“Yatim piatu sejak kecil….? Putus hubungan dengan keluarganya di Basalt? Membiayai hidup dirinya dan juga si pecundang itu, selama di Denver?”Interior mobil Rolls-Royce Phantom itu terasa hening mencekam.Di balik kaca film gelap, dunia luar tampak kabur, seakan tak penting dibandingkan badai yang kini berkecamuk di dalam kendaraan mewah itu.Ethan Wayne duduk membeku di kursi belakang, satu tangan mengepal di atas pahanya, rahangnya mengeras seperti terukir dari batu.Mata ramahnya menjadi tajam menatap kosong ke depan, namun kilatan amarah dan penyesalan menggelayut jelas di dalam sorot biru itu.Axel duduk di hadapannya, menjaga jarak penuh hormat. Ia menundukkan pandangan, seakan berat untuk menyampaikan apa yang baru saja dilaporkannya.Mobil melaju pelan di sepanjang jalanan utama, namun atmosfer di dalamnya lebih berat dari kabut musim dingin.Ethan membatu.Potongan-potongan cerita yang baru didengarnya dari Axel hasil interogasi pada Nielson, berputar di pikirannya tanpa amp
Basalt terasa semakin asing, seakan semua jejak masa lalunya telah terhapus dan berganti wajah.Ia tahu, saat ini ia tak bisa kembali ke rumah keluarganya yang kosong. Semua orang di sana sedang bekerja.Ia harus mencari tempat berlindung, sebelum ia memastikan keluarganya benar-benar menerimanya kembali.Setelah berjalan beberapa blok, ia menemukan sebuah hotel kecil bertingkat dua, Maple Ridge Inn, dengan papan nama bergaya rustic tergantung di atas pintu.Tanpa banyak berpikir, Catelyn melangkah masuk dan memesan kamar untuk satu malam.Begitu masuk ke kamarnya — ruang mungil dengan satu tempat tidur, sebuah meja kayu, dan jendela kecil menghadap ke jalanan kota — Catelyn meletakkan travel bag-nya di sudut.Ia duduk di sisi tempat tidur, membuka tas selempang cokelatnya dengan perlahan. Dari sela-sela buku lusuh yang ia bawa, ia menarik keluar selembar foto.Foto usang itu hampir pudar warnanya, namun wajah-wajah di dalamnya masih jelas.Catelyn mengusap permukaan foto dengan ibu ja
Dua jam sebelumnya.Suara baling-baling helikopter menggeram di udara, mengguncang dedaunan musim gugur yang berserakan di lapangan kosong di pinggiran kota Basalt.Lapangan itu, dulunya hanyalah tanah lapang biasa, kini telah disulap menjadi titik pendaratan darurat untuk keperluan khusus — cukup luas dan berjarak aman dari pemukiman warga.Ethan Wayne melompat turun dari pintu helikopter yang masih berputar, mantel panjangnya berkibar tertiup angin keras.Kacamata hitam membingkai mata birunya yang menawan, menyapu pemandangan sekeliling dengan ketelitian bawaan seorang pria yang terbiasa mengendalikan situasi.Sepatu bot kulitnya menghantam tanah berumput yang mulai menguning, sementara Rodney, Axel, dan dua pengawal lainnya bergegas mengikuti di belakang.Begitu helikopter terangkat kembali ke udara, suara bising mereda, digantikan oleh desiran angin dan keheningan kota kecil yang masih mempertahankan aroma khas musim gugur: tanah lembap, kayu basah, dan udara dingin yang menampar
Ethan turun dari mobil, menghirup udara dingin yang khas dari Aspen.Matanya menyapu sekitar, mencari sosok yang sudah berhari-hari menghilang dari jangkauannya.Ponselnya bergetar di saku jas, dan begitu ia mengangkatnya, suara Cole Reid, asisten pribadinya, terdengar di seberang.“Ya, aku sudah sampai,” ujar Ethan sambil menutup pintu mobilnya dan melangkah lebih dekat ke trotoar.Ia telah menyusul Catelyn hingga ke pasar seni di Aspen―mengikuti petunjuk dari petugas penginapan, bahwa Catelyn akan menuju pasar seni.Di seberang telepon, Cole kembali bertanya, ‘Sir, apakah file data tentang anggota keluarga Nona Catelyn Adams sudah diterima?’Ethan yang tengah fokus mencari gadis yang ia rindukan itu di kerumunan pasar seni hanya menjawab asal, “Sudah.”Padahal kenyataannya, ia belum sempat membuka file yang dikirim Cole ke email-nya.Cole, yang sudah terbiasa dengan jawaban singkat atasannya, tertawa kecil sebelum berkata, ‘Selamat berjuang, Sir. Pastikan Anda mengambil hati keluarg
"Bulan depan aku akan menikahi putri keluarga Beckett," kata Nielson Stokes dengan nada dingin dan tak berperasaan.Ruangan kantor yang megah itu kini terasa sempit dan pengap bagi Catelyn Adams.Pandangannya menatap kosong ke arah pria yang duduk di depannya—kini mantan kekasihnya.Kata-katanya barusan masih menggema di kepalanya, mengiris hatinya seperti pisau tajam yang menyayat tanpa ampun.Catelyn masih tertegun.Dadanya terasa sesak, seolah tak ada udara yang tersisa untuk bernapas. Seakan dunia yang ia bangun bersama pria itu hancur dalam sekejap mata.Pria yang dulu berjanji untuk bersamanya, bahkan yang ia perjuangkan hingga meninggalkan keluarganya di Basalt, kini begitu mudah memutuskan untuk menikahi wanita lain demi keuntungan pribadi.“Kenapa…?” Suara Catelyn lirih, hampir tidak terdengar, seolah berharap ini hanyalah lelucon buruk.Namun, ekspresi serius di wajah pria itu menghancurkan sisa terkecil harapan Catelyn.“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Nielson tertawa da
Catelyn turun dari taksi dengan tergesa-gesa, menggigit bibirnya untuk menahan rasa gelisah yang menggelayuti sejak meninggalkan kantor Nielson tadi.Hari ini bukan hari yang baik, ia mendapatkan patah hati yang amat buruk, namun ia tak pernah menduga hal buruk lain tengah menunggunya.Dengan langkah cepat, ia memasuki gedung apartemen, berharap ruangan kecilnya bisa memberikan sedikit ketenangan dari dunia luar yang semakin menyempitkan napasnya.Namun, begitu pintu apartemen terbuka, langkahnya terhenti. Matanya membelalak melihat isi apartemennya berantakan.Pakaian-pakaian yang sebelumnya tertata rapi di lemari kini berserakan di lantai. Beberapa pigura foto kecil bergeletakan di sudut ruang, pecahannya berserakan di karpet.“Apa yang terjadi di sini?” gumamnya dengan napas tercekat.Suaranya terputus ketika ia melihat sosok wanita paruh baya yang tengah menghempas sekotak barang keluar dari kamar tidur.“Nyonya Stokes?” Catelyn melangkah maju dengan kebingungan. Nyonya Stokes ada
Pintu belakang mobil mewah itu terbuka, dan seorang pria keluar.Pria itu terlihat seperti seorang asisten—berpakaian rapi dengan jas berpotongan sempurna, wajahnya bersih dan tenang, dengan sikap profesional yang tak terbantahkan. Langkahnya cepat, menunjukkan disiplin tinggi, saat ia menghampiri sisi pintu kemudi taksi.Di belakangnya, sang sopir, pria berusia pertengahan dengan postur tegap, juga keluar dan berdiri di samping mobil dengan tangan di depan tubuh, sikapnya penuh hormat.Seorang pria bermata biru membuka pintu taksi dan keluar.Di bawah cahaya matahari, sosoknya terlihat jelas—tinggi, gagah, dan penuh kharisma. Setelan yang ia kenakan jatuh sempurna di tubuh atletisnya, memberi kesan berwibawa tanpa usaha berlebih.Sang asisten segera menundukkan kepala sedikit. "Maaf atas keterlambatan kami, Tuan."Alih-alih marah, pria itu hanya tersenyum kecil, anggukan kepalanya ringan namun sarat makna. Ia melangkah menuju Rolls-Royce dengan langkah santai namun terukur.Sang sopir
Catelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.Catelyn menggigit bibir,
Ethan turun dari mobil, menghirup udara dingin yang khas dari Aspen.Matanya menyapu sekitar, mencari sosok yang sudah berhari-hari menghilang dari jangkauannya.Ponselnya bergetar di saku jas, dan begitu ia mengangkatnya, suara Cole Reid, asisten pribadinya, terdengar di seberang.“Ya, aku sudah sampai,” ujar Ethan sambil menutup pintu mobilnya dan melangkah lebih dekat ke trotoar.Ia telah menyusul Catelyn hingga ke pasar seni di Aspen―mengikuti petunjuk dari petugas penginapan, bahwa Catelyn akan menuju pasar seni.Di seberang telepon, Cole kembali bertanya, ‘Sir, apakah file data tentang anggota keluarga Nona Catelyn Adams sudah diterima?’Ethan yang tengah fokus mencari gadis yang ia rindukan itu di kerumunan pasar seni hanya menjawab asal, “Sudah.”Padahal kenyataannya, ia belum sempat membuka file yang dikirim Cole ke email-nya.Cole, yang sudah terbiasa dengan jawaban singkat atasannya, tertawa kecil sebelum berkata, ‘Selamat berjuang, Sir. Pastikan Anda mengambil hati keluarg
Dua jam sebelumnya.Suara baling-baling helikopter menggeram di udara, mengguncang dedaunan musim gugur yang berserakan di lapangan kosong di pinggiran kota Basalt.Lapangan itu, dulunya hanyalah tanah lapang biasa, kini telah disulap menjadi titik pendaratan darurat untuk keperluan khusus — cukup luas dan berjarak aman dari pemukiman warga.Ethan Wayne melompat turun dari pintu helikopter yang masih berputar, mantel panjangnya berkibar tertiup angin keras.Kacamata hitam membingkai mata birunya yang menawan, menyapu pemandangan sekeliling dengan ketelitian bawaan seorang pria yang terbiasa mengendalikan situasi.Sepatu bot kulitnya menghantam tanah berumput yang mulai menguning, sementara Rodney, Axel, dan dua pengawal lainnya bergegas mengikuti di belakang.Begitu helikopter terangkat kembali ke udara, suara bising mereda, digantikan oleh desiran angin dan keheningan kota kecil yang masih mempertahankan aroma khas musim gugur: tanah lembap, kayu basah, dan udara dingin yang menampar
Basalt terasa semakin asing, seakan semua jejak masa lalunya telah terhapus dan berganti wajah.Ia tahu, saat ini ia tak bisa kembali ke rumah keluarganya yang kosong. Semua orang di sana sedang bekerja.Ia harus mencari tempat berlindung, sebelum ia memastikan keluarganya benar-benar menerimanya kembali.Setelah berjalan beberapa blok, ia menemukan sebuah hotel kecil bertingkat dua, Maple Ridge Inn, dengan papan nama bergaya rustic tergantung di atas pintu.Tanpa banyak berpikir, Catelyn melangkah masuk dan memesan kamar untuk satu malam.Begitu masuk ke kamarnya — ruang mungil dengan satu tempat tidur, sebuah meja kayu, dan jendela kecil menghadap ke jalanan kota — Catelyn meletakkan travel bag-nya di sudut.Ia duduk di sisi tempat tidur, membuka tas selempang cokelatnya dengan perlahan. Dari sela-sela buku lusuh yang ia bawa, ia menarik keluar selembar foto.Foto usang itu hampir pudar warnanya, namun wajah-wajah di dalamnya masih jelas.Catelyn mengusap permukaan foto dengan ibu ja
“Yatim piatu sejak kecil….? Putus hubungan dengan keluarganya di Basalt? Membiayai hidup dirinya dan juga si pecundang itu, selama di Denver?”Interior mobil Rolls-Royce Phantom itu terasa hening mencekam.Di balik kaca film gelap, dunia luar tampak kabur, seakan tak penting dibandingkan badai yang kini berkecamuk di dalam kendaraan mewah itu.Ethan Wayne duduk membeku di kursi belakang, satu tangan mengepal di atas pahanya, rahangnya mengeras seperti terukir dari batu.Mata ramahnya menjadi tajam menatap kosong ke depan, namun kilatan amarah dan penyesalan menggelayut jelas di dalam sorot biru itu.Axel duduk di hadapannya, menjaga jarak penuh hormat. Ia menundukkan pandangan, seakan berat untuk menyampaikan apa yang baru saja dilaporkannya.Mobil melaju pelan di sepanjang jalanan utama, namun atmosfer di dalamnya lebih berat dari kabut musim dingin.Ethan membatu.Potongan-potongan cerita yang baru didengarnya dari Axel hasil interogasi pada Nielson, berputar di pikirannya tanpa amp
Langit di atas Denver memucat, berat dengan awan kelabu yang menekan suasana seakan dunia enggan bernapas.Di sebuah sudut kumuh di pinggiran kota, area yang lebih pantas disebut tanah buangan daripada lingkungan layak huni, seorang pria muda duduk melamun di trotoar yang retak.Nielson Stokes.Kemejanya lusuh, sobek di beberapa bagian, dan jaket tipisnya tak cukup melindungi dari udara yang membeku.Tangannya memeluk lutut, kepala tertunduk dalam keputusasaan. Sekali-sekali tubuhnya bergidik, bukan hanya karena udara dingin, melainkan juga bayangan kelam yang menghantui pikirannya.Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya menari di atas tumpukan penyesalan.Segalanya hilang.Dalam sekejap mata.Pekerjaannya di ADG, reputasinya, bahkan aksesnya untuk melamar dan bekerja ke perusahaan-perusahaan lainnya di Denver, diblokir—semuanya sirna, musnah tak bersisa.Ibunya, satu-satunya keluarga yang ikut tinggal dengannya di Denver telah kembali ke Basalt, setelah terlilit utang besar akibat
Hujan rintik-rintik menyapu jalanan beraspal saat bus terakhir dari Denver melambat di depan halte kecil di West Glenwood.Catelyn melangkah turun, sepatunya menyentuh genangan air dingin yang memantulkan cahaya samar dari lampu jalan.Udara malam menusuk tulang, membawa aroma tanah basah dan nostalgia yang tak diundang.Catelyn menarik kerah mantel abu-abu pudar-nya, memeluk dirinya sendiri seraya menatap sekeliling—kota kecil ini terasa asing meski hanya berjarak beberapa mil dari kampung halamannya, Basalt.Di kejauhan, halte bus RFTA menuju Basalt tampak lengang, sunyi di bawah siraman hujan tipis.Bus berikutnya baru akan datang satu jam lagi, namun hatinya tak kunjung bulat untuk melanjutkan perjalanan.Dadanya terasa berat, dipenuhi ketakutan yang mencengkeram dan rasa malu yang membakar pipinya—kenangan pahit tentang keputusan bodohnya bertahun lalu kembali menghantui.Dengan langkah ragu, Catelyn menyeret travel bag-nya yang beroda, menyusuri trotoar basah, mencari tanda kehid
Di dalam ruang perpustakaan megah mansion James Wayne, suasana terasa hangat dan santai.Aroma kayu mahoni bercampur dengan wangi anggur merah yang dituangkan ke dalam gelas kristal mewah.Sofa kulit berwarna cokelat gelap dengan jahitan yang rapi menjadi tempat Ethan Wayne dan Arion Ellworth duduk. Cahaya redup dari lampu gantung bergaya vintage menciptakan suasana intim, sempurna untuk percakapan mendalam di malam yang tenang.Arion duduk dengan postur yang tenang namun penuh wibawa. Rambut hitamnya tertata sempurna, dan iris matanya yang kelabu terlihat tajam meskipun sorotnya datar.Ethan, yang duduk di seberangnya, tampak lebih santai, dengan senyum kecil menghiasi wajah tampannya. Rambut kecokelatannya tampak sedikit acak-acakan, kontras dengan matanya yang biru cemerlang, memancarkan kehangatan yang menjadi ciri khasnya.Keduanya menikmati segelas wine yang dituangkan dari botol terbaik di koleksi James Wayne.Ethan, dengan ekspresi ramah―yang saat ini bercampur muram, berbicar
Cahaya lampu gantung kristal memancarkan semburat keemasan lembut di atas meja makan panjang berlapis kain linen putih.Aroma kalkun panggang, kastanye manis, dan roti hangat memenuhi udara, menyelimuti seluruh ruangan dengan kehangatan khas musim liburan.Di sekeliling meja, keluarga Wayne duduk beraturan.James Wayne, sang kepala keluarga, tampak berwibawa dalam setelan jas santai berwarna gelap, sementara istrinya, Liliana, dengan gaun satin biru tua, sesekali menyeka sudut bibirnya dengan saputangan halus, berbasa-basi dengan ramah.Gerard Wayne, adik James, tertawa ringan sambil mengangkat gelas anggur, menceritakan pengalamannya memancing terakhir kali, lalu membahas anekdot masa muda mereka.Elara, putri semata wayang James, duduk anggun di samping suaminya, Arion Ellworth, yang dengan sikap tenang namun penuh pengamatan, menyesap anggur dari gelas kristal di tangannya.Hanya satu orang yang tampak terasing di tengah kehangatan itu&md
Udara di sekitar Willow Creek terasa semakin dingin, dihiasi aroma tanah basah dan daun-daun gugur yang bertebaran di sepanjang jalan masuk menuju mansion megah itu.Mobil mewah Ethan melaju mulus melewati gerbang besi tinggi yang terbuka otomatis, sebelum akhirnya berhenti di pelataran depan.Ethan turun tanpa menunggu sopir membukakan pintu.Jas biru navy-nya sedikit kusut oleh perjalanan tergesa tadi, namun ia tidak peduli. Wajahnya serius, rahangnya mengeras, matanya sedikit redup di bawah bayang-bayang awan kelabu.Rodney menyusul dari mobil pengawal di belakang, berjalan cepat menyamai langkah Ethan.Begitu memasuki foyer megah yang dipenuhi pilar marmer putih dan lampu gantung kristal, Ethan mengangguk singkat pada kepala pelayan yang membungkuk memberi salam, lalu melangkah lurus menuju ruang kerjanya.Rodney menunggu sejenak, hingga Ethan melempar jas ke sandaran kursi tinggi berlapis kulit di belakang meja kerjanya. Baru setelah itu ia berbicara, dengan nada formal dan berat.