Nur melangkah dengan kaki gemetar kembali ke dapur, pertemuannya dengan Dave masih memberi efek kejut, apalagi mendengar perkataan lelaki itu membuat hatinya bertambah sesak. Sangat kebetulan Dito datang menemuinya sehingga anak itulah yang membawa kopi itu ke meja ruang tamu. Hari sudah menjelang sore, pada tamu sudah pulang. Hasan kembali mengantarkan mereka, tubuhnya sudah lebih baik, hanya saja dia benar-benar ingin pulang, jauh sebentar saja dari Aina membuatnya sudah gelisah tidak karuan. Laura masih duduk di bangku penumpang depan, bersebelahan dengan Hasan. Kondisi itu membuat Burhan sangat senang. Hasan bukannya tidak tahu apa yang dipikirkan ayahnya itu, dia sudah hapal luar kepala ekspresi yang dipantulkan lelaki paruh baya itu, membuatnya sedikit kesal. Mau menjodohkanku dengan Laura? Ngimpi! Haris tumben-tumbennya dengan semangat mengantarkan Laura, dia bahkan berbisik dengan provokatif ke arah gadis itu. "Ra, jagain Abang aku ya? Jangan sampai dia jatuh," candanya
"Duduklah ...," ujar Dave menunjuk ke sebuah sofa.Nur dengan perlahan menghenyakkan pantatnya ke sofa yang sangat empuk itu, sementara Dave menuju lemari pendingin mengambil dua botol minuman cola dan air mineral dan dua buah gelas yang langsung di letakkan di atas meja."Minum dulu, Nur. Pasti kamu haus, mau minum apa?""Air putih saja."Dave menuangkan air putih dingin itu ke dalam gelas dan memberikan pada Nur, wanita itu menerimanya dan menyesap minumannya perlahan, sementara Dave akan membuka minuman soda."Jangan terlalu banyak mengkonsumsi minuman soda, tidak baik untuk kesehatanmu."Tangan Dave yang siap memutar tutup botol, urung melakukannya. Dia juga menuang air mineral ke dalam gelasnya, meminum dengan sekali teguk.Dave memandangi Nur dengan intens, keheningan mencekam diantara mereka cukup lama, hingga suara helaan napas Dave terdengar begitu berat."Nur ....""Ya?""Aku sangat merindukanmu."Ada gelayar halus yang menyusup di hati Nur mendengar pernyataan terus terang
"Oh my God ... Oh my God ... Really? Benarkah?" Dave sangat terkejut, dia bahkan berdiri dari duduknya, dengan gugup dia berjalan mondar-mandir bahkan memegang kepalanya. Kabar ini sungguh mengejutkannya, betapa kejamnya takdir, dua puluh tahun dia terpisah dengan buah hati yang diharapkan dari wanita yang sangat dia cintai. "Ya. Itu anakmu, Dave. She is daughter." "What?" Dave terlihat begitu shock, seorang putri? Dia sangat mendambakannya. Selama hidupnya dia sangat mendambakan seorang putri cantik yang sangat menggemaskan, manja dan manis. Dave tentu akan memanjakan putri kecil seperti itu, menjadi pelipur hati dan hiburan diri. Memiliki dua putra yang keras kepala membuatnya selalu frustasi, kedua putranya bahkan tidak akur. Duke dengan sikap arogan dan mau menang sendiri, Steven yang selalu bersikap dingin dan sulit didekati, selalu membuat emosinya tidak stabil. Untung ada Laura yang sangat manja padanya, sehingga selama ini Dave sangat menyayanginya lebih dari siapapun di d
"Kau harus tahu, Dave. Putra keluarga Latief itu membantu Aina bukan karena apa-apa, dia berkorban demikian besar karena dia sangat mencintai Putri kita, dia tidak tahu jika Aina itu sangat cantik, dia hanya tahu Aina dalam tampilan buruk rupa, tetapi dia sudah jatuh cinta pada Putri kita, bukankah itu cinta sejati?""Yah, siapa pemuda yang kau maksud itu?""Hasan. Hasan Basri Latief."Mendengar nama itu Dave bagai disengat lebah. Tentu saja putrinya akan sangat mengenal anak-anak dari keluarga Latief karena ibu mereka seorang pelayan di rumah itu. Namun mendengar Hasan sangat mencintai putrinya, Dave seolah-olah seperti tengah di potong lehernya, dia sudah jelas-jelas ingin membuat pemuda itu menjadi cucu menantunya."Apakah ....?" Dave tidak bisa melanjutkan kata-katanya."Yah, Hasan adalah menantu kita. Enam bulan lalu, dia sudah mengucapkan ikrar di depan penghulu. Dia sudah berjanji menjadi pelindung Putri kita selamanya."Dave tidak mampu berkata-kata. Suasana menjadi hening dan
Aina pulang dari hotel langsung masuk ke dalam rumah, tubuhnya yang nyeri dan pegal membuatnya sangat tidak nyaman. Dia ingin langsung tiduran, namun rasa lapar membuatnya harus mencari sesuatu untuk di makan. Untunglah lauk rendang yang ibunya bawa kemarin masih disimpan di kulkas tinggal dihangatkan. Ketika membuat magicom, dia sangat kecewa, nasi di sana sudah mengering. Tentu saja, semalam Hasan tidak pulang ke rumah untuk makan malam, sehingga nasi satu Magicom terbuang sia-sia. Akhirnya Aina kembali harus menanak nasi. Menunggu nasi matang, dia melaksanakan salat Zuhur dahulu, dia hanya masak nasi sedikit sehingga cepat matang. Ketika mengambil nasi di meja makan, dia mengingat jika suaminya kini mungkin tengah makan siang dengan meriah di rumah keluarganya, rasa sesak kembali menggelayut di dadanya, kapan dia bisa dengan bebas mendampingi suaminya bertandang ke rumah keluarganya? Aina merasa lebih baik ketika menyuap lauk rendang ke mulutnya, Hasan mungkin sedang makan lauk y
"Kau bekerja membantu di warung bakso? Kenapa kau lakukan itu, Sayang? Kau tidak mengindahkan apa yang terjadi tadi malam? Kau tidak baik-baik saja kenapa bekerja berat? Kau mau sakit? Apa ini caramu menghukum Abang, ha?" Mendengar perkataan suaminya kepala Aina bertambah pening, bagaimana tidak? Dia sudah dipusingkan masalah warung baksonya sekarang laki-laki itu sekarang merajuk seperti bocah yang minta mainan tetapi tidak dituruti oleh orang tuanya. Aina malas berdebat, dia sudah tidak punya energi untuk meladeni omongan suaminya. "Maaf, Bang. Iya, sebentar lagi aku pulang." "Lagian mau ke warung kenapa tidak menelpon Abang dulu? Apa gunanya handphone kalau tidak digunakan." "Iya, aku sebentar lagi pulang, ini mau ngabisin bakso dulu, sudah dibuatin sama Ihsan sayang kalau gak di makan. Abang mau dibawain bakso?" Hasan menghela napas, membuang semua kekesalan. Pulang-pulang kepala penat berharap disambut sama istri malah istrinya keluyuran, rasanya jengkel sekali. "Gak usah,
Aina memandang wajah suaminya yang tengah asyik menikmati semangkuk bakso pedas. Wajah lelaki itu memerah menahan rasa pedas kuah bakso, keringat bercucuran membasahi dahinya. Sesekali Hasan menyeka keringatnya dengan tissue yang tersedia di meja, sesekali juga menyeka hidungnya yang mengeluarkan ingus. Bibir lelaki itu yang memang sudah merah bertambah merah seperti dipakaikan gincu, menampah ketampanannya.Pantas saja banyak wanita yang naksir lelaki ini, Aina sendiri selama kenal dengan lelaki ini telah menghitung wanita yang terang-terangan berminat pada suaminya ini, ada Nirmala, Melanie, Nurma, dan yang terakhir Laura, gadis cantik yang baru ketemu dengannya kemarin. Semua deretan perempuan itu berasal dari kalangan berada, hanya dia yang cuma seorang anak pembantu. Itulah yang membuat Aina bertekad untuk meningkatkan kualitas hidupnya agar tidak terlalu jomplang bersanding dengan lelaki ini.Makanya menyangkut usahanya di warung bakso ini, itu sebagai pembuktian bahwa dia bisa
"Lah itu kan sudah Abang kasih ATM? Uang yang ada di ATM itu semua nafkah Abang untuk Aina, itu semua hak Aina, milik Aina. Abang gak berhak lagi dengan uang yang di dalam sana.""Memangnya berapa saldo di ATM itu?""Loh, memangnya Aina gak pernah mengecek saldonya?"Aina hanya menggeleng dengan bloonnya, Hasan hanya meringis sedih."Selama ini kau ambil uang untuk kebutuhan sehari-hari gak mengecek saldonya?"Aina hanya menggeleng lagi, dia memang beberapa kali ke mesin ATM untuk mengambil uang, namun dia tidak pernah mengecek saldonya, dia percaya saja walau setengah dari gaji Hasan yang masuk rekening itu sudah cukup untuk kebutuhan mereka berdua."Makanya, cek sana!"Hasan beringsut dari tempat tidur menuju nakas, mengambil sesuatu di laci."Nih, besok ambil di bank. Uang tujuh puluh lima juta gak bisa diambil lewat ATM, ambil dan langsung bayarkan warung bakso itu,"ujar lelaki sambil memberikan buku tabungan.Aina membelalak matanya setelah membuka-buka buku tabungan itu. "Kok b
"Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,
Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,
Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."
Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana
Kejutan demi kejutan membuat hidup Hasan dan Aina bertambah tambah rasanya, baru saja Dodi Rosadi, teman akrab Hasan ketika SMA dulu mengungkapkan lamaran kepada ibu dan pakdenya Laras di depan keluarga besar, hal itu tentu saja membuat Hasan memeluk temannya itu dengan erat. "Akhirnya kita sodaraan juga, Bro." "Ingat, tambah lagi satu kakaknya Aina, biarpun kakak sepupu, jadi jangan macam-macam kau ya?" ancam Dodi membuat semua orang tertawa. "Sayang, Fendi gak ada di momen indah seperti ini, harusnya kita punya formasi yang lengkap," ujar Syarif. "Iya, ini ayah. Member tugas kakak Aina kok begitu amat," Jawab Steven. "Aish, gak usah kuatir. Nanti Fendi kupanggil ke sini, dijamin besok pagi sudah ada di sini," jawab Dave sambil mencebikkan bibirnya Ayuni yang mendengar itu wajahnya langsung tersenyum sumringah, Duh ... Jadi ingat waktu momen pernikahan Steven dulu, saat itu ciuman pertamanya bersama kekasihnya itu. "Besok pernikahan akan digelar di mana?" tanya Nur kepada Lar
Lelaki itu buru-buru keluar dari pesawat yang membawanya hingga ke daerah ini, tempat yang dia tandangi hampir dua puluh tahun yang lalu, namun dia tidak akan lupa di mana alamat kakak kandungnya itu berada walau sang kakak kini sudah tiada. Dia sengaja mencari penerbangan paling pagi dari Singapura ke Jakarta, dilanjutkan dari Jakarta ke Jambi, karena memang belum ada penerbangan langsung dari Singapura ke Jambi.Dia tidak bisa menunda lagi untuk bertemu seseorang yang begitu penting dalam hidupnya, pertemuannya dengan Fendi tadi malam sungguh merupakan pertemuan yang sangat mengejutkan. Andika sebenarnya enggan bertemu secara pribadi dengan pemuda itu, jika Fendi tidak setengah memaksanya. Pemuda itu mengajaknya ke taman Merlion, duduk di bangku taman sambil memandangi patung kepala singa di hadapannya. "Senang bisa bertemu dengan orang yang saya kenal di negeri asing seperti ini," ujar Fendi mengawali percakapan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Andika."Ada urusan bisnis. Pak D
"Good morning, Profesor." Sebuah sapaan bersahutan di dalam gedung itu ketika seseorang memakai kemeja putih dan celana bahan hitam datang menuju ke sebuah ruangan, kaca mata berbingkai emas yang bertengger di atas hidung lelaki itu menambah kesan dingin dan sulit untuk didekati."Morning," jawab lelaki itu singkat."In here, Prof," seru seseorang dengan seragam security menunjukkan jalan pada lelaki itu.Beberapa pria berjas hitam berjalan tegap di belakang lelaki itu, kaca mata hitam yang bertengger di setiap lelaki berjas hitam itu menambah seram penampilannya."Halo, profesor Andika Ibrahim Luthfi. Welcome, welcome," ujar seorang pria berkepala plontos memakai kemeja biru polos."Apa ini yang dimaksud dengan ruangan rahasia? Kenapa tidak terlihat rahasia sama sekali?" tanya lelaki itu dengan bahasa Inggris."Tentu rahasia yang dimaksud bukan rahasia tidak terlihat, semua ruangan ini adalah penyamaran, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalamnya.""Oke, tunjukkan aku."Pria b