Dunia Lavanya seolah berhenti berputar. Begitu pun dengan jantungnya yang seakan berhenti berdetak. Perempuan itu menatap sahabatnya seolah ingin memastikan bahwa ia hanya salah dengar."Gimana tadi, Nad?" ujarnya seperti orang tercekik."Aku ngeliat Mas Erik masuk ke hotel di jalan Patimura, Nya. Dia sama perempuan dan mesra banget. Mas Erik merangkul perempuan itu. Tadinya aku pikir aku salah lihat. Tapi itu beneran Mas Erik."Seketika rasa mual yang tadi menggantung kembali menerjang, membuat Lavanya ingin muntah. Ia meremas ujung bajunya kuat-kuat, mencoba mencari pertahanan untuk hatinya yang rapuh."Perempuan itu pakai dress merah ketat di atas paha. Rambutnya pendek sebahu. Tapi sayangnya aku cuma ngeliat dari belakang. Sedangkan Mas Erik, aku ngeliat dengan jelas karena dia sempat ngeliat ke arah jalan. Maaf, Nya. Aku bukan mau bikin hubungan kamu dan Mas Erik tambah runyam. Tapi aku pikir kamu harus tahu soal ini," kata Nadia merasa tidak enak hati apalagi melihat wajah Lavan
Danish membiarkan Lavanya menangis di dalam pelukannya. Ia tidak mengatakan apa pun. Hanya tangannya yang mengusap punggung Lavanya, berharap bisa memberikan kekuatan yang dibutuhkan perempuan itu. Danish tahu pelukannya mungkin akan menjadi sebuah kesalahan besar, tapi rasa kasihannya pada Lavanya membuat logikanya kalah. Ia yang awalnya berusaha tidak berinteraksi secara fisik dengan Lavanya akhirnya melakukan hal tersebut.Pelukan Danish begitu hangat. Namun entah kenapa tidak cukup bagi Lavanya. Mungkin karena lukanya yang terlalu dalam. Ia merasa benar-benar dikhianati. Tangisnya saat ini bukan hanya tentang pengkhianatan, namun juga mengenai tentang kelelahannya berjuang sendiri mempertahankan rumah tangganya dengan Erik.Tidak tahu berapa lama Lavanya berada di pelukan Danish sampai sesuatu memberinya kesadaran. Lavanya segera melepaskan diri dari dekapan hangat lelaki itu."Maaf," ucap Danish. Ia tidak ingin Lavanya menganggapnya memanfaatkan kesempatan.Lavanya mengusap mata
Danish sudah pulang sejak lima menit yang lalu, namun keberadaannya masih tersisa di ruangan ini. Perlakuan Danish sangat melekat di hati Lavanya. Lelaki itu tidak menghakimi, tidak juga memaksakan kehadirannya, apalagi memperkeruh suasana. Namun justru sikapnya itu membuat Lavanya merasa simpati. Lavanya yang biasa dituntut kuat dan tangguh sekarang mendapat tempat untuk bersandar. Lavanya takut menjadi terlalu nyaman. Ia khawatir menjadikan Danish sebagai tempatnya untuk bergantung.Pintu yang dibuka tanpa aba-aba menghalau lamunan Lavanya mengenai Danish. Lavanya tersentak melihat kemunculan Erik. Rasa syukur tak terhingga terucap di hatinya. Untung saja Danish sudah pergi. Jika tidak, pertemuan mereka pasti tidak terelakkan dan akan memunculkan masalah baru. Belum hilang rasa terkejut Lavanya, ia kembali dibuat kaget kala mengetahui suaminya tidak sendiri. Ada Mona yang berjalan di belakang Erik."Hai, Nya, Mas Erik ngajak aku buat besuk Belia," sapa Mona ceria.Lavanya tertegun.
Hari ini dokter sudah mengizinkan Belia pulang. Kebetulan hari ini bertepatan dengan hari Minggu. "Dokter bilang hari ini Belia sudah boleh pulang. Ayo siap-siap," kata Lavanya. Ia mengambil baju Belia lalu membantu memasangkan ke tubuh mungil sang putri, mengganti dengan pakaian rumah sakit.Belia tidak menanggapi dengan kata-kata. Mulut kecilnya terkatup rapat."Kok cuma diam? Belia nggak senang ya pulang ke rumah?" tanya Lavanya menyadari ekspresi muram yang tercetak dengan jelas di wajah Belia."Papa mana, Ma? Kenapa Papa nggak datang? Papa nggak jemput kita ya?"Pertanyaan Belia yang diucapkan dengan kesedihan menampar Lavanya dengan keras. Lavanya sudah mencoba menghubungi Erik dan memberitahu bahwa hari ini mereka akan pulang. Ia juga meminta kesediaan pria itu untuk menjemput agar putri mereka senang. Tapi tidak ada tanggapan apa-apa. Erik seolah menutup mata dan menyerahkan semua tanggungjawabnya pada Lavanya. Sejak kunjungannya dengan Mona kala itu, Erik tidak pernah lagi d
"Lagi ada tamu ya, Ma?" tanya Belia yang tidak lepas memegang buket uangnya."Mungkin, Sayang. Ayo kita masuk."Lavanya dan Belia membawa langkah ke dalam rumah. Seketika suara tawa canda tadi terhenti, sama dengan Lavanya yang juga menghentikan langkahnya begitu melihat Erik dan Mona duduk berdua di sofa ruang tamu dengan tubuh yang saling menempel."Papa!" seru Belia."Eh, udah pulang?" balas Erik datar."Papa kenapa nggak jemput aku ke rumah sakit?" Belia menanyakan alasannya."Ini Papa sama Tante Mona rencananya mau jemput Belia, tapi Belia udah keburu pulang. Jadi Papa nggak salah, 'kan?""Nggak," ucap Belia walau kecewa.Belia memandangi Mona. Perempuan itu tersenyum padanya."Belia udah sehat?" Anak kecil yang rambutnya dikepang itu mengangguk lemah."Oh iya, nanti Tante Mona bawain susu sama roti lagi ya?""Nggak usah, Mon," jawab Lavanya cepat. Ia tidak sudi menerima apa pun dari perempuan itu."Santai aja, Nya, nggak usah malu. Nggak beli kok. Tinggal ambil di toko." Perha
Lavanya menatap Neli dengan perasaan kecewa. Harapannya tentang kehamilannya yang akan disambut dengan gembira pupus saat itu juga. Kata-kata Neli yang kasar begitu menyakitinya. Semestinya sejak awal ia menyadari ia tidak perlu berharap apa-apa dari keluarga suaminya.Lavanya menggelengkan kepala, menolak permintaan mertuanya. "Aku nggak akan menggugurkannya, Bu. Aku nggak bisa."Mendengar penolakan Lavanya membuat Neli semakin marah. Mata perempuan itu membelalak lebar. "Nggak bisa kamu bilang? Enak aja kamu bilang begitu. Sampai kapan kamu mau nyusahin hidup Erik? Dia udah menderita karena hidup sama kamu. Dan sekarang kamu masih belum puas juga menambah bebannya?"Lavanya tidak mengerti. Kenapa Neli begitu mudah memutarbalikkan fakta. Bukan Erik yang menderita, tapi Lavanyalah yang sengsara hidup dengannya. Bukan Lavanya yang menjadi beban, tapi Erik dan keluarganyalah yang menjadi parasit dalam hidup Lavanya.Meskipun hatinya sakit mendengar tudingan Neli, namun Lavanya masih men
Detik itu juga jantung Lavanya seakan berhenti berdetak mendengarnya. Buket uang itu kini tergeletak di atas tempat tidur dan tampak berantakan. Dengan hati hancur Lavanya menghitung uang yang tersisa. Perasaan geram, marah, sedih dan kecewa berebutan mengambil tempat di hatinya ketika mengetahui Erik mengambil lima juta dari buket uang itu, setengah dari total keseluruhannya."Papa bilang apa sama Belia?""Papa bilang pinjam uangnya dulu. Aku udah bilang nggak mau tapi Papa bilang nanti bakal ganti uangnya. Terus Papa pergi sama Tante Mona," jelas Belia sesenggukan.Lavanya sontak merengkuh putrinya itu, membawa ke pelukannya. Tangis Belia semakin deras di dada Lavanya. Anak itu benar-benar sedih karena buket uangnya rusak."Belia, Mama tahu Belia sedih. Mama janji kalau ada uang Mama akan ganti uang yang diambil Papa," bujuk Lavanya menghibur Belia."Kalau Om Danish tahu, dia pasti marah, Ma. Buket uang itu, 'kan, untuk aku." Belia masih terisak di dada Lavanya."Om Danish nggak ak
Lavanya menunduk memandangi gelas bening berisi cairan coklat pekat di hadapannya. Seketika ia menutup hidungnya dengan telapak tangan ketika menghirup aroma yang begitu menusuk dari cairan itu.Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba Neli menjadi begitu baik padanya? Baru kemarin perempuan itu memaksa Lavanya agar menggugurkan kandungannya, namun pagi ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak mungkin juga, 'kan, mertuanya berubah pikiran secepat itu?"Kenapa melamun? Ayo diminum jamunya. Ibu kasihan melihat kamu muntah-muntah terus. Dulu waktu Ibu mengandung Erik, Ibu juga rutin minum jamu biar kuat dan nggak muntah-muntah lagi."Lavanya merasa ragu. Selain tidak pernah menyukai jamu, akal sehatnya memberi peringatan akan perubahan sikap Neli yang tiba-tiba."Bu, aku nggak suka jamu. Maaf." Itu yang Lavanya ucapkan."Ibu tahu. Tapi kamu itu lagi hamil, Lavanya. Dipaksain minum jamunya. Kalau kamu sakit, 'kan Erik juga yang repot. Emangnya kamu nggak kasihan sama suamimu?
Matahari baru saja terbit di ufuk timur ketika Danish membuka mata. Dan hal pertama yang pria itu ingat adalah Lavanya. Di antara begitu banyak hal yang bisa ia pikirkan, Lavanya menempati urutan teratas.Mungkin Lavanya sudah bangun dan saat ini merasa kebingungan apa yang harus dilakukannya di lingkungan asing yang masih baru baginya.Danish segera turun dari tempat tidur. Ia menggegas langkah ke kamar Lavanya. Diketuknya pintu. Namun tidak ada sahutan dari dalam.Apa Lavanya masih tidur?Danish mengulangi ketukannya. Kali ini dengan lebih keras. Hasilnya tetap sama. Mungkin Lavanya sedang sarapan di ruang makan, pikirnya.Danish pergi ke ruang makan saat itu juga. Setibanya di sana ia menemukan Ophelia sedang menyantap sarapannya. Perempuan itu hanya sendiri karena kemarin sore suaminya berangkat ke luar negeri."Mi, Lavanya mana?" tanya Danish langsung.Ophelia yang sedang menyendok oatmeal sontak menghentikan suapannya. "Maksud kamu apa? Kok nanya Mami?""Lavanya nginap di sini,
Ophelia melangkah anggun mengikuti Danish yang memimpin jalan di depannya. Begitu melihat kemunculan keduanya, Lavanya yang duduk di ruang tamu segera berdiri dan tersenyum sopan pada Ophelia."Lavanya, ini ibu Ophelia, mamiku. Mi, ini Lavanya, rekan kerjakuyang tadi aku ceritakan," kata Danish mengenalkan keduanya."Selamat malam, Bu." Lavanya menyapa Ophelia sambil mengulurkan tangannya untuk berjabatan.Wanita sosialita itu menyambut jabat tangan Lavanya. Mungkin Lavanya tidak menyadarinya, namun bagi Danish yang sudah sangat mengenal karakter sang ibu, ia tahu bahwa saat ini Ophelia sedang menilai Lavanya dalam hatinya.Ophelia tersenyum sambil menjabat tangan Lavanya. "Silakan duduk," ucap perempuan itu agar Lavanya kembali ke tempatnya.Lavanya mendudukkan diri di tempatnya tadi. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Ophelia. Selama ini ia hanya tahu wajah wanita itu melalui foto. Selama berpacaran dengan Danish, sang kekasih tidak pernah satu kali pun membawa ke rumahnya, apa
Rumah orangtua Danish berdiri dengan megah di sebuah kawasan elit yang berada di Jakarta Selatan. Arsitekturnya bergaya klasik modern dengan pilar-pilar tinggi, jendela-jendela besar dan halaman yang begitu luas. Di sisi kanan terdapat taman beraneka bunga dengan lampu taman yang bercahaya terang. Di samping taman itu ada sebuah kolam renang berbentuk persegi dengan air berwarna biru yang menyejukkan mata.Gerbang hitam setinggi tiga meter otomatis terbuka, memberi jalan untuk taksi yang keduanya tumpangi. Lavanya meremas tali tasnya. Jantungnya memompa darah jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Ada perasaan asing menjalari dirinya. Semacam rasa tidak pantas berada di tempat itu. Bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya membuat nyalinya sedikit ciut."Ayo kita turun," ajak Danish ketika taksi berhenti tepat di halaman rumah.Lavanya menghela napas, mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orang di dalam istana besar itu.Rumah itu terlihat sunyi. Mungkin para penghuninya sudah bera
Lavanya tersentak kaget kala mendengar dering suara ponsel. Bukan miliknya, tapi berasal dari pria di seberang mejanya. Seluruh lamunannya mengenai masa lalu buyar saat itu juga.Danish mengambil handphonenya dan melihat nama 'Mami' di layar. Ternyata ibunya yang menelepon."Boleh aku terima telepon dulu?" katanya meminta izin pada Lavanya.Danish tidak berubah. Dari zaman mereka berpacaran dulu selalu sama. Setiap kali mereka bersama dan ada telepon masuk ia akan selalu meminta izin terlebih dahulu pada Lavanya sebelum menjawabnya. Hanya saja yang berubah saat ini adalah status hubungan mereka."Silakan, Pak," jawab Lavanya sopan. "Saya mau ke toilet dulu." Ia pikir Danish butuh privasi untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana."Kamu nggak perlu pergi, Nya. Itu telepon dari Mami, nggak ada yang rahasia," cegah Danish seolah tahu apa yang saat ini mengisi kepala Lavanya.Lavanya urung melaksanakan niatnya. Ia tetap duduk di tempat. Lantaran tidak ingin dianggap menguping, Lav
Lavanya menundukkan kepala, memutus pertemuan mata yang intens di antara mereka. Beruntung pelayan restoran datang mengantar pesanan keduanya.Dua piring hidangan disajikan untuk mereka. Roasted chicken wing with garlic herb butter untuk Lavanya, serta tenderloin steak untuk Danish. Sedangkan untuk minumannya iced lychee tea favorit Lavanya dan juice apple kesukaan Danish.Baru melihatnya saja Lavanya sudah merasakan kesegaran mengaliri tenggorokannya. "Silakan dimakan, Nya," suruh Danish.Lavanya mengangguk lalu menyuap sayap ayamnya. Setiap potongan yang ia telan seakan sedang memanggil kenangan masa lalu ke permukaan. Kenangan indah yang sayangnya sangat menyesakkan dada. Rasa garlic butter yang gurih membawanya ke kamar tidur rumah kontrakannya beberapa tahun yang silam.Lavanya ingat betul kejadiannya. Saat itu Lavanya sedang sakit. Perubahan cuaca yang tiba-tiba dan sukar diprediksi berhasil melumpuhkannya. Semalam ia pulang kehujanan. Kebetulan di saat itu daya tahan tubuhnya
Setelah meeting selesai Danish membawa Lavanya ke hotel tempat mereka akan menginap selama dua hari ini.Sebenarnya Danish bisa saja menginap di rumah orangtuanya, tapi ia memilih menginap di hotel dengan Lavanya. Alasannya sederhana, agar ia bisa mendampingi Lavanya jika sewaktu-waktu perempuan itu membutuhkan.Sepanjang perjalanan menuju hotel yang terletak tidak jauh dari kantor Serenity Group, Lavanya tidak mengatakan apa pun. Momen manis saat meeting tadi membuatnya merasa canggung pada Danish. Apalagi ia tahu persis seluruh peserta rapat memerhatikan mereka.Mobil yang membawa keduanya berbelok memasuki halaman sebuah hotel bintang lima dan menurunkan mereka tepat di depan lobi. Seorang petugas hotel dengan sigap membawakan koper Lavanya dan Danish. Setelah check in, sepasang mantan kekasih itu naik ke kamar yang berada di lantai atas yang letaknya bersebelahan."Mau makan dulu atau istirahat?" tanya Danish setelah tiba di depan pintu kamar Lavanya."Istirahat dulu, Pak. Dan ka
Puluhan menit kemudian guncangan ringan dari helikopter yang menyesuaikan ketinggian membuat Lavanya terbangun. Seiring dengan kelopak matanya yang terbuka, ia merasakan tubuhnya lebih segar dari sebelumnya. Meski begitu sakit di perutnya tidak kunjung hilang. Sedetik setelahnya ia menyadari sesuatu yang berbeda. Ternyata kepalanya berada di pundak Danish. Entah sejak kapan. Lavanya yang terkejut seketika mengangkatnya. Pipinya bersemu karena malu."Maaf, Pak, saya nggak nyadar, tadi ketiduran," ucapnya tanpa berani memandang pada lelaki di sampingnya.Lelaki itu menerbitkan senyum tipis dari bibirnya. Ia terlihat santai. "Kamu terlalu banyak meminta maaf, Nya. Kamu nggak salah apa-apa padahal."Walau Danish menganggap sebagai hal yang wajar, tetapi tertidur di pundak atasan sekaligus mantan kekasih, tidaklah lazim menurut Lavanya.Kepalanya tertunduk semakin dalam, mengimbangi rasa malu yang kian menyebar. Berbagai perasaan melingkupi hatinya. Antara malu, terharu dan juga nyaman. Ke
Pagi itu gerimis kecil baru saja membasahi kota A. Lavanya tiba di kantor dengan menggunakan taksi. Setelah berterima kasih, ia menjinjing koper kecilnya ke dalam kantor. Erik masih tidur saat ia tinggalkan tadi. Meskipun suaminya itu tidak mengizinkan, Lavanya tetap pergi. Kemarin malam Lavanya juga menelepon Nadia, meminta bantuannya untuk mengantar jemput Belia ke sekolah selama dirinya tidak berada di Jakarta, jika Erik melalaikan tugasnya."Kamu sudah siap, Nya?" tanya Danish begitu melihat Lavanya muncul.Lavanya mengangguk dan mengatakan, "Sudah, Pak.""Kita berangkat sekarang. Kita nggak naik pesawat komersial. Kemarin Bu Ratna nggak jadi mengatur penerbangan untuk kita karena kantor pusat mengirim helikopter untuk berangkat," jelas Danish di sela-sela langkah menuju mobil yang standby di depan lobi.Lavanya menelan saliva. Apa katanya? Berangkat dengan helikopter? Itu artinya selain ada pilot, ia hanya berdua dengan Danish, 'kan?Entah kenapa tiba-tiba saja detak jantung L
Terbangun pagi ini, sekujur tubuh Lavanya terasa sakit-sakitan, terutama bagian perut bawahnya. Andai saja bisa Lavanya ingin beristirahat di rumah. Namun lantaran sudah mengambil cuti waktu Belia sakit, Lavanya tidak enak jika harus absen lagi. Ia memaksakan diri untuk berangkat ke kantor."Lemas banget, Nya, mukamu pucat," kata Nadia ketika melihat Lavanya muncul. "Lagi sakit?""Masa?" Lavanya memegang pipinya.Nadia mengangguk."Oh, mungkin karena aku nggak pake bedak." Lavanya berdalih menyembunyikan keadaannya.Nadia tidak sepenuhnya percaya namun tidak memperpanjangnya. "Gimana Mas Erik? Ada tanda-tanda mencurigakan?" tanyanya dengan suara separuh berbisik."Ya gitu.""Ya gitu gimana?"Lavanya menghela napas. Tidak tahu dari mana harus memulai. Yang akhirnya ia katakan adalah, "Aku nggak pernah membahas mengenai foto itu.""Ih, gimana sih? Dia selingkuh lho! Dia check in di hotel!" kata Nadia geregetan. Jika ia menjadi Lavanya, ia pasti sudah bertengkar hebat dengan suaminya. Ba