Cahaya putih dari retakan di lantai semakin terang, hampir menyilaukan. Arden mencoba menutupi matanya sambil tetap berdiri tegak. Terasa seperti dunia di bawah mereka perlahan runtuh. Para tamu panik, suara teriakan dan langkah tergesa-gesa bergema di ruangan, tapi Celeste tetap berdiri diam, seolah tidak terpengaruh oleh kekacauan di sekitarnya.
“Celeste!” seru Arden, suaranya tajam, mengalahkan gemuruh di ruangan itu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kau maksud aku adalah kunci?” Celeste menoleh, wajahnya tetap tenang. “Arden, sejak awal, kau bukan hanya pengamat di sini. Kau adalah bagian dari pulau ini, seperti aku dan yang lainnya. Pulau ini mengenalmu. Masa lalumu adalah benih dari apa yang terjadi di sini.” Arden bingung, tapi tidak sempat bertanya lebih jauh ketika tanah di bawah mereka mulai runtuh, membentuk jurang besar yang perlahan menelan para tamu satu per satu. Mereka yang berdiri terlalu dekat dengan retakan jatuh ke dalam kegelapan, jeritan mereka memudar seiring dengan hilangnya mereka dari pandangan. “Tidak!” Arden mencoba bergerak untuk membantu, tapi setiap langkah terasa berat, seperti kakinya terikat pada sesuatu yang tak terlihat. Celeste mendekatinya dengan tenang, bahkan ketika retakan di lantai nyaris mencapai kakinya. “Arden,” katanya, suaranya lembut tapi penuh desakan. “Lihatlah sekelilingmu. Semua ini adalah cerminan. Bayang-bayang mereka bukan berasal dari pulau ini—mereka datang dari hati mereka sendiri. Dari rahasia yang mereka kubur.” Arden menatap Celeste dengan marah. “Tapi kau tahu lebih dari itu! Ini bukan sekadar tentang rahasia. Pulau ini… tempat ini… ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi!” Celeste mengangguk, seperti mengakui kebenaran yang lebih dalam. “Pulau ini hidup, Arden. Ia merespons rasa bersalah, ketakutan, dan kehilangan. Kau pikir semua ini kebetulan? Kau pikir kedatanganmu ke sini hanya permainan nasib?” Arden merasa dunianya berputar. Semua detail kecil yang sebelumnya dia abaikan kini mulai masuk akal—pulau yang terasa akrab, mimpi-mimpi aneh yang dia alami sebelum datang, dan cara Celeste terus mendorongnya untuk menghadapi masa lalunya. “Tapi mengapa aku?” Arden bertanya, suaranya melemah. “Apa yang kau harapkan dariku?” Celeste mendekat dan menatapnya tajam, seperti seseorang yang mencoba menembus benteng terakhir di dalam diri Arden. “Karena kau telah melakukan sesuatu yang bahkan pulau ini tidak bisa lupakan. Sesuatu yang mengubah segalanya.” Sebelum Arden bisa bertanya lebih lanjut, sebuah bayangan besar muncul dari retakan di lantai. Bayangan itu menyerupai siluet manusia, tapi tubuhnya gelap dan tidak berbentuk pasti, seperti asap yang terus bergerak. Bayangan itu menatap Arden tanpa mata, tapi ia tahu sosok itu memperhatikannya. “Arden,” kata Celeste pelan, suaranya penuh peringatan. “Itu adalah bayang-bayangmu.” Arden terhuyung mundur. “Tidak… itu tidak mungkin. Aku tidak memiliki rahasia sebesar itu. Aku tidak melakukan apa pun…” “Semua orang punya bayang-bayang, Arden,” kata Celeste, tetap tenang. “Pertanyaannya adalah apakah kau cukup kuat untuk menghadapinya.” Bayangan itu mendekat, tubuhnya yang besar menyelimuti ruangan. Arden merasakan dingin yang menusuk tulang. Bayangan itu tidak menyerang, tapi hanya berdiri di sana, menatapnya, menunggu. Arden mencoba melawan rasa takut yang menjalar di dadanya. “Apa yang kau inginkan dariku?” serunya pada bayangan itu. Tapi bayangan itu tidak menjawab, hanya semakin dekat, hingga akhirnya berdiri tepat di depannya. Dalam sekejap, Arden merasa dunia di sekitarnya berubah. Dia tidak lagi berada di ruangan itu, melainkan di sebuah jalan gelap yang dihiasi lampu jalan redup. Udara dingin menyapu wajahnya, dan suara langkah kaki bergema di kejauhan. Dia mengenali tempat ini. Itu adalah jalan yang sama tempat kecelakaan adiknya terjadi bertahun-tahun lalu. “Tidak… ini tidak nyata,” bisik Arden, tapi hatinya tahu itu lebih dari sekadar ilusi. Ini adalah kenangan yang dia coba lupakan, yang selalu menghantui mimpinya. Tiba-tiba, dia melihat sosok seorang anak kecil di ujung jalan, berdiri sendirian. Itu adalah adiknya, Elliot. Anak itu menoleh dan menatapnya dengan mata penuh harap. “Arden?” suara kecil Elliot memanggil. “Kau di sana?” Air mata mengalir di pipi Arden. “Elliot…” Dia ingin berlari, ingin memeluk adiknya, tapi kakinya tidak bisa bergerak. Bayangan besar itu muncul kembali, berdiri di antara Arden dan Elliot. Kali ini, suaranya terdengar, seperti ribuan bisikan yang berbicara sekaligus. “Kau meninggalkannya.” Arden terhuyung mundur, rasa bersalahnya kembali menghantam seperti gelombang besar. “Aku tidak meninggalkannya!” serunya, tapi suaranya terdengar lemah bahkan di telinganya sendiri. “Aku mencoba menyelamatkannya! Aku mencoba…” “Tapi kau gagal,” kata bayangan itu, suaranya dingin. “Dan itulah yang kau bawa ke sini, ke pulau ini. Rasa bersalahmu adalah jantung dari semuanya.” Elliot masih berdiri di ujung jalan, tapi perlahan-lahan dia memudar, seperti pasir yang ditiup angin. Arden ingin berteriak, ingin melakukan sesuatu, tapi tubuhnya terasa lumpuh. “Ini waktumu, Arden,” suara Celeste bergema, meskipun dia tidak terlihat. “Kau harus memilih. Tetap bersembunyi di balik ketakutanmu, atau hadapi kenyataan, apa pun risikonya.” Arden menutup matanya, mencoba mengumpulkan keberanian. Ketika dia membuka matanya lagi, bayangan itu berdiri lebih dekat, menunggu. Dia tahu, saat ini bukan hanya tentang dirinya. Pulau ini, para tamu lainnya, bahkan Celeste—semuanya terhubung dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Bayangan besar itu berdiri di depan Arden, membentuk dinding pekat yang hampir mustahil ditembus. Dalam kegelapan, suara bisikan dari bayangan itu terus menghantam pikiran Arden. "Kau gagal menyelamatkannya. Kau melarikan diri. Kau meninggalkannya." Namun di tengah deru suara itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang samar. Seperti panggilan dari tempat yang jauh. "Arden..." Dia mengenali suara itu. Itu suara Elliot, suara yang memanggilnya dari balik bayangan yang mengintimidasi. “Elliot!” seru Arden, mencoba menembus kegelapan di depannya. Tapi setiap langkah maju terasa berat, seperti berjalan melawan arus deras. Celeste muncul entah dari mana, berdiri di sisinya. “Dia ada di sana, Arden,” katanya dengan nada lembut namun tegas. “Tapi kau tidak akan bisa menyelamatkannya kecuali kau menghadapi dirimu sendiri.” “Apa maksudmu?” Arden berteriak, frustrasi. “Aku tidak meninggalkannya. Aku mencoba yang terbaik. Aku…” “Justru itulah masalahnya,” potong Celeste. “Kau terlalu takut untuk mengakui bahwa kau merasa bersalah. Pulau ini hanya memperbesar apa yang sudah ada di dalam dirimu. Rasa bersalahmu adalah kunci untuk menghentikan semua ini.” Bayangan itu mendekat, semakin besar, menelan hampir seluruh ruang di sekitar mereka. Arden merasakan napasnya tersengal-sengal. Dalam pikirannya, kenangan tentang malam itu muncul kembali dengan jelas—jalan yang licin, suara tabrakan, dan teriakan Elliot yang tak pernah dia lupakan. “Aku tidak bisa…” bisiknya. “Aku tidak bisa melakukannya.” Celeste meletakkan tangannya di bahu Arden. “Bisa. Kau harus. Lihatlah bayangan itu bukan sebagai musuhmu, tapi bagian dari dirimu.” Arden terdiam sejenak. Kata-kata Celeste menggema dalam pikirannya. Jika bayangan ini adalah bagian dari dirinya, maka melarikan diri tidak akan pernah menjadi jawaban. Dengan tangan gemetar, dia melangkah maju, mendekati bayangan itu. “Arden…” suara Elliot terdengar lagi, lebih lemah kali ini. Bayangan itu berhenti, seolah terkejut oleh keberanian Arden. Ia mengangkat “tangannya,” mencoba mendorong Arden mundur, tapi Arden tidak berhenti. “Aku tidak akan lari lagi!” teriak Arden. “Aku tidak akan membiarkan rasa takut ini mengontrolku.” Bayangan itu melengking, suaranya menyerupai ribuan jeritan sekaligus. Tapi saat Arden terus melangkah, tubuh bayangan itu mulai berubah. Kegelapan yang pekat mulai retak, memancarkan cahaya kecil di sela-selanya. Arden melihat Elliot di dalam bayangan itu, tubuhnya kecil dan rapuh. Dia mengulurkan tangannya. “Elliot!” Bayangan itu mencoba menahan Elliot, tapi cahaya dari retakannya semakin terang. Dengan satu langkah terakhir, Arden menerobos kegelapan, meraih tangan adiknya dan menariknya keluar. Tiba-tiba, segalanya menjadi terang. Bayangan itu hancur menjadi ribuan kepingan, menghilang ke udara seperti debu. Arden dan Elliot jatuh ke tanah, nafas mereka berat. “Elliot…” Arden memeluk adiknya erat, air mata mengalir tanpa henti. “Aku minta maaf. Aku minta maaf karena tidak bisa melindungimu.” Elliot tersenyum kecil. “Kau tidak meninggalkanku, Arden. Aku selalu tahu kau mencoba menyelamatkanku.” Kata-kata itu seperti beban besar yang akhirnya terangkat dari hati Arden. Dia memeluk Elliot lebih erat, tapi ketika dia menatapnya lagi, tubuh adiknya perlahan memudar. “Aku harus pergi, Arden,” kata Elliot dengan lembut. “Tapi ingat, aku selalu bersamamu.” Arden mencoba menahan, tapi tahu dia harus melepaskannya. Dia menutup matanya saat Elliot sepenuhnya menghilang, meninggalkan rasa damai yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Ketika Arden membuka matanya lagi, dia kembali ke ruangan bersama Celeste. Semua tamu lain berdiri di sekitar mereka, tampak bingung tapi utuh, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Ruangan itu tidak lagi retak, tidak lagi diselimuti kegelapan. Celeste menatap Arden dengan senyum tipis. “Kau berhasil.” “Apa yang terjadi pada mereka?” tanya Arden, menatap tamu-tamu lain yang tampak linglung. “Mereka juga menghadapi bayang-bayang mereka,” jawab Celeste. “Tapi keberanianmu membuka jalan untuk semuanya. Kau adalah kunci, seperti yang kukatakan.” Arden menatap Celeste, merasa lega tapi juga dipenuhi pertanyaan. “Apa semua ini? Pulau ini… kau… apakah ini nyata?” Celeste tertawa kecil, tapi tidak menjawab langsung. “Terkadang, kenyataan lebih rumit dari yang kita pikirkan. Tapi kau sudah melakukan bagianmu, Arden. Sekarang pulau ini bisa tenang.” Ruangan itu mulai memudar, dan Arden merasakan tubuhnya terasa ringan, seperti sedang ditarik keluar dari tempat itu. Sebelum semuanya hilang, dia mendengar suara Celeste sekali lagi. “Jangan pernah takut menghadapi bayang-bayangmu. Di balik tirai malam, selalu ada cahaya.” Arden membuka matanya dengan terengah-engah. Udara dingin menerpa wajahnya, membawa aroma asin laut yang khas. Dia mendapati dirinya terbaring di pantai, pasir basah menempel di tangannya. Langit di atasnya cerah, biru tanpa awan, seolah semua kegelapan sebelumnya hanyalah mimpi buruk. Dia bangkit perlahan, mengusap pasir dari tubuhnya sambil memandangi sekeliling. Tidak ada tanda-tanda pulau misterius itu, tidak ada reruntuhan rumah besar, tidak ada Celeste, dan tidak ada tamu lainnya. Hanya ombak yang tenang, burung camar yang beterbangan, dan sebuah perahu kecil yang terdampar beberapa meter darinya. "Pulau itu... semuanya nyata, bukan?" pikir Arden, mencoba mencari jawaban dalam ingatannya. Tapi sebelum dia bisa mencerna lebih jauh, dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. “Arden?” Arden berbalik cepat. Di sana berdiri seorang pria berpakaian sederhana, dengan wajah penuh kekhawatiran. Arden mengenali pria itu—Lucas, teman lamanya yang mengundangnya ke perjalanan ini. “Lucas?” Arden menyipitkan mata, masih bingung. “Apa yang terjadi? Bagaimana aku sampai di sini?” Lucas menatapnya heran. “Itu yang harusnya kutanyakan. Kami mencarimu sepanjang malam. Kau menghilang begitu saja dari perahu, dan pagi ini kami menemukannya terdampar di sini. Semua baik-baik saja?” Arden ingin menjelaskan apa yang terjadi—tentang pulau itu, tentang Celeste, dan tentang bayang-bayangnya sendiri. Tapi ketika dia membuka mulutnya, dia ragu. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dia sendiri masih sulit percaya? “Ya,” katanya akhirnya, dengan suara pelan. “Aku baik-baik saja.” Lucas menghela napas lega. “Bagus. Mari kita kembali ke desa. Semua orang khawatir tentangmu.” Mereka berdua berjalan menuju perahu. Namun, di tengah perjalanan, Arden berhenti. Dia menatap ombak yang menyapu pasir, seolah berharap ada tanda-tanda dari apa yang baru saja dia alami. Tapi tidak ada apa-apa—hanya pantai kosong yang sunyi. --- Beberapa Hari Kemudian Arden kembali ke rumahnya di kota kecil yang tenang. Dia mencoba menjalani kehidupannya seperti biasa, tapi bayangan pulau itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia bermimpi tentang Celeste, tamu-tamu lain, dan bayang-bayang besar yang hampir menelannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda sekarang. Meski kenangan itu gelap, Arden merasa lebih ringan. Seolah-olah beban yang dia pikul selama bertahun-tahun telah terangkat. Dia menghabiskan waktu berminggu-minggu menulis apa yang dia alami, mencoba mencatat setiap detail sebelum ingatannya memudar. Dalam tulisannya, dia menemukan pola yang menarik—pulau itu, Celeste, dan semua yang dia hadapi sepertinya tidak hanya berhubungan dengannya. Itu adalah cerita yang lebih besar, tentang manusia, rasa bersalah, dan bagaimana kita menghadapi masa lalu kita. --- Kunjungan Tak Terduga Pada suatu malam, saat hujan rintik-rintik membasahi jendela rumahnya, Arden mendengar ketukan di pintu depan. Dia mengernyit, jarang ada yang datang berkunjung pada jam seperti ini. Dia membuka pintu, dan seketika tubuhnya membeku. Di depan pintu berdiri seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan tatapan tajam. Dia mengenakan mantel hitam panjang yang basah oleh hujan. Meski tampak berbeda, Arden mengenali wanita itu. “Celeste?” bisiknya tak percaya. Wanita itu tersenyum tipis, meski ada kesan lelah di wajahnya. “Kita harus bicara, Arden.” Arden membiarkannya masuk, masih terlalu terkejut untuk bertanya. Celeste berdiri di ruang tamunya, mengamati rumah itu dengan pandangan datar. “Kau tidak seharusnya berada di sini,” kata Arden akhirnya. “Pulau itu… semuanya sudah berakhir, bukan?” Celeste menatapnya tajam. “Pulau itu memang sudah tenang, untuk saat ini. Tapi yang kau alami di sana hanya permulaan.” “Permulaan apa?” “Pulau itu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, Arden,” kata Celeste. “Sebuah jaring tempat semua rasa bersalah, ketakutan, dan rahasia manusia berkumpul. Kau mungkin telah mengatasi bayang-bayangmu, tapi kau baru menyentuh permukaan.” Arden merasa tenggorokannya kering. “Apa maksudmu? Kau bilang semuanya selesai.” Celeste menggeleng. “Kau adalah kunci untuk pulau itu, ya. Tapi ada tempat lain, tempat-tempat lain, yang juga membutuhkan kunci.” Dia melangkah mendekat, menatap Arden dengan intensitas yang hampir menakutkan. “Dan mereka sedang mencarimu.”Langit di atas Pulau Aravel selalu diselimuti kabut. Kabut yang lebat, pekat, dan dingin, seolah menyelimuti setiap sudut pulau dengan rahasia yang tak terucapkan. Arden berdiri di balkon kamarnya, memandangi dermaga kosong di kejauhan. Di atas permukaan air yang tenang, hanya pantulan lampu-lampu resor mewah itu yang berkedip samar. Di bawahnya, suara pelayan dan tamu-tamu resor terdengar, bercampur dalam gumaman yang sulit dipahami. Namun, Arden tidak tertarik untuk mendengarkan. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri—tentang alasan mengapa dia memilih tempat ini sebagai pelariannya. "Apa kau akan terus memandangi dermaga itu setiap malam?" Suara rendah, sedikit serak, menyentaknya dari lamunan. Arden menoleh. Di ambang pintu kaca, berdiri Marcus, manajer malam resor. Pria itu selalu mengenakan jas rapi dengan senyuman yang lebih seperti kedok daripada ekspresi ramah. "Aku hanya menikmati ketenangan," jawab Arden
Pagi itu, udara di Pulau Aravel terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut yang selalu menutupi pulau itu lebih tebal, seolah menambah kesan suram pada suasana. Arden berjalan menyusuri jalan setapak yang berbatu, menuju pantai yang sunyi, tempat di mana ia biasanya mencari ketenangan.Namun, hari ini berbeda. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengikatnya di tempat ini. Ia merasa seperti berada di dalam perangkap yang tak bisa ia lepaskan. Celeste, wanita misterius dengan tatapan penuh rahasia, terus mengganggu pikirannya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan wanita itu, meskipun mereka baru saja bertemu.Saat mencapai pantai, Arden melihat sosok pria yang familiar—Gabriel. Pria itu berdiri menghadap laut, dengan punggung tegak, seolah menantang angin yang menerpa tubuhnya. Ada ketenangan dalam dirinya yang tak dimiliki banyak orang. Namun, ada sesuatu yang gelap dalam pandangannya hari itu, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikiran
Ruangan terasa seperti membeku. Kata-kata Celeste, meskipun terdengar lembut, membawa beban yang membuat udara seolah menjadi lebih berat. Pertanyaan yang baru saja dia ajukan menggantung di udara, tak terjawab, namun menuntut perhatian semua orang di ruangan itu.Arden menatap Celeste, rahangnya mengeras. “Siapa yang paling kutakuti?” gumamnya, mengulang pertanyaan itu. “Aku tidak tahu. Tapi aku rasa kau tahu jawabannya lebih dari siapa pun.”Celeste tidak tersenyum kali ini. Tatapannya serius, bahkan hampir penuh empati, namun tetap memiliki nuansa misteri yang tak bisa diabaikan. “Ketakutan terbesar kita sering kali bukan pada orang lain, Arden,” katanya. “Tapi pada apa yang mereka cerminkan dari diri kita sendiri.”Kata-kata itu membuat Arden terdiam. Dia ingin melawan, ingin menyangkal, tetapi dia tahu Celeste benar. Semua ini bukan hanya tentang orang-orang di ruangan ini—ini tentang dirinya, tentang luka dan rahasia yang dia kubur begitu dalam hingg
Cahaya putih dari retakan di lantai semakin terang, hampir menyilaukan. Arden mencoba menutupi matanya sambil tetap berdiri tegak. Terasa seperti dunia di bawah mereka perlahan runtuh. Para tamu panik, suara teriakan dan langkah tergesa-gesa bergema di ruangan, tapi Celeste tetap berdiri diam, seolah tidak terpengaruh oleh kekacauan di sekitarnya.“Celeste!” seru Arden, suaranya tajam, mengalahkan gemuruh di ruangan itu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kau maksud aku adalah kunci?”Celeste menoleh, wajahnya tetap tenang. “Arden, sejak awal, kau bukan hanya pengamat di sini. Kau adalah bagian dari pulau ini, seperti aku dan yang lainnya. Pulau ini mengenalmu. Masa lalumu adalah benih dari apa yang terjadi di sini.”Arden bingung, tapi tidak sempat bertanya lebih jauh ketika tanah di bawah mereka mulai runtuh, membentuk jurang besar yang perlahan menelan para tamu satu per satu. Mereka yang berdiri terlalu dekat dengan retakan jatuh ke dalam kegelapan
Ruangan terasa seperti membeku. Kata-kata Celeste, meskipun terdengar lembut, membawa beban yang membuat udara seolah menjadi lebih berat. Pertanyaan yang baru saja dia ajukan menggantung di udara, tak terjawab, namun menuntut perhatian semua orang di ruangan itu.Arden menatap Celeste, rahangnya mengeras. “Siapa yang paling kutakuti?” gumamnya, mengulang pertanyaan itu. “Aku tidak tahu. Tapi aku rasa kau tahu jawabannya lebih dari siapa pun.”Celeste tidak tersenyum kali ini. Tatapannya serius, bahkan hampir penuh empati, namun tetap memiliki nuansa misteri yang tak bisa diabaikan. “Ketakutan terbesar kita sering kali bukan pada orang lain, Arden,” katanya. “Tapi pada apa yang mereka cerminkan dari diri kita sendiri.”Kata-kata itu membuat Arden terdiam. Dia ingin melawan, ingin menyangkal, tetapi dia tahu Celeste benar. Semua ini bukan hanya tentang orang-orang di ruangan ini—ini tentang dirinya, tentang luka dan rahasia yang dia kubur begitu dalam hingg
Pagi itu, udara di Pulau Aravel terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut yang selalu menutupi pulau itu lebih tebal, seolah menambah kesan suram pada suasana. Arden berjalan menyusuri jalan setapak yang berbatu, menuju pantai yang sunyi, tempat di mana ia biasanya mencari ketenangan.Namun, hari ini berbeda. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengikatnya di tempat ini. Ia merasa seperti berada di dalam perangkap yang tak bisa ia lepaskan. Celeste, wanita misterius dengan tatapan penuh rahasia, terus mengganggu pikirannya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan wanita itu, meskipun mereka baru saja bertemu.Saat mencapai pantai, Arden melihat sosok pria yang familiar—Gabriel. Pria itu berdiri menghadap laut, dengan punggung tegak, seolah menantang angin yang menerpa tubuhnya. Ada ketenangan dalam dirinya yang tak dimiliki banyak orang. Namun, ada sesuatu yang gelap dalam pandangannya hari itu, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikiran
Langit di atas Pulau Aravel selalu diselimuti kabut. Kabut yang lebat, pekat, dan dingin, seolah menyelimuti setiap sudut pulau dengan rahasia yang tak terucapkan. Arden berdiri di balkon kamarnya, memandangi dermaga kosong di kejauhan. Di atas permukaan air yang tenang, hanya pantulan lampu-lampu resor mewah itu yang berkedip samar. Di bawahnya, suara pelayan dan tamu-tamu resor terdengar, bercampur dalam gumaman yang sulit dipahami. Namun, Arden tidak tertarik untuk mendengarkan. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri—tentang alasan mengapa dia memilih tempat ini sebagai pelariannya. "Apa kau akan terus memandangi dermaga itu setiap malam?" Suara rendah, sedikit serak, menyentaknya dari lamunan. Arden menoleh. Di ambang pintu kaca, berdiri Marcus, manajer malam resor. Pria itu selalu mengenakan jas rapi dengan senyuman yang lebih seperti kedok daripada ekspresi ramah. "Aku hanya menikmati ketenangan," jawab Arden