu Salamah mengikuti di belakang.

Tak ada siapa-siapa. Menggunakan senter HP, aku dan Bu Salamah memeriksa keadaan.

"Padasannya (tempat air wudhu dari tanah liat) pecah, Mbak!"

Aku mendekati Bu Salamah yang sedang berjongkok. Senter aku arahkan ke bawah. Puing-puing tanah liat dan air menggenang, ada di tanah.

Nyala senter ku arahkan ke sekeliling. Sepi! Hanya suara binatang malam saja terdengar.

Perasaanku bilang, ada orang barusan di sini. Tapi, apa tujuannya? Apakah aku sedang dimata-matai, atau kah ada yang menguping pembicaraanku dengan Bu Salamah?

Next

Related chapters

  • Di balik Kematian Adikku    Titik Terang

    5.Di balik kematian adikku yang idiotTitik terang "Masuk, Bu!" Kuajak Bu Salamah masuk kembali ke rumahnya. Perempuan tua itu nampak ketakutan. Jujur, aku juga sempat takut tadi. Aku merasa tadi benar-benar ada orang di belakang rumah Bu Salamah. Segera kutepis pikiran buruk dari otakku. Kuanggap tadi ada kucing di sana. Meskipun aku yakin, seekor kucing tidak akan bisa menjatuhkan gentong padasan berisi air. Kembali aku duduk di depan tungku bersama Bu Salamah. Bu Salamah mulai membungkusi nasi lembek setengah matang yang dia masak tadi dengan daun pisang yang sudah dia persiapkan. Menggunakan sendok plastik, tangan kurus itu mulai menyendoki nasi kemudian dia tata melebar di atas daun pisang. Setelah itu dia tata di atasnya oseng tempe pedas, lalu dia gulung dan bungkus dengan menyematkan dua potong lidi di setiap ujungnya. Jadi lah arem-arem, makanan murah meriah yang bikin kenyang. "Besok tinggal ngukus," kata Bu Salamah sembari menata arem-arem ke dalam dandang besar yang s

  • Di balik Kematian Adikku    Tragedi Kebun Kopi

    6.Di balik kematian adikku yang idiotTragedi kebun kopi "Dari mana kamu tahu itu kebun kopinya Pak Karto?" Aku beneran nggak tahu itu kebonnya Pak Karto. Yang aku tahu, itu kebon punyanya banyak orang, soalnya banyak warga desa yang kerja di sana. "Keknya cuma kamu yang nggak tahu," Mas Beni tersenyum kemudian menyeruput minumannya. "Bukannya itu kebonnya banyak orang?" "Dulu ...," Mas Beni mengambil tissue kemudian mengelap bibirnya, aku bengong. Emm bibirnya seksi ternyata, upps!"Sekarang semua sertifikatnya sudah dikuasai Pak Karto.""Kok bisa, Mas?" Dahiku mengerut. "Praktek rentenir," jawab Mas Beni singkat. "Oh, gitu, ya?" Memang kejam bisnis rentenir itu. Sayang sekali, kebanyakan yang terjerat adalah orang kecil, orang miskin, dan orang dalam keadaan darurat. Mereka butuh pertolongan tapi bukan pertolongan yang akhirnya malah membawa mereka ke dalam jurang kesengsaraan yang tak berkesudahan. Hutang yang tak pernah selesai, bunga yang selalu bertambah. Menjual apapun

  • Di balik Kematian Adikku    Kecelakaan atau Sabotase?

    7.Di balik kematian adikku yang idiotKecelakaan atau sabotase?"Mas, ada penjaga!" Seruku. Mas Beni mengangguk. Matanya terlihat waspada melihat sekeliling. "Diam di sini."Mas Beni menekan punggungku agar menunduk. Rasanya sangat tegang. Kami berdua, berusaha untuk tidak membuat suara. "HEY, JAWAB!Terdengar lagi teriakan penjaga. Aku menggigit bibir, takut. KrosakKrosakSuara orang menyibakkan dedaunan! Aku semakin tegang. Terdengar pula langkah kaki mendekat. Dada ini rasanya ketar ketir. Saat suara langkah kaki semakin dekat, tiba-tiba Mas Beni menarik tanganku. "Cepat lari!" Pontang-panting aku berlari mengikuti Mas Beni. Pegangan tanganku sampai terlepas. Pokoknya aku terus berlari sekencang-kencangnya mengikuti Mas Beni di depanku. "Jangan lari, woyy!!" Astaga! Mereka mengejar, bagaimana ini? Jarakku dengan Mas Beni menjauh, aku hanya bisa melihat sosoknya saja. Dengan menyibakkan cepat dahan dan ranting yang menghalangi jalan, aku fokus berlari mengikuti Mas Beni. A

  • Di balik Kematian Adikku    Biang Masalah

    8.Di balik kematian adikku yang idiotBiang masalah"Mas, Beni!"Aku bersimpuh dan mengangkat kepala Mas Beni. Kusandarkan di kedua paha, Mas Beni masih sadar. Dia menatapku, bahkan masih tersenyum. "A_aku gapapa," katanya. Orang-orang mulai berdatangan. Mereka menyingkirkan sepeda motor dari badan bawah Mas Beni. Saat aku akan menolong Mas Beni untuk duduk, dia meringis kesakitan. "Aduuh ...." Ucapnya pelan sembari mengelus kaki kanannya. "Kenapa, Mas?" Aku panik, kuusap kaki Mas Beni. "Kakiku sakit kalau bergerak," wajah Mas Beni pucat. "Patah itu tulangnya, bawa ke rumah sakit aja!" Kata seseorang. Aku mendongak. "Ya sudah, tolong, ya, Mas," Aku berdiri, orang-orang mencegat sebuah mobil. Bersama-sama dan sangat hati-hati, orang-orang mengangkat tubuh Mas Beni dan dinaikkan ke sebuah mobil pickup. Aku tidak ikut karena menyusul di belakang mengendarai sepeda motor milik Mas Beni. "Aku nyusul, Mas!" Teriakku. Karena tidak terbiasa mengendarai sepeda motor, aku merasa kagok

  • Di balik Kematian Adikku    Biarkan anak itu mati

    9.Di balik kematian adikku yang idiotBiarkan anak itu mati "Bu Salamah, titip Aida dulu sampai aku pulang, ya?"Dengan menggendong tas mungil di punggung, aku bersiap pergi lagi. Kali ini, aku akan ke rumah sakit untuk memastikan Mas Beni baik- baik saja. "Mau ke mana, Mbak?" "Ke rumah sakit, Bu,""Ini sudah sore, Mbak, besok saja,""Nggak bisa, Bu. Saya harus melihat Mas Beni," "Nanti pulangnya susah, nggak ada angkot, Mbak," Aku diam saja tak menjawab. Selesai menali sepatu, aku melihat Bu Salamah. "Mbak ..." Panggilnya. Aku menggeleng. "Nggak bisa, Bu, aku harus ke rumah sakit sekarang!" Setelah tali sepatu beres, aku bersiap membuka pintu. "Apa benar tadi Mbak Anna ke rumah Pak Karto?" Pertanyaan Bu Salamah membuatku kaget. Dari mana dia mengetahui cerita itu?"Iya. Ibu tahu dari mana?" Jawabku berbalik badan."Beritanya sudah menyebar ke mana-mana, Mbak."Berjalan ke kursi tamu, aku duduk di salah satu kursi. Kutunda dulu perginya, aku lebih tertarik dengan berita yang

  • Di balik Kematian Adikku    Kesaksian Bu Salamah

    10.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah "Maafkan Ibu, Mbak Anna. Tapi, tolong lihat keadaan Aida," Bu Salamah berjalan ke dapur meninggalkan aku yang sedang kesal. Memasuki bulan ke tiga kehamilan adikku, aku memang jarang menemuinya. Aku sibuk bekerja dan menyelidiki siapa yang tega memperkos* adikku. Pertimbangan lain adalah, kepalaku pusing tiap melihat Aida. Kasihan, bingung, kesal, marah, semuanya jadi satu. Yang paling membuatku putus asa adalah, sampai saat ini aku belum bisa berbuat apapun untuk Aida. Keadilan yang kuperjuangkan seakan membentur batu cadas, keras dan sudah dihancurkan. Niatku melapor Polisi kemarin gagal, bahkan malah membuat Mas Beni celaka. Apakah benar, keadilan hanya berpihak pada orang yang berduit saja? Hukum tumpul ke atas dan hanya tajam bagi mereka yang dijuluki wong cilik? Entahlah ...Melangkah pelan, aku memasuki kamar Aida. Gadis itu sudah tidur dengan selimut membalut tubuhnya. Tak bersuara, aku duduk di sisi ranjangnya. Ku

  • Di balik Kematian Adikku    Kesaksian Bu Salamah 2

    11.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah 2Bu Salamah meremas kain daster yang dipakainya. Aku melihat aura kecemasan di sana. Beberapa kali dia menatapku kemudian menunduk lagi. "Katakan siapa dia, Bu. Tidak usah takut, aku akan melindungi Ibu," kataku meyakinkan.Bu Salamah melempar pandangan ke belakang punggungku. "Tidak ada siapa-siapa di luar, Bu," Aku berdiri dan berjalan ke ruang depan. Mengecek pintu dan memastikan sudah terkunci, lalu aku merapatkan semua korden jendela. Kembali aku duduk di depan Bu Salamah. Pukul sepuluh malam saat ini. "Sudah aman, teruskan ceritanya," "Ibu sangat takut waktu itu, tapi Ibu berusaha untuk menajamkan pengelihatan. Ibu mengenali sosok yang berjalan cepat itu, dia adalah ...""Siapa, Bu?" Aku tak sabar. Perasaanku pun tak kalah tegang dengan Bu Salamah. "P_Pak Karto," Meski pelan saat menyebut nama Pak Karto, tapi di telingaku cukup jelas. Tidak ada keterkejutan yang kuperlihatkan. Dari semula kasus ini bergulir, nam

  • Di balik Kematian Adikku    Kebakaran

    12.Di balik kematian adikku yang idiotKebakaran "Ya, Allah!" Turun dari motor, aku berlari ke depan rumah yang hangus tak berbentuk. Puing-puing kayu yang masih menyala, sisa bara api dan asap panas yang masih mengepul masih terlihat. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya tangis dan rasa sesak di dada yang kurasa saat ini. Orang-orang masih banyak berkerumun melihat sisa-sisa kebakaran. Mas Beni mendekat dan merangkulku dari belakang. Aku menoleh, mata Mas Beni memandang ke depan, pada bangunan rumah yang sudah habis tak bersisa. "Mas, di mana, Aida?!" Aku berlari memasuki rumahku. Mencari adikku itu. "Aida! Aida!" Masuk ke kamar Aida, tak kutemui siapa pun. Berlari ke kamarku juga kosong. Di mana adikku?! Aku mulai panik. "Ann, tenang, Aida ada di rumahnya Pak RT," Mas Beni tiba-tiba sudah ada di belakangku. "Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?!" Kejarku dengan banyak pertanyaan. Mas Beni tersenyum tipis. "Aida baik-baik saja,"Huh! Syukur lah. Aku baru bisa ber

Latest chapter

  • Di balik Kematian Adikku    End. Menemukan Keadilan

    32.Di balik kematian adikku yang idiotMenemukan KeadilanEnd episode Tidak seperti waktu lalu, penduduk desa sudah berubah sekarang. Persis seperti yang diceritakan Mas Beni mereka memperlakukan dan menyambut kedatanganku dengan baik. Setelah sekian lama, akhirnya aku menginjakkan kaki lagi di kampung halamanku. "Selamat datang, Anna," Begitu kata Bu RT saat menyambut kedatanganku. Bu RT tidak sendiri tapi, disertai dengan ibu-ibu yang lain. Merey memelukku satu persatu bahkan ada yang meneteskan air mata. "Kami minta maaf, Anna,""Kami sudah ikut mendzalimi anak yatim-piatu," sesal mereka. "Sekarang kami mendukungmu untuk mencari keadilan,""Betul! Kami mendukungmu melawan kebiadaban Karto dan keluarganya!" "Setuju!" Bibirku tersenyum tapi, air mata ini mengalir. Dadaku sesak tapi, bukan kesal. Aku menangis terharu. Orang-orang akhirnya menyadari, aku dan adikku adalah korban kekejaman Pak Karto. Lima tahun berlalu dan kini aku merasa punya kekuatan untuk bangkit, untuk melaw

  • Di balik Kematian Adikku    Kesaksian yang membuka kedok

    31.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian (PoV Author)1. Pak Kaji HasanSiang itu matahari bersinar terik, jam menunjukkan sekitar pukul dua siang. Kaji Hasan tengah berjalan di tengah kebun kopi miliknya. Meski sebagai pemilik Pak Kaji sesekali memang mengecek sendiri kebun miliknya. Bukan tanpa alasan. Khusus kebun kopi yang ini memang harus mendapat perhatian khusus karena bersebelahan dan berbatasan langsung dengan kebun kopi milik Pak Karto, yang dikenal sebagai orang yang paling licik dan kejam di desa. Sering para penggarap kebun melaporkan kehilangan buah kopi yang siap panen. Usut punya usut pencurinya adalah anak buah Pak Karto. Pasti Bossnya yang menyuruh kalau tidak mana berani mereka. Pak Kaji bukan diam saja. Beberapa kali ia juga komplain ke Pak Karto langsung tapi, jawabannya tidak memuaskan. Mau dilaporkan Polisi juga percuma, Pak Karto seperti kebal hukum. Ada oknum di kepolisian sini yang menjadi beking bisnisnya.Masalah batas tanah juga sering menjadi s

  • Di balik Kematian Adikku    Membelot

    30.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorMembelot Warga desa melawan"Kita harus melawan!""Benar!""Pak Karto sudah kelewatan menindas kita!" "Bagaimana caranya kita melawan?""Kita harus bersatu dan menyusun rencana.""Setuju!""Setuju!"Itu adalah penggalan seruan warga desa Peteng saat mengadakan rapat sembunyi-sembunyi. Para pemuka desa yang selama ini diam tiba-tiba bersuara. Mereka menginginkan perubahan, terutama menyingkirkan dominasi arogan Pak Karto. "Pertama, kita harus membebaskan warga yang terjerat praktek lintah darat Pak Karto," Beni sebagai motor penggerak sudah menyusun rencana, tinggal meng- implementasi-kan saja. "Tapi, itu butuh dana yang tidak sedikit mengingat bunga yang diterapkan Pak Karto tinggi dan mencekik," ucap salah seorang warga. "Saya sudah pikirkan, karena itu saya hadirkan Bapak Kaji Hasan di sini. Sebagai orang terpandang di desa, mungkin Pak Kaji bisa menolong para warga." Beni menoleh pada Bapaknya yang juga hadir dalam rapat desa t

  • Di balik Kematian Adikku    Bertemu

    29.Di balik kematian adikku yang idiotBertemu kembaliPoV Author on Besok sorenya Rangga dan Beni menepati janji, dengan mobil Rangga, kedua lelaki dewasa itu meluncur menuju rumah kost cewek di jalan Teratai menjemput bidadari masing-masing. Sepanjang perjalanan, Beni lebih banyak diam. Lima tahun berlalu, baru saat ini dia akan berkencan dengan perempuan, bukan kencan ding, hanya perkenalan biasa. Nervous? Pastinya. Pernah dulu saat tahun pertama Anna menghilang, Beni sempat merasa hidupnya hampa. Rasa bersalah menghantui hingga Beni menjadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri. Tapi, semangatnya kembali datang saat dia mendengar kalau penduduk desa mulai mengadakan perlawanan terhadap Pak Karto. Beni bertekad menyelesaikan kuliahnya kemudian menuntaskan cita-cita menjadi Aparat penegak hukum. Alhamdulillah, dia menjadi seorang perwira Polisi. "Ini kos-kosannya, kita sudah sampai," Rangga menarik tuas hand rem. Beni menatap rumah model kuno dengan cat putih dan jen

  • Di balik Kematian Adikku    Beni Selamat

    28.Di balik kematian adikku yang idiotPoV Author Beni Selamat!"Lari, Anna!" Beni terus berteriak menyuruh Anna untuk berlari dari tempat itu, sesekali dia melihat ke teman perempuannya itu. Bughh!Sebuah pukulan telak mendarat di rahang lelaki muda itu, Beni terhuyung. Tidak! Dia tidak mau menyerah meski tahu akan kalah, bagaimana pun caranya, dia harus menahan kedua orang jahat ini. "Cepat lari, Ann!" Teriaknya lagi sembari menghindar, darah segar muncrat dari mulutnya, perih terasa mengiris pipi. Dillihatnya Anna yang tampak kebingungan antara berlari dan menolongnya. Ciatt!Beni memberikan tendangan pada seseorang yang paling dekat dengannya, orang itu terhuyung mundur dua langkah, sayang datang lagi seorang lelaki berbadan besar juga. Sial! Sekarang tiga orang mengeroyok Beni. Anna memutuskan untuk berlari meninggalkan Beni. Gadis itu tahu, temannya tidak akan menang meski dia membantunya. Tatapan terakhir Anna menambah kekuatan diri Beni. Lelaki muda itu terus berkelahi m

  • Di balik Kematian Adikku    Membuka Hati

    27.Di balik kematian adikku yang idiotSaatnya membuka hati Melihat seorang berseragam Polisi tiba-tiba aku merasa emosional, dalam arti perasaanku ingin mengadu, melapor, kedzaliman yang pernah menimpa adikku. Rasanya saat ini juga aku ingin melapor pada Rangga kalau adikku yang berkebutuhan khusus telah diperko sa dan dibun uh oleh orang yang berkuasa, yang hartanya bisa melepaskan dirinya dari jeratan hukum. Rasanya ingin membuka kembali kasus Aida. Memenjarakan Karto adalah keinginanku yang nomor satu! Sayang, aku tak punya kekuatan untuk menangkis tajamnya pedang Pak Karto justru aku yang berdarah-darah terkena sabetan pedang. "Ann, sudah sampai, tuh," Vina menoleh ke belakang. Mobil merapat di pinggir jalan raya. Sengaja tidak masuk parkiran Superindu biar nggak usah muter.Ah ya! Kami sudah sampai di depan Superindu pusat perbelanjaan modern yang terbesar di kota ini. "Makasih, ya!" Ucapku sembari menutup pintu. Rangga dan Vina melambaikan tangan kemudian kembali meluncur k

  • Di balik Kematian Adikku    Pindah

    26.Di balik kematian adikku yang idiotPindah Menjalani Minggu-Minggu pertama dengan perasaan was-was. Kadang saking paniknya, aku mencurigai customer adalah mata-mata Karto, segitunya. Iya! Aku masih takut bila mereka masih mengintai, mengejar bahkan menangkapku. Seperti mengalami trauma, sering kali di malam hari aku terjaga dengan nafas tersengal dan peluh di dahi dan pelipis. Aku bermimpi dikejar banyak orang. Terkadang aku juga menangis sendirian bila teringat Aida atau Mas Beni, dua orang istimewa dalam hidupku. Adik kesayanganku dan lelaki baik yang sudah berkorban nyawa untukku. Aku mulai mengenal dan menghafal jalan di kota ini. Kusebut ini kota lewat, artinya kota yang hanya dilewati oleh mereka yang sedang dalam perjalanan jauh atau luar kota. Kebanyakan pula yang berbelanja di toko Cik Debby adalah mereka yang sedang dalam perjalanan. Mereka membeli minuman, makanan kecil, roti, atau barang lainnya. Penduduk di sini tidak banyak, mereka saling mengenal. Toko Cik Debby t

  • Di balik Kematian Adikku    Aku yang Baru

    25.Di balik kematian adikku yang idiotAku yang baru Masuk nggak,ya? Sedikit bimbang ... Huh! Menarik nafas dalam lalu membuangnya kasar, kubulatkan tekat untuk masuk menemui perempuan di dalam toko. Bismillah aja semoga lancar dan ada pekerjaan untukku. Hawa sejuk AC menerpa saat kudorong pintu kaca. Berjalan pelan aku mendekati perempuan yang duduk di balik konter mesin kasir. Perempuan berkulit putih dan berkacamata itu tidak menyadari kedatanganku, dia sedang sibuk dengan gadgetnya. "Malam, Cie," sapaku. "Aaah!" Perempuan itu menjerit tertahan, saking kagetnya dia sampai berdiri melompat dari kursi. "Mau apa, kau?!" Tanyanya curiga. Mata sipitnya melebar. Dia melihatku dari bawah sampai atas lalu melepas kacamata dari wajahnya. Tentu saja dia takut melihatku. Aku sendiri merasa penampilanku saat ini benar-benar ancur. Tiga hari tidak mandi, tidak gosok gigi, tidak ganti pakaian, rambut awut-awutan, wajah kusut, kotor, dan apa lagi, ya? Pokoknya lebih parah dari gembel. "M

  • Di balik Kematian Adikku    Kabur

    24.Di balik kematian adikku yang idiotMelarikan diri "Lepaskan, Anna!" "Mas Beni?" Kulepaskan tangannya. "Ssstt!" Mas Beni menutup mulutku. Pelan dia menutup pintu kembali. "Cepat kita pergi dari sini, Ann!" Setengah badan Mas Beni keluar, kepalanya tengak-tengok di luar kamar. "Cepat, mumpung aman!" Menarik tanganku, Mas Beni mengajakku meninggalkan kamar, lelaki itu berjalan ke sisi kiri. Sampai di sebuah teras, Mas Beni mengajakku melintasi sebuah taman. "Lewat sini, Anna, injek aja," katanya. Mengikuti Mas Beni, aku pun menginjak-injak rumput dan tanaman di taman itu. Berlari berdua sampai lah kita pada tembok tinggi samping rumah. Berjalan miring, badan kami menempel di dinding. Mas Beni berhenti lalu mengintip. "Ada apa, Mas?" Tanyaku. Mas Beni berpaling padaku," ada penjaga gerbang," jawabnya. Duh, gimana, ya?"Mas, aku mau lihat," kataku. Mas Beni bergeser, aku menjulurkan sedikit kepala agar bisa melihat situasi. Halaman parkir yang luas, taman rumput hijau dan ja

DMCA.com Protection Status