Shangguan Yan berusaha menggapai tangan adiknya di tengah kekacauan itu. Dia berseru-seru memanggil namanya, namun Shangguan Zhi tetap tak memberi respon. “Sial!” Shangguan Yan menghunuskan pedangnya untuk menyingkirkan burung-burung itu. Hal yang sama dilakukan oleh beberapa pendekar yang berada di ruangan yang sama dengannya. Jumlah burung yang ada di dalam penginapan mulai berkurang setelah berlangsung tiga puluh menit. Shangguan Yan meletakkan sebelah tangannya di atas kepala sebagai respon perlindungan diri. Kegelapan berangsur hilang setelah semua burung itu pergi. Meninggalkan kekacauan besar di antara bulu-bulu hitamnya yang berterbangan dan meja dan kursi yang berserakan, makanan terjatuh dan mangkuk-mangkuk pecah. Shangguan Yan mengatur napasnya yang menderu, matanya membulat terkejut melihat tubuh-tubuh pendekar yang terlibat kekacauan ini tergeletak tak sadarkan diri. “Hei, bangunlah!” Shangguan Yan memeriksa salah satunya dan menemukan mereka hanya pingsan. Shanggu
Istana Mingyue. Setelah memasuki kamar Permaisuri, Zhu Yan diminta oleh Permaisuri untuk melaporkan apa saja yang terjadi di Paviliun Hua Rong sepanjang hari kemarin. Sebelum menjelaskan, Zhu Yan melirik Ning'er yang berdiri di sebelah kiri kursi Permaisuri. Pelayan itu hanya diam dan patuh berdiri di sana tanpa melakukan apa pun dan tak bergerak walau semili. Hatinya merasa tak nyaman ketika melihat Ning'er dengan tatapan yang berbeda itu.Zhu Yan membungkukkan tubuhnya, “Tidak ada apa pun yang terjadi, Yang Mulia.” BRAK! “Jangan berbohong!” Permaisuri memukul meja bahkan sebelum kalimat terakhirnya selesai terdengar. Dengan cepat, mata Zhu Yan melihat ke arah Ning'er yang berdiri di belakang Permaisuri. Sepersekian detik berikutnya, mata Zhu Yan sudah membelalak ketika menyadari posisi berdiri Ning'er bergeser beberapa centi dari tempat sebelumnya. Dengan tangan gemetar dan wajah yang tegang seperti menahan ketakutan. Zhu Yan menyipitkan mata. Tentu saja Ning'er tidak akan
Jing Xuan sedang duduk di ruang bacanya sambik mengurus beberapa pekerjaan. Mao Lian membacakan laporan menteri dari dua hari yang lalu ketika dirinya sakit. Di wilayah Bingzhou dan Jizhou mulai dilanda bencana alam yang cukup parah sejak awal musim dingin. Longsor salju merusak jalan di pegunungan dan mengubur beberapa desa dan merenggut korban jiwa. Pekerjaan-pekerjaan semacam itu sudah tertunda selama dua hari, bantuan dikirim terlambat, Mao Lian sibuk mengantarkan surat kekaisaran untuk mengatur keperluan pangan dan barang-barang lain untuk dikirim ke kota-kota terdampak bencana tersebut. Hampir tidak ada waktu baginya untuk berurusan dengan hal lain selama dua hari terakhir.Bahkan Jing Xuan, begitu merasa tubuhnya sudah lebih baik, dia segera memegang dokumen-dokumen itu dan kembali bekerja. Sesekali memijat pelipisnya yang terasa pening dan berat, Jing Xuan terlihat fokus melakukan pekerjaannya semelelahkan apa pun itu. Bagi Kaisar, yang terpenting adalah rakyat. Selama ra
Liu Xingsheng menerbangkan merpati pertamanya setelah kembali dari Nanzhou. Dia terus memikirkan kalimat Xi Feng sore ini. Dan memutuskan segera menulis surat untuk menyuruh kakak-beradik itu berhenti di tempat dan tidak bergerak sebelum perintah berikutnya dikirimkan. Liu Xingsheng juga memberitahu tentang kemungkinan perjalanan itu berbahaya jika dilanjutkan, bahkan memberitahu kalau Teratai Hitam tidak akan tumbuh di Jinghe, meski dia belum memercayai sepenuhnya itu benar atau tidak. Dia terdiam memandangi bulan yang tertutup awan gelap. Napasnya berhembus pelan, “Yang terlihat, belum tentu yang terjadi. Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan padaku, Xi Feng? Apa dua kesalahan itu?” Gumamnya pelan. Ketukan pintu terdengar berkali-kali, seorang pelayan muncul dan memanggilnya, “Tabib Liu.” Liu Xingsheng berbalik, “Ada apa?” “Tuan Mao ingin bertemu denganmu.” “Mao Lian?” Liu Xingsheng kembali ke tempat duduknya. “Biarkan dia masuk.” Pelayan tersebut menghilang di balik pintu,
Mao Lian duduk di dalam kamarnya, seekor tikus yang kakinya diikatkan pada tali di kaki ranjangnya. Dia membuka selembar kertas berisi bubuk dupa yang sama yang ia serahkan pada Liu Xingsheng sebelumnya. Mao Lian merasa tidak yakin kalau Liu Xingsheng akan membantunya. Dia menyimpan separuh bubuk dupa itu untuk mencoba menyelidikinya sendiri. Tentu saja, dia tidak membiarkan siapa pun mengetahuinya, termasuk Jing Xuan. Dia hanya perlu menaburkan bubuk dupa itu di sekitar tikus yang sudah dia siapkan untuk percobaan ini. Jika tikus ini mati, dupa ini, sudah jelas bermasalah. Seseorang sengaja mencampurkan racun di dalamnya dengan tujuan yang jahat. Mao Lian menahan napas, menaburkan dupa itu di atas kepala tikus yang sudah mencicit ketakutan seolah tahu hidupnya akan berakhir. Mao Lian meneteskan air mata. Sebagai prajurit yang pernah menghunuskan pedang di medan perang, membunuh seekor tikus yang tidak bersalah cukup memberatkan hatinya. Tapi jika yang dipertaruhkan adalah nya
Shangguan Zhi membuka matanya. Melihat langit-langit kamar yang gelap. Dia beringsut duduk. Yang langsung disambut rentetan pertanyaan-pertanyaan Shangguan Yan yang mengkhawatirkannya. “Zhi'er, bagaimana keadaanmu?” Di sebelahnya, ada seorang wanita bertopeng yang mendengus malas melihat reaksi berlebihan itu, “Sudah kubilang dia hanya pingsan karena terkejut. Panah itu tidak mengenainya sama sekali.” Shangguan Yan melirik tajam, “Keluar kau, jangan mencampuri urusan persaudaraan kami.” Wanita itu terkekeh, “Dasar pria tak tahu terima kasih.” Shangguan Zhi bertanya, “Kau siapa?” matanya melihat ke arah orang yang sedang berbincang dengan kakaknya. Wanita itu membuka topengnya, sosok Ying Deng terlihat, khas dengan kedua bola matanya yang hilang. “Namaku Ying Deng.” Shangguan Zhi terkejut sampai menutup mulut tak percaya, “Ying Deng? Penyihir Merah itu?” Shangguan Yan mendengus kesal, “Ya …, dia yang menyelamatkan kita, Zhi'er. Dia membawa kita pergi dari Gunung Tingzhou dan m
Hujan yang deras. Orang-orang mengembangkan payungnya, melintasi kota metropolitan yang padat. Tidak ada yang peduli ke mana orang-orang di bawah payung itu akan pergi. Seorang wanita, duduk di halte menunggu bus datang. Di sampingnya, Chu Xia sedang sibuk dengan ponselnya, matanya berbinar takjub. Membaca sebuah informasi yang baru saja dikirim senior laboratoriumnya. “Black Lotus.” Chu Xia bergumam. “Kenapa bentuknya terlihat seperti jamur?” “Sebenarnya itu baru tunasnya saja. Karena warnanya coklat kehitaman, beberapa orang menyebutnya jamur,” jawab wanita rambut pendek yang duduk di sebelahnya.“Ini benar-benar bunga teratai? Dia tumbuh di pegunungan? Bukan di air?” Chu Xia memperbesar gambar di ponsel itu.Wanita itu mengangguk penuh semangat. “Obat berkhasiat yang bisa menyembuhkan segala penyakit itu berasal dari tumbuhan beracun bernama Black Lotus. Chu Xia, kau sudah lama tidak berkumpul dengan rekan-rekan laboratoriummu. Apakah kau mau ikut bersama rombongan kami untuk m
Esok harinya, A-Yao berlari keluar dari kamar Yinlan dengan wajah panik. Dia menghampiri Zhu Yan yang sedang memberi makan ikan di dalam kolam. “Zhu Yan! Kau tahu Selir ada di mana?” “Selir? Bukankah seharusnya ada di kamarnya? Selir belum terlihat keluar sejak aku bangun pagi ini. Kau juga tidur di kamarnya, kan?” Zhu Yan meletakkan mangkuk berisi pakan ikan itu di tepi kolam, kemudian masuk ke kamar Yinlan bersama A-Yao. “Dia tidak ada saat aku bangun, Zhu Yan! Ku pikir dia sudah bangun lebih awal dan melakukan sesuatu di dapur. T-tapi …, jubah bulunya tidak ada, dan dia keluar tanpa memakai hiasan apa pun di kepalanya. Zhu Yan, menurutmu, dia pergi ke mana?” Zhu Yan sudah memasang wajah serius. Dia memeriksa seluruh kamar dengan detail tanpa melewatkan hal sekecil apa pun. “Dia masih menyimpan perhiasannya dengan rapi. Tapi lemari jubahnya terlihat berantakan. Dia seperti baru saja memilih jubah yang paling tebal untuk pergi ke suatu tempat.” Zhu Yan menyimpulkan. Dia berbali
A-Yao merapat ke dekat penjual mantau. Mengamati pertemuan itu dengan wajah serius. Mao Lian hanya mengikuti gerak-geriknya saja. Ia berbisik, “Ada apa, A-Yao?” “Lihat, ada Pangeran Chi.” A-Yao menunjuk ke depan. Mao Pian mengikuti arah pandangnya. “Kau benar. Dengan siapa dia berbicara itu?” “Itu Nyonya Ni Chang.” “Bagaimana kau tahu?” Mao Lian menatapnya dengan bingung. “Itu karena aku dan Yang Mulia Permaisuri pernah melihatnya. Bukan hanya kami, Yang Mulia Kaisar juga.” A-Yao semakin menyembunyikan tubuhnya. “Dia bersama Pangeran Chi juga saat itu. Bahkan terlihat cukup intim.”“Kenapa aku tidak tahu?” “Kau masih di Tingzhou, Tuan Mao.” A-Yao menjawab sedikit kesal. “Bagaimana jika kita mendekat?” Mao Lian memberi saran. A-Yao menggeleng tegas. “Dia bisa mengetahui keberadaan kita!” “Kalau begitu, tunggu sampai mereka masuk.” Mao Lian membenarkan sarannya. A-Yao mengangguk setuju. Dia melihat ke arah gadis penjual gantungan giok di samping Balai Opera Jiulu. Seharusnya
A-Yao duduk di tangga paviliun kecil di tengah taman sendirian. Memeluk lututnya sendiri, kepalanya tertunduk, entah memikirkan apa. Salju mulai turun lagi. Butir-butir kecil yang kian menderas. A-Yao tidak peduli, membiarkan butir-butir putih yang dingin itu hinggap di atas kepalanya. Tapi belum tentu Mao Lian akan membiarkannya. Pemuda itu memegang sebuah payung, meletakkannya di atas kepala A-Yao, dirinya berdiri di depannya sambil menatapnya dengan sendu. A-Yao mendongak setelah menyadari kehadirannya. Matanya sedikit menyipit, menatap wajah Mao Lian yang hanya menatapnya saja. “Tuan Mao.” A-Yao kembali menunduk. “A-Yao, kenapa kau tidak duduk di kursi saja? Salju ini bisa membuatmu sakit.” Mao Lian berjongkok, masih memegang payung itu. A-Yao mengangguk tanpa sadar. Diam saja saat Mao Lian menyentuh sikunya, membantunya berdiri. “Kenapa kau terlihat murung, A-Yao?” Mao Lian bertanya. “Bukankah seharusnya kau senang karena orang tua Permaisuri datang berkunjung?” A-Yao tet
A-Yao berlari ke dalam tanpa memedulikan apa pun lagi. Air mata mengaliri pipinya, wajahnya menunjukkan ketakutan yang seolah akan membunuhnya. A-Yao merentangkan kedua tangannya di depan Yinlan, menghadap kedua orang tua itu. Dengan suara tegas, dia berkata, “Jangan menyakiti Yang Mulia!” Adipati Xie terkejut dengan aksinya dan merasa terganggu. Dia berdiri dengan tangan terkepal. Di ambang pintu, Zhu Yan terlihat khawatir sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sementara tanpa dia ketahui, Jing Xuan dan Mao Lian berdiri sedikit jauh di belakangnya. Mao Lian hendak merangsek maju, tapi Jing Xuan menahan lengannya, menggeleng pelan. “Mereka perlu ruang untuk menyelesaikan masalah di antara mereka.” Adipati Xie berdiri tepat di depan A-Yao. Tangan kanannya terangkat. A-Yao bergeming, mantap tidak bergeser sedikit pun dari posisinya. “Pelayan kurang ajar!” Adipati Xie berseru geram, tangan kanannya melayang, nyaris melesat menampar pipi gadis yang sudah bertekad akan melind
A-Yao sedang berada di dapur istana bersama Zhu Yan. Dia ingat semalam mabuk berat karena meminum arak cukup banyak. A-Yao satu kamar dengan Zhu Yan. Dia memuntahkan isi perutnya di samping ranjang, membuat Zhu Yan terbangun dari tidurnya. Zhu Yan terpaksa harus membantu A-Yao membersihkan bekas itu dan membuatkan sup pereda pengar. Esok harinya, Zhu Yan membawa A-Yao ke dapur istana untuk memberinya sup anti pengar lagi. Zhu Yan berkata, mungkin ada tamu yang akan mengunjungi Permaisuri. “Kenapa kau bisa begitu mabuk, A-Yao? Apakah Kaisar tidak memberitahumu, kalau hari ini akan kedatangan tamu penting Permaisuri.”“Siapa?” A-Yao bertanya dengan nada tak peduli. Zhu Yan mengangkat bahu. “Entahlah, Yang Mulia Kaisar hanya berpesan untuk meminta tamu itu langsung menemui Permaisuri saja tanpa perlu menunggunya. Karena itulah aku membawamu ke sini, A-Yao, untuk membantuku memilih teh jenis apa yang sebaiknya dihidangkan nanti?”A-Yao menghabiskan supnya, kemudian menghampiri Zhu Ya
Suara dentingan kecil terdengar saat dua kendi arak itu saling beradu. A-Yao mendongak sambil menenggak arak miliknya. Kemudian mengembuskan napas kasar, “Ah …, nikmat sekali menghangatkan tubuh dengan arak di cuaca yang sedingin ini!” A-Yao tersenyum lebar, menatap bintang-gemintang yang berpendar di atas sana. Langit gelap tampak indah dengan bulan sabit yang cemerlang. Mao Lian mengamatinya dari dekat, sudut bibirnya terangkat, “A-Yao, kau yakin bisa menghabiskan satu kendi itu sendirian?” dia takut gadis itu akan mabuk dan dimarahi Yinlan esok paginya. Tapi A-Yao tampaknya tidak peduli, menggeleng kencang, “Aku bisa menghabiskannya tanpa mengganggu pekerjaan! Lagi pula, Tuan Mao sendiri yang minta ditemani minum arak, kan?” Mao Lian terkekeh, “Aku sudah menyiapkan mangkuk kecil untukmu, aku tidak berpikir kau akan langsung menyambar kendinya.” “Diminum langsung lebih terasa nikmat! Buang saja mangkuk itu, aku tidak membutuhkannya.” A-Yao tertawa dengan mata terpejam. “A-Yao
Jing Xuan menutup pintu kamar dengan perlahan tanpa menimbulkan sedikit pun suara. Dia melihat Yinlan sudah meringkuk nyaman di atas tempat tidur. Mungkin takut suara pintu akan mengganggu tidurnya. Jing Xuan bahkan melangkah dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkannya. “Jing Xuan, kau dari mana saja? Ini sudah hampir pukul sebelas tapi kau baru pulang?” suara Yinlan terdengar penuh selidik. Jing Xuan mematung—terkejut bahwa Yinlan masih terjaga, mulutnya menyeringai lebar, “Aku baru selesai mengurus pekerjaan.” “Apa? Pekerjaan? Benarkah? Sepanjang siang selama kau pergi dengan Mao Lian, aku menerima sebanyak sepuluh laporan dokumen mendesak dari tujuh orang menteri. Mereka bilang Yang Mulia tidak terlihat sejak meninggalkan Aula Pertemuan. Mereka mencarimu hingga ke sini demi urusan-urusan pekerjaan yang kau katakan itu.” Yinlan tampak beringsut duduk, wajahnya keluar dari selembar selimut, memberikan tatapan menyipit yang menakutkan. “Jing Xuan, apa yang kau lakukan sepa
Jing Xuan turun dari kereta kuda. Mao Lian membawa sebuah kotak berisi sesuatu yang sepertinya berharga. Kereta kuda itu berhenti tepat di depan Kediaman Adipati Xie yang masih dipenuhi kain berwarna putih di setiap sudutnya. Membuat warga-warga rendahan yang melintas refleks menjatuhkan lutut demi menunjukkan perasaan hormat mereka pada Kaisar. Jing Xuan mengedarkan pandangannya di jalanan, wajah datarnya berubah menjadi senyum ramah yang menyenangkan—dia memang telah banyak berubah setelah mengenal Yinlan lebih dekat. “Berdirilah.” Jing Xuan melangkahkan kakinya di gerbang Kediaman Adipati Xie. Yang ternyata, pemilik rumah itu sudah keluar dari kediaman demi mendengar keributan di luar bahwa Kaisar datang untuk berkunjung. “Yang Mulia, selamat datang.” Mereka segera berlutut dan menautkan kedua tangan untuk mengucapkan salam penghormatan. Jing Xuan buru-buru menyentuh siku mereka dan meminta agar berdiri, “Ibu Mertua, Ayah Mertua, tidak perlu begitu formal.” Keduanya saling m
Shangguan Yan berdiri di depan gedung utama Balai Opera Jiulu. Kedua tangannya mengepal, raut wajahnya datar dan serius. Seorang pelayan pria mendekatinya, “Tuan Muda, apakah kau membutuhkan sesuatu yang baru?” pelayan itu berbisik. Dia bernama Jin Pei. Salah satu informan yang dipekerjakan Shangguan Yan dan menjadi satu-satunya orang yang paling dipercayainya. Dia sangat ahli menyelinap tanpa jejak dan memiliki teknik beladiri yang hebat. Dia memutuskan untuk menyatakan sumpah setia pada Shangguan Yan sejak Shangguan Yan menyelamatkan nyawanya dari jebakan mematikan kelompok seniman beladiri aliran sesat. Orang ini dulunya juga pernah hampir dibunuh Liu Xingsheng, tapi nyawanya selamat setelah Shangguan Yan menyatakan sumpah setia padanya dan bersedia bersembunyi di Balai Opera Jiulu di bawah pengawasan Liu Xingsheng untuk bekerja sama dengannya. Dalam arti, Jin Pei menganggap nyawa yang dimilikinya ini adalah milik Shangguan Yan karena telah diselamatkan dua kali dari kematian.
Xi Feng mengangguk setuju. “Sejak dulu, Shangguan Zhi hanyalah nona keluarga kaya yang manja dan bergantung pada pelayannya. Sedangkan aku dan Liu Xingsheng sudah terbiasa hidup sendiri dan tidak pernah bergantung pada siapa pun, termasuk keluarga.”“Bukankah Tabib Liu itu orang kaya, ya?” Xi Feng juga mengangguk, “Ayahnya bupati di Nanzhou. Liu Yanran, adik Liu Xingsheng dianugerahi gelar Xianzhu (Putri Kabupaten) setelah ayahnya berjasa mempertahankan Heyang dari suku bar-bar di prefektur selatan Nanzhou.” “Tapi Liu Xingsheng sudah tinggal bersama Biksu Baiyuan sejak usianya lima tahun. Dia mempelajari banyak teknik pengobatan, hingga jimat dan ramalan dari Biksu Baiyuan.” “Sementara Biksu Baiyuan mengadopsi seorang anak perempuan yang usianya lebih tua dari Liu Xingsheng. Anak perempuan itu Ye Yunshang. Kudengar dia sudah tidak diasuh Biksu Baiyuan lagi sejak Liu Xingsheng belajar di sana.”“Lalu aku hanya seorang pengembara Dunia Persilatan yang tak memiliki rumah. Biksu Baiyua