Beranda / Lain / Di balik Kematian Adikku / Tragedi Kebun Kopi

Share

Tragedi Kebun Kopi

Penulis: Henya Firmansyah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

6.Di balik kematian adikku yang idiot

Tragedi kebun kopi

"Dari mana kamu tahu itu kebun kopinya Pak Karto?"

Aku beneran nggak tahu itu kebonnya Pak Karto. Yang aku tahu, itu kebon punyanya banyak orang, soalnya banyak warga desa yang kerja di sana.

"Keknya cuma kamu yang nggak tahu," Mas Beni tersenyum kemudian menyeruput minumannya.

"Bukannya itu kebonnya banyak orang?"

"Dulu ...," Mas Beni mengambil tissue kemudian mengelap bibirnya, aku bengong. Emm bibirnya seksi ternyata, upps!

"Sekarang semua sertifikatnya sudah dikuasai Pak Karto."

"Kok bisa, Mas?" Dahiku mengerut.

"Praktek rentenir," jawab Mas Beni singkat.

"Oh, gitu, ya?"

Memang kejam bisnis rentenir itu. Sayang sekali, kebanyakan yang terjerat adalah orang kecil, orang miskin, dan orang dalam keadaan darurat. Mereka butuh pertolongan tapi bukan pertolongan yang akhirnya malah membawa mereka ke dalam jurang kesengsaraan yang tak berkesudahan. Hutang yang tak pernah selesai, bunga yang selalu bertambah. Menjual apapun yang mereka miliki hanya untuk menutup bunga yang semakin mencekik. Pada akhirnya, semuanya hilang. Sertifikat tanah bagi orang desa adalah harta yang berharga. Tidak punya tanah, tidak punya garapan, hanya jadi kuli di tanahnya sendiri. Ironis.

"Enak kali ya jadi rentenir, cepat kaya hehehe," candaku. Mas Beni tersenyum sembari menaikkan kedua alis matanya yang hitam dan teratur rapi.

"Enak sementara, nanti balasannya neraka jahanam,"

Kepalaku mengangguk, kuputar sedotan untuk mengaduk minuman dalam gelas. Senja sebentar lagi datang, kami pun sudah selesai makan dan berbicara.

"Jadi, kapan, Mas, kita ke kebon kopi?" Tanyaku saat akan naik ke boncengan motor Mas Beni.

"Besok siang saja. Kamu libur, kan?"

"Ok, siap!"ucapku bersemangat

"Ntar aku WA,"

Kuacungkan Ibu jari pada lelaki ganteng dan selalu wangi ini. Hallahh!

"Ann, kamu nggak dingin?" Tanya Mas Beni saat sepeda motor melintasi kawasan hutan jati. Angin yang cukup besar berhembus menerpa motor yang berjalan.

"Nggak, tuh ..." Jawabku senyam-senyum.

"Aku dingin,"

"Oh ... Salahnya nggak pakai jaket," aku menutup mulut yang sedang menahan tawa ini. Aku tahu, maksud Mas Beni agar aku memeluknya. Tapi, ihh! Ntar dulu, lah! Pacar juga bukan.

"Wowww! Pelan-pelan, dong, Mas!" Jeritku seraya memeluk pinggang Mas Beni. Rupanya, Mas Beni sengaja menambah kecepatan tanpa memberi tahu aku! Aaaa, ngerjain!!

(Sementara di depan, Beni gantian tersenyum melihat tangan Anna yang melingkar di pinggangnya)

**

Sekitar jam dua siang, Mas Beni datang ke rumahku. Seperti janji kita kemarin, hari ini aku dan Mas Beni akan ke kebun kopi milik Pak Karto. Kuharap ada petunjuk yang bisa membuka tabir tragedi yang menimpa adikku.

"Motor kutinggal di sini saja, Ann."

"Gapapa, Mas. Naikin ke teras saja," kataku.

Memang lokasi kebun kopi letaknya di perbukitan. Jalannya naik turun, tidak boleh dilalui sepeda motor, kecuali pemilik mungkin.

Memakai sepatu kets, kaos dan celana jeans aku mulai berjalan menuju lereng bukit di mana kebon kopi berada. Hawa sejuk menerpa, aku sempatkan untuk menghirupnya dalam-dalam. Segar!

Menyusuri jalan selebar dua meter, aku mengobrol dan bercanda dengan Mas Beni. Orangnya asyik juga, dewasa, sering mengalah dan lucu. Bikin betah berdekatan hehehe.

"Itu kebonnya, Ann,"

Kulihat di depan, hamparan luas kebun kopi menghijau. Jalan tanah yang akan kulalui terlihat makin sempit, hanya bisa dilewati sepeda motor saja.

"Ayo!" Aku berlari. Mas Beni mengikuti.

Memasuki kebun kopi, hanya ada jalan setapak.

"Ini rute ke hutan pinus?"

"Betul, Ann."

Aku berdiri di ujung, mataku menatap lurus, hanya pepohonan kopi di kiri kanan. Suasana sepi, hanya suara angin yang menggesek dedaunan saja terdengar. Dadaku berdebar saat Mas Beni mengajakku memasuki perkebunan. Seolah membayangkan aku adalah Aida.

"Sepi sekali, Mas?"

"Iya, patroli dilakukan sehari dua kali. Pagi dan sore," jawab Mas Beni. Tangan lelaki itu sibuk menyibakkan dedaunan yang menghalangi langkah. Pohon kopi di sini rata-rata tingginya dua meter sampai dua setengah meter saja. Aku bisa berjalan di tengah kebun tanpa terlihat.

"Jauh juga, ya, Mas?"

"Iya, kebun ini luas, berhektar-hektar,"

"Semua ini milik Pak Karto?"

Mas Beni menggeleng, " yang sebelah kananmu, itu milik Bapakku," jawab Mas Beni.

"Oh! Kok bisa bersebelahan dengan milik Pak Karto dan hanya dibatasi jalan setapak ini, Mas?"

Mas Beni berhenti melangkah, matanya nyalang di antara pepohonan. Dia menunduk dan melihat ke arah batang-batang pohon. Gelap suasananya karena tanaman kopi yang sudah lebat.

"Ada apa, Mas?" Bisikku, ikut celingak-celinguk.

"Lihat!"

Mas Beni menunjuk ke dalam kebun. Aku mengikuti petunjuk tangannya. Masih belum ngerti.

"A_apa, Mas?"

"Lihat ke sana," Mas Beni menunjuk tanah. "Daun-daun kering dan ranting yang berserakan seperti terbelah." Mas Beni berjalan memasuki lorong antara batang-batang pohon kopi. Kemudian dia berjongkok, matanya tetap awas.

Aku ikut masuk. Benar juga, terbelah seperti pernah dibuat menyeret sesuatu! Tiba-tiba dadaku berdebar lebih kencang.

Karet gelang? Kulihat ceceran karet gelang di sini. Oh Tuhan! Aku jadi gugup. Kupunguti karet-karet itu, semakin banyak! Tubuhku merinding.

"Mas,"

Tanganku bergetar saat menunjukkan tumpukan karet gelang di tanganku. Aida suka menggenggam karet gelang ke mana-mana, karena dia suka menghitungnya!

"Kenapa?" Netra Mas Beni melebar melihatku.

"I_ini, karet gelang Aida yang hilang!" Aku menelan ludah.

Mas Beni mengajakku melangkah lebih jauh, mengikuti arah dedaunan kering yang mengarah semakin dalam ke kebun kopi. Mas Beni membungkuk dan mengambil sesuatu, lalu ditunjukkan padaku.

"Sandal Aida!" Aku menjerit, tanganku menutup mulut, debar di dadaku semakin kencang membuatku gugup.

"Mas, itu sandal Aida!" Aku merebut sandal yang hanya satu itu dari tangan Mas Beni. Tidak salah lagi, ini sandal Aida! Aku hafal karena aku yang membelikan. Tiba-tiba aku menangis keras.

"Huhuhu huhuhu Aida, ...."

Mas Beni membiarkan aku menangis, dia meneruskan memeriksa keadaan. Di depan sana, pohon kopi semakin rimbun dan gelap. Mas Beni berhenti, aku menyusul.

Daun-daun kering di sini, bentuknya aneh! Mengumpul jadi satu di tengah dan porak poranda. Apakah di sini, tempat Aida diperkos*? Huhuhu

Sepi sekali, hampir tidak ada orang lewat. Dedaunan rimbun pohon kopi menghalangi cahaya matahari masuk. Mustahil orang masuk ke sini apabila tidak ada keperluan atau panen.

"Aida, huhuhu,"

Lututku lemas hingga aku tersimpuh. Tanganku meremas dedaunan di tanah. Pedih rasanya, membayangkan Aida di seret dan mungkin dipukuli, sebelum diperkosa! Bagaimana dia bisa menjerit keras meminta pertolongan, bila dia bisu tuli? Ya Allah, Aida ...

"BIADAB!! Huhuhu"

Aku menjerit menumpahkan sakit dan sesak di dada ini! Air mata yang tumpah tak akan cukup untuk merasakan derita adikku. Siapa pun dia orangnya, aku akan mengejarnya! Dia harus dihukum, bila perlu hukuman mati!

Mas Beni mengangkat tubuhku berdiri. Dia menghapus air mata di pipiku. Tangisku semakin menjadi-jadi. Biarlah kutumpahkan segala rasa sakit hati dan pedih ini. Aku tak punya orang tua lagi untuk bersandar. Aku lah orang tua bagi Aida, aku yang bertanggung jawab atas Aida!

"Kita harus lapor polisi, Mas! Semua bukti ada di sini. Karet Aida, sandal, semua bisa jadi bukti buat polisi untuk menetapkan tersangka!" Ujarku penuh emosi.

"Tunggu dulu, kita belum menemukan sesuatu yang bisa mengarah kepada tersangka," jawab Mas Beni. Betul juga ...

Aku dan Mas Beni berputar-putar di lokasi untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk.

"Ann, sini!"

Gegas aku menghampiri Mas Beni. Cowok itu sedang membungkuk dan mengorek-ngorek sesuatu di tanah, di bawah daun-daun kering.

"Apa, Mas?" Aku melihat ke tanah. Mas Beni menemukan botol kecil dari plastik, seperti botol spray.

"Ini, botol spray," kemudian Mas Beni berjongkok untuk memastikan.

Dengan sapu tangan yang dia ambil dari kantong celananya, mas Beni mengambil botol itu lalu mengamati lebih dekat.

"Botol ini biasa digunakan untuk orang yang punya penyakit bengek!"

"Asma maksudnya?"

Mas Beni mengangguk, lalu memasukkan botol itu ke plastik putih kecil yang dia bawa.

"Kamu bawa plastik, Mas?"

"Iya, tadi aku membeli permen untuk keponakanku, plastiknya lupa buang, malah aku kantongin," jawab Mas Beni sambil tersenyum.

"Obat spray ini, biasanya dipakai dengan menyemprotkan ke dalam mulut, saat penderita itu merasa sesak nafas," jelas Mas Beni.

"Apakah artinya pelaku punya penyakit asma, Mas?" Tanyaku.

"Aku tidak tahu, tapi, lebih baik kita bawa saja."

Mas Beni berdiri dan memasukkan plastik berisi botol spray ke kantongnya.

"Sudah sore, ayo kita pulang, sebelum penjaga berpatroli," Mas Beni menarik tanganku dan mengajakku keluar dari tengah kebun kopi.

"HEY, SIAPA DI SANA!"

Aku dan Mas Beni berhenti, mata kami melebar dan saling melempar pandangan.

Itu suara teriakan penjaga!

Next

Bab terkait

  • Di balik Kematian Adikku    Kecelakaan atau Sabotase?

    7.Di balik kematian adikku yang idiotKecelakaan atau sabotase?"Mas, ada penjaga!" Seruku. Mas Beni mengangguk. Matanya terlihat waspada melihat sekeliling. "Diam di sini."Mas Beni menekan punggungku agar menunduk. Rasanya sangat tegang. Kami berdua, berusaha untuk tidak membuat suara. "HEY, JAWAB!Terdengar lagi teriakan penjaga. Aku menggigit bibir, takut. KrosakKrosakSuara orang menyibakkan dedaunan! Aku semakin tegang. Terdengar pula langkah kaki mendekat. Dada ini rasanya ketar ketir. Saat suara langkah kaki semakin dekat, tiba-tiba Mas Beni menarik tanganku. "Cepat lari!" Pontang-panting aku berlari mengikuti Mas Beni. Pegangan tanganku sampai terlepas. Pokoknya aku terus berlari sekencang-kencangnya mengikuti Mas Beni di depanku. "Jangan lari, woyy!!" Astaga! Mereka mengejar, bagaimana ini? Jarakku dengan Mas Beni menjauh, aku hanya bisa melihat sosoknya saja. Dengan menyibakkan cepat dahan dan ranting yang menghalangi jalan, aku fokus berlari mengikuti Mas Beni. A

  • Di balik Kematian Adikku    Biang Masalah

    8.Di balik kematian adikku yang idiotBiang masalah"Mas, Beni!"Aku bersimpuh dan mengangkat kepala Mas Beni. Kusandarkan di kedua paha, Mas Beni masih sadar. Dia menatapku, bahkan masih tersenyum. "A_aku gapapa," katanya. Orang-orang mulai berdatangan. Mereka menyingkirkan sepeda motor dari badan bawah Mas Beni. Saat aku akan menolong Mas Beni untuk duduk, dia meringis kesakitan. "Aduuh ...." Ucapnya pelan sembari mengelus kaki kanannya. "Kenapa, Mas?" Aku panik, kuusap kaki Mas Beni. "Kakiku sakit kalau bergerak," wajah Mas Beni pucat. "Patah itu tulangnya, bawa ke rumah sakit aja!" Kata seseorang. Aku mendongak. "Ya sudah, tolong, ya, Mas," Aku berdiri, orang-orang mencegat sebuah mobil. Bersama-sama dan sangat hati-hati, orang-orang mengangkat tubuh Mas Beni dan dinaikkan ke sebuah mobil pickup. Aku tidak ikut karena menyusul di belakang mengendarai sepeda motor milik Mas Beni. "Aku nyusul, Mas!" Teriakku. Karena tidak terbiasa mengendarai sepeda motor, aku merasa kagok

  • Di balik Kematian Adikku    Biarkan anak itu mati

    9.Di balik kematian adikku yang idiotBiarkan anak itu mati "Bu Salamah, titip Aida dulu sampai aku pulang, ya?"Dengan menggendong tas mungil di punggung, aku bersiap pergi lagi. Kali ini, aku akan ke rumah sakit untuk memastikan Mas Beni baik- baik saja. "Mau ke mana, Mbak?" "Ke rumah sakit, Bu,""Ini sudah sore, Mbak, besok saja,""Nggak bisa, Bu. Saya harus melihat Mas Beni," "Nanti pulangnya susah, nggak ada angkot, Mbak," Aku diam saja tak menjawab. Selesai menali sepatu, aku melihat Bu Salamah. "Mbak ..." Panggilnya. Aku menggeleng. "Nggak bisa, Bu, aku harus ke rumah sakit sekarang!" Setelah tali sepatu beres, aku bersiap membuka pintu. "Apa benar tadi Mbak Anna ke rumah Pak Karto?" Pertanyaan Bu Salamah membuatku kaget. Dari mana dia mengetahui cerita itu?"Iya. Ibu tahu dari mana?" Jawabku berbalik badan."Beritanya sudah menyebar ke mana-mana, Mbak."Berjalan ke kursi tamu, aku duduk di salah satu kursi. Kutunda dulu perginya, aku lebih tertarik dengan berita yang

  • Di balik Kematian Adikku    Kesaksian Bu Salamah

    10.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah "Maafkan Ibu, Mbak Anna. Tapi, tolong lihat keadaan Aida," Bu Salamah berjalan ke dapur meninggalkan aku yang sedang kesal. Memasuki bulan ke tiga kehamilan adikku, aku memang jarang menemuinya. Aku sibuk bekerja dan menyelidiki siapa yang tega memperkos* adikku. Pertimbangan lain adalah, kepalaku pusing tiap melihat Aida. Kasihan, bingung, kesal, marah, semuanya jadi satu. Yang paling membuatku putus asa adalah, sampai saat ini aku belum bisa berbuat apapun untuk Aida. Keadilan yang kuperjuangkan seakan membentur batu cadas, keras dan sudah dihancurkan. Niatku melapor Polisi kemarin gagal, bahkan malah membuat Mas Beni celaka. Apakah benar, keadilan hanya berpihak pada orang yang berduit saja? Hukum tumpul ke atas dan hanya tajam bagi mereka yang dijuluki wong cilik? Entahlah ...Melangkah pelan, aku memasuki kamar Aida. Gadis itu sudah tidur dengan selimut membalut tubuhnya. Tak bersuara, aku duduk di sisi ranjangnya. Ku

  • Di balik Kematian Adikku    Kesaksian Bu Salamah 2

    11.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah 2Bu Salamah meremas kain daster yang dipakainya. Aku melihat aura kecemasan di sana. Beberapa kali dia menatapku kemudian menunduk lagi. "Katakan siapa dia, Bu. Tidak usah takut, aku akan melindungi Ibu," kataku meyakinkan.Bu Salamah melempar pandangan ke belakang punggungku. "Tidak ada siapa-siapa di luar, Bu," Aku berdiri dan berjalan ke ruang depan. Mengecek pintu dan memastikan sudah terkunci, lalu aku merapatkan semua korden jendela. Kembali aku duduk di depan Bu Salamah. Pukul sepuluh malam saat ini. "Sudah aman, teruskan ceritanya," "Ibu sangat takut waktu itu, tapi Ibu berusaha untuk menajamkan pengelihatan. Ibu mengenali sosok yang berjalan cepat itu, dia adalah ...""Siapa, Bu?" Aku tak sabar. Perasaanku pun tak kalah tegang dengan Bu Salamah. "P_Pak Karto," Meski pelan saat menyebut nama Pak Karto, tapi di telingaku cukup jelas. Tidak ada keterkejutan yang kuperlihatkan. Dari semula kasus ini bergulir, nam

  • Di balik Kematian Adikku    Kebakaran

    12.Di balik kematian adikku yang idiotKebakaran "Ya, Allah!" Turun dari motor, aku berlari ke depan rumah yang hangus tak berbentuk. Puing-puing kayu yang masih menyala, sisa bara api dan asap panas yang masih mengepul masih terlihat. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya tangis dan rasa sesak di dada yang kurasa saat ini. Orang-orang masih banyak berkerumun melihat sisa-sisa kebakaran. Mas Beni mendekat dan merangkulku dari belakang. Aku menoleh, mata Mas Beni memandang ke depan, pada bangunan rumah yang sudah habis tak bersisa. "Mas, di mana, Aida?!" Aku berlari memasuki rumahku. Mencari adikku itu. "Aida! Aida!" Masuk ke kamar Aida, tak kutemui siapa pun. Berlari ke kamarku juga kosong. Di mana adikku?! Aku mulai panik. "Ann, tenang, Aida ada di rumahnya Pak RT," Mas Beni tiba-tiba sudah ada di belakangku. "Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?!" Kejarku dengan banyak pertanyaan. Mas Beni tersenyum tipis. "Aida baik-baik saja,"Huh! Syukur lah. Aku baru bisa ber

  • Di balik Kematian Adikku    Hilangnya Satu Saksi

    13.Di balik kematian adikku yang idiotHilangnya satu saksi DugDugDugSuara langkah Bu Salamah memasuki dapur. Aku menahan nafas. Benakku bertanya-tanya, ada apa Bu Salamah ke mari diantar anak buah pak Karto? Langkah Bu Salamah terdengar melewati depan kamarku, selanjutnya seperti memasuki kamar sebelah, yaitu kamarnya Aida. "Tunggu sebentar, Mas," kataku pada Mas Beni. Dengan gerakan cepat dan tanpa suara, aku keluar kamar dan menyelinap masuk ke kamar Aida. Bu Salamah tampak sedang mencari sesuatu di laci meja Aida. "Bu," panggilku pelan. Perempuan itu berbalik, sedikit berjingkat karena kaget melihatku."Mbak Anna!" Seru Bu Salamah. Aku mengangguk kemudian bertanya," cari apa, Bu?" Perempuan tua itu kemudian duduk di tepi tempat tidur Aida. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Sejenak terdiam, tiba-tiba kudengar suara isak tangis. "Bu, kenapa menangis?" Tanyaku sembari berusaha melihat wajah Bu Salamah yang ditutupi dengan tangannya. Bu Salamah menghapus air matanya kemu

  • Di balik Kematian Adikku    Menyusun Rencana

    14.Di balik kematian adikku yang idiotMenyusun rencana "Iwan!" Aku memanggil lelaki yang sedang asyik mengobrol dengan temannya itu. Lelaki bernama Iwan itu menoleh dan memandangku. "Apa cantik?" Tanyanya. Bibirnya senyam-senyum melihatku. Genit sekali!""Kau kenal adikku?" Aku menatapnya tajam. Dahi Iwan mengerut, bola matanya bergerak kesana-kemari. "Adikmu siapa?" Kedua alis Iwan terangkat ke atas. "Ini!" Kutarik tangan Aida yang berdiri di belakangku. Bisa kulihat wajah Iwan yang terkejut saat melihat Aida. Sedangkan Aida melihat Iwan dengan kepala miring. "Aku tidak mengenal anak idiot ini!" Kata Iwan. Kulihat matanya melihat perut Aida sekilas. "Jangan hina adikku!" Mataku mendelik. Hahaha, Iwan tertawa, temannya juga ikut menertawakan Aida. Brengsek!"Memang dia idiot hahaha, lihat saja mukanya," tunjuk Iwan pada Aida. Seakan lelucon, Iwan dan teman-teman tertawa ngakak. "Ahat, akk, akut," kata Aida sembari bersembunyi di belakang punggungku. Mendadak Iwan menghentik

Bab terbaru

  • Di balik Kematian Adikku    End. Menemukan Keadilan

    32.Di balik kematian adikku yang idiotMenemukan KeadilanEnd episode Tidak seperti waktu lalu, penduduk desa sudah berubah sekarang. Persis seperti yang diceritakan Mas Beni mereka memperlakukan dan menyambut kedatanganku dengan baik. Setelah sekian lama, akhirnya aku menginjakkan kaki lagi di kampung halamanku. "Selamat datang, Anna," Begitu kata Bu RT saat menyambut kedatanganku. Bu RT tidak sendiri tapi, disertai dengan ibu-ibu yang lain. Merey memelukku satu persatu bahkan ada yang meneteskan air mata. "Kami minta maaf, Anna,""Kami sudah ikut mendzalimi anak yatim-piatu," sesal mereka. "Sekarang kami mendukungmu untuk mencari keadilan,""Betul! Kami mendukungmu melawan kebiadaban Karto dan keluarganya!" "Setuju!" Bibirku tersenyum tapi, air mata ini mengalir. Dadaku sesak tapi, bukan kesal. Aku menangis terharu. Orang-orang akhirnya menyadari, aku dan adikku adalah korban kekejaman Pak Karto. Lima tahun berlalu dan kini aku merasa punya kekuatan untuk bangkit, untuk melaw

  • Di balik Kematian Adikku    Kesaksian yang membuka kedok

    31.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian (PoV Author)1. Pak Kaji HasanSiang itu matahari bersinar terik, jam menunjukkan sekitar pukul dua siang. Kaji Hasan tengah berjalan di tengah kebun kopi miliknya. Meski sebagai pemilik Pak Kaji sesekali memang mengecek sendiri kebun miliknya. Bukan tanpa alasan. Khusus kebun kopi yang ini memang harus mendapat perhatian khusus karena bersebelahan dan berbatasan langsung dengan kebun kopi milik Pak Karto, yang dikenal sebagai orang yang paling licik dan kejam di desa. Sering para penggarap kebun melaporkan kehilangan buah kopi yang siap panen. Usut punya usut pencurinya adalah anak buah Pak Karto. Pasti Bossnya yang menyuruh kalau tidak mana berani mereka. Pak Kaji bukan diam saja. Beberapa kali ia juga komplain ke Pak Karto langsung tapi, jawabannya tidak memuaskan. Mau dilaporkan Polisi juga percuma, Pak Karto seperti kebal hukum. Ada oknum di kepolisian sini yang menjadi beking bisnisnya.Masalah batas tanah juga sering menjadi s

  • Di balik Kematian Adikku    Membelot

    30.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorMembelot Warga desa melawan"Kita harus melawan!""Benar!""Pak Karto sudah kelewatan menindas kita!" "Bagaimana caranya kita melawan?""Kita harus bersatu dan menyusun rencana.""Setuju!""Setuju!"Itu adalah penggalan seruan warga desa Peteng saat mengadakan rapat sembunyi-sembunyi. Para pemuka desa yang selama ini diam tiba-tiba bersuara. Mereka menginginkan perubahan, terutama menyingkirkan dominasi arogan Pak Karto. "Pertama, kita harus membebaskan warga yang terjerat praktek lintah darat Pak Karto," Beni sebagai motor penggerak sudah menyusun rencana, tinggal meng- implementasi-kan saja. "Tapi, itu butuh dana yang tidak sedikit mengingat bunga yang diterapkan Pak Karto tinggi dan mencekik," ucap salah seorang warga. "Saya sudah pikirkan, karena itu saya hadirkan Bapak Kaji Hasan di sini. Sebagai orang terpandang di desa, mungkin Pak Kaji bisa menolong para warga." Beni menoleh pada Bapaknya yang juga hadir dalam rapat desa t

  • Di balik Kematian Adikku    Bertemu

    29.Di balik kematian adikku yang idiotBertemu kembaliPoV Author on Besok sorenya Rangga dan Beni menepati janji, dengan mobil Rangga, kedua lelaki dewasa itu meluncur menuju rumah kost cewek di jalan Teratai menjemput bidadari masing-masing. Sepanjang perjalanan, Beni lebih banyak diam. Lima tahun berlalu, baru saat ini dia akan berkencan dengan perempuan, bukan kencan ding, hanya perkenalan biasa. Nervous? Pastinya. Pernah dulu saat tahun pertama Anna menghilang, Beni sempat merasa hidupnya hampa. Rasa bersalah menghantui hingga Beni menjadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri. Tapi, semangatnya kembali datang saat dia mendengar kalau penduduk desa mulai mengadakan perlawanan terhadap Pak Karto. Beni bertekad menyelesaikan kuliahnya kemudian menuntaskan cita-cita menjadi Aparat penegak hukum. Alhamdulillah, dia menjadi seorang perwira Polisi. "Ini kos-kosannya, kita sudah sampai," Rangga menarik tuas hand rem. Beni menatap rumah model kuno dengan cat putih dan jen

  • Di balik Kematian Adikku    Beni Selamat

    28.Di balik kematian adikku yang idiotPoV Author Beni Selamat!"Lari, Anna!" Beni terus berteriak menyuruh Anna untuk berlari dari tempat itu, sesekali dia melihat ke teman perempuannya itu. Bughh!Sebuah pukulan telak mendarat di rahang lelaki muda itu, Beni terhuyung. Tidak! Dia tidak mau menyerah meski tahu akan kalah, bagaimana pun caranya, dia harus menahan kedua orang jahat ini. "Cepat lari, Ann!" Teriaknya lagi sembari menghindar, darah segar muncrat dari mulutnya, perih terasa mengiris pipi. Dillihatnya Anna yang tampak kebingungan antara berlari dan menolongnya. Ciatt!Beni memberikan tendangan pada seseorang yang paling dekat dengannya, orang itu terhuyung mundur dua langkah, sayang datang lagi seorang lelaki berbadan besar juga. Sial! Sekarang tiga orang mengeroyok Beni. Anna memutuskan untuk berlari meninggalkan Beni. Gadis itu tahu, temannya tidak akan menang meski dia membantunya. Tatapan terakhir Anna menambah kekuatan diri Beni. Lelaki muda itu terus berkelahi m

  • Di balik Kematian Adikku    Membuka Hati

    27.Di balik kematian adikku yang idiotSaatnya membuka hati Melihat seorang berseragam Polisi tiba-tiba aku merasa emosional, dalam arti perasaanku ingin mengadu, melapor, kedzaliman yang pernah menimpa adikku. Rasanya saat ini juga aku ingin melapor pada Rangga kalau adikku yang berkebutuhan khusus telah diperko sa dan dibun uh oleh orang yang berkuasa, yang hartanya bisa melepaskan dirinya dari jeratan hukum. Rasanya ingin membuka kembali kasus Aida. Memenjarakan Karto adalah keinginanku yang nomor satu! Sayang, aku tak punya kekuatan untuk menangkis tajamnya pedang Pak Karto justru aku yang berdarah-darah terkena sabetan pedang. "Ann, sudah sampai, tuh," Vina menoleh ke belakang. Mobil merapat di pinggir jalan raya. Sengaja tidak masuk parkiran Superindu biar nggak usah muter.Ah ya! Kami sudah sampai di depan Superindu pusat perbelanjaan modern yang terbesar di kota ini. "Makasih, ya!" Ucapku sembari menutup pintu. Rangga dan Vina melambaikan tangan kemudian kembali meluncur k

  • Di balik Kematian Adikku    Pindah

    26.Di balik kematian adikku yang idiotPindah Menjalani Minggu-Minggu pertama dengan perasaan was-was. Kadang saking paniknya, aku mencurigai customer adalah mata-mata Karto, segitunya. Iya! Aku masih takut bila mereka masih mengintai, mengejar bahkan menangkapku. Seperti mengalami trauma, sering kali di malam hari aku terjaga dengan nafas tersengal dan peluh di dahi dan pelipis. Aku bermimpi dikejar banyak orang. Terkadang aku juga menangis sendirian bila teringat Aida atau Mas Beni, dua orang istimewa dalam hidupku. Adik kesayanganku dan lelaki baik yang sudah berkorban nyawa untukku. Aku mulai mengenal dan menghafal jalan di kota ini. Kusebut ini kota lewat, artinya kota yang hanya dilewati oleh mereka yang sedang dalam perjalanan jauh atau luar kota. Kebanyakan pula yang berbelanja di toko Cik Debby adalah mereka yang sedang dalam perjalanan. Mereka membeli minuman, makanan kecil, roti, atau barang lainnya. Penduduk di sini tidak banyak, mereka saling mengenal. Toko Cik Debby t

  • Di balik Kematian Adikku    Aku yang Baru

    25.Di balik kematian adikku yang idiotAku yang baru Masuk nggak,ya? Sedikit bimbang ... Huh! Menarik nafas dalam lalu membuangnya kasar, kubulatkan tekat untuk masuk menemui perempuan di dalam toko. Bismillah aja semoga lancar dan ada pekerjaan untukku. Hawa sejuk AC menerpa saat kudorong pintu kaca. Berjalan pelan aku mendekati perempuan yang duduk di balik konter mesin kasir. Perempuan berkulit putih dan berkacamata itu tidak menyadari kedatanganku, dia sedang sibuk dengan gadgetnya. "Malam, Cie," sapaku. "Aaah!" Perempuan itu menjerit tertahan, saking kagetnya dia sampai berdiri melompat dari kursi. "Mau apa, kau?!" Tanyanya curiga. Mata sipitnya melebar. Dia melihatku dari bawah sampai atas lalu melepas kacamata dari wajahnya. Tentu saja dia takut melihatku. Aku sendiri merasa penampilanku saat ini benar-benar ancur. Tiga hari tidak mandi, tidak gosok gigi, tidak ganti pakaian, rambut awut-awutan, wajah kusut, kotor, dan apa lagi, ya? Pokoknya lebih parah dari gembel. "M

  • Di balik Kematian Adikku    Kabur

    24.Di balik kematian adikku yang idiotMelarikan diri "Lepaskan, Anna!" "Mas Beni?" Kulepaskan tangannya. "Ssstt!" Mas Beni menutup mulutku. Pelan dia menutup pintu kembali. "Cepat kita pergi dari sini, Ann!" Setengah badan Mas Beni keluar, kepalanya tengak-tengok di luar kamar. "Cepat, mumpung aman!" Menarik tanganku, Mas Beni mengajakku meninggalkan kamar, lelaki itu berjalan ke sisi kiri. Sampai di sebuah teras, Mas Beni mengajakku melintasi sebuah taman. "Lewat sini, Anna, injek aja," katanya. Mengikuti Mas Beni, aku pun menginjak-injak rumput dan tanaman di taman itu. Berlari berdua sampai lah kita pada tembok tinggi samping rumah. Berjalan miring, badan kami menempel di dinding. Mas Beni berhenti lalu mengintip. "Ada apa, Mas?" Tanyaku. Mas Beni berpaling padaku," ada penjaga gerbang," jawabnya. Duh, gimana, ya?"Mas, aku mau lihat," kataku. Mas Beni bergeser, aku menjulurkan sedikit kepala agar bisa melihat situasi. Halaman parkir yang luas, taman rumput hijau dan ja

DMCA.com Protection Status