Dering alarm menggema di kamar yang sunyi, Steven memang biasa memasang alarm agar dia bisa bangun pagi. Tetapi ketika akhir pekan seperti ini, alarm akan berdering lebih siang bertepatan jam delapan pagi. Melanie menggeliatkan badan, suasana kamar masih gelap karena tirai jendela yang cukup tebal sehingga matahari tidak bisa masuk. Suara alarm itu sangat mengganggu, Steven sudah mendengarnya, namun aktivitas panasnya tadi malam membuatnya cukup lelah sehingga malas terbangun. Melanie terbangun, di sisinya seorang lelaki masih mendengkur lelap, tangannya yang kekar masih memeluk tubuhnya dengan kuat, dengan pelan Melanie menyingkirkan tangan itu, berjalan pelan menuju tirai yang tertutup. Hari ini terasa berbeda, Melanie tampak begitu bahagia, wajahnya masih dihiasi senyuman, aktivitas tadi malam sungguh berkesan dalam hidupnya. Dengan perlahan dia menyibak tirai, ternyata matahari sudah tinggi, cahaya teriknya menyorot jendela mereka membuat ruangan itu terang seketika. Wajah Ste
Aina segera menyudahi mandinya, dia mengambil mukena di tas ransel dan melaksanakan salat subuh, haruskah dia mengikhlaskan perlakuan suaminya tadi malam? Aina masihlah gadis lugu yang tidak tahu apa-apa tentang kejamnya dunia. Dia seorang gadis yang memiliki pemikiran sederhana, dia menganggap Hasan tadi malam memperlakukannya lebih rendah dari seorang pelacur, mungkinkah lelaki itu tidak mencintainya lagi?Setelah salat, Aina tergugah dengan pilu, Isak tangisnya tidak tertahan lagi. Dia ingat sekali bahwa dia sudah memohon dan menangis dengan menghiba agar suaminya mengampuninya tadi malam, tetapi lelaki itu tidak menggubrisnya, dia malah terus dan terus melampiaskan nafsu binatangnya pada tubuhnya yang sudah lemah dan tak berdaya.Aina menoleh ke arah suaminya, lelaki itu tertidur pulas seperti tanpa beban dan sialnya wajahnya masih terlihat tampan. Tidak menyangka wajah lembut dan tampan sepeti itu ada monster yang bersemayam di diri lelaki itu. Aina cukup lama bersimpuh dan menga
Aina melajukan motornya di pagi buta, lampu jalanan bahkan masih bersinar terang, sinar fajar menyemburat di langit timur dengan warna jingga yang menyilaukan mata. Jalanan masih begitu lenggang, bahkan hanya ada satu dua kendaraan yang terlihat. Aina mengeratkan jaketnya dengan tangan kiri, tangan kanan tetap menarik gas, udara masih sangat dingin.Di pagi buta seperti ini dia harus segera mencari apotik di jantung kota yang buka dua puluh empat jam, dia tidak bisa menunda sebentar saja untuk menunggu suaminya selesai mandi, mengabaikan rasa nyeri yang dia derita di sekujur badannya.Tadi setelah Hasan masuk kamar mandi, Aina menerima pesan BBM dari Steven, membaca pesan itu, Aina menjadi begitu sedih memikirkan suaminya, dia bahkan tidak peduli lagi dengan rasa sakit yang dideritanya, dia bahkan rela jika sekali lagi suaminya memperlakukannya seperti itu lagi, asalkan lelaki itu selamat.(Aina, apakah kau tadi malam bersama Hasan?)(Iya, Pak)(Tolong jaga suamimu itu, tadi malam ada
"Sudah, Bang. Ini semua bukan kemauan Abang, saat itu ada sesuatu yang tengah mengendalikan Abang. Sekarang ayo dimakan buburnya."Hasan dengan tak rela mengurai pelukannya, dia sangat lega, yang berada bersamanya adalah istrinya sendiri, bagaimana jika wanita lain yang tengah bersamanya saat ini? Mungkin kehancuran yang akan dia jalani selama sisa hidupnya."Sini, aku suapi ya, Bang ...."Hasan mengangguk pelan, Aina dengan serius menyuapi suaminya, namun sesekali dia ikut memakannya. Perlahan, energi Hasan mulai terisi, seperti mainan robot yang baru dicas batere-nya."Kenapa kau bisa ke sini, Ai?" tanya Hasan akhirnya, tak ayal tentu dia sangat penasaran "Tadi malam aku ditelpon oleh pak Steven, katanya Abang ada di sini, aku disuruh langsung menuju kamar 102."Ah, orang itu lagi ... Kenapa orang itu selalu tepat waktu menyelamatkan dia dan Aina? Apakah ini kebetulan ataukan memang dia menguntit kemana kami pergi? Pemikiran itu hanya terlintas di kepala Hasan saja, dia tidak mungk
"Ayah?" gumam Steven.Begitulah Steven, dia tidak pernah memanggil Dave dengan sebutan yang sama seperti Duke, Daddy. Dia lebih nyaman memanggil dengan bahasa Indonesia, walau hanya ibunya yang Indonesia asli, dan wanita yang bergelar ibunya itu belum pernah dilihatnya seumur hidupnya, karena menghadap Ilahi ketika melahirkannya ke dunia."Om Steven! It is Surprise. Jadi selama ini Om berada di kota ini?" Laura bergelayut di tangan Steven ketika mereka telah berada di lift yang sama. Usia mereka yang hanya terpaut lima tahun, membuat mereka lebih terlihat seperti adik kakak daripada paman dan keponakan. "Steven, apa begini sikapmu bertemu dengan ayahmu? Kita sudah lama tidak bertemu? Entah berapa lama lagi ayah akan hidup di dunia ini."Dave tampak begitu kesal melihat sikap acuh tak acuh putra keduanya ini, memang sejak kecil Steven lebih banyak dibesarkan oleh pengasuh, dia sebagai ayahnya juga lebih banyak melakukan perjalanan bisnis ketimbang meluangkan waktu dengan putranya, se
Aina terbangun ketika hari sudah siang, dia segera mengambil HP di nakas dan menyalakan dayanya, tertera di layar HP pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gadis itu segera membangunkan suaminya, suhu tubuh Hasan sudah turun, terlihat keringat memenuhi dahinya, bajunya bahkan basah oleh keringat. Aina tersenyum lega, itu pertanda jika demam lelaki itu sudah berangsur membaik. "Bang, bangun sudah siang.""Jam berapa ini?""Jam setengah dua belas." "Oh iya, sudah siang ....""Bagaimana? Abang sudah baikan?""Iya, sudah mendingan. Aku akan menelpon ayah dulu, takutnya mister Dave ke rumah dia tidak ada," ujar Hasan beringsut mengambil HP dan menekan nomor HP pak Burhan.Lelaki di seberang sana menerima telpon putranya dengan acuh tak acuh, dia masih sangat sakit hati atas pemberontakan anaknya itu. "Siapa yang mau datang?""Mister Dave, dia temannya kakek, ayah masih ingat?""Oh? Mister Dave bule itu ya? Kupikir dia balik lagi ke Australia," ujar Hasan antusias."Dia investor yang akan
Aina sendiri juga ingat jika perlengkapan mandi di rumahnya sudah habis, dia akhirnya berbelok di mini market yang sama yang di masuki oleh Steven dan keluarganya.Ketika Aina mengambil keranjang belanjaan, saat itu Steven tengah menuju kasir, sebenarnya Steven hanya ingin menunggu di mobil saja, namun rasa haus membawanya untuk mencari minuman dingin di mini market. "Ai? Kau di sini?" tegur Steven ketika melihat Aina."Iya, Pak. Bapak sedang belanja?" Aina merasa sangat senang melihat Steven, gadis itu memiliki kesempatan untuk berterima kasih kepada dosennya itu."Aku hanya mencari manuman dingin. Apa kau baru pulang dari hotel? Kau tampak tidak baik-baik saja." Secara refleks Steven memeriksa dahi Aina, karena gadis itu tampak sedikit pucat. "Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih atas perhatian dan bantuan bapak, jika tidak karena informasi dari bapak, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada suami saya," ujar Aina berusaha menjauhkan diri dari lengan Steven dan meny
Di halaman rumah keluarga Latief, Burhanuddin dan Senopati Latief berdiri menyambut kedatangan tamu mereka, ketika mobil yang dikemudikan Hasan berhenti tepat di halaman, keduanya bahkan mendekat dan membukakan pintu mobil, menyambut Dave dengan hangat."Mister Dave, apa kabarnya?" jabat tangan Burhan dengan hangat."Burhan ... Saya sangat senang bisa bertemu kembali denganmu. Sudah sangat lama ya?" Dave memeluk Burhan dengan hangat, keduanya tersenyum dan tertawa bahagia."Aku tidak menyangka kalau Hasan itu anakmu, cucunya Zulfikar yang sering menanyakan aku bawa permen atau tidak."Hasan segera turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Laura, sedangkan Dave masih berbincang dengan gembira."Mister Dave ...," sapa Seno."Oh, Seno ... Apa kabar?" "Saya baik, mister Dave. Saya juga sudah lama tidak pulang ke rumah ayah saya ini, saya tinggal di Jakarta sekarang.""Really? Mampir dong ke Bandung, dekat lagi itu ....""Ah ya ... Siapa gadis cantik ini?" seru Burhan memindai Laura ya