Beranda / Thriller / Di Balik Tirai Malam / Menggali Luka Yang Tak Terlihat

Share

Menggali Luka Yang Tak Terlihat

last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 06:16:26

Pagi itu, udara di Pulau Aravel terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut yang selalu menutupi pulau itu lebih tebal, seolah menambah kesan suram pada suasana. Arden berjalan menyusuri jalan setapak yang berbatu, menuju pantai yang sunyi, tempat di mana ia biasanya mencari ketenangan.

Namun, hari ini berbeda. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengikatnya di tempat ini. Ia merasa seperti berada di dalam perangkap yang tak bisa ia lepaskan. Celeste, wanita misterius dengan tatapan penuh rahasia, terus mengganggu pikirannya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan wanita itu, meskipun mereka baru saja bertemu.

Saat mencapai pantai, Arden melihat sosok pria yang familiar—Gabriel. Pria itu berdiri menghadap laut, dengan punggung tegak, seolah menantang angin yang menerpa tubuhnya. Ada ketenangan dalam dirinya yang tak dimiliki banyak orang. Namun, ada sesuatu yang gelap dalam pandangannya hari itu, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikiran pria itu.

“Kau datang ke sini lagi,” kata Gabriel tanpa menoleh, seakan sudah mengetahui kedatangan Arden.

“Ya,” jawab Arden, mencoba mengendalikan napasnya. “Tapi hari ini rasanya berbeda. Semuanya terasa lebih berat.”

Gabriel berbalik dan melihatnya dengan mata yang seolah bisa melihat lebih dari sekadar apa yang ada di permukaan. “Semua orang yang datang ke pulau ini membawa sesuatu yang berat,” katanya, suaranya serak, namun dalam. “Bahkan kamu, Arden. Kau datang untuk menyembunyikan sesuatu. Dan aku rasa, akhirnya, itu akan terungkap.”

Arden terdiam. Kata-kata Gabriel menembus lapisan pertahanannya yang sudah lama ia bangun. “Apa maksudmu?”

Gabriel tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan dalam senyuman itu. “Tirai Malam bukan sekadar acara biasa. Itu adalah pintu untuk mengungkapkan sisi terdalam diri kita, sesuatu yang bahkan kita sendiri tidak ingin lihat.”

Arden mengalihkan pandangannya ke laut, mencoba mencerna kata-kata Gabriel. Ia merasakan ada kebenaran dalam apa yang dikatakan pria itu. Pulau ini—dan lebih khusus lagi, Tirai Malam—memiliki cara untuk menggali lebih dalam dari yang ia bayangkan.

“Semua orang di sini memiliki rahasia, Gabriel. Apa yang kau sembunyikan?” tanya Arden, menantang.

Gabriel hanya tertawa kecil. “Setiap orang punya bayang-bayang, Arden. Tapi, ada satu hal yang lebih mengerikan daripada bayang-bayang—rahasia yang tak pernah kita ungkapkan pada diri kita sendiri.”

Arden merasa seolah-olah dia sedang berbicara dengan seseorang yang lebih mengenal dirinya daripada dirinya sendiri. Ada kedalaman dalam kata-kata Gabriel yang sulit ia pahami, tetapi menariknya untuk terus mendengarkan.

“Malam ini, kau akan menemukan lebih banyak dari yang kau kira,” ujar Gabriel, sebelum berbalik dan berjalan menjauh.

Arden hanya berdiri diam, merasakan ada sesuatu yang menggelisahkan dalam dirinya. Sebelum ia bisa berpikir lebih lanjut, langkah-langkah kaki yang familiar mengarah padanya. Ia menoleh, dan untuk pertama kalinya, melihat Celeste lagi.

Wanita itu mengenakan gaun hitam yang elegan, dengan rambut panjang tergerai, tampak seperti bayangan di antara kabut. Tatapannya langsung menuju Arden, dan meskipun ia mengenakan topeng yang menghalangi sebagian wajahnya, mata mereka saling bertemu dengan intensitas yang mengejutkan.

“Selamat pagi, Arden,” kata Celeste, suaranya tenang namun penuh makna. “Malam itu, kau banyak diam. Apa yang kau sembunyikan?”

Arden merasa jantungnya berdebar. Ada sesuatu dalam tatapan Celeste yang menggetarkan, seolah-olah ia bisa melihat ke dalam dirinya lebih dalam daripada siapa pun yang pernah ia temui. “Aku tidak tahu apa yang kau maksud,” jawabnya, meskipun ia tahu kata-katanya terdengar tidak meyakinkan.

“Semua orang di sini membawa sesuatu yang mereka coba sembunyikan,” Celeste berkata pelan, mendekat. “Termasuk kamu, bukan?”

Arden merasa ada sesuatu yang mendalam dalam setiap kata Celeste. “Aku tidak ingin terlibat dalam permainan ini,” jawab Arden, mencoba untuk menghindari lebih banyak pertanyaan yang membuatnya semakin terperangkap.

Celeste hanya tersenyum tipis, senyuman yang menyiratkan pemahaman yang lebih dalam. “Terkadang, permainan ini bukan pilihan, Arden. Itu adalah sesuatu yang kita tak bisa hindari.”

Dengan satu gerakan, Celeste berbalik dan berjalan menjauh. Arden berdiri di sana, terdiam, mencoba memproses segala yang baru saja terjadi. Pulau ini—dengan kabutnya yang tak pernah hilang—mungkin memang lebih dari sekadar tempat pelarian. Setiap orang yang datang ke sini membawa lebih dari sekadar badan mereka. Mereka membawa rahasia yang bisa menghancurkan, atau mungkin menyembuhkan.

Namun, satu hal yang jelas: Arden tidak bisa lagi menghindar. Satu per satu, rahasia yang dia coba kubur akan muncul ke permukaan. Dan mungkin, hanya dengan menghadapinya, dia bisa akhirnya menemukan kedamaian.

Malam mulai turun di Pulau Aravel, dan langit kembali diselimuti kabut tebal. Lampu-lampu kecil di sekitar resor dinyalakan, menciptakan kilau samar yang membaur dengan kabut. Namun, malam ini terasa berbeda—lebih dingin, lebih sunyi, seolah-olah udara menahan sesuatu yang besar akan terjadi.

Arden berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, mengenakan setelan hitam sederhana. Topeng kulit gelap tergeletak di atas meja di depannya, siap dia kenakan untuk acara malam itu. Tirai Malam. Kata itu bergema di pikirannya, seperti sebuah undangan sekaligus peringatan.

Dia menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, bayangan tatapan Celeste di pantai tadi siang kembali menghantui. Wanita itu tidak hanya membangkitkan rasa ingin tahu—dia juga mengusik sisi dirinya yang selama ini Arden coba sembunyikan.

Ketukan pelan di pintu menyadarkannya. Arden berjalan menuju pintu dan membukanya. Marcus berdiri di sana, dengan senyum kecil di wajahnya, seperti biasa.

“Waktunya hampir tiba,” kata Marcus dengan nada tenang. “Semua sudah menunggu di ruang utama.”

Arden mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu mengambil topengnya dan memasangnya di wajah. Marcus memperhatikannya sejenak, seolah mencoba membaca pikirannya, sebelum akhirnya melangkah pergi.

Ketika Arden tiba di ruang utama, suasana di sana terasa mencekam. Para tamu sudah berkumpul, semuanya mengenakan topeng, wajah mereka tersembunyi di balik desain rumit dan penuh misteri. Lampu redup menciptakan bayangan yang menari di dinding, menambah atmosfer yang hampir seperti mimpi buruk.

Di tengah ruangan, sebuah meja panjang terhampar, dihiasi lilin-lilin yang berkelap-kelip. Di ujung meja, Celeste berdiri. Gaun hitamnya memantulkan cahaya lilin, dan topeng yang dia kenakan—dengan desain ukiran seperti akar pohon yang menjalar—memberinya aura yang tak bisa dijelaskan.

Arden merasa langkah kakinya tertahan ketika tatapan mereka bertemu. Bahkan dengan topeng, dia tahu itu adalah Celeste. Wanita itu mengangguk kecil, mengundangnya untuk mendekat.

“Selamat datang di Tirai Malam,” suara Celeste terdengar, lembut namun tajam, memecah keheningan. “Malam ini, kita tidak hanya memakai topeng. Kita juga akan melepaskannya, satu per satu.”

Para tamu saling berpandangan, beberapa terlihat gelisah. Arden tetap diam, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Celeste berjalan perlahan di sekitar meja, seperti seorang pemandu yang memimpin ritual. “Malam ini bukan hanya permainan. Ini adalah perjalanan untuk menemukan siapa kita sebenarnya—dan apa yang kita sembunyikan.”

Sebuah kotak kayu kecil diletakkan di tengah meja. Celeste membuka kotak itu, memperlihatkan selembar kartu-kartu kecil. Di setiap kartu tertulis satu pertanyaan, tetapi Arden tidak bisa melihat detailnya dari tempat dia berdiri.

“Setiap tamu akan mengambil satu kartu,” kata Celeste, suaranya rendah namun penuh otoritas. “Dan setiap jawaban yang diberikan akan membawa kita lebih dekat pada kebenaran.”

Satu per satu, para tamu mengambil kartu dari kotak itu. Ketika tiba giliran Arden, dia merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Dia meraih satu kartu, dan membacanya perlahan:

"Apa yang paling kau takutkan akan terungkap?"

Pertanyaan itu menusuknya seperti pisau. Dia merasakan gemuruh di dadanya, seolah-olah kartu itu mengetahui sesuatu yang bahkan dia sendiri coba lupakan.

“Silakan jawab,” kata Celeste, suaranya lembut namun menekan.

Arden menatap Celeste. Di balik topeng wanita itu, matanya seperti mengawasi setiap gerak-geriknya, menunggu jawaban yang mungkin akan mengubah segalanya.

“Aku takut… kehilangan kendali,” kata Arden akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Celeste mengangguk, seolah mengerti lebih dari yang Arden katakan. “Kehilangan kendali bisa menjadi mimpi buruk bagi banyak orang. Tapi terkadang, itu adalah satu-satunya cara untuk menemukan siapa diri kita sebenarnya.”

Permainan berlanjut, setiap tamu mengungkapkan bagian dari diri mereka yang tersembunyi di balik topeng. Namun, semakin malam, suasana semakin tegang. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin tajam, semakin dalam, menggali rahasia yang tak ingin diungkapkan.

Ketika permainan hampir selesai, sebuah pertanyaan muncul yang mengubah segalanya.

Celeste menarik kartu terakhir dari kotak itu, lalu membacanya dengan suara yang jelas. “Siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian yang kau bawa dalam hidupmu?”

Ruangan seketika hening. Semua mata tertuju pada Celeste, meskipun wajah mereka tersembunyi di balik topeng.

Namun, Celeste tidak mengarahkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Dia menatap langsung ke arah Arden.

“Pertanyaan ini… untukmu,” katanya, suaranya seperti belati yang menusuk.

Arden merasa tubuhnya membeku. Udara di sekelilingnya terasa menekan, dan dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindar lagi. Rahasia yang selama ini dia kubur dalam-dalam kini berada di ambang pengungkapan

Arden merasa setiap mata yang tersembunyi di balik topeng itu menatapnya, menunggu jawabannya. Suasana di ruangan semakin sunyi, bahkan suara lilin yang meleleh terasa seperti dentingan waktu yang memaksanya untuk berbicara.

Celeste berdiri tak jauh darinya, tatapan tajamnya menembus topeng Arden. Wanita itu tak berkata apa-apa, namun kehadirannya sendiri seolah mendesaknya untuk menghadapi pertanyaan yang menghantui hatinya.

“Aku… tidak tahu apa maksudmu,” Arden akhirnya berkata, suaranya bergetar.

Celeste mengangkat dagunya, senyum tipis terukir di wajahnya. “Oh, aku rasa kau tahu persis apa maksudku, Arden.”

Arden mengalihkan pandangannya ke meja. Semua tamu, dengan topeng mereka, hanya diam. Tidak ada yang membelanya, tidak ada yang menghentikan Celeste. Dia merasa seperti seorang terdakwa di tengah ruang sidang tanpa pengacara.

“Jawabanmu?” Celeste mendesaknya, nada suaranya begitu lembut namun penuh tekanan.

Arden menghela napas panjang. Kilasan masa lalu tiba-tiba menyerbu pikirannya. Malam itu, hujan deras, suara rem mobil, dan kemudian jeritan yang tidak pernah dia lupakan.

“Aku…” kata Arden, mencoba mengendalikan getaran suaranya. “Itu… bukan salahku.”

Seketika, ruangan terasa lebih dingin. Kata-katanya seperti pengakuan yang setengah hati, namun cukup untuk memicu perhatian semua orang di ruangan itu.

“Bukan salahmu?” Celeste bertanya dengan alis terangkat, nada suaranya penuh skeptisisme. “Lalu siapa? Jika bukan kau, siapa yang akan bertanggung jawab atas… apa pun itu yang kau coba lupakan?”

Arden menatapnya, terkejut oleh keakuratan pertanyaannya. Bagaimana Celeste tahu? Apa dia benar-benar tahu apa yang terjadi, atau ini hanya permainan psikologis untuk memancingnya berbicara?

Hening yang panjang melingkupi ruangan, hingga akhirnya Arden tidak bisa lagi menahan desakan itu. Dia berbicara, suaranya pelan namun penuh rasa sakit. “Itu… kecelakaan. Aku mengemudi. Aku tidak tahu dia ada di sana. Aku tidak bisa menghentikannya.”

Pengakuan itu membuat seluruh tubuhnya terasa lemah, seolah-olah dia baru saja melepaskan beban yang telah lama dia pikul. Namun, bukannya merasa lega, Arden merasa lebih tertekan. Semua mata kini tertuju padanya, dan Celeste tersenyum samar, seolah-olah dia telah memenangkan permainan.

“Siapa dia?” tanya Celeste, suaranya lembut namun menusuk.

Arden menatapnya tajam, hampir marah. “Kenapa kau ingin tahu? Apa kau menikmati ini?”

Celeste tidak gentar. Dia hanya mengangkat bahu kecil, lalu berkata, “Malam ini bukan soal aku, Arden. Ini soal kebenaran. Dan kebenaran itu tidak akan berhenti sampai kau menghadapinya sepenuhnya.”

Arden ingin marah, ingin membalas kata-kata Celeste, tapi dia tahu wanita itu benar. Luka itu belum pernah dia hadapi. Dia hanya menguburnya, berharap waktu akan menyembuhkan, meskipun dia tahu itu tidak pernah benar-benar terjadi.

“Namanya… Aline,” bisiknya akhirnya, nyaris tak terdengar. “Dia… adikku.”

Ruangan itu terasa semakin sunyi, bahkan napas pun seolah-olah tertahan. Arden tidak pernah mengatakan nama itu selama bertahun-tahun. Bahkan memikirkannya saja sudah cukup untuk membuat dadanya sesak. Tapi malam ini, di depan para tamu yang tak dia kenal, di depan Celeste, dia mengatakannya.

“Apa yang terjadi padanya?” Celeste bertanya lagi, nadanya lebih lembut, hampir seperti seorang teman.

Arden menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. “Itu kecelakaan. Aku mengemudi terlalu cepat… aku tidak melihat dia menyeberang. Aku mencoba menghentikan mobil, tapi sudah terlambat. Aku… aku membunuhnya.”

Kata-kata itu keluar seperti belati, menorehkan luka baru di hatinya. Arden menundukkan kepala, merasa tak sanggup menatap siapa pun.

Tiba-tiba, suara tepukan pelan memecah keheningan. Celeste bertepuk tangan sekali, langkahnya perlahan mendekati Arden.

“Kau tahu, Arden,” katanya, berhenti tepat di depannya. “Pengakuan adalah langkah pertama untuk melepaskan diri dari rasa bersalah. Tapi itu belum cukup.”

Arden mendongak, matanya yang berkaca-kaca menatap Celeste dengan bingung. “Apa maksudmu?”

Celeste hanya tersenyum samar. “Malam ini belum selesai. Ini baru permulaan.” Dia berbalik dan berjalan ke arah kotak kartu yang tadi diletakkan di meja.

“Semua orang di sini membawa beban, sama seperti dirimu, Arden. Tapi tidak semua orang memiliki keberanian untuk menghadapinya.” Dia memandang para tamu lain, lalu kembali pada Arden. “Kau lebih kuat dari yang kau kira. Dan malam ini, kau akan tahu mengapa kau di sini.”

Sebelum Arden bisa bertanya lebih jauh, Celeste mengangkat kartu lain dari kotak dan membacanya keras-keras.

"Siapa yang paling kau takuti di ruangan ini?”

Dia menatap Arden dengan intensitas yang tajam. Arden tahu, permainan ini baru saja meningkat ke level yang lebih menakutkan.

Bab terkait

  • Di Balik Tirai Malam    Bayang Bayang Yang Mengintai

    Ruangan terasa seperti membeku. Kata-kata Celeste, meskipun terdengar lembut, membawa beban yang membuat udara seolah menjadi lebih berat. Pertanyaan yang baru saja dia ajukan menggantung di udara, tak terjawab, namun menuntut perhatian semua orang di ruangan itu.Arden menatap Celeste, rahangnya mengeras. “Siapa yang paling kutakuti?” gumamnya, mengulang pertanyaan itu. “Aku tidak tahu. Tapi aku rasa kau tahu jawabannya lebih dari siapa pun.”Celeste tidak tersenyum kali ini. Tatapannya serius, bahkan hampir penuh empati, namun tetap memiliki nuansa misteri yang tak bisa diabaikan. “Ketakutan terbesar kita sering kali bukan pada orang lain, Arden,” katanya. “Tapi pada apa yang mereka cerminkan dari diri kita sendiri.”Kata-kata itu membuat Arden terdiam. Dia ingin melawan, ingin menyangkal, tetapi dia tahu Celeste benar. Semua ini bukan hanya tentang orang-orang di ruangan ini—ini tentang dirinya, tentang luka dan rahasia yang dia kubur begitu dalam hingg

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Di Balik Tirai Malam    Jalan Yang Tersisa

    Cahaya putih dari retakan di lantai semakin terang, hampir menyilaukan. Arden mencoba menutupi matanya sambil tetap berdiri tegak. Terasa seperti dunia di bawah mereka perlahan runtuh. Para tamu panik, suara teriakan dan langkah tergesa-gesa bergema di ruangan, tapi Celeste tetap berdiri diam, seolah tidak terpengaruh oleh kekacauan di sekitarnya.“Celeste!” seru Arden, suaranya tajam, mengalahkan gemuruh di ruangan itu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kau maksud aku adalah kunci?”Celeste menoleh, wajahnya tetap tenang. “Arden, sejak awal, kau bukan hanya pengamat di sini. Kau adalah bagian dari pulau ini, seperti aku dan yang lainnya. Pulau ini mengenalmu. Masa lalumu adalah benih dari apa yang terjadi di sini.”Arden bingung, tapi tidak sempat bertanya lebih jauh ketika tanah di bawah mereka mulai runtuh, membentuk jurang besar yang perlahan menelan para tamu satu per satu. Mereka yang berdiri terlalu dekat dengan retakan jatuh ke dalam kegelapan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Di Balik Tirai Malam    Kabut Yang Mengaburkan

    Langit di atas Pulau Aravel selalu diselimuti kabut. Kabut yang lebat, pekat, dan dingin, seolah menyelimuti setiap sudut pulau dengan rahasia yang tak terucapkan. Arden berdiri di balkon kamarnya, memandangi dermaga kosong di kejauhan. Di atas permukaan air yang tenang, hanya pantulan lampu-lampu resor mewah itu yang berkedip samar. Di bawahnya, suara pelayan dan tamu-tamu resor terdengar, bercampur dalam gumaman yang sulit dipahami. Namun, Arden tidak tertarik untuk mendengarkan. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri—tentang alasan mengapa dia memilih tempat ini sebagai pelariannya. "Apa kau akan terus memandangi dermaga itu setiap malam?" Suara rendah, sedikit serak, menyentaknya dari lamunan. Arden menoleh. Di ambang pintu kaca, berdiri Marcus, manajer malam resor. Pria itu selalu mengenakan jas rapi dengan senyuman yang lebih seperti kedok daripada ekspresi ramah. "Aku hanya menikmati ketenangan," jawab Arden

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09

Bab terbaru

  • Di Balik Tirai Malam    Jalan Yang Tersisa

    Cahaya putih dari retakan di lantai semakin terang, hampir menyilaukan. Arden mencoba menutupi matanya sambil tetap berdiri tegak. Terasa seperti dunia di bawah mereka perlahan runtuh. Para tamu panik, suara teriakan dan langkah tergesa-gesa bergema di ruangan, tapi Celeste tetap berdiri diam, seolah tidak terpengaruh oleh kekacauan di sekitarnya.“Celeste!” seru Arden, suaranya tajam, mengalahkan gemuruh di ruangan itu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kau maksud aku adalah kunci?”Celeste menoleh, wajahnya tetap tenang. “Arden, sejak awal, kau bukan hanya pengamat di sini. Kau adalah bagian dari pulau ini, seperti aku dan yang lainnya. Pulau ini mengenalmu. Masa lalumu adalah benih dari apa yang terjadi di sini.”Arden bingung, tapi tidak sempat bertanya lebih jauh ketika tanah di bawah mereka mulai runtuh, membentuk jurang besar yang perlahan menelan para tamu satu per satu. Mereka yang berdiri terlalu dekat dengan retakan jatuh ke dalam kegelapan

  • Di Balik Tirai Malam    Bayang Bayang Yang Mengintai

    Ruangan terasa seperti membeku. Kata-kata Celeste, meskipun terdengar lembut, membawa beban yang membuat udara seolah menjadi lebih berat. Pertanyaan yang baru saja dia ajukan menggantung di udara, tak terjawab, namun menuntut perhatian semua orang di ruangan itu.Arden menatap Celeste, rahangnya mengeras. “Siapa yang paling kutakuti?” gumamnya, mengulang pertanyaan itu. “Aku tidak tahu. Tapi aku rasa kau tahu jawabannya lebih dari siapa pun.”Celeste tidak tersenyum kali ini. Tatapannya serius, bahkan hampir penuh empati, namun tetap memiliki nuansa misteri yang tak bisa diabaikan. “Ketakutan terbesar kita sering kali bukan pada orang lain, Arden,” katanya. “Tapi pada apa yang mereka cerminkan dari diri kita sendiri.”Kata-kata itu membuat Arden terdiam. Dia ingin melawan, ingin menyangkal, tetapi dia tahu Celeste benar. Semua ini bukan hanya tentang orang-orang di ruangan ini—ini tentang dirinya, tentang luka dan rahasia yang dia kubur begitu dalam hingg

  • Di Balik Tirai Malam    Menggali Luka Yang Tak Terlihat

    Pagi itu, udara di Pulau Aravel terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut yang selalu menutupi pulau itu lebih tebal, seolah menambah kesan suram pada suasana. Arden berjalan menyusuri jalan setapak yang berbatu, menuju pantai yang sunyi, tempat di mana ia biasanya mencari ketenangan.Namun, hari ini berbeda. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengikatnya di tempat ini. Ia merasa seperti berada di dalam perangkap yang tak bisa ia lepaskan. Celeste, wanita misterius dengan tatapan penuh rahasia, terus mengganggu pikirannya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan wanita itu, meskipun mereka baru saja bertemu.Saat mencapai pantai, Arden melihat sosok pria yang familiar—Gabriel. Pria itu berdiri menghadap laut, dengan punggung tegak, seolah menantang angin yang menerpa tubuhnya. Ada ketenangan dalam dirinya yang tak dimiliki banyak orang. Namun, ada sesuatu yang gelap dalam pandangannya hari itu, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikiran

  • Di Balik Tirai Malam    Kabut Yang Mengaburkan

    Langit di atas Pulau Aravel selalu diselimuti kabut. Kabut yang lebat, pekat, dan dingin, seolah menyelimuti setiap sudut pulau dengan rahasia yang tak terucapkan. Arden berdiri di balkon kamarnya, memandangi dermaga kosong di kejauhan. Di atas permukaan air yang tenang, hanya pantulan lampu-lampu resor mewah itu yang berkedip samar. Di bawahnya, suara pelayan dan tamu-tamu resor terdengar, bercampur dalam gumaman yang sulit dipahami. Namun, Arden tidak tertarik untuk mendengarkan. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri—tentang alasan mengapa dia memilih tempat ini sebagai pelariannya. "Apa kau akan terus memandangi dermaga itu setiap malam?" Suara rendah, sedikit serak, menyentaknya dari lamunan. Arden menoleh. Di ambang pintu kaca, berdiri Marcus, manajer malam resor. Pria itu selalu mengenakan jas rapi dengan senyuman yang lebih seperti kedok daripada ekspresi ramah. "Aku hanya menikmati ketenangan," jawab Arden

DMCA.com Protection Status