Basalt terasa semakin asing, seakan semua jejak masa lalunya telah terhapus dan berganti wajah.Ia tahu, saat ini ia tak bisa kembali ke rumah keluarganya yang kosong. Semua orang di sana sedang bekerja.Ia harus mencari tempat berlindung, sebelum ia memastikan keluarganya benar-benar menerimanya kembali.Setelah berjalan beberapa blok, ia menemukan sebuah hotel kecil bertingkat dua, Maple Ridge Inn, dengan papan nama bergaya rustic tergantung di atas pintu.Tanpa banyak berpikir, Catelyn melangkah masuk dan memesan kamar untuk satu malam.Begitu masuk ke kamarnya — ruang mungil dengan satu tempat tidur, sebuah meja kayu, dan jendela kecil menghadap ke jalanan kota — Catelyn meletakkan travel bag-nya di sudut.Ia duduk di sisi tempat tidur, membuka tas selempang cokelatnya dengan perlahan. Dari sela-sela buku lusuh yang ia bawa, ia menarik keluar selembar foto.Foto usang itu hampir pudar warnanya, namun wajah-wajah di dalamnya masih jelas.Catelyn mengusap permukaan foto dengan ibu ja
Dua jam sebelumnya.Suara baling-baling helikopter menggeram di udara, mengguncang dedaunan musim gugur yang berserakan di lapangan kosong di pinggiran kota Basalt.Lapangan itu, dulunya hanyalah tanah lapang biasa, kini telah disulap menjadi titik pendaratan darurat untuk keperluan khusus — cukup luas dan berjarak aman dari pemukiman warga.Ethan Wayne melompat turun dari pintu helikopter yang masih berputar, mantel panjangnya berkibar tertiup angin keras.Kacamata hitam membingkai mata birunya yang menawan, menyapu pemandangan sekeliling dengan ketelitian bawaan seorang pria yang terbiasa mengendalikan situasi.Sepatu bot kulitnya menghantam tanah berumput yang mulai menguning, sementara Rodney, Axel, dan dua pengawal lainnya bergegas mengikuti di belakang.Begitu helikopter terangkat kembali ke udara, suara bising mereda, digantikan oleh desiran angin dan keheningan kota kecil yang masih mempertahankan aroma khas musim gugur: tanah lembap, kayu basah, dan udara dingin yang menampar
Ethan turun dari mobil, menghirup udara dingin yang khas dari Aspen.Matanya menyapu sekitar, mencari sosok yang sudah berhari-hari menghilang dari jangkauannya.Ponselnya bergetar di saku jas, dan begitu ia mengangkatnya, suara Cole Reid, asisten pribadinya, terdengar di seberang.“Ya, aku sudah sampai,” ujar Ethan sambil menutup pintu mobilnya dan melangkah lebih dekat ke trotoar.Ia telah menyusul Catelyn hingga ke pasar seni di Aspen―mengikuti petunjuk dari petugas penginapan, bahwa Catelyn akan menuju pasar seni.Di seberang telepon, Cole kembali bertanya, ‘Sir, apakah file data tentang anggota keluarga Nona Catelyn Adams sudah diterima?’Ethan yang tengah fokus mencari gadis yang ia rindukan itu di kerumunan pasar seni hanya menjawab asal, “Sudah.”Padahal kenyataannya, ia belum sempat membuka file yang dikirim Cole ke email-nya.Cole, yang sudah terbiasa dengan jawaban singkat atasannya, tertawa kecil sebelum berkata, ‘Selamat berjuang, Sir. Pastikan Anda mengambil hati keluarga
Deru mesin SUV hitam mewah itu teredam lembut saat melaju menuju Basalt.Langit senja memancarkan semburat keemasan yang mulai memudar, meninggalkan nuansa temaram yang syahdu di balik kaca jendela.Di dalam mobil, suasana masih diliputi keheningan.Catelyn duduk di sisi kanan, memandang lurus ke luar jendela tanpa sepatah kata.Wajahnya datar, namun jelas ada guratan canggung yang berusaha ia sembunyikan. Tangannya bertaut erat di pangkuan, dan bibirnya sedikit mengerucut dalam ekspresi tak ramah.Ethan, duduk di sampingnya, menyandarkan punggung ke jok dengan pandangan sesekali mencuri lirikan ke arahnya.Ada kerinduan yang mendalam dalam tatapan birunya—seperti lelaki yang telah lama tersesat dan akhirnya menemukan rumahnya kembali. Namun, rumah itu kini bersikap dingin dan tertutup.“Antarkan aku ke hotel. Masih ada barang-barangku di sana,” gumam Catelyn akhirnya, tanpa menoleh.“Okay,” jawab
Langit telah sepenuhnya meredup saat SUV hitam mewah kembali melaju meninggalkan pelataran Maple Ridge Inn.Daun-daun maple yang gugur membentuk pola acak di sepanjang bahu jalan, dan lampu jalan mulai menyala satu per satu, menambah kesan melankolis pada perjalanan malam itu.Di dalam mobil, keheningan kembali menyelimuti.Ethan duduk di sisi kiri kursi belakang, ia kini mengenakan mantel wol abu tua yang membalut sempurna tubuh tegapnya, dipadukan dengan sweter rajut berwarna kelabu dan celana hitam yang rapi namun santai. Syal tipis melingkar lembut di lehernya, seolah menjadi sentuhan akhir dari gaya yang kasual namun tetap berkelas.Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, menyisakan beberapa helai yang jatuh alami, memberi kesan tak sengaja namun tetap memikat.Catelyn duduk di sebelahnya, wajah menoleh ke jendela.Ia berusaha tidak berbicara, tidak menatap, bahkan tidak menarik napas terlalu keras.Seolah diamnya adalah tameng terakhir yang ia miliki untuk menjaga batas antara
“Ethan Wayne,” ucap pria bermata biru itu dengan nada tenang, namun tegas. Suaranya berat, penuh percaya diri, dan tanpa ragu menyebut dirinya sebagai kekasih Catelyn.Catelyn sontak menoleh, matanya melebar sedikit, terkejut oleh klaim yang tak sempat mereka bahas sebelumnya.Ia menahan napas, mencoba menyamarkan rasa canggung yang perlahan menyusup ke balik senyum tipisnya.Rick Hartley, pria berwajah simpatik dengan tatapan hangat yang memudar karena keterkejutan, memindahkan pandangannya dari Ethan ke Catelyn.“Tunggu... bukankah kau bersama Nielson Stokes?” tanyanya, langsung, tanpa filter, seperti mengulang sesuatu yang belum sepenuhnya berubah dalam benaknya.Ethan menjawab cepat, nadanya merendah namun tidak menyembunyikan ketegasan.“Nielson sudah menjadi bagian dari masa lalu.” Ia mengatupkan rahang, seolah menandaskan bahwa tidak ada ruang untuk nama itu di masa kini Catelyn. “Sekarang, ha
Cahaya lampu jalan bergantian menyapu wajah Ethan Wayne yang diam menatap keluar jendela mobil SUV hitam yang melaju tenang menembus udara musim gugur yang sejuk.Di balik kaca, dedaunan maple jatuh perlahan, berguguran dalam balutan cahaya kekuningan kota kecil Basalt.Axel duduk di kursi kemudi, seperti biasa—hening dan fokus, menyetir tanpa suara.Ethan bersandar pada sandaran kursi kulit yang empuk, menghela napas panjang.Masih terngiang dalam benaknya pandangan mata Catelyn sebelum ia menurunkannya di halaman rumah keluarga Adams. Mata yang lembut namun penuh keraguan itu, menyiratkan sesuatu yang belum tuntas.Ponsel Ethan bergetar dalam genggamannya.Layar menampilkan satu nama yang membuatnya menghela napas—Owen Lowe.Ia menjawab dengan suara pelan, “Ya?”Suara ceria dan penuh kenakalan langsung meledak dari seberang, ‘Bro! Bagaimana hasilnya?! Apa dia melempar sepatu atau sudah mencium pipimu? Kalian berbaikan kan?’Ethan menyandarkan kepala ke belakang. “Aku baru saja menga
"Bulan depan aku akan menikahi putri keluarga Beckett," kata Nielson Stokes dengan nada dingin dan tak berperasaan.Ruangan kantor yang megah itu kini terasa sempit dan pengap bagi Catelyn Adams.Pandangannya menatap kosong ke arah pria yang duduk di depannya—kini mantan kekasihnya.Kata-katanya barusan masih menggema di kepalanya, mengiris hatinya seperti pisau tajam yang menyayat tanpa ampun.Catelyn masih tertegun.Dadanya terasa sesak, seolah tak ada udara yang tersisa untuk bernapas. Seakan dunia yang ia bangun bersama pria itu hancur dalam sekejap mata.Pria yang dulu berjanji untuk bersamanya, bahkan yang ia perjuangkan hingga meninggalkan keluarganya di Basalt, kini begitu mudah memutuskan untuk menikahi wanita lain demi keuntungan pribadi.“Kenapa…?” Suara Catelyn lirih, hampir tidak terdengar, seolah berharap ini hanyalah lelucon buruk.Namun, ekspresi serius di wajah pria itu menghancurkan sisa terkecil harapan Catelyn.“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Nielson tertawa da
Cahaya lampu jalan bergantian menyapu wajah Ethan Wayne yang diam menatap keluar jendela mobil SUV hitam yang melaju tenang menembus udara musim gugur yang sejuk.Di balik kaca, dedaunan maple jatuh perlahan, berguguran dalam balutan cahaya kekuningan kota kecil Basalt.Axel duduk di kursi kemudi, seperti biasa—hening dan fokus, menyetir tanpa suara.Ethan bersandar pada sandaran kursi kulit yang empuk, menghela napas panjang.Masih terngiang dalam benaknya pandangan mata Catelyn sebelum ia menurunkannya di halaman rumah keluarga Adams. Mata yang lembut namun penuh keraguan itu, menyiratkan sesuatu yang belum tuntas.Ponsel Ethan bergetar dalam genggamannya.Layar menampilkan satu nama yang membuatnya menghela napas—Owen Lowe.Ia menjawab dengan suara pelan, “Ya?”Suara ceria dan penuh kenakalan langsung meledak dari seberang, ‘Bro! Bagaimana hasilnya?! Apa dia melempar sepatu atau sudah mencium pipimu? Kalian berbaikan kan?’Ethan menyandarkan kepala ke belakang. “Aku baru saja menga
“Ethan Wayne,” ucap pria bermata biru itu dengan nada tenang, namun tegas. Suaranya berat, penuh percaya diri, dan tanpa ragu menyebut dirinya sebagai kekasih Catelyn.Catelyn sontak menoleh, matanya melebar sedikit, terkejut oleh klaim yang tak sempat mereka bahas sebelumnya.Ia menahan napas, mencoba menyamarkan rasa canggung yang perlahan menyusup ke balik senyum tipisnya.Rick Hartley, pria berwajah simpatik dengan tatapan hangat yang memudar karena keterkejutan, memindahkan pandangannya dari Ethan ke Catelyn.“Tunggu... bukankah kau bersama Nielson Stokes?” tanyanya, langsung, tanpa filter, seperti mengulang sesuatu yang belum sepenuhnya berubah dalam benaknya.Ethan menjawab cepat, nadanya merendah namun tidak menyembunyikan ketegasan.“Nielson sudah menjadi bagian dari masa lalu.” Ia mengatupkan rahang, seolah menandaskan bahwa tidak ada ruang untuk nama itu di masa kini Catelyn. “Sekarang, ha
Langit telah sepenuhnya meredup saat SUV hitam mewah kembali melaju meninggalkan pelataran Maple Ridge Inn.Daun-daun maple yang gugur membentuk pola acak di sepanjang bahu jalan, dan lampu jalan mulai menyala satu per satu, menambah kesan melankolis pada perjalanan malam itu.Di dalam mobil, keheningan kembali menyelimuti.Ethan duduk di sisi kiri kursi belakang, ia kini mengenakan mantel wol abu tua yang membalut sempurna tubuh tegapnya, dipadukan dengan sweter rajut berwarna kelabu dan celana hitam yang rapi namun santai. Syal tipis melingkar lembut di lehernya, seolah menjadi sentuhan akhir dari gaya yang kasual namun tetap berkelas.Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, menyisakan beberapa helai yang jatuh alami, memberi kesan tak sengaja namun tetap memikat.Catelyn duduk di sebelahnya, wajah menoleh ke jendela.Ia berusaha tidak berbicara, tidak menatap, bahkan tidak menarik napas terlalu keras.Seolah diamnya adalah tameng terakhir yang ia miliki untuk menjaga batas antara
Deru mesin SUV hitam mewah itu teredam lembut saat melaju menuju Basalt.Langit senja memancarkan semburat keemasan yang mulai memudar, meninggalkan nuansa temaram yang syahdu di balik kaca jendela.Di dalam mobil, suasana masih diliputi keheningan.Catelyn duduk di sisi kanan, memandang lurus ke luar jendela tanpa sepatah kata.Wajahnya datar, namun jelas ada guratan canggung yang berusaha ia sembunyikan. Tangannya bertaut erat di pangkuan, dan bibirnya sedikit mengerucut dalam ekspresi tak ramah.Ethan, duduk di sampingnya, menyandarkan punggung ke jok dengan pandangan sesekali mencuri lirikan ke arahnya.Ada kerinduan yang mendalam dalam tatapan birunya—seperti lelaki yang telah lama tersesat dan akhirnya menemukan rumahnya kembali. Namun, rumah itu kini bersikap dingin dan tertutup.“Antarkan aku ke hotel. Masih ada barang-barangku di sana,” gumam Catelyn akhirnya, tanpa menoleh.“Okay,” jawab
Ethan turun dari mobil, menghirup udara dingin yang khas dari Aspen.Matanya menyapu sekitar, mencari sosok yang sudah berhari-hari menghilang dari jangkauannya.Ponselnya bergetar di saku jas, dan begitu ia mengangkatnya, suara Cole Reid, asisten pribadinya, terdengar di seberang.“Ya, aku sudah sampai,” ujar Ethan sambil menutup pintu mobilnya dan melangkah lebih dekat ke trotoar.Ia telah menyusul Catelyn hingga ke pasar seni di Aspen―mengikuti petunjuk dari petugas penginapan, bahwa Catelyn akan menuju pasar seni.Di seberang telepon, Cole kembali bertanya, ‘Sir, apakah file data tentang anggota keluarga Nona Catelyn Adams sudah diterima?’Ethan yang tengah fokus mencari gadis yang ia rindukan itu di kerumunan pasar seni hanya menjawab asal, “Sudah.”Padahal kenyataannya, ia belum sempat membuka file yang dikirim Cole ke email-nya.Cole, yang sudah terbiasa dengan jawaban singkat atasannya, tertawa kecil sebelum berkata, ‘Selamat berjuang, Sir. Pastikan Anda mengambil hati keluarga
Dua jam sebelumnya.Suara baling-baling helikopter menggeram di udara, mengguncang dedaunan musim gugur yang berserakan di lapangan kosong di pinggiran kota Basalt.Lapangan itu, dulunya hanyalah tanah lapang biasa, kini telah disulap menjadi titik pendaratan darurat untuk keperluan khusus — cukup luas dan berjarak aman dari pemukiman warga.Ethan Wayne melompat turun dari pintu helikopter yang masih berputar, mantel panjangnya berkibar tertiup angin keras.Kacamata hitam membingkai mata birunya yang menawan, menyapu pemandangan sekeliling dengan ketelitian bawaan seorang pria yang terbiasa mengendalikan situasi.Sepatu bot kulitnya menghantam tanah berumput yang mulai menguning, sementara Rodney, Axel, dan dua pengawal lainnya bergegas mengikuti di belakang.Begitu helikopter terangkat kembali ke udara, suara bising mereda, digantikan oleh desiran angin dan keheningan kota kecil yang masih mempertahankan aroma khas musim gugur: tanah lembap, kayu basah, dan udara dingin yang menampar
Basalt terasa semakin asing, seakan semua jejak masa lalunya telah terhapus dan berganti wajah.Ia tahu, saat ini ia tak bisa kembali ke rumah keluarganya yang kosong. Semua orang di sana sedang bekerja.Ia harus mencari tempat berlindung, sebelum ia memastikan keluarganya benar-benar menerimanya kembali.Setelah berjalan beberapa blok, ia menemukan sebuah hotel kecil bertingkat dua, Maple Ridge Inn, dengan papan nama bergaya rustic tergantung di atas pintu.Tanpa banyak berpikir, Catelyn melangkah masuk dan memesan kamar untuk satu malam.Begitu masuk ke kamarnya — ruang mungil dengan satu tempat tidur, sebuah meja kayu, dan jendela kecil menghadap ke jalanan kota — Catelyn meletakkan travel bag-nya di sudut.Ia duduk di sisi tempat tidur, membuka tas selempang cokelatnya dengan perlahan. Dari sela-sela buku lusuh yang ia bawa, ia menarik keluar selembar foto.Foto usang itu hampir pudar warnanya, namun wajah-wajah di dalamnya masih jelas.Catelyn mengusap permukaan foto dengan ibu ja
“Yatim piatu sejak kecil….? Putus hubungan dengan keluarganya di Basalt? Membiayai hidup dirinya dan juga si pecundang itu, selama di Denver?”Interior mobil Rolls-Royce Phantom itu terasa hening mencekam.Di balik kaca film gelap, dunia luar tampak kabur, seakan tak penting dibandingkan badai yang kini berkecamuk di dalam kendaraan mewah itu.Ethan Wayne duduk membeku di kursi belakang, satu tangan mengepal di atas pahanya, rahangnya mengeras seperti terukir dari batu.Mata ramahnya menjadi tajam menatap kosong ke depan, namun kilatan amarah dan penyesalan menggelayut jelas di dalam sorot biru itu.Axel duduk di hadapannya, menjaga jarak penuh hormat. Ia menundukkan pandangan, seakan berat untuk menyampaikan apa yang baru saja dilaporkannya.Mobil melaju pelan di sepanjang jalanan utama, namun atmosfer di dalamnya lebih berat dari kabut musim dingin.Ethan membatu.Potongan-potongan cerita yang baru didengarnya dari Axel hasil interogasi pada Nielson, berputar di pikirannya tanpa amp
Langit di atas Denver memucat, berat dengan awan kelabu yang menekan suasana seakan dunia enggan bernapas.Di sebuah sudut kumuh di pinggiran kota, area yang lebih pantas disebut tanah buangan daripada lingkungan layak huni, seorang pria muda duduk melamun di trotoar yang retak.Nielson Stokes.Kemejanya lusuh, sobek di beberapa bagian, dan jaket tipisnya tak cukup melindungi dari udara yang membeku.Tangannya memeluk lutut, kepala tertunduk dalam keputusasaan. Sekali-sekali tubuhnya bergidik, bukan hanya karena udara dingin, melainkan juga bayangan kelam yang menghantui pikirannya.Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya menari di atas tumpukan penyesalan.Segalanya hilang.Dalam sekejap mata.Pekerjaannya di ADG, reputasinya, bahkan aksesnya untuk melamar dan bekerja ke perusahaan-perusahaan lainnya di Denver, diblokir—semuanya sirna, musnah tak bersisa.Ibunya, satu-satunya keluarga yang ikut tinggal dengannya di Denver telah kembali ke Basalt, setelah terlilit utang besar akibat