Zhu Yan kembali ke Paviliun Hua Rong tepat saat matahari terbit. Dia butuh waktu yang cukup lama untuk menyusuri tempat berbahaya itu. A-Yao meletakkan teko teh di atas meja, Zhu Yan duduk di kursinya sambil menyesap teh yang baru saja disiapkan A-Yao. Sementara Yinlan sudah duduk di depannya, menunggu informasi seperti apa yang Zhu Yan dapatkan dari misi rahasia yang mendadak itu. “Apakah kau menemukannya?” tanya Yinlan. Zhu Yan mengeluarkan botol kecil yang kosong. Yinlan mencium aromanya sedikit. Dia menatap Zhu Yan dengan heran. “Dilihat dari seberapa kotornya botol ini, kau pasti menemukannya terkubur di dalam tanah. Lalu, aroma racun akonit tercium begitu botolnya dibuka, meski isinya sudah kosong, dapat diketahui itu adalah dosis sedang.” Yinlan meletakkan botol itu di atas meja. Zhu Yan mengangguk, “Aku menemukan benda itu di taman sebelah kamar Ning'er. Ada pohon persik di sana, dan yang ganjal adalah, tidak ada salju yang menutupi tanah di bawah pohon itu. Aku menggali
Mata Jing Xuan terbuka perlahan, dia beringsut duduk dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Kau sudah bangun. Bagaimana keadaanmu, Yang Mulia?” Dia hanya melihat Mao Lian yang langsung menanyakan keadaannya. Dia tidak menjawab hingga beberapa saat dan Mao Lian meninggalkan kamarnya. Jing Xuan menggeser posisi duduknya ke belakang dan bersandar di sana. Dia ingat apa yang terjadi semalam sebelum pingsan karena racunnya kembali kambuh. Dia juga yakin, saat itu, Yinlan melihat semuanya. Karena itu begitu bangun, dia berharap melihat wanita itu ada di dekatnya. Tapi untuk apa? Jing Xuan menggeram, ‘Untuk apa aku mengharapkan kehadirannya?’ Dia juga ingat, semalam, saat hampir menciumnya lagi, detak jantungnya berdebar, dia berpikir itu adalah cinta, namun kemudian, debaran itu berubah menjadi rasa yang menyakitkan. Dia dibuat kembali tidak yakin, ‘Apakah aku benar-benar menyukainya? Atau hanya berharap bisa mendapatkan kesembuhan darinya?’ Pintu kembali terbuka dan Mao Lian su
Sekembalinya dari Ruang Baca Jing Xuan, Liu Xingsheng langsung pergi ke Paviliun Hua Rong untuk menemui Yinlan dan membicarakan keberangkatan Shangguan Yan dan Shangguan Zhi. “Mereka berangkat menuju Kota Jinghe. Tempat di mana kemungkinan terbesar Teratai Hitam itu tumbuh.” Yinlan tertegun. Waktu itu akan segera datang. Dia menyiapkan semuanya dengan baik. Yinlan mengangguk pelan.“Dan juga …, kau harus berhati-hati.” Liu Xingsheng memperingatinya. “Soal apa?” “Yang Mulia sudah mulai curiga pada kita. Aku yakin, hanya soal waktu dia menemukan sesuatu tentang dupa pemikat itu, dan racun akonit di dalamnya. Aku tidak sempat berbicara padanya mengenai menghindari Permaisuri untuk sementara waktu, karena dia selalu memojokkanku dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan penyakitnya yang semakin sering datang.” Liu Xingsheng menjelaskan. Yinlan mengangguk-angguk, “Lalu, apakah sekarang kondisinya membaik?” “Dia baik-baik saja, darahmu sudah menekan racunnya, tid
Dua ekor kuda melesat beriringan di tengah hutan. Seekor kuda berwarna hitam pekat, seekor yang lainnya berwarna coklat gelap. Di atas kuda hitam itu, Shangguan Zhi berteriak sambil mengentakkan tali kekang, kuda berlari lebih cepat, meninggalkan Shangguan Yan yang menunggangi kuda coklat, jauh tertinggal di belakangnya. Hanya berjarak sekitar dua ratus meter sejak kudanya berlari mendahului Shangguan Yan, Shangguan Zhi berhenti tiba-tiba. Shangguan Yan memutuskan menghentikan kudanya di samping Shangguan Zhi dan bertanya, “Ada apa?” Shangguan Zhi mengangkat tangannya dan menunjuk sebuah penginapan di tengah hutan tak jauh dari tempat mereka berhenti. Seperti menyadari apa yang dimaksud adiknya, Shangguan Yan mendongak, “Ini masih terlalu dini untuk bermalam, bukan?” matanya menyipit melihat matahari bersinar sedikit ke barat. “Baru pukul dua siang.”Shangguan Zhi menepuk dahinya, “Kita sudah berjam-jam berada di punggung kuda setelah meninggalkan Ibukota. Kau tidak lapar? Lupa k
Shangguan Yan berusaha menggapai tangan adiknya di tengah kekacauan itu. Dia berseru-seru memanggil namanya, namun Shangguan Zhi tetap tak memberi respon. “Sial!” Shangguan Yan menghunuskan pedangnya untuk menyingkirkan burung-burung itu. Hal yang sama dilakukan oleh beberapa pendekar yang berada di ruangan yang sama dengannya. Jumlah burung yang ada di dalam penginapan mulai berkurang setelah berlangsung tiga puluh menit. Shangguan Yan meletakkan sebelah tangannya di atas kepala sebagai respon perlindungan diri. Kegelapan berangsur hilang setelah semua burung itu pergi. Meninggalkan kekacauan besar di antara bulu-bulu hitamnya yang berterbangan dan meja dan kursi yang berserakan, makanan terjatuh dan mangkuk-mangkuk pecah. Shangguan Yan mengatur napasnya yang menderu, matanya membulat terkejut melihat tubuh-tubuh pendekar yang terlibat kekacauan ini tergeletak tak sadarkan diri. “Hei, bangunlah!” Shangguan Yan memeriksa salah satunya dan menemukan mereka hanya pingsan. Shanggu
Istana Mingyue. Setelah memasuki kamar Permaisuri, Zhu Yan diminta oleh Permaisuri untuk melaporkan apa saja yang terjadi di Paviliun Hua Rong sepanjang hari kemarin. Sebelum menjelaskan, Zhu Yan melirik Ning'er yang berdiri di sebelah kiri kursi Permaisuri. Pelayan itu hanya diam dan patuh berdiri di sana tanpa melakukan apa pun dan tak bergerak walau semili. Hatinya merasa tak nyaman ketika melihat Ning'er dengan tatapan yang berbeda itu.Zhu Yan membungkukkan tubuhnya, “Tidak ada apa pun yang terjadi, Yang Mulia.” BRAK! “Jangan berbohong!” Permaisuri memukul meja bahkan sebelum kalimat terakhirnya selesai terdengar. Dengan cepat, mata Zhu Yan melihat ke arah Ning'er yang berdiri di belakang Permaisuri. Sepersekian detik berikutnya, mata Zhu Yan sudah membelalak ketika menyadari posisi berdiri Ning'er bergeser beberapa centi dari tempat sebelumnya. Dengan tangan gemetar dan wajah yang tegang seperti menahan ketakutan. Zhu Yan menyipitkan mata. Tentu saja Ning'er tidak akan
Jing Xuan sedang duduk di ruang bacanya sambik mengurus beberapa pekerjaan. Mao Lian membacakan laporan menteri dari dua hari yang lalu ketika dirinya sakit. Di wilayah Bingzhou dan Jizhou mulai dilanda bencana alam yang cukup parah sejak awal musim dingin. Longsor salju merusak jalan di pegunungan dan mengubur beberapa desa dan merenggut korban jiwa. Pekerjaan-pekerjaan semacam itu sudah tertunda selama dua hari, bantuan dikirim terlambat, Mao Lian sibuk mengantarkan surat kekaisaran untuk mengatur keperluan pangan dan barang-barang lain untuk dikirim ke kota-kota terdampak bencana tersebut. Hampir tidak ada waktu baginya untuk berurusan dengan hal lain selama dua hari terakhir.Bahkan Jing Xuan, begitu merasa tubuhnya sudah lebih baik, dia segera memegang dokumen-dokumen itu dan kembali bekerja. Sesekali memijat pelipisnya yang terasa pening dan berat, Jing Xuan terlihat fokus melakukan pekerjaannya semelelahkan apa pun itu. Bagi Kaisar, yang terpenting adalah rakyat. Selama ra
Liu Xingsheng menerbangkan merpati pertamanya setelah kembali dari Nanzhou. Dia terus memikirkan kalimat Xi Feng sore ini. Dan memutuskan segera menulis surat untuk menyuruh kakak-beradik itu berhenti di tempat dan tidak bergerak sebelum perintah berikutnya dikirimkan. Liu Xingsheng juga memberitahu tentang kemungkinan perjalanan itu berbahaya jika dilanjutkan, bahkan memberitahu kalau Teratai Hitam tidak akan tumbuh di Jinghe, meski dia belum memercayai sepenuhnya itu benar atau tidak. Dia terdiam memandangi bulan yang tertutup awan gelap. Napasnya berhembus pelan, “Yang terlihat, belum tentu yang terjadi. Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan padaku, Xi Feng? Apa dua kesalahan itu?” Gumamnya pelan. Ketukan pintu terdengar berkali-kali, seorang pelayan muncul dan memanggilnya, “Tabib Liu.” Liu Xingsheng berbalik, “Ada apa?” “Tuan Mao ingin bertemu denganmu.” “Mao Lian?” Liu Xingsheng kembali ke tempat duduknya. “Biarkan dia masuk.” Pelayan tersebut menghilang di balik pintu,
Istana Guangping menjadi sangat ramai lima tahun ke depan. Dua orang anak yang terlihat sangat mirip setiap hari berlarian di halamannya, saling mengejar, saling mencoba menjatuhkan. Satu anak adalah perempuan, dia memegang pedang kayu dan terus mengarahkannya pada si anak laki-laki sambil berkata, “Berhenti, penjahat!” Semenatra yang laki-laki tertawa riang, terus berkata bahwa si anak perempuan tidak akan bisa menangkapnya. Di dalam istana, Yinlan sedang sibuk menatap sejumlah tusuk rambut di atas meja. Bingung memilih mau pakai yang mana. “Bagaimana dengan ini?” Jing Xuan menunjukkan tusuk konde yang berwarna perak dengan batu giok putih yang indah. Yinlan menggeleng, “Aku rasa aku sudah memakai itu kemarin lusa.” “Tidak apa, pakai lagi saja.” Jing Xuan menguap, sudah satu jam dia berdiri di depan meja rias Yinlan, dan gadis itu masih belum menentukan akan memakai apa. “Aku pakai ini saja lah.” Yinlan mengambil tusuk rambut bunga rong yang pernah Jing Xuan berikan padanya du
A-Yao tampak kerepotan, menerima sejumlah hadiah dari tamu-tamu luar Ibukota yang menghadiri pernikahan terbesar di seluruh Kekaisaran Jing ini. “A-Yao, sampaikan ucapan selamatku pada Permaisuri, ya?” terlihat Nona Kelima Jiang tersenyum ramah sambil menyerahkan sebuah kotak kayu besar. A-Yao mengangguk sambil tersenyum, “Terima kasih sudah datang.” Mao Lian berdiri di dekat pintu sambil menatapnya dengan tatapan remeh, “Kau tampak sibuk, A-Yao.” A-Yao mendengus sambil menatap tajam ke arahnya, “Dari pada diam menjadi pagar seperti itu, lebih baik kau membantuku.” Mao Lian terkekeh lalu menghampirinya. Sebelum mulai membantu, dia mendekatkan mulutnya ke telinga A-Yao dan berbisik, “Baru saja Yang Mulia memberkati pernikahan untukku, A-Yao. Apakah kau terkejut?” A-Yao terdiam kaku, matanya membulat sempurna, berkedip beberapa kali. “Be-benarkah? Bagaimana mungkin,” A-Yao menyeringai tipis, mencoba mengendalikan perasaannya yang tidak karuan. Dia membatin, ‘Diberkati pernikahan?
Yinlan merebahkan tubuhnya di ranjang, Jing Xuan menjadikan pahanya sebagai bantal. Tangannya bergerak mengusap pelan helai rambut panjangnya. Aroma wangi ini, Jing Xuan sangat merindukannya. Sejak baru tiba sore lalu, Yinlan sama sekali tak mau melepaskannya. Dia selalu tersenyum dan berkata harus selalu bersama untuk menebus hari-hari saat berpisah. “A-Yin, berapa bulan lagi sampai hari kelahirannya?” tanya Jing Xuan, memecah keheningan. “Hm …,” Yinlan berpikir sejenak, “Ini sudah lama memasuki bulan ke-tujuh. Sebentar lagi bulan ke-delapan.” “Sebentar lagi, ya ….” Jing Xuan menghela napas, “Tapi dua bulan lagi sangat lama.”“Jika melewatinya bersama-sama, harusnya tidak terlalu lama.” Yinlan tersenyum lebar sampai matanya menyipit. “A-Yin, aku tidak bisa menepati janjiku untuk menikahimu di ujung musim dingin.” Jing Xuan menunduk merasa bersalah. Yinlan menepuk punggung tangannya, “Kita menikah di awal musim semi saja. Bukankah itu bagus?” “Apakah menurutmu begitu?” Yinlan
Dua minggu kemudian. Kabar mengenai kepulangan Jing Xuan telah tiba di Istana. Semua orang menyambutnya di depan gerbang istana, termasuk Yinlan dan Ibu Suri. Kabar peperangan dengan Negara Shang yang mendadak itu juga telah sampai di Ibukota sejak dua minggu lalu. Para warga merasa bersyukur saat tahu sang Kaisar berada di sana untuk meredakan kekacauan. Kini, mereka sudah berkumpul di tepian jalan untuk menyambut Kaisar mereka. Melempar bunga dengan wajah tersenyum lebar, sambil memanjatkan do’a dan pujian untuk pahlawan nomor satu itu. Jing Xuan hanya menaiki seekor kuda hitam, tidak ada tandu atau kereta kuda yang mewah yang menemaninya. Di belakangnya hanya ada dua orang tabib, dan sepuluh orang prajurit yang mengantar kepergiannya. Itu sungguh hanya kepulangan sederhana yang tidak disiapkan secara khusus. Namun semua orang justru merasa senang untuknya dan mengucapkan beribu-ribu kata syukur. Jing Xuan juga secara khusus turun dari kudanya dan menggendong anak-anak usia tig
Kamp Militer Perbatasan Utara. Jing Xuan duduk tegak di kursi, wajahnya sangat serius. Dia sedang membaca sebuah buku. Buku medis kuno yang Shangguan Yan bawa dari ruang bawah tanah beracun milik Ye Qing di Tingzhou. Dalam buku itu, tertulis bahwa Teratai Hitam bukanlah racun. Melainkan sejenis obat mujarab yang bisa membentuk ketangguhan fisik luar biasa, obat yang bisa menetralisir semua jenis racun yang tumbuh di dunia ini. Obat itu memberikan efek samping yang cukup kejam bagi pemakainya. Semua gejala menyakitkan yang Yinlan alami setiap bulan itu adalah efek sampingnya. Dan selamanya tidak bisa dihilangkan. Dalam setiap bulan, akan selalu ada hari di mana tubuh itu sendiri tiba di titik terlemahnya. Jing Xuan menggeram, “Kenapa aku tidak mengalami siklus bulanan ini juga? Padahal aku jelas-jelas meminumnya, kan?” Xi Feng menghela napas, “Yang Mulia, Teratai Hitam yang kau minum itu hanya semangkuk penawar racun saja, bukan lagi jenis obat yang sama. Permaisuri meminum selur
Satu minggu kemudian, Selir Agung Qin ditemukan di Prefektur Barat Ibukota. Jubah kekaisarannya entah hilang ke mana, semua perhiasan emas yang melekat di tubuhnya juga telah raib. Pangeran Ming menggunakan kereta kuda untuk membawanya kembali ke Istana. Sepanjang perjalanan, Selir Agung tidak mengeluarkan sepatah kata pun meski Pangeran Ming berada tepat di depannya. Pangeran Ming tidak berharap wanita itu akan bertanya tentang kenapa dia ditangkap, atau mau membawanya ke mana. Dia berpikir wanita ini akan menanyakan keadaan putranya. Namun keduanya sama sekali tidak terdengar keluar dari mulutnya. Pangeran Ming menghela napas, dia mengeluarkan sapu tangan dengan bordir lambang Keluarga Jing miliknya. Lalu dia meletakkannya di atas paha Selir Agung dan berkata, “Sekalah kotoran di wajahmu. Haoyu tidak akan suka melihatnya.” Selir Agung tersenyum tipis, “Aku bahkan tidak pantas mengambil barang milik Keluarga Jing kalian.”“Memang benar …, lagi pula, untuk apa kau memedulikan pen
Yu adalah marga sebenarnya Selir Agung Qin. Pangeran Ming menatap punggungnya, “Ibumu bahkan tidak memedulikan nasibmu, Haoyu.” Ruangan penjara itu semakin senyap, Pangeran Chi mengangkat kepala, lantas terkekeh pelan, “Kau tidak berhak menilai hubungan ibu dan anak di antara kami, Jing Tian.”“Satu hari setelah tindakan bodohmu, aku terus mencari keberadaan Selir Agung Qin di mana pun. Dia melarikan diri, bersembunyi di suatu tempat menunggu kesempatan pergi dari Ibukota yang sudah seperti neraka baginya ini. Tanpa memedulikan putranya.” Pangeran Ming diam sejenak. Dia menunggu Pangeran Chi berbalik dan menatapnya sebelum dia melanjutkan perkataan yang kian lama semakin menyakitkan itu. Namun Pangeran Chi tidak sebaik hati itu untuk mendengarkan penjelasannya. Dia tampak tidak begitu peduli dengan apa yang ibunya lakukan padanya. “Jing Haoyu.” Pangeran Ming menggeram dengan tangan mengepal. “Apa? Kau mau berkata bahwa aku ditelantarkan? Hah, kau juga tidak berhak.” Pangeran Mi
Pangeran Ming menutup rapat pintu Istana Guangping, sebelum meninggalkan tempat itu, dia menghela napas pelan. “Yang Mulia, Biro Pusat Keamanan dan Kementerian Hukum sudah menunggu.” pengawalnya melaporkan. “Ada berapa orang yang terlibat dalam pemberontakan itu?” tanya Pangeran Ming, langkahnya dengan cepat meninggalkan Istana Guangping. “Kementerian Ritus dan Adipati Wei terlibat. Mereka bersekongkol mengadakan pernikahan palsu agar Tuan Muda Wei tidak dicurigai. Dia yang membantu Pangeran Chi menculik Tuan Muda Ouyang dari Suzhou untuk dicuri identitasnya.” “Nona Kelima Jiang mengalami depresi karena pernikahannya ternyata tidak sungguh-sungguh. Selir Agung Qin melarikan diri. Sementara waktu, dia mungkin masih berada di Ibukota karena semua gerbang telah ditutup sejak hari pemberontakan.” Pangeran Ming mengangguk-angguk, menerima semua laporan itu dengan cepat. “Jangan pernah membuka gerbang itu sebelum Selir Agung ditemukan. Berikan kompensasi atas kerugian yang dialami Nona
BRUK! Jing Xuan meringis, tersungkur beberapa meter dari lokasi pertarungan. Pedangnya terlepas dari genggaman, berkelontang. Dia kembali berdiri dengan tubuh bergetar. Tangannya bergerak menyeka ujung bibir yang masih menyisakan jejak darah. Sudah lama dia tidak mengeluarkan banyak kekuatan. Tubuhnya terkejut menerima hantaman demi hantaman, terlebih, Ye Qing lebih berpengalaman, jelas lebih kuat berkali-kali lipat darinya. Jing Xuan memungut pedangnya. Memasang kuda-kuda kokoh, dia harus bisa segera mengakhirinya. Seseorang masih menunggunya dengan cemas. Shangguan Yan berteriak kencang, tubuhnya melesat cepat, melompat ke udara dengan Pedang Baijiu yang sudah berlumuran darah meski belum membunuh satu orang pun. Ye Qing mendengus, “Bocah merepotkan. Pergi kau ke neraka!” Shangguan Yan menyeringai, Liu Xingsheng melemparkan tombak Jing Xuan yang sebelumnya dibuang oleh Ye Qing. Dengan langkah halus, Shangguan Yan menjejakkan kakinya pada tombak yang masih melesat itu. Tangan