Ruangan terasa seperti membeku. Kata-kata Celeste, meskipun terdengar lembut, membawa beban yang membuat udara seolah menjadi lebih berat. Pertanyaan yang baru saja dia ajukan menggantung di udara, tak terjawab, namun menuntut perhatian semua orang di ruangan itu.
Arden menatap Celeste, rahangnya mengeras. “Siapa yang paling kutakuti?” gumamnya, mengulang pertanyaan itu. “Aku tidak tahu. Tapi aku rasa kau tahu jawabannya lebih dari siapa pun.” Celeste tidak tersenyum kali ini. Tatapannya serius, bahkan hampir penuh empati, namun tetap memiliki nuansa misteri yang tak bisa diabaikan. “Ketakutan terbesar kita sering kali bukan pada orang lain, Arden,” katanya. “Tapi pada apa yang mereka cerminkan dari diri kita sendiri.” Kata-kata itu membuat Arden terdiam. Dia ingin melawan, ingin menyangkal, tetapi dia tahu Celeste benar. Semua ini bukan hanya tentang orang-orang di ruangan ini—ini tentang dirinya, tentang luka dan rahasia yang dia kubur begitu dalam hingga dia sendiri takut untuk menatapnya. Namun sebelum Arden sempat menjawab, suara langkah kaki yang berat terdengar. Gabriel muncul dari bayang-bayang, melangkah masuk ke tengah ruangan dengan kehadiran yang begitu kuat. Meskipun mengenakan topeng, postur tubuh dan caranya membawa diri membuat semua orang tahu siapa dia. “Pertanyaannya sederhana,” kata Gabriel dengan suara beratnya. “Tapi jawabannya jarang mudah.” Dia berjalan mendekati meja, tangannya terulur untuk mengambil kartu lain dari kotak. Dia membacanya pelan, lalu menatap Celeste. “Pertanyaan ini untuk semua orang.” Celeste mengangkat alis, seolah-olah tidak menduga langkah itu. Namun dia mengangguk, memberi isyarat agar Gabriel melanjutkan. Gabriel membaca keras-keras: “Apa kebenaran yang paling kau sembunyikan dari dunia?” Ruangan kembali hening. Pertanyaan itu menghantam seperti gelombang, menyapu semua orang dengan rasa takut dan kegelisahan. Para tamu saling bertukar pandang di balik topeng mereka. Bahkan mereka yang terlihat percaya diri sebelumnya kini tampak goyah. “Kita semua harus menjawab,” kata Gabriel tegas. “Jika kita ingin permainan ini memiliki arti.” Celeste tersenyum tipis, tampak puas dengan inisiatif Gabriel. Dia melangkah mundur, memberikan ruang bagi setiap orang untuk berbicara. “Siapa yang ingin mulai?” tanyanya dengan nada hampir main-main. Tidak ada yang berbicara. Arden memandang sekeliling, merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Dia tahu, jika dia ingin maju, dia harus melakukannya sekarang. “Aku sudah memberikan jawabanku,” katanya akhirnya, memecah keheningan. “Tentang apa yang aku lakukan. Tentang kematian adikku.” Dia menatap Celeste dan Gabriel, suaranya semakin tegas. “Tapi ini bukan hanya tentangku. Kalian semua juga ada di sini untuk alasan yang sama.” Gabriel tersenyum samar, lalu melangkah maju. “Kau benar, Arden,” katanya. “Malam ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang kita semua.” Dia melepas topengnya, memperlihatkan wajahnya yang penuh luka dan garis-garis usia. “Aku datang ke sini untuk menghadapi sesuatu yang selama ini menghantuiku. Kebenaranku adalah… aku kehilangan keluargaku. Dan aku membiarkan mereka mati karena aku terlalu pengecut untuk bertindak.” Semua mata tertuju pada Gabriel. Tidak ada yang berani berbicara, hingga akhirnya Celeste mengambil langkah maju, suaranya tenang namun penuh makna. “Malam ini, setiap kita akan menghadapi bayang-bayang kita. Tapi ingatlah,” katanya, menatap setiap orang di ruangan itu, “kebenaran selalu punya konsekuensi.” Arden merasa udara di ruangan itu semakin menyesakkan. Celeste tampak begitu menguasai keadaan, seolah-olah dia tahu bagaimana malam ini akan berakhir. Dia melihat para tamu lain mulai berbicara satu per satu, mengungkap rahasia mereka, kebenaran mereka yang selama ini disembunyikan. Namun, semakin banyak rahasia yang terungkap, semakin jelas bahwa ada pola di antara mereka. Sebagian besar dari mereka memiliki hubungan dengan seseorang yang hilang, yang meninggal, atau yang mereka tinggalkan. Seolah-olah Pulau Aravel adalah tempat bagi mereka yang mencari penebusan atas kehilangan dan kesalahan. Ketika giliran Celeste tiba, dia berdiri tegak, senyum kecil bermain di bibirnya. Dia menatap Arden, seolah-olah berbicara langsung padanya meskipun suaranya diarahkan ke seluruh ruangan. “Kebenaran yang kusimpan,” katanya pelan, “adalah aku tidak ada di sini untuk mencari jawaban. Aku sudah tahu jawabannya. Aku ada di sini untuk menunjukkan kepada kalian… bahwa tidak ada yang bisa lari dari masa lalu mereka.” Kata-kata itu menghantam Arden seperti petir. Dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang dimainkan di sini, sesuatu yang melibatkan Celeste dan mungkin seluruh pulau ini. Namun sebelum dia bisa mengatakan apa pun, lampu di ruangan itu tiba-tiba padam. Lilin-lilin di meja bergetar, lalu padam satu per satu, meninggalkan kegelapan total. Suara langkah kaki dan bisikan mulai terdengar, namun tidak ada yang tahu dari mana asalnya. Arden merasakan ketakutan menjalar di punggungnya. Dia mencoba mencari Celeste, namun dalam kegelapan, dia tidak bisa melihat apa-apa. Suara Gabriel terdengar samar, namun terputus-putus, seolah-olah dia sedang berjuang melawan sesuatu. Lalu, sebuah suara yang sangat pelan namun jelas terdengar di telinga Arden. “Arden… waktumu hampir habis.” Itu suara Celeste. Tapi dia tidak tahu dari mana suara itu berasal. Kegelapan pekat menyelimuti ruangan, hanya disertai suara-suara samar seperti langkah kaki dan napas tergesa-gesa. Arden berdiri mematung, jantungnya berdegup kencang saat suara Celeste tadi masih menggema di pikirannya. "Waktumu hampir habis." Dia mengulurkan tangan, mencoba meraba sekeliling. Udara terasa berat, hampir sulit dihirup, dan keheningan dipecahkan oleh jeritan samar dari salah satu tamu. "Ada yang menyentuhku!" seseorang berseru, suaranya gemetar. Tiba-tiba, satu lilin menyala di ujung ruangan, cahayanya kecil namun cukup untuk memberikan pandangan samar. Lilin itu berdiri di atas meja tengah, di mana kotak kartu sebelumnya diletakkan. Celeste berdiri di dekat lilin, wajahnya kembali terlihat meski sebagian tertutup bayang-bayang. “Tenang,” katanya, suaranya penuh kendali. “Kegelapan hanya mengungkap apa yang kalian coba sembunyikan. Malam ini adalah tentang menghadapi apa yang tidak berani kalian lihat.” “Cukup dengan permainan ini!” seru Gabriel dari sisi lain ruangan. Dia terlihat marah, dengan tangan mengepal. “Apa sebenarnya yang kau rencanakan, Celeste?” Celeste menatapnya dengan senyum samar, lalu melangkah maju ke tengah ruangan. “Aku tidak merencanakan apa pun, Gabriel. Kalian semua yang memilih untuk datang ke sini. Kalian yang membawa diri kalian ke tempat ini, ke permainan ini. Aku hanya membimbing.” “Tapi untuk apa?” kata Arden, akhirnya berbicara. Dia melangkah maju, meskipun tubuhnya masih tegang. “Apa tujuanmu mengungkap semua ini? Apa hubungannya denganku? Dengan kita semua?” Celeste menatap Arden, tatapannya tajam namun tidak menghakimi. “Pulau ini bukan sembarang tempat, Arden. Ini adalah tempat di mana masa lalu bertemu dengan masa kini, di mana dosa-dosa yang kau pikir sudah terlupakan kembali menghantuimu.” Sebelum ada yang bisa bertanya lebih jauh, lantai di bawah mereka mulai bergetar, dan udara dipenuhi suara gemuruh rendah. Lilin di tengah meja bergoyang, cahayanya hampir padam. Celeste hanya berdiri diam, sementara para tamu mulai panik. “Apa yang terjadi?!” salah satu tamu berteriak. Celeste mengangkat tangannya, meminta semua orang diam. “Tenang. Ini hanya bagian dari perjalanan kalian.” Tiba-tiba, dinding ruangan mulai berubah. Lukisan-lukisan yang sebelumnya menghiasi dinding tampak mencair, seperti tinta yang perlahan mengalir. Di baliknya, sebuah pemandangan terbuka—hutan gelap dengan pepohonan yang menjulang tinggi, diterangi cahaya bulan pucat. Arden merasakan tubuhnya bergetar. Ini bukan lagi ruang biasa. Seolah-olah mereka telah dipindahkan ke dimensi lain, di mana batas antara kenyataan dan ilusi tidak lagi jelas. “Selamat datang di inti dari Tirai Malam,” kata Celeste, suaranya tenang namun penuh otoritas. “Di sini, kebenaran tidak bisa disembunyikan. Setiap dosa, setiap luka, setiap rahasia yang kalian bawa akan terlihat jelas.” Para tamu saling memandang, sebagian terlihat ketakutan, sementara yang lain mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Gabriel melangkah maju, ekspresi wajahnya penuh amarah. “Ini sudah cukup!” katanya. “Kami tidak datang ke sini untuk dipermainkan. Jika kau tidak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, aku akan memaksamu!” Celeste hanya mengangkat alis. “Kau ingin tahu apa yang terjadi, Gabriel? Baiklah.” Dia melangkah mendekat, wajahnya kini hanya beberapa inci dari Gabriel. “Katakan padaku, apa yang kau lihat di hutan itu? Apa yang kau sembunyikan selama ini?” Gabriel membuka mulutnya untuk membalas, tapi tidak ada suara yang keluar. Matanya melebar, dan tubuhnya tampak membeku. Arden melihatnya gemetar, seperti seseorang yang baru saja dihadapkan pada mimpi buruk terbesarnya. Seketika, bayangan besar muncul di belakang Gabriel, tinggi dan menyeramkan. Bentuknya seperti manusia, tapi wajahnya tidak jelas, hanya berupa kegelapan yang terus bergerak. Bayangan itu mendekat, melingkarkan "tangan" yang panjang di sekitar Gabriel. “Tidak… tidak…” Gabriel bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan. Celeste berdiri di samping, tidak bergerak, hanya mengamati. “Bayang-bayangmu, Gabriel,” katanya dengan suara pelan. “Itu yang kau takuti selama ini.” Bayangan itu tiba-tiba menarik Gabriel ke hutan, meninggalkan para tamu yang terpaku dalam ketakutan. Arden ingin bergerak, ingin menghentikannya, tapi tubuhnya terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya. “Kita harus pergi dari sini,” bisik salah satu tamu. “Ini bukan permainan. Ini neraka.” “Tapi tidak ada jalan keluar,” kata Celeste, nadanya tetap tenang. “Tidak sampai kalian menghadapi apa yang ada di dalam diri kalian. Sama seperti Gabriel, kalian semua punya bayang-bayang yang menunggu untuk ditemukan.” Arden menatap Celeste dengan marah. “Kau tahu sesuatu yang tidak kami tahu. Apa sebenarnya tempat ini? Dan apa peranmu dalam semua ini?” Celeste tersenyum tipis, lalu berbalik menghadap Arden. “Aku hanya pembimbing, Arden. Tapi kau… kau adalah kunci.” “Kunci untuk apa?” Arden bertanya, suaranya meninggi. Celeste mendekat, lalu berbisik, “Untuk menghancurkan atau menyelamatkan pulau ini. Semuanya tergantung padamu.” Sebelum Arden bisa merespons, dia merasa ruangan itu kembali bergetar. Kali ini, tanah di bawahnya mulai retak, dan cahaya putih yang menyilaukan muncul dari celah-celahnya. Para tamu berteriak, beberapa mencoba berlari, namun tidak ada tempat untuk pergi. Celeste hanya berdiri diam, menatap Arden dengan ekspresi tenang namun penuh arti. “Waktumu hampir habis, Arden. Pilihan ada di tanganmu.”Cahaya putih dari retakan di lantai semakin terang, hampir menyilaukan. Arden mencoba menutupi matanya sambil tetap berdiri tegak. Terasa seperti dunia di bawah mereka perlahan runtuh. Para tamu panik, suara teriakan dan langkah tergesa-gesa bergema di ruangan, tapi Celeste tetap berdiri diam, seolah tidak terpengaruh oleh kekacauan di sekitarnya.“Celeste!” seru Arden, suaranya tajam, mengalahkan gemuruh di ruangan itu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kau maksud aku adalah kunci?”Celeste menoleh, wajahnya tetap tenang. “Arden, sejak awal, kau bukan hanya pengamat di sini. Kau adalah bagian dari pulau ini, seperti aku dan yang lainnya. Pulau ini mengenalmu. Masa lalumu adalah benih dari apa yang terjadi di sini.”Arden bingung, tapi tidak sempat bertanya lebih jauh ketika tanah di bawah mereka mulai runtuh, membentuk jurang besar yang perlahan menelan para tamu satu per satu. Mereka yang berdiri terlalu dekat dengan retakan jatuh ke dalam kegelapan
Langit di atas Pulau Aravel selalu diselimuti kabut. Kabut yang lebat, pekat, dan dingin, seolah menyelimuti setiap sudut pulau dengan rahasia yang tak terucapkan. Arden berdiri di balkon kamarnya, memandangi dermaga kosong di kejauhan. Di atas permukaan air yang tenang, hanya pantulan lampu-lampu resor mewah itu yang berkedip samar. Di bawahnya, suara pelayan dan tamu-tamu resor terdengar, bercampur dalam gumaman yang sulit dipahami. Namun, Arden tidak tertarik untuk mendengarkan. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri—tentang alasan mengapa dia memilih tempat ini sebagai pelariannya. "Apa kau akan terus memandangi dermaga itu setiap malam?" Suara rendah, sedikit serak, menyentaknya dari lamunan. Arden menoleh. Di ambang pintu kaca, berdiri Marcus, manajer malam resor. Pria itu selalu mengenakan jas rapi dengan senyuman yang lebih seperti kedok daripada ekspresi ramah. "Aku hanya menikmati ketenangan," jawab Arden
Pagi itu, udara di Pulau Aravel terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut yang selalu menutupi pulau itu lebih tebal, seolah menambah kesan suram pada suasana. Arden berjalan menyusuri jalan setapak yang berbatu, menuju pantai yang sunyi, tempat di mana ia biasanya mencari ketenangan.Namun, hari ini berbeda. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengikatnya di tempat ini. Ia merasa seperti berada di dalam perangkap yang tak bisa ia lepaskan. Celeste, wanita misterius dengan tatapan penuh rahasia, terus mengganggu pikirannya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan wanita itu, meskipun mereka baru saja bertemu.Saat mencapai pantai, Arden melihat sosok pria yang familiar—Gabriel. Pria itu berdiri menghadap laut, dengan punggung tegak, seolah menantang angin yang menerpa tubuhnya. Ada ketenangan dalam dirinya yang tak dimiliki banyak orang. Namun, ada sesuatu yang gelap dalam pandangannya hari itu, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikiran
Cahaya putih dari retakan di lantai semakin terang, hampir menyilaukan. Arden mencoba menutupi matanya sambil tetap berdiri tegak. Terasa seperti dunia di bawah mereka perlahan runtuh. Para tamu panik, suara teriakan dan langkah tergesa-gesa bergema di ruangan, tapi Celeste tetap berdiri diam, seolah tidak terpengaruh oleh kekacauan di sekitarnya.“Celeste!” seru Arden, suaranya tajam, mengalahkan gemuruh di ruangan itu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kau maksud aku adalah kunci?”Celeste menoleh, wajahnya tetap tenang. “Arden, sejak awal, kau bukan hanya pengamat di sini. Kau adalah bagian dari pulau ini, seperti aku dan yang lainnya. Pulau ini mengenalmu. Masa lalumu adalah benih dari apa yang terjadi di sini.”Arden bingung, tapi tidak sempat bertanya lebih jauh ketika tanah di bawah mereka mulai runtuh, membentuk jurang besar yang perlahan menelan para tamu satu per satu. Mereka yang berdiri terlalu dekat dengan retakan jatuh ke dalam kegelapan
Ruangan terasa seperti membeku. Kata-kata Celeste, meskipun terdengar lembut, membawa beban yang membuat udara seolah menjadi lebih berat. Pertanyaan yang baru saja dia ajukan menggantung di udara, tak terjawab, namun menuntut perhatian semua orang di ruangan itu.Arden menatap Celeste, rahangnya mengeras. “Siapa yang paling kutakuti?” gumamnya, mengulang pertanyaan itu. “Aku tidak tahu. Tapi aku rasa kau tahu jawabannya lebih dari siapa pun.”Celeste tidak tersenyum kali ini. Tatapannya serius, bahkan hampir penuh empati, namun tetap memiliki nuansa misteri yang tak bisa diabaikan. “Ketakutan terbesar kita sering kali bukan pada orang lain, Arden,” katanya. “Tapi pada apa yang mereka cerminkan dari diri kita sendiri.”Kata-kata itu membuat Arden terdiam. Dia ingin melawan, ingin menyangkal, tetapi dia tahu Celeste benar. Semua ini bukan hanya tentang orang-orang di ruangan ini—ini tentang dirinya, tentang luka dan rahasia yang dia kubur begitu dalam hingg
Pagi itu, udara di Pulau Aravel terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut yang selalu menutupi pulau itu lebih tebal, seolah menambah kesan suram pada suasana. Arden berjalan menyusuri jalan setapak yang berbatu, menuju pantai yang sunyi, tempat di mana ia biasanya mencari ketenangan.Namun, hari ini berbeda. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengikatnya di tempat ini. Ia merasa seperti berada di dalam perangkap yang tak bisa ia lepaskan. Celeste, wanita misterius dengan tatapan penuh rahasia, terus mengganggu pikirannya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan wanita itu, meskipun mereka baru saja bertemu.Saat mencapai pantai, Arden melihat sosok pria yang familiar—Gabriel. Pria itu berdiri menghadap laut, dengan punggung tegak, seolah menantang angin yang menerpa tubuhnya. Ada ketenangan dalam dirinya yang tak dimiliki banyak orang. Namun, ada sesuatu yang gelap dalam pandangannya hari itu, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikiran
Langit di atas Pulau Aravel selalu diselimuti kabut. Kabut yang lebat, pekat, dan dingin, seolah menyelimuti setiap sudut pulau dengan rahasia yang tak terucapkan. Arden berdiri di balkon kamarnya, memandangi dermaga kosong di kejauhan. Di atas permukaan air yang tenang, hanya pantulan lampu-lampu resor mewah itu yang berkedip samar. Di bawahnya, suara pelayan dan tamu-tamu resor terdengar, bercampur dalam gumaman yang sulit dipahami. Namun, Arden tidak tertarik untuk mendengarkan. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri—tentang alasan mengapa dia memilih tempat ini sebagai pelariannya. "Apa kau akan terus memandangi dermaga itu setiap malam?" Suara rendah, sedikit serak, menyentaknya dari lamunan. Arden menoleh. Di ambang pintu kaca, berdiri Marcus, manajer malam resor. Pria itu selalu mengenakan jas rapi dengan senyuman yang lebih seperti kedok daripada ekspresi ramah. "Aku hanya menikmati ketenangan," jawab Arden