Malam harinya, Jing Xuan menjemput Yinlan sendiri di taman Paviliun Longwei saat masih sibuk mengobrol berdua dengan Shangguan Zhi. “Istriku, mari kita pulang.” Jing Xuan mendekat. Yinlan mengangguk dan tersenyum, dia menatap Shangguan Zhi, “Ternyata sudah malam, Shangguan Zhi. Aku bahkan lupa apa saja yang sudah kita bahas beberapa jam terakhir.” Dia tertawa. Shangguan Zhi mengangguk, “Kita masih bisa sering bertemu, kan, Yang Mulia?” Shangguan Zhi merasa berat hati berpisah darinya. Yinlan tersenyum, “Tentu saja, kapan pun kau bisa menemuiku, aku akan selalu datang padamu.” “Benarkah?” Shangguan Zhi membulatkan mata, penuh semangat. “Tentu saja, Shangguan Zhi. Lagi pula, kau masih berutang banyak uang padaku, bukan? Hasil penjualan resep obatku satu bulan terakhir, kau belum membayarnya.” Yinlan berbisik pelan. Shangguan Zhi berkedip beberapa kali, “Yang Mulia, aku benar-benar lupa! Maafkan aku! Aku akan membawa uang bulan kemarin besok pagi juga. Aku berjanji!” Yinlan terta
Ketika Jing Xuan sudah sibuk berkutat dengan pekerjaannya di ruang bacanya yang baru, Yinlan berinisiatif membuatkannya sup buah hangat untuk menghangatkan perut. Dia masuk ke dalam ruangan itu saat Jing Xuan sedang mendiskusikan hal penting dengan salah satu pejabatnya. Jing Xuan tersenyum saat melihatnya masuk. Dia menutup dokumennya. “Kita lanjutkan besok pagi di Aula Pertemuan.” Pria paruh baya yang memakai seragam merah khas menteri itu membungkuk takzim, meninggalkan ruang baca dengan segenap kesopanan. Tak lupa membungkuk juga saat berpapasan dengan Yinlan yang memasuki ruang baca. Yinlan tersenyum lebar, membawa nampan berisi sup buah hangat buatannya. Dia meletakkannya di samping meja, kemudian duduk di hadapan Jing Xuan yang sibuk membereskan pekerjaannya. “Seharusnya lanjutkan saja.” Yinlan menceletuk. Jing Xuan mengangkat kepala, menatapnya, “Istriku datang, tidak mungkin aku hanya berkutat dengan pekerjaan.” “Sudah kubilang, kita belum resmi jadi suami istri, kan?”
Halaman luas Istana Dalam yang dikuasai Ibu Suri itu dipenuhi pelayan-pelayan wanita yang berjaga—tidak ada satu pun pria di istana ini, persis seperti Istana Harem. Xie Yinlan tak berhenti memainkan ibu jarinya karena gugup, sesekali menatap ragu saat keduanya sudah berada tepat di dalam Istana Dalam. Ini pertama kali baginya sepanjang hidup di Istana Kekaisaran Jing, mengunjungi Istana Dalam untuk bertemu secara khusus dengan Ibu Suri, itu pengalaman yang mendebarkan sekaligus mungkin tak akan terulang. Yinlan sangat khawatir karena terakhir kali Ibu Suri memang sudah membencinya. Sehingga dia berpikir peluang mendapatkan restu pernikahan dari Ibu Suri sangatlah kecil. Sekali lagi, dia mengembuskan napas berat. Jemarinya bermain semakin cepat, detak jantungnya berlari kencang seperti seekor kuda perang. ‘Astaga, aku gugup sekali.’ Yinlan menundukkan kepalanya. Sejak tadi, Jing Xuan memperhatikan gelagat aneh Yinlan sepanjang perjalanan. Jing Xuan menghentikan langkahnya sepuluh
Yinlan menelan ludah, tangannya mengepal saat melihat Ibu Suri duduk santai di sebuah kursi di tengah taman itu. Sulit sekali untuk tidak gugup. Di depannya, alat musik Qin terhampar, jemari tangan Ibu Suri memetiknya dengan lihai, menciptakan nada-nada tak dikenal namun menenangkan. Jing Xuan melipat lengannya di depan dada, terlihat menikmati permainan musik Ibu Suri yang menenangkan. Yinlan menatap wajahnya lamat-lamat, dia baru tahu Jing Xuan menyukai hal semacam ini juga. Mereka berdiri di sana sekitar lima menit sampai Ibu Suri mengakhiri permainannya. Kini, kepalanya sudah tertoleh menatap sepasang manusia yang sejak tadi memperhatikannya dari jauh. Jing Xuan menggenggam tangan Yinlan yang dingin. Berjalan mendekat ke arah Ibu Suri yang duduk diam. “Ibunda, berapa kali sudah kukatakan, jangan terlau sering duduk di luar saat cuaca sedang dingin. Tidak masalah bermain Qin di dalam kamar, kan? Ibunda bisa sakit jika tak pernah mendengar perkataanku.” Jing Xuan tiba-tiba saj
Jing Xuan tersenyum puas. “Kenapa kalian belum makan juga?” Yinlan tertawa, “Kenapa kau menghabiskan semuanya?” “Tentu saja tidak. Aku sudah menyeleksi semua hidangan ini, A-Yin. Untukmu sudah tersedia di mangkukmu. Lihat, sayuran yang bergizi ini, daging sapi dan kurma dari Xinjiang ini. Semuanya sangat bagus untuk kandunganmu.” Jing Xuan menggeser mangkuk dan piring yang dipenuhi hidangan itu di depan Yinlan. Ibu Suri mematung sejenak. “Mengandung?” Jing Xuan mengangguk penuh semangat. “Ibunda, aku lupa memberitahu Ibunda. Tapi sekarang A-Yin memang sedang mengandung. Jika dia seorang laki-laki, aku akan memberikan tahtaku padanya kelak. Dia ia perempuan, aku akan membiarkannya melakukan apa pun yang disukainya, tidak terbatas pada aturan etika wanita. Dia akan ku perbolehkan belajar di Akademi Kekaisaran, atau berkelana di Dunia Persilatan, atau belajar di militer, atau—”“Berhenti bicara, Jing Xuan, aku mual mendengar suaramu.” Yinlan mendengus. Jing Xuan menutup mulutnya rap
Malam harinya, setelah Ibu Suri puas ditemani Yinlan, ia memerintahkan pada Yin Hong untuk mengantarnya kembali ke Istana Guangping dengan selamat. Yinlan membungkuk takzim di depannya sebelum meninggalkan Paviliun Qixuan di Istana Dalam yang besar itu. Ketika tiba di halaman luas Paviliun Qixuan, Yinlan terdiam dengan mulut terbuka lebar, matanya berkedip beberapa kali, tidak percaya melihat sebuah tandu mewah yang seolah menunggunya naik. Yin Hong mendekati tandu itu, dengan senyum sopan, dia menjawab kebingungan Yinlan ketika melihat tandu itu. “Yang Mulia Ibu Suri menghadiahkannya secara khusus untuk Yang Mulia Permaisuri. Beliau khawatir kau kelelahan berjalan dari Istana Dalam menuju Istana Guangping. Maka, terimalah niat baik Ibu Suri ini, Yang Mulia.” Yinlan tersenyum kikuk, ragu-ragu mengangkat kakinya menaiki tandu mewah itu. ‘Padahal jaraknya tidak sampai lima ratus meter.’ Ada enam orang pelayan pria bertubuh gagah yang membawa tandu itu. Yinlan yakin saat melihat Per
“Omong-omong, A-Yin. Bolehkah aku bertanya sesuatu?” Dalam perjalanan kembali ke kamar, Jing Xuan tiba-tiba bertanya. Yinlan diam, menyuruhnya melanjutkan pertanyaan. “Soal penawar yang kamu berikan padaku …, sejak awal aku penasaran, itu penawar apa?” Jing Xuan melihat ke arahnya. Yinlan terdiam dengan wajah separuh tegang separuh cemas. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi hatinya memintanya untuk merahasiakannya. “Itu, aku kurang tahu. Aku mendapatkannya dari Xi Feng.” Yinlan tersenyum kikuk. Jing Xuan tidak bertanya lagi. Mereka memasuki halaman istana tanpa bicara. Di ruang makan, sejumlah hidangan telah tersedia. Zhu Yan bilang itu baru disiapkan beberapa menit sebelum Yinlan sampai. Mereka masih mengepulkan uap. Jing Xuan menyeret kursi yang akan diduduki oleh Yinlan. Dengan penuh perhatian, bahkan menyiapkan makanan untuknya. Jing Xuan tersenyum tipis, “Sebenarnya aku tidak pandai menyenangkan hati wanita. Ini pertama kalinya aku benar-benar berperan seperti suami
Salju turun sangat lebat esok paginya. Menyelimuti seluruh Ibu Kota dengan warna putih. Juga Istana Guangping. Yinlan menghela napas kesal. Memeluk tubuhnya sendiri. Berdiri di depan jendela, menatap halaman kediamannya yang tertutup salju. Salju yang lebat sangat membosankan ketika hampir tiba di penghujung musim dingin. Belum lagi, hari ini seharusnya Pengurus Etiket Lu akan menjemputnya untuk belajar Etika Pernikahan Keluarga Kekaisaran.Tapi dengan salju selebat ini, dia malas keluar rumah, berharap bisa duduk di kediaman sambil menyulam atau melukis. Jing Xuan menutup pintu kamar, meletakkan payung di samping pintu, kemudian menghampirinya. “A-Yin.” Panggilnya, melingkarkan lengan di pinggangnya, memeluk dari belakang. “Rapat rutinnya sudah berakhir?” tanya Yinlan. Jing Xuan mengangguk, meletakkan dagunya di atas pundak Yinlan. “Ini sudah pukul sembilan, tentu saja sudah berakhir.”Yinlan mendengus. “Pengurus Etiket Lu sungguh terlambat.” “Hari ini, kamu tidak perlu belaja
Xi Feng benar-benar berubah menjadi orang lain saat memakai pakaian pria. Bekas luka di salah satu pipinya memberikan kesan mengerikan yang mendalam. A-Yao tidak berkedip selama beberapa saat setelah menatap Xi Feng yang berdiri dengan melipat kedua lengan di depan dada. Xi Feng mengernyit, “Kenapa, A-Yao?” A-Yao menggeleng beberapa kali. “Aku hanya sedikit ragu kau tidak memakai topeng apa pun di wajahmu, Tabib Xi.” “Ini wajahku sendiri, aku tidak memakai topeng seperti saat aku menjadi Zhu Yan.” Xi Feng menjawab datar. “Cepatlah, matahari sudah hampir tenggelam.” Xi Feng berjalan dengan percaya diri. Bahkan punggungnya ketika berjalan terlihat persis seperti laki-laki. Seolah benar-benar orang lain. A-Yao mengikutinya sedikit ragu-ragu. Sesekali berbisik, “Bagaimana jika aku ketahuan?” Xi Feng menjawab sambil melontarkan tatapan tajam. “Sebelum itu terjadi, aku akan lebih dulu memenggal kepalamu A-Yao.” A-Yao bergidik, “Mengerikan sekali.” “Bersikaplah seperti seorang laki
Yinlan mengantar Jing Xuan kembali ke Ruang Baca sambil mengobrol santai sepanjang jalan. “Aku tidak menyangka itu yang akan terjadi saat ibu dan ayahku datang, Jing Xuan.” Yinlan menceletuk. “Oh iya? Kau benar-benar tidak percaya padaku?” Jing Xuan tersenyum jahil. “Aku percaya karena aku mendengarnya sendiri.” Yinlan menyeringai. “Semalam saat kau berbincang dengan Mao Lian di depan kamar, aku tak sengaja mendengarnya.” Jing Xuan mengerutkan dahi dengan mata memicing, “A-Yin …, jangan-jangan kau pura-pura tidur ya, saat itu?” Seringaiannya semakin lebar, “Sedikit.” “Seberapa jauh yang kau dengar?” Jing Xuan melirik kesal. Yinlan terkekeh, “Entahlah, aku lupa …, yang jelas itu semua berkaitan dengan ke mana kau pergi sepanjang hari kemarin, dan kenapa kau tidak bersedia mengatakannya padaku.” “Mao Lian bilang kau seharusnya mengatakannya padaku dan kau sendiri yang menolak, berkata seolah lebih baik aku mengetahuinya sendiri.”“Saat itu, aku tidak tahu apa yang dimaksud, tapi
Mereka berdiri di depan halaman Istana Guangping, mengantar kepergian orang tua Yinlan yang baru saja datang berkunjung dengan tujuan utama meminta maaf dan menyesali perbuatan. Di samping Yinlan, Ibu Suri tampak menatap punggung Nyonya Besar Xie yang berjalan menjauh. “Dulu, aku juga bersalah pada ibu kandungmu, A-Yin.” Yinlan menoleh, memasang raut wajah seolah sangat mempertanyakannya. Ibu Suri menghela napas pelan, “Di masa lalu, aku pernah bertemu dengannya.” “Bertemu ibu kandungku?” Yinlan memiringkan kepala, tampak semakin ingin tahu. “Ibumu, Qu Ningxi, pernah menjadi tabib di medan perang saat masih muda. Reputasinya baik di kalangan prajurit negara. Kemampuannya juga tinggi.”“Dia beberapa kali mengobati lukaku juga. Seperti ada keajaiban, luka-luka tombak dan panah itu hanya butuh kurang dari satu minggu untuk sembuh sepenuhnya di tangan ibumu.”“Karena itulah, aku tidak terkejut saat tahu kalau kau menguasai sebagian besar ilmu pengobatan itu. Karena ibumu adalah tabi
Liu Xingsheng berdiri di depan Rumah Lianhong. Tangannya memegang sebilah pedang dan dia berpakaian seperti pendekar. Melihat para pria berlalu-lalang dengan wajah senang dan memerah seperti mabuk, Liu Xingsheng menggenggam pedangnya dengan erat. Sedikit ragu untuk melangkah masuk. 'Aku tidak pernah datang ke tempat seperti ini. Untuk penyelidikan, apakah aku memang harus masuk?’Sekitar dua menit berdiam, Liu Xingsheng terperanjat ketika melihat Shangguan Zhi keluar dari tempat itu. Shangguan Zhi bahkan menatapnya dan berhenti tepat di depannya selama beberapa saat. Gadis itu hanya memandanginya dengan tatapan merendahkan. Liu Xingsheng berusaha untuk menjelaskannya. “Aku di sini untuk ….” Tapi dia tidak melanjutkannya karena Shangguan Zhi meninggalkannya. Liu Xingsheng berlari menyusulnya. Dia meraih pergelangan tangannya. Shangguan Zhi berbalik dengan cepat, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak menyukai apa yang Liu Xingsheng lakukan terhadapnya. “Shangguan Zhi. Apa yan
A-Yao merapat ke dekat penjual mantau. Mengamati pertemuan itu dengan wajah serius. Mao Lian hanya mengikuti gerak-geriknya saja. Ia berbisik, “Ada apa, A-Yao?” “Lihat, ada Pangeran Chi.” A-Yao menunjuk ke depan. Mao Pian mengikuti arah pandangnya. “Kau benar. Dengan siapa dia berbicara itu?” “Itu Nyonya Ni Chang.” “Bagaimana kau tahu?” Mao Lian menatapnya dengan bingung. “Itu karena aku dan Yang Mulia Permaisuri pernah melihatnya. Bukan hanya kami, Yang Mulia Kaisar juga.” A-Yao semakin menyembunyikan tubuhnya. “Dia bersama Pangeran Chi juga saat itu. Bahkan terlihat cukup intim.”“Kenapa aku tidak tahu?” “Kau masih di Tingzhou, Tuan Mao.” A-Yao menjawab sedikit kesal. “Bagaimana jika kita mendekat?” Mao Lian memberi saran. A-Yao menggeleng tegas. “Dia bisa mengetahui keberadaan kita!” “Kalau begitu, tunggu sampai mereka masuk.” Mao Lian membenarkan sarannya. A-Yao mengangguk setuju. Dia melihat ke arah gadis penjual gantungan giok di samping Balai Opera Jiulu. Seharusnya
A-Yao duduk di tangga paviliun kecil di tengah taman sendirian. Memeluk lututnya sendiri, kepalanya tertunduk, entah memikirkan apa. Salju mulai turun lagi. Butir-butir kecil yang kian menderas. A-Yao tidak peduli, membiarkan butir-butir putih yang dingin itu hinggap di atas kepalanya. Tapi belum tentu Mao Lian akan membiarkannya. Pemuda itu memegang sebuah payung, meletakkannya di atas kepala A-Yao, dirinya berdiri di depannya sambil menatapnya dengan sendu. A-Yao mendongak setelah menyadari kehadirannya. Matanya sedikit menyipit, menatap wajah Mao Lian yang hanya menatapnya saja. “Tuan Mao.” A-Yao kembali menunduk. “A-Yao, kenapa kau tidak duduk di kursi saja? Salju ini bisa membuatmu sakit.” Mao Lian berjongkok, masih memegang payung itu. A-Yao mengangguk tanpa sadar. Diam saja saat Mao Lian menyentuh sikunya, membantunya berdiri. “Kenapa kau terlihat murung, A-Yao?” Mao Lian bertanya. “Bukankah seharusnya kau senang karena orang tua Permaisuri datang berkunjung
A-Yao berlari ke dalam tanpa memedulikan apa pun lagi. Air mata mengaliri pipinya, wajahnya menunjukkan ketakutan yang seolah akan membunuhnya. A-Yao merentangkan kedua tangannya di depan Yinlan, menghadap kedua orang tua itu. Dengan suara tegas, dia berkata, “Jangan menyakiti Yang Mulia!” Adipati Xie terkejut dengan aksinya dan merasa terganggu. Dia berdiri dengan tangan terkepal. Di ambang pintu, Zhu Yan terlihat khawatir sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sementara tanpa dia ketahui, Jing Xuan dan Mao Lian berdiri sedikit jauh di belakangnya. Mao Lian hendak merangsek maju, tapi Jing Xuan menahan lengannya, menggeleng pelan. “Mereka perlu ruang untuk menyelesaikan masalah di antara mereka.” Adipati Xie berdiri tepat di depan A-Yao. Tangan kanannya terangkat. A-Yao bergeming, mantap tidak bergeser sedikit pun dari posisinya. “Pelayan kurang ajar!” Adipati Xie berseru geram, tangan kanannya melayang, nyaris melesat menampar pipi gadis yang sudah bertekad akan melind
A-Yao sedang berada di dapur istana bersama Zhu Yan. Dia ingat semalam mabuk berat karena meminum arak cukup banyak. A-Yao satu kamar dengan Zhu Yan. Dia memuntahkan isi perutnya di samping ranjang, membuat Zhu Yan terbangun dari tidurnya. Zhu Yan terpaksa harus membantu A-Yao membersihkan bekas itu dan membuatkan sup pereda pengar. Esok harinya, Zhu Yan membawa A-Yao ke dapur istana untuk memberinya sup anti pengar lagi. Zhu Yan berkata, mungkin ada tamu yang akan mengunjungi Permaisuri. “Kenapa kau bisa begitu mabuk, A-Yao? Apakah Kaisar tidak memberitahumu, kalau hari ini akan kedatangan tamu penting Permaisuri.”“Siapa?” A-Yao bertanya dengan nada tak peduli. Zhu Yan mengangkat bahu. “Entahlah, Yang Mulia Kaisar hanya berpesan untuk meminta tamu itu langsung menemui Permaisuri saja tanpa perlu menunggunya. Karena itulah aku membawamu ke sini, A-Yao, untuk membantuku memilih teh jenis apa yang sebaiknya dihidangkan nanti?”A-Yao menghabiskan supnya, kemudian menghampiri Zhu Ya
Suara dentingan kecil terdengar saat dua kendi arak itu saling beradu. A-Yao mendongak sambil menenggak arak miliknya. Kemudian mengembuskan napas kasar, “Ah …, nikmat sekali menghangatkan tubuh dengan arak di cuaca yang sedingin ini!” A-Yao tersenyum lebar, menatap bintang-gemintang yang berpendar di atas sana. Langit gelap tampak indah dengan bulan sabit yang cemerlang. Mao Lian mengamatinya dari dekat, sudut bibirnya terangkat, “A-Yao, kau yakin bisa menghabiskan satu kendi itu sendirian?” dia takut gadis itu akan mabuk dan dimarahi Yinlan esok paginya. Tapi A-Yao tampaknya tidak peduli, menggeleng kencang, “Aku bisa menghabiskannya tanpa mengganggu pekerjaan! Lagi pula, Tuan Mao sendiri yang minta ditemani minum arak, kan?” Mao Lian terkekeh, “Aku sudah menyiapkan mangkuk kecil untukmu, aku tidak berpikir kau akan langsung menyambar kendinya.” “Diminum langsung lebih terasa nikmat! Buang saja mangkuk itu, aku tidak membutuhkannya.” A-Yao tertawa dengan mata terpejam. “A-Yao