7.Di balik kematian adikku yang idiot
Kecelakaan atau sabotase?"Mas, ada penjaga!" Seruku. Mas Beni mengangguk. Matanya terlihat waspada melihat sekeliling."Diam di sini."Mas Beni menekan punggungku agar menunduk. Rasanya sangat tegang. Kami berdua, berusaha untuk tidak membuat suara."HEY, JAWAB!Terdengar lagi teriakan penjaga. Aku menggigit bibir, takut.KrosakKrosakSuara orang menyibakkan dedaunan! Aku semakin tegang. Terdengar pula langkah kaki mendekat. Dada ini rasanya ketar ketir. Saat suara langkah kaki semakin dekat, tiba-tiba Mas Beni menarik tanganku."Cepat lari!"Pontang-panting aku berlari mengikuti Mas Beni. Pegangan tanganku sampai terlepas. Pokoknya aku terus berlari sekencang-kencangnya mengikuti Mas Beni di depanku."Jangan lari, woyy!!"Astaga! Mereka mengejar, bagaimana ini?Jarakku dengan Mas Beni menjauh, aku hanya bisa melihat sosoknya saja. Dengan menyibakkan cepat dahan dan ranting yang menghalangi jalan, aku fokus berlari mengikuti Mas Beni. Ah! Kurasa, mereka yang mengejar semakin mendekatiku."Mas Beni, tunggu!!" Jeritku. Sekilas kulihat sosok di depanku berhenti dan menoleh ke belakang. Karena tidak fokus, aku tersandung akar pohon!Brukk!Tubuhku jatuh tengkurap. Cepat-cepat aku berusaha bangun, Mas Beni sudah ada di hadapanku. Gegas Mas Beni menarik tanganku dan mengajakku kembali berlari. Hhhh hhh nafasku mulai ngos-ngosan. Nggak kuat lagi rasanya. Sayangnya penjaga juga terus berlari mengejar di belakang kami.Tangan Mas Beni menyibakkan daun dan ranting yang menghalangi di depan.Bugh!!Tiba-tiba, sesuatu menghantam keningku!"Aaahh!!"Aku menjerit seiring tubuh yang rasanya terlempar ke belakang. Untuk kali kedua aku jatuh lagi! Kali ini fatal! Aku jatuh dengan kepala belakang membentur tanah. Seketika suasana menjadi gelap."Mas, tolong!"Sialnya, aku tidak bisa bangkit. Beruntung aku masih sadar. Mas Beni berjongkok dan menopang separuh badanku."Ann, kau tidak apa-apa?"Tepukan tangan Mas Beni beberapa kali mendarat di pipiku. Aku menggeleng. Dengan sapu tangan, Mas Beni mengusap keningku. Samar aku melihat warna merah di sapu tangan itu. Keningku berdarah."Keningmu kena sambit dahan," kata Mas Beni. Uh! Pantesan sakit ...."Heh, siapa kalian?!"Seorang lelaki tinggi besar dengan kaos dan celana hitam sudah berdiri di depan kami. Telunjuknya mengarah pada kami."Mau mencuri, ya!" Bentaknya garang."Kami bukan pencuri!"Mas Beni menjawab sembari mengangkat tubuhku. Selanjutnya, lelaki baik ini menopang aku berdiri. Uuh! Sakit sekali kepalaku.TapTapTapSuara langkah kaki lain menuju ke arah kami. Penjaga pertama yang bertubuh besar masih melotot padaku dan Mas Beni. Seorang pria lain datang. Kali ini seorang yang lebih tua. Bapak yang baru datang ini rambutnya sudah bersulam putih. Perawakannya kecil. Kukira dia seorang mandor kebun, bukan penjaga."Ada apa ini?" Tanya bapak itu."Mereka menyusup ke kebun, pasti pencuri!" Lapor sang penjaga. Bapak yang tua melihat ke arah kami. Mas Beni menatapnya tajam."Kami bukan pencuri, kami hanya tersesat di sini!" Kata Mas Beni. Aku mengangguk tipis."Bohong!" Potong penjaga cepat."Buktinya apa kalau kami mencuri?" Tantang Mas Beni. Penjaga itu langsung diam.Bapak yang tua mengamati Mas Beni, lalu mendekat. "Bukannya kamu anaknya Pak Kaji Hasan?" Tanyanya. Mas Beni mengangguk tipis. Orang tua itu menghela nafas. Kukira, dia mengenali Mas Beni."Oh! Tak salah lagi, pasti kalian sedang berbuat mesum di sini!" Penjaga sotoy tadi main tuduh lagi. Kali ini, aku mendelik. Berbuat mesum gundulmu! Dia kali yang otaknya mesum."Jaga bicaramu!" Bentak Mas Beni."Sembarangan aja!" Timpalku kesal."Berduaan di kebun kopi, kalau nggak mesum terus ngapain? Main kelereng? Hahaha," tawa penjaga itu nyaring, terdengar seperti mengejek. Geram rasanya, pingin aku tonjok! Sayang, aku sedang terluka."Sedang apa kalian di sini?" Bapak yang tua bertanya kalem."Kami tersesat, Pak. Teman saya ini tersesat masuk ke kebun sini, saya menyusul. Kemudian penjaga mengejar kami," jelas Mas Beni.Pak tua itu melihat wajahku, kemudian berpaling pada Mas Beni. "Temanmu terluka, sebaiknya kau obati dulu. Pergi lah dari sini,"Tanpa menunggu lama, Mas Beni memapahku berjalan."Tunggu!"Penjaga yang garang menahan."Sebaiknya, kita bawa mereka ke Pak Karto!"Dibawa ke Pak Karto?! Aku melirik Mas Beni. Lelaki di sebelahku menoleh ke belakang."Kenapa harus ke Pak Karto? Kami tidak mencuri apa-apa," kata Mas Beni."Sudah, biarkan saja. Dia anaknya Pak Kaji Hasan pemilik kebun sebelah. Bukan pencuri," Pak tua tadi menengahi.Mas Beni dengan cepat membawaku pergi dari sini. Lega rasanya."Akan kulaporkan pada Pak Karto!"Sempat kudengar suara penjaga yang galak bicara seperti itu.**Semenjak kejadian di kebun kopi, hubunganku dengan Mas Beni semakin dekat. Pertemuan kami semakin intens. Mas Beni orangnya baik dan care. Bahkan sekarang, Mas Beni kalau menungguku tidak di luar lagi tetapi masuk ke rumahku. Dia juga berbicara dan mau mengajak bermain Aida.Hari ini, saat aku ke warung untuk membeli sabun, aku dibully sama Ibu-ibu kampung. Ada empat orang, lima dengan pemilik warung. Tadinya mereka bergerombol dan sedang bergosip. Saat melihatku datang, mereka langsung memandangku sinis dari bawah sampai atas. Aku sih tidak peduli dengan mereka. Ngapain ngurusin Ibu-ibu."Anna, kamu pacaran sama anaknya Pak Kaji, ya?"Aku hanya tersenyum tipis. Maksud Ibu ini mungkin dia mengira aku pacaran dengan Mas Beni."Mbok dipikir adikmu itu, hamil belum ketahuan siapa bapaknya, kamu malah sibuk pacaran. Nanti kamu hamil juga gimana, Ann!"Netraku melirik tajam pada seseibu berdaster kuning. Nyinyir banget, sih?"Saya sedang berjuang untuk adik saya, Bu, bukan diam saja!" Balasku sengit."Berjuang piye to, Ann? Percuma Haha," Ibu yang punya warung tertawa hambar."Percuma gimana to, Bu? Saya ini sedang mencari keadilan untuk Aida. Tidak ada yang percuma!" Kutatap tajam Ibu itu. Dia mengangkat kedua bahu dan bibir sebelahnya terangkat ke atas."Mencari keadilan itu kalau lawanmu ecek-ecek. Lha kalau lawanmu orang berduit, percuma, mundur aja," kata salah satu Ibu."Saya nggak akan mundur, Bu. Kalau bukti-bukti sudah cukup, saya akan lapor polisi!" Ujarku mantap."Berani lapor polisi, hancur hidupmu, Ann!""Aku nggak percaya!" Kataku jengkel. Orang kampung ini pada sentimen sama aku. Apa salahku? Biarpun adikku cacat mental, tapi dia juga harus dapat keadilan! Aku yang akan berjuang untuknya."Hancur gimana, Bu? Justru saya lapor polisi nanti, kasus ini akan terungkap!""Mau nglaporin Pak Karto? Hahaha memangnya kamu punya duit berapa, Ann?" Ibu baju kuning yang paling nyinyir mengetawaiku."Pak Karto?"Dahiku mengerut dalam. Ibu itu tadi bilang Pak Karto, apa maksudnya?"Bu, sssttt, sssst!"Kupandang sekeliling, para ibu-ibu ini saling berkedip mata kemudian ada yang menempelkan telunjuk di mulut. Hmm ada yang dirahasiakan rupanya."Ada apa dengan Pak Karto, Bu?" Aku mengedarkan pandangan kepada para ibu-ibu di warung ini. Mereka semua berpura-pura acuh, bahkan ada yang bergegas pamitan."Nggak ada apa-apa sama Pak Karto, Ann. Maksudnya bu Painah tadi, mungkin lawanmu itu sehebat, sekaya Pak Karto gitu lho. Jadi berat. Kamu tahu to, melawan orang berduit itu tidak mudah." Jelas Ibu pemilik warung meluruskan.Bagiku, itu tidak menutupi sesuatu. Jelas-jelas Bu Painah tadi bilang lawanku adalah Pak Karto! Keyakinan yang ada di hatiku semakin bertambah. Dari dulu, aku yakin Pak Karto terlibat dalam kasus Aida.Tanpa banyak pertanyaan, aku segera pulang. Jejak Pak Karto dalam kasus ini semakin nyata! Dari dia melarangku melapor polisi. Mengintimidasi dewan desa agar tidak mendukungku, kebon kopi miliknya, sekarang beredar kabar di kampung kalau Pak Karto berada di balik semua ini!Masih dalam keadaan emosi, aku menelepon Mas Beni. Aku akan cerita semuanya dan mengajaknya ke kantor polisi segera! Aku tidak takut dengan Pak Karto!"Mas, antar aku ke kantor polisi, sekarang!" Kataku saat Mas Beni mengangkat telepon."Sekarang?""Iya, Mas! Aku sudah dapat bukti kuat siapa tersangkanya!""Siapa?""Pak Karto!" Jawabku mantap.Mas Beni terdiam. Apa dia tidak percaya padaku?"Mas?""Kamu yakin, Ann?""Yakin 100%, Mas! Tadi Ibu-ibu yang bilang. Pak Karto adalah orang yang bertanggung jawab atas kehamilan Aida!" Suaraku meninggi."Tapi itu tidak bisa dijadikan bukti, Ann, itu cuma gosip. Buktinya nggak ada." Jelas Mas Beni. Emosiku tambah tinggi mendengarnya."Jadi, Mas Beni nggak percaya sama aku?!" Kakiku menghentak lantai. Sebel!"Bukan begitu, Ann ...""Bilang aja nggak mau nganterin!" Aku benar-benar marah."Ok, aku anterin. Aku ke situ sekarang."Huh! Kumatikan ponsel sambil mendengus kesal. Gitu dong, seharusnya laki laki-laki itu mengalah sama perempuan.Berjalan masuk kamar, aku berganti baju. Kuambil tas dan bersiap pergi."Cepat dikit, Mas!" Kataku pada Mas Beni yang mengendarai sepeda motor. Lelaki itu menambah kecepatan. Nggak sabar rasanya.Sampai pertigaan tugu desa, saat akan berbelok kiri, tiba-tiba datang sepeda motor model sport dari arah belakang yang memepet motor Mas Beni.Mas Beni menoleh ke kanan pada motor di sebelahnya yang gelagatnya mencurigakan. Dengan menambah kecepatan motor, Mas Beni berusaha menjauh. Pengendara motor sport mengejar dan ...Brakkk!"Aaahh!!"Kejadiannya begitu cepat. Sempat kulihat kaki pengendara motor sport menendang stang motor Mas Beni. Kami terjatuh di sisi kiri jalan.Aku terjungkal dan berguling di tanah. Beberapa centi lagi, hampir saja aku jatuh ke selokan. Tanpa mempedulikan rasa sakit, aku mengangkat setengah badanku. Bertopang pada kedua siku, mataku mencari keberadaan Mas Beni.Itu dia! Lelaki itu tergeletak beberapa meter dariku. Mas Beni diam tak bergerak tertimpa motor."Mas Beni!!"Dalam kepanikan, aku berdiri dan berlari. Oh Tuhan! Semoga dia tidak apa-apa ....Bersambung8.Di balik kematian adikku yang idiotBiang masalah"Mas, Beni!"Aku bersimpuh dan mengangkat kepala Mas Beni. Kusandarkan di kedua paha, Mas Beni masih sadar. Dia menatapku, bahkan masih tersenyum. "A_aku gapapa," katanya. Orang-orang mulai berdatangan. Mereka menyingkirkan sepeda motor dari badan bawah Mas Beni. Saat aku akan menolong Mas Beni untuk duduk, dia meringis kesakitan. "Aduuh ...." Ucapnya pelan sembari mengelus kaki kanannya. "Kenapa, Mas?" Aku panik, kuusap kaki Mas Beni. "Kakiku sakit kalau bergerak," wajah Mas Beni pucat. "Patah itu tulangnya, bawa ke rumah sakit aja!" Kata seseorang. Aku mendongak. "Ya sudah, tolong, ya, Mas," Aku berdiri, orang-orang mencegat sebuah mobil. Bersama-sama dan sangat hati-hati, orang-orang mengangkat tubuh Mas Beni dan dinaikkan ke sebuah mobil pickup. Aku tidak ikut karena menyusul di belakang mengendarai sepeda motor milik Mas Beni. "Aku nyusul, Mas!" Teriakku. Karena tidak terbiasa mengendarai sepeda motor, aku merasa kagok
9.Di balik kematian adikku yang idiotBiarkan anak itu mati "Bu Salamah, titip Aida dulu sampai aku pulang, ya?"Dengan menggendong tas mungil di punggung, aku bersiap pergi lagi. Kali ini, aku akan ke rumah sakit untuk memastikan Mas Beni baik- baik saja. "Mau ke mana, Mbak?" "Ke rumah sakit, Bu,""Ini sudah sore, Mbak, besok saja,""Nggak bisa, Bu. Saya harus melihat Mas Beni," "Nanti pulangnya susah, nggak ada angkot, Mbak," Aku diam saja tak menjawab. Selesai menali sepatu, aku melihat Bu Salamah. "Mbak ..." Panggilnya. Aku menggeleng. "Nggak bisa, Bu, aku harus ke rumah sakit sekarang!" Setelah tali sepatu beres, aku bersiap membuka pintu. "Apa benar tadi Mbak Anna ke rumah Pak Karto?" Pertanyaan Bu Salamah membuatku kaget. Dari mana dia mengetahui cerita itu?"Iya. Ibu tahu dari mana?" Jawabku berbalik badan."Beritanya sudah menyebar ke mana-mana, Mbak."Berjalan ke kursi tamu, aku duduk di salah satu kursi. Kutunda dulu perginya, aku lebih tertarik dengan berita yang
10.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah "Maafkan Ibu, Mbak Anna. Tapi, tolong lihat keadaan Aida," Bu Salamah berjalan ke dapur meninggalkan aku yang sedang kesal. Memasuki bulan ke tiga kehamilan adikku, aku memang jarang menemuinya. Aku sibuk bekerja dan menyelidiki siapa yang tega memperkos* adikku. Pertimbangan lain adalah, kepalaku pusing tiap melihat Aida. Kasihan, bingung, kesal, marah, semuanya jadi satu. Yang paling membuatku putus asa adalah, sampai saat ini aku belum bisa berbuat apapun untuk Aida. Keadilan yang kuperjuangkan seakan membentur batu cadas, keras dan sudah dihancurkan. Niatku melapor Polisi kemarin gagal, bahkan malah membuat Mas Beni celaka. Apakah benar, keadilan hanya berpihak pada orang yang berduit saja? Hukum tumpul ke atas dan hanya tajam bagi mereka yang dijuluki wong cilik? Entahlah ...Melangkah pelan, aku memasuki kamar Aida. Gadis itu sudah tidur dengan selimut membalut tubuhnya. Tak bersuara, aku duduk di sisi ranjangnya. Ku
11.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah 2Bu Salamah meremas kain daster yang dipakainya. Aku melihat aura kecemasan di sana. Beberapa kali dia menatapku kemudian menunduk lagi. "Katakan siapa dia, Bu. Tidak usah takut, aku akan melindungi Ibu," kataku meyakinkan.Bu Salamah melempar pandangan ke belakang punggungku. "Tidak ada siapa-siapa di luar, Bu," Aku berdiri dan berjalan ke ruang depan. Mengecek pintu dan memastikan sudah terkunci, lalu aku merapatkan semua korden jendela. Kembali aku duduk di depan Bu Salamah. Pukul sepuluh malam saat ini. "Sudah aman, teruskan ceritanya," "Ibu sangat takut waktu itu, tapi Ibu berusaha untuk menajamkan pengelihatan. Ibu mengenali sosok yang berjalan cepat itu, dia adalah ...""Siapa, Bu?" Aku tak sabar. Perasaanku pun tak kalah tegang dengan Bu Salamah. "P_Pak Karto," Meski pelan saat menyebut nama Pak Karto, tapi di telingaku cukup jelas. Tidak ada keterkejutan yang kuperlihatkan. Dari semula kasus ini bergulir, nam
12.Di balik kematian adikku yang idiotKebakaran "Ya, Allah!" Turun dari motor, aku berlari ke depan rumah yang hangus tak berbentuk. Puing-puing kayu yang masih menyala, sisa bara api dan asap panas yang masih mengepul masih terlihat. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya tangis dan rasa sesak di dada yang kurasa saat ini. Orang-orang masih banyak berkerumun melihat sisa-sisa kebakaran. Mas Beni mendekat dan merangkulku dari belakang. Aku menoleh, mata Mas Beni memandang ke depan, pada bangunan rumah yang sudah habis tak bersisa. "Mas, di mana, Aida?!" Aku berlari memasuki rumahku. Mencari adikku itu. "Aida! Aida!" Masuk ke kamar Aida, tak kutemui siapa pun. Berlari ke kamarku juga kosong. Di mana adikku?! Aku mulai panik. "Ann, tenang, Aida ada di rumahnya Pak RT," Mas Beni tiba-tiba sudah ada di belakangku. "Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?!" Kejarku dengan banyak pertanyaan. Mas Beni tersenyum tipis. "Aida baik-baik saja,"Huh! Syukur lah. Aku baru bisa ber
13.Di balik kematian adikku yang idiotHilangnya satu saksi DugDugDugSuara langkah Bu Salamah memasuki dapur. Aku menahan nafas. Benakku bertanya-tanya, ada apa Bu Salamah ke mari diantar anak buah pak Karto? Langkah Bu Salamah terdengar melewati depan kamarku, selanjutnya seperti memasuki kamar sebelah, yaitu kamarnya Aida. "Tunggu sebentar, Mas," kataku pada Mas Beni. Dengan gerakan cepat dan tanpa suara, aku keluar kamar dan menyelinap masuk ke kamar Aida. Bu Salamah tampak sedang mencari sesuatu di laci meja Aida. "Bu," panggilku pelan. Perempuan itu berbalik, sedikit berjingkat karena kaget melihatku."Mbak Anna!" Seru Bu Salamah. Aku mengangguk kemudian bertanya," cari apa, Bu?" Perempuan tua itu kemudian duduk di tepi tempat tidur Aida. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Sejenak terdiam, tiba-tiba kudengar suara isak tangis. "Bu, kenapa menangis?" Tanyaku sembari berusaha melihat wajah Bu Salamah yang ditutupi dengan tangannya. Bu Salamah menghapus air matanya kemu
14.Di balik kematian adikku yang idiotMenyusun rencana "Iwan!" Aku memanggil lelaki yang sedang asyik mengobrol dengan temannya itu. Lelaki bernama Iwan itu menoleh dan memandangku. "Apa cantik?" Tanyanya. Bibirnya senyam-senyum melihatku. Genit sekali!""Kau kenal adikku?" Aku menatapnya tajam. Dahi Iwan mengerut, bola matanya bergerak kesana-kemari. "Adikmu siapa?" Kedua alis Iwan terangkat ke atas. "Ini!" Kutarik tangan Aida yang berdiri di belakangku. Bisa kulihat wajah Iwan yang terkejut saat melihat Aida. Sedangkan Aida melihat Iwan dengan kepala miring. "Aku tidak mengenal anak idiot ini!" Kata Iwan. Kulihat matanya melihat perut Aida sekilas. "Jangan hina adikku!" Mataku mendelik. Hahaha, Iwan tertawa, temannya juga ikut menertawakan Aida. Brengsek!"Memang dia idiot hahaha, lihat saja mukanya," tunjuk Iwan pada Aida. Seakan lelucon, Iwan dan teman-teman tertawa ngakak. "Ahat, akk, akut," kata Aida sembari bersembunyi di belakang punggungku. Mendadak Iwan menghentik
15.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorTenggelamkan!Pria berbadan tegap dan gempal itu melangkah mantap memasuki rumah mewah berlantai tiga. Pria yang akrab disapa Baron itu terus melangkah melewati deretan meja kursi kayu berukir klasik yang memenuhi ruangan. Hingga sampai lah dia di depan pintu sebuah kamar. Pintu kayu jati super berpelitur mengkilap itu dia ketuk. "Masuk!"Suara berat dan serak terdengar dari dalam. Baron mengambil nafas, lalu menghembuskan kasar. Pria berbaju serba hitam itu membuka pintu dan melangkah masuk. Seorang pria tua menunggunya di dalam. Baron berdiri tegak di depan meja yang menghalangi dirinya dengan Karto Dimedjo, lelaki yang selama ini menjadikan dirinya seorang abdi dan dibalasnya dengan kesetiaan. "Apa yang kau dapat?" Karto menatap lurus Baron, orang kepercayaannya. "Gadis idiot itu ... Hamil, Pak."'Huh! Hembusan nafas berat Karto keluar. Masalah yang ditimbulkan anaknya mengusik kehormatan dirinya sebagai orang kaya, terpandang d
32.Di balik kematian adikku yang idiotMenemukan KeadilanEnd episode Tidak seperti waktu lalu, penduduk desa sudah berubah sekarang. Persis seperti yang diceritakan Mas Beni mereka memperlakukan dan menyambut kedatanganku dengan baik. Setelah sekian lama, akhirnya aku menginjakkan kaki lagi di kampung halamanku. "Selamat datang, Anna," Begitu kata Bu RT saat menyambut kedatanganku. Bu RT tidak sendiri tapi, disertai dengan ibu-ibu yang lain. Merey memelukku satu persatu bahkan ada yang meneteskan air mata. "Kami minta maaf, Anna,""Kami sudah ikut mendzalimi anak yatim-piatu," sesal mereka. "Sekarang kami mendukungmu untuk mencari keadilan,""Betul! Kami mendukungmu melawan kebiadaban Karto dan keluarganya!" "Setuju!" Bibirku tersenyum tapi, air mata ini mengalir. Dadaku sesak tapi, bukan kesal. Aku menangis terharu. Orang-orang akhirnya menyadari, aku dan adikku adalah korban kekejaman Pak Karto. Lima tahun berlalu dan kini aku merasa punya kekuatan untuk bangkit, untuk melaw
31.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian (PoV Author)1. Pak Kaji HasanSiang itu matahari bersinar terik, jam menunjukkan sekitar pukul dua siang. Kaji Hasan tengah berjalan di tengah kebun kopi miliknya. Meski sebagai pemilik Pak Kaji sesekali memang mengecek sendiri kebun miliknya. Bukan tanpa alasan. Khusus kebun kopi yang ini memang harus mendapat perhatian khusus karena bersebelahan dan berbatasan langsung dengan kebun kopi milik Pak Karto, yang dikenal sebagai orang yang paling licik dan kejam di desa. Sering para penggarap kebun melaporkan kehilangan buah kopi yang siap panen. Usut punya usut pencurinya adalah anak buah Pak Karto. Pasti Bossnya yang menyuruh kalau tidak mana berani mereka. Pak Kaji bukan diam saja. Beberapa kali ia juga komplain ke Pak Karto langsung tapi, jawabannya tidak memuaskan. Mau dilaporkan Polisi juga percuma, Pak Karto seperti kebal hukum. Ada oknum di kepolisian sini yang menjadi beking bisnisnya.Masalah batas tanah juga sering menjadi s
30.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorMembelot Warga desa melawan"Kita harus melawan!""Benar!""Pak Karto sudah kelewatan menindas kita!" "Bagaimana caranya kita melawan?""Kita harus bersatu dan menyusun rencana.""Setuju!""Setuju!"Itu adalah penggalan seruan warga desa Peteng saat mengadakan rapat sembunyi-sembunyi. Para pemuka desa yang selama ini diam tiba-tiba bersuara. Mereka menginginkan perubahan, terutama menyingkirkan dominasi arogan Pak Karto. "Pertama, kita harus membebaskan warga yang terjerat praktek lintah darat Pak Karto," Beni sebagai motor penggerak sudah menyusun rencana, tinggal meng- implementasi-kan saja. "Tapi, itu butuh dana yang tidak sedikit mengingat bunga yang diterapkan Pak Karto tinggi dan mencekik," ucap salah seorang warga. "Saya sudah pikirkan, karena itu saya hadirkan Bapak Kaji Hasan di sini. Sebagai orang terpandang di desa, mungkin Pak Kaji bisa menolong para warga." Beni menoleh pada Bapaknya yang juga hadir dalam rapat desa t
29.Di balik kematian adikku yang idiotBertemu kembaliPoV Author on Besok sorenya Rangga dan Beni menepati janji, dengan mobil Rangga, kedua lelaki dewasa itu meluncur menuju rumah kost cewek di jalan Teratai menjemput bidadari masing-masing. Sepanjang perjalanan, Beni lebih banyak diam. Lima tahun berlalu, baru saat ini dia akan berkencan dengan perempuan, bukan kencan ding, hanya perkenalan biasa. Nervous? Pastinya. Pernah dulu saat tahun pertama Anna menghilang, Beni sempat merasa hidupnya hampa. Rasa bersalah menghantui hingga Beni menjadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri. Tapi, semangatnya kembali datang saat dia mendengar kalau penduduk desa mulai mengadakan perlawanan terhadap Pak Karto. Beni bertekad menyelesaikan kuliahnya kemudian menuntaskan cita-cita menjadi Aparat penegak hukum. Alhamdulillah, dia menjadi seorang perwira Polisi. "Ini kos-kosannya, kita sudah sampai," Rangga menarik tuas hand rem. Beni menatap rumah model kuno dengan cat putih dan jen
28.Di balik kematian adikku yang idiotPoV Author Beni Selamat!"Lari, Anna!" Beni terus berteriak menyuruh Anna untuk berlari dari tempat itu, sesekali dia melihat ke teman perempuannya itu. Bughh!Sebuah pukulan telak mendarat di rahang lelaki muda itu, Beni terhuyung. Tidak! Dia tidak mau menyerah meski tahu akan kalah, bagaimana pun caranya, dia harus menahan kedua orang jahat ini. "Cepat lari, Ann!" Teriaknya lagi sembari menghindar, darah segar muncrat dari mulutnya, perih terasa mengiris pipi. Dillihatnya Anna yang tampak kebingungan antara berlari dan menolongnya. Ciatt!Beni memberikan tendangan pada seseorang yang paling dekat dengannya, orang itu terhuyung mundur dua langkah, sayang datang lagi seorang lelaki berbadan besar juga. Sial! Sekarang tiga orang mengeroyok Beni. Anna memutuskan untuk berlari meninggalkan Beni. Gadis itu tahu, temannya tidak akan menang meski dia membantunya. Tatapan terakhir Anna menambah kekuatan diri Beni. Lelaki muda itu terus berkelahi m
27.Di balik kematian adikku yang idiotSaatnya membuka hati Melihat seorang berseragam Polisi tiba-tiba aku merasa emosional, dalam arti perasaanku ingin mengadu, melapor, kedzaliman yang pernah menimpa adikku. Rasanya saat ini juga aku ingin melapor pada Rangga kalau adikku yang berkebutuhan khusus telah diperko sa dan dibun uh oleh orang yang berkuasa, yang hartanya bisa melepaskan dirinya dari jeratan hukum. Rasanya ingin membuka kembali kasus Aida. Memenjarakan Karto adalah keinginanku yang nomor satu! Sayang, aku tak punya kekuatan untuk menangkis tajamnya pedang Pak Karto justru aku yang berdarah-darah terkena sabetan pedang. "Ann, sudah sampai, tuh," Vina menoleh ke belakang. Mobil merapat di pinggir jalan raya. Sengaja tidak masuk parkiran Superindu biar nggak usah muter.Ah ya! Kami sudah sampai di depan Superindu pusat perbelanjaan modern yang terbesar di kota ini. "Makasih, ya!" Ucapku sembari menutup pintu. Rangga dan Vina melambaikan tangan kemudian kembali meluncur k
26.Di balik kematian adikku yang idiotPindah Menjalani Minggu-Minggu pertama dengan perasaan was-was. Kadang saking paniknya, aku mencurigai customer adalah mata-mata Karto, segitunya. Iya! Aku masih takut bila mereka masih mengintai, mengejar bahkan menangkapku. Seperti mengalami trauma, sering kali di malam hari aku terjaga dengan nafas tersengal dan peluh di dahi dan pelipis. Aku bermimpi dikejar banyak orang. Terkadang aku juga menangis sendirian bila teringat Aida atau Mas Beni, dua orang istimewa dalam hidupku. Adik kesayanganku dan lelaki baik yang sudah berkorban nyawa untukku. Aku mulai mengenal dan menghafal jalan di kota ini. Kusebut ini kota lewat, artinya kota yang hanya dilewati oleh mereka yang sedang dalam perjalanan jauh atau luar kota. Kebanyakan pula yang berbelanja di toko Cik Debby adalah mereka yang sedang dalam perjalanan. Mereka membeli minuman, makanan kecil, roti, atau barang lainnya. Penduduk di sini tidak banyak, mereka saling mengenal. Toko Cik Debby t
25.Di balik kematian adikku yang idiotAku yang baru Masuk nggak,ya? Sedikit bimbang ... Huh! Menarik nafas dalam lalu membuangnya kasar, kubulatkan tekat untuk masuk menemui perempuan di dalam toko. Bismillah aja semoga lancar dan ada pekerjaan untukku. Hawa sejuk AC menerpa saat kudorong pintu kaca. Berjalan pelan aku mendekati perempuan yang duduk di balik konter mesin kasir. Perempuan berkulit putih dan berkacamata itu tidak menyadari kedatanganku, dia sedang sibuk dengan gadgetnya. "Malam, Cie," sapaku. "Aaah!" Perempuan itu menjerit tertahan, saking kagetnya dia sampai berdiri melompat dari kursi. "Mau apa, kau?!" Tanyanya curiga. Mata sipitnya melebar. Dia melihatku dari bawah sampai atas lalu melepas kacamata dari wajahnya. Tentu saja dia takut melihatku. Aku sendiri merasa penampilanku saat ini benar-benar ancur. Tiga hari tidak mandi, tidak gosok gigi, tidak ganti pakaian, rambut awut-awutan, wajah kusut, kotor, dan apa lagi, ya? Pokoknya lebih parah dari gembel. "M
24.Di balik kematian adikku yang idiotMelarikan diri "Lepaskan, Anna!" "Mas Beni?" Kulepaskan tangannya. "Ssstt!" Mas Beni menutup mulutku. Pelan dia menutup pintu kembali. "Cepat kita pergi dari sini, Ann!" Setengah badan Mas Beni keluar, kepalanya tengak-tengok di luar kamar. "Cepat, mumpung aman!" Menarik tanganku, Mas Beni mengajakku meninggalkan kamar, lelaki itu berjalan ke sisi kiri. Sampai di sebuah teras, Mas Beni mengajakku melintasi sebuah taman. "Lewat sini, Anna, injek aja," katanya. Mengikuti Mas Beni, aku pun menginjak-injak rumput dan tanaman di taman itu. Berlari berdua sampai lah kita pada tembok tinggi samping rumah. Berjalan miring, badan kami menempel di dinding. Mas Beni berhenti lalu mengintip. "Ada apa, Mas?" Tanyaku. Mas Beni berpaling padaku," ada penjaga gerbang," jawabnya. Duh, gimana, ya?"Mas, aku mau lihat," kataku. Mas Beni bergeser, aku menjulurkan sedikit kepala agar bisa melihat situasi. Halaman parkir yang luas, taman rumput hijau dan ja