"Sudah, Bang. Ini semua bukan kemauan Abang, saat itu ada sesuatu yang tengah mengendalikan Abang. Sekarang ayo dimakan buburnya."Hasan dengan tak rela mengurai pelukannya, dia sangat lega, yang berada bersamanya adalah istrinya sendiri, bagaimana jika wanita lain yang tengah bersamanya saat ini? Mungkin kehancuran yang akan dia jalani selama sisa hidupnya."Sini, aku suapi ya, Bang ...."Hasan mengangguk pelan, Aina dengan serius menyuapi suaminya, namun sesekali dia ikut memakannya. Perlahan, energi Hasan mulai terisi, seperti mainan robot yang baru dicas batere-nya."Kenapa kau bisa ke sini, Ai?" tanya Hasan akhirnya, tak ayal tentu dia sangat penasaran "Tadi malam aku ditelpon oleh pak Steven, katanya Abang ada di sini, aku disuruh langsung menuju kamar 102."Ah, orang itu lagi ... Kenapa orang itu selalu tepat waktu menyelamatkan dia dan Aina? Apakah ini kebetulan ataukan memang dia menguntit kemana kami pergi? Pemikiran itu hanya terlintas di kepala Hasan saja, dia tidak mungk
"Ayah?" gumam Steven.Begitulah Steven, dia tidak pernah memanggil Dave dengan sebutan yang sama seperti Duke, Daddy. Dia lebih nyaman memanggil dengan bahasa Indonesia, walau hanya ibunya yang Indonesia asli, dan wanita yang bergelar ibunya itu belum pernah dilihatnya seumur hidupnya, karena menghadap Ilahi ketika melahirkannya ke dunia."Om Steven! It is Surprise. Jadi selama ini Om berada di kota ini?" Laura bergelayut di tangan Steven ketika mereka telah berada di lift yang sama. Usia mereka yang hanya terpaut lima tahun, membuat mereka lebih terlihat seperti adik kakak daripada paman dan keponakan. "Steven, apa begini sikapmu bertemu dengan ayahmu? Kita sudah lama tidak bertemu? Entah berapa lama lagi ayah akan hidup di dunia ini."Dave tampak begitu kesal melihat sikap acuh tak acuh putra keduanya ini, memang sejak kecil Steven lebih banyak dibesarkan oleh pengasuh, dia sebagai ayahnya juga lebih banyak melakukan perjalanan bisnis ketimbang meluangkan waktu dengan putranya, se
Aina terbangun ketika hari sudah siang, dia segera mengambil HP di nakas dan menyalakan dayanya, tertera di layar HP pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gadis itu segera membangunkan suaminya, suhu tubuh Hasan sudah turun, terlihat keringat memenuhi dahinya, bajunya bahkan basah oleh keringat. Aina tersenyum lega, itu pertanda jika demam lelaki itu sudah berangsur membaik. "Bang, bangun sudah siang.""Jam berapa ini?""Jam setengah dua belas." "Oh iya, sudah siang ....""Bagaimana? Abang sudah baikan?""Iya, sudah mendingan. Aku akan menelpon ayah dulu, takutnya mister Dave ke rumah dia tidak ada," ujar Hasan beringsut mengambil HP dan menekan nomor HP pak Burhan.Lelaki di seberang sana menerima telpon putranya dengan acuh tak acuh, dia masih sangat sakit hati atas pemberontakan anaknya itu. "Siapa yang mau datang?""Mister Dave, dia temannya kakek, ayah masih ingat?""Oh? Mister Dave bule itu ya? Kupikir dia balik lagi ke Australia," ujar Hasan antusias."Dia investor yang akan
Aina sendiri juga ingat jika perlengkapan mandi di rumahnya sudah habis, dia akhirnya berbelok di mini market yang sama yang di masuki oleh Steven dan keluarganya.Ketika Aina mengambil keranjang belanjaan, saat itu Steven tengah menuju kasir, sebenarnya Steven hanya ingin menunggu di mobil saja, namun rasa haus membawanya untuk mencari minuman dingin di mini market. "Ai? Kau di sini?" tegur Steven ketika melihat Aina."Iya, Pak. Bapak sedang belanja?" Aina merasa sangat senang melihat Steven, gadis itu memiliki kesempatan untuk berterima kasih kepada dosennya itu."Aku hanya mencari manuman dingin. Apa kau baru pulang dari hotel? Kau tampak tidak baik-baik saja." Secara refleks Steven memeriksa dahi Aina, karena gadis itu tampak sedikit pucat. "Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih atas perhatian dan bantuan bapak, jika tidak karena informasi dari bapak, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada suami saya," ujar Aina berusaha menjauhkan diri dari lengan Steven dan meny
Di halaman rumah keluarga Latief, Burhanuddin dan Senopati Latief berdiri menyambut kedatangan tamu mereka, ketika mobil yang dikemudikan Hasan berhenti tepat di halaman, keduanya bahkan mendekat dan membukakan pintu mobil, menyambut Dave dengan hangat."Mister Dave, apa kabarnya?" jabat tangan Burhan dengan hangat."Burhan ... Saya sangat senang bisa bertemu kembali denganmu. Sudah sangat lama ya?" Dave memeluk Burhan dengan hangat, keduanya tersenyum dan tertawa bahagia."Aku tidak menyangka kalau Hasan itu anakmu, cucunya Zulfikar yang sering menanyakan aku bawa permen atau tidak."Hasan segera turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Laura, sedangkan Dave masih berbincang dengan gembira."Mister Dave ...," sapa Seno."Oh, Seno ... Apa kabar?" "Saya baik, mister Dave. Saya juga sudah lama tidak pulang ke rumah ayah saya ini, saya tinggal di Jakarta sekarang.""Really? Mampir dong ke Bandung, dekat lagi itu ....""Ah ya ... Siapa gadis cantik ini?" seru Burhan memindai Laura ya
"Bik Nur ... Bik Nur ... Tolong hidangkan es tehnya, Bik ...." Suara Halimah yang keras memanggil Nur, membuat Dave membeku, seluruh syarafnya tiba-tiba bergetar hebat, pembuluh darah tiba-tiba memompa darah menuju ke jantung lebih kuat berlipat-lipat sehingga jantungnya berpacu dan berdegup lebih cepat menciptakan debaran yang seolah menggedor-gedor dadanya. 'Nur?' Apakah nama itu sesuai dengan orang yang tengah dipikirkannya? Perasaan Dave tiba-tiba menjadi gugup, wajahnya mendongak ke arah dapur, penasaran dengan siapa yang akan muncul di sana. Tiba-tiba perasaannya menjadi ambyar ketika melihat seorang remaja laki-laki keluar dari pintu dapur membawa sebuah baki berisi beberapa gelas besar minuman dingin, pemuda kecil itu dengan sopan meletakkan gelas satu persatu di depan tamu. "Mamak kau di mana, Dito?" tanya Halimah sambil membantu remaja itu meletakkan minuman dingin tersebut. "Sedang menyiapkan asinan buah sama puding, Bu," jawab Dito dengan sopan dan segera mengundurk
Mereka tertawa dengan candaan-candaan itu, tanpa menyadari ada dua pasang mata yang terbelalak, kedua bibir mereka bahkan gemetar, ada banyak kata yang ingin diucapkan, ada banyak rasa yang ingin diluapkan, namun pertemuan mendadak ini juga membuat jantung mereka seolah berhenti berdetak seketika, seolah waktu berhenti berputar, keributan dan kebisingan di sekitar mereka tak terdengar di telinga mereka, senyap ... Yang terdengar hanya detak jantung seperti detak perputaran jarum jam yang mengunci kedua pasang netra mereka untuk terus menatap."Nurlela ...," gumam Dave dengan suara bergetar.'Mister Dave ....'Nur sendiri tidak hanya mampu membisikkan nama itu dalam hati, pertemuan ini terlalu mendadak, Nur sama sekali tidak siap, seolah seluruh perasaan yang terpendam di hatinya tercerabut paksa dalan dirinya, membuat mata Nur yang berkaca-kaca tak bisa mempertahankan bulir bening itu, akhirnya lolos seperti air bah, wanita itu tak bisa bertahan lama di tempatnya berdiri, dengan gugup
"Nurlela ...."Panggilan lelaki itu mengisyaratkan kerinduan yang begitu dalam. Dave memindai wanita yang berdiri di depannya, wanita itu semakin menua, namun kecantikannya tidak tergerus oleh waktu, tatapan matanya yang teduh dan sendu, tatapan mata yang membuatnya tergila-gila setengah mati itu masih tetap memancarkan binar yang sama. "Dave ...," gumam Nur, tak tahan air mata kembali lolos ke pipinya."Nur ... Sudah lama sekali, aku sangat merindukanmu."Tangan keriput itu mengusap air mata yang mengalir di pipi Nur dengan gemetar, Dave sendiri tidak bisa menahan air matanya, sudut-sudut mata tuanya mengenang air bening itu. "Nur, ke mana saja kau selama ini? Dua puluh tahun yang lalu, aku mencarimu ke mana-mana, kau hilang bagai ditelan bumi. Setelah kembali ke Jakarta, tiga Minggu kemudian aku datang ke lokalisasi, kata si Marta, kau sudah pergi dari sana ...," ujar Dave dengan suara gemetar dan serak.Nur mendongakkan wajahnya, memandang lelaki itu dengan terkejut? Benarkah? Ap