Home / Romansa / Dewa / Rasa yang Mengambang

Share

Rasa yang Mengambang

last update Last Updated: 2021-09-07 12:47:07

 Dahaga mengamuk tenggorokan. Kekuatan terseok dalam lara. Tubuh lunglai bak baja bengkok. 

 Kini sampailah dia di pertigaan pasar Beseran. Untuk mencapai rumahnya, dia harus melintasi kurang lebih empat kilometer lagi. Sayangnya dia sudah tak sanggup. Peluh tidak menetes karena dia sakit. Wajahnya merah pucat. Bibirnya kering, di sekeliling matanya berwarna abu-abu. Tubuhnya gemetaran. Perjalanannya barusan membuat tenaganya terkuras habis. Sejenak dia mampir di tempat penjual bakso yang ada di kanan jalan. Dia tidak bermaksud untuk memesan makanan, melainkan untuk numpang membuang letihnya sejenak. Banyak orang yang memerhatikan raut wajahnya dengan iba. 

 Sore telah merangkak. Pasar Beseran sepi. Para pedagang pun telah melipat tikarnya untuk membawanya pulang. Pertokoan sembako mulai tutup rapat. Giliran pedagang kaki lima yang memainkan aksinya. Penjual bakso, penjual gorengan, wedang ronde, dan lainnya. Dewa duduk membungkuk di samping mulut pintu. Di sana ada kursi tua yang sering digunakan untuk menunggu pesanan. Tangannya memegang pinggiran kursi, sementara sepedanya diparkir di sebelah Selatan gerobak bakso.

 "Mau pesan apa, Nak?" tanya penjual bakso.

 "Air putih, boleh? Tapi maunya gratis," seloroh Dewa tanpa malu.

 "E... e... i... ya..." penjual bakso itu gagu. Adat desa masih kental dengan sikap tenggangrasa dan kepedulian antar sesama. Tak seperti di kota, yang kadang air putih saja tidak bisa didapatkan dengan meminta. Penjual bakso yang wajahnya menyembulkan kerentaan dengan berbalut kain putih berlukis wajah Jokowi itu menuangkan air putih bersih dari mulut ceret ke dalam gelas. 

 "Ini, Nak." Katanya sambil mengulurkan segelas air mineral itu. "O ya... kamu sudah makan belum? Kalau belum biar bapak buatkan semangkok bakso, gratis," tambahnya dengan senyuman manis. 

 Dewa menenggak minumannya. "Nggak usah Pak, saya nggak lapar kok, saya nggak nafsu makan." Ucap Dewa.

 "Kamu nampaknya sakit, Nak. Wajahmu pucat. Memangnya habis dari mana?" 

 "Iya Pak, cuma kecapaian. Lemes banget!" balasnya. Dewa menatap datar ke jalan aspal. Lalu lalang kendaraan berasap semakin padat. Sebagian dari mereka berhenti di pinggiran pedagang kaki lima. Ada pula yang lurus ke turunan tajam, arah Bandongan atau kota Magelang, atau lurus ke atas tanjakan menuju ke arah pasar Kaliangkrik, Kajoran, dan lainnya. Memang pasar Beseran diapit oleh tanjakan dan turunan, jadinya di sana terkadang rawan kecelakaan. 

 "Sebenarnya kamu mau ke mana, Nak?" tanya lelaki rapuh itu. Namun sebelum Dewa membalasnya, ada anak remaja keluar dari tenda baksonya. 

 "Pak, baksonya berapa?" ucapnya. 

Penjul bakso itu pun langsung berdiri menghampirinya. "Tujuh ribu saja," remaja yang masih berbalut seragam abu-abu putih itu pun mengambil uang sepuluh ribuan dari sakunya. Kain itu mengingatkan Dewa kepada sekolahannya. Hari itu dia tidak masuk sekolah, besok juga nampaknya tidak, jika fisiknya masih seperti itu. Hantaman warga kemarin baru dirasa teramat menyakitkan waktu itu. Mendadak ingatannya tertuju kepada seseorang. Chika! 

 "Rumah Chika kan di Beseran," gumamnya sambil menepuk jidadnya. Dia lalu mengembalikan gelas yang sudah kosong itu, tak lupa mengucapkan terimakasih. Secepatnya dia melesat memasuki gang di samping toko sembako yang berjejer antara warung bakso dan toko sembako. Rumah Chika tak jauh dari pusat keramaian pasar. Paling tidak hanya memerlukan waktu tujuh menit jika menggunakan sepeda. 

 Sampailah dia di depan rumah Chika. Lampu dalam ruangan telah dinyalakan. Cahanya terpantul dari balik jendela. Sebentar lagi azan maghrib kan berkumandang. Jadi wajar kalau neon itu telah bekerja menerangi ruangan. Di halaman rumah Chika, terbentang tanaman hias yang menyegarkan tenggorokam jika esok. Ada bunga Mawar, tanaman gelombang cinta, pohon Jambu, dan lainnya. Rumah Chika sederhana, hanya terbuat dari papan kayu yang dijadikan blabak. Atapnya dari lempung merah yang dipanggang. Suasana rumahnya masih asri, layaknya orang desa, tidak seperti miliknya yang sudah megah bak istana raja. 

 Tok... tok... tok....

 "Assalamu'alaikum, Chika!" serunya sambil mengetuk daun pintu. 

 Chika keluar dari kamarnya. Rumah itu sepi. Kedua adik Chika, Silvi dan Reno sedang mengaji di aula Masjid dekat rumahnya. Sementara ibu dan ayahnya sedang pergi ke kota. Sebelum membukakan pintunya, dia menyibak tirai jendela, untuk melihat siapa yang datang.

 "Dewa?" matanya melotot, jantungnya berdegup kencang. Wajahnya memerah. Dia menatap tubuhnya yang masih berbalut baju babydool. Sejenak dia lari ke kamarnya untuk mengganti pakaian, dan memoles wajahnya dengan bedak. Malu lah kalau sampai Dewa tahu wajah leceknya. 

 "Chika!" seru Dewa sambil mengetuk pintu kembali.

 "Ya. Sebentaaarrr!" teriak Chika dari dalam. 

 "Huh, syukurlah," desah Dewa sambil menghela napas dalam. Untung Chika ada di rumah.

 Setelah merias dirinya. Chika pun membukakan pintu utama. Mempersilakan Dewa yang pucat untuk masuk. Wajah berlapis make up sederhana. Baju kaos putih bersih, dengan celana jeans panjang membalut tubuhnya. Tak lupa parfume kaslabangka yang harumnya mengusik ketenangan bulu hidung Dewa. Perfect performance. 

 "Eh Wa! Kesambet setan apa, kamu mau main ke rumahku?" seloroh Chika sambil cengar-cengir.

 "Ini anak, didatangi sahabatnya bukannya seneng malah dikira kesambet setan. Dasar lo!" Dewa menonyong kepala Chika. "Mau pergi kemana kamu, Chik?" tanya Dewa yang masih berdiri di depan pintu. 

 "Mau ke surga, mau ikut?" 

 "Ditanya serius juga, kamu itu memang menyebalkan!"

  "Ya... ya... ya... seorang Chika yang menyebalkan dan menggemaskan!" Chika memamerkan karakter andalannya yang selalu membuat orang-orang sulit melupakannya. "O ya kamu kok pucat banget?" 

 Chika lalu menyuruh Dewa masuk dan duduk di kursi tamu. Sofa sederhana yang bercat cokelat itu pun sedikit mengkerut ke dalam. Dewa menatih langkahnya untuk masuk. Sejenak dia hempaskan tubuhnya di sofa empuk itu. Seperti biasa, di atas meja selalu ada ranjang buah dan setoples makaroni kesukaan Chika, di samping toples itu berdiri vas bunga yang terisi imitasi dedaunan alam, lengkap dengan bunganya mawar. Tembok rumah Chika yang terbuat dari papan itu, dicat serupa warna langit. 

 "Aku nggak papa kok! Tumben rapi banget, harumnya juga semerbak. Pasti gara-gara nggak mandi trus ngabisin parfume sebotol," ledek Dewa seraya merebahkan tubuhnya untuk bersandar di bahu kursi.

 "Emangnya kalau aku mau mandi, aku harus absen dulu sama kamu?" 

 "Nggak juga," balas Dewa dengan nada datar.

 Dia memejamkan matanya. Chika mengamati sosok sahabatnya kini. Tubuh kusam bau apek. Wajah pucat pasi. Mulut kering dengan rambut acak-acakan. Tadi juga sewaktu jalan dia pincang. 

 "Kamu habis jatuh, Wa?" simpati Chika.

 "Aku ngantuk banget Chik, kepalaku sakit. Aku numpang tidur di sini dulu ya? Nanti abis isak aku pulang. Sumpah badanku sakit semua." Terang Dewa dengan mata yang tetap tertutup. Tangannya digunakan sebagai bantal kepalanya. Tubuhnya menyandar di punggung kursi. 

 Deg! Jantung Chika berdebar kencang. Khawatir mendesirkan jiwanya, membuat darah di tubuhnya menjalar tak menentu. 

 "Makanya jadi anak nggak usah banyak bertingkah! Sakit baru tahu rasa lo, emang enak!" seloroh Chika ketus, walau sebenarnya tak bisa dipungkiri rasa cemasnya yang dalam. Watak Chika memang seperti itu. Ketus, asal ceplos, jail namun perhatian. 

 "Mau aku obatin?" tawar Chika sambil pindah duduk di sampingnya.

 "Aku maunya dipijatin Chik, badanku sakit karena abis dipukulin banyak warga." 

 "Hahahahahahaha!" Chika malah tertawa setan. Hal itu membuat Dewa memelototkan matanya. 

 "Apa lo ketawa?" gerutu Dewa.

 "Nggak, lucu saja. Pantaslah orang jelek kayak kamu dikeroyok orang. Pasti kamu nabrak orang kan sewaktu naik sepeda, gara-gara ngelamun. Iya kan? Habis itu kamu dikeroyok warga," ledek Chika. 

 "Ah tahu ah, lagi malas debat sama kamu. Aku mau tidur, jangan lupa habis isak bangunin ya! Kalau kamu mau ke masjid, ke masjid saja." cetus Dewa lalu menyandarkan kepalanya lagi di bahu kursi. Yah Chika memang rajin ke masjid jika azan maghrib menggema. Sayangnya kali ini dia sedang kedatangan tamu merah. Dia pun hanya tersenyum manis. Sebenarnya Chika kasihan melihat sahabat karibnya itu hanya tidur di sofanya, tapi dia tidak berani menyuruhnya tidur di kamarnya, nanti tetangga pada risuh melantunkan aib. Maklumi sajalah, adat orang desa. Kedatangan tamu lelaki sore-sore saja mata sudah saling melotot jika ada yang tahu, apalagi sampai nginap, bahkan tidur di kamar perempuan. Jangan harap nama baik keluarga akan tak terpoles hitam. Untungnya warga Beseran tahu kalau Dewa adalah teman akrab Chika, coba kalau tidak? Omongan jelek pasti sudah mengembara. 

 Chika menggelembungkan pipinya yang tembem. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya. Chika mengambil baskom di dapurnya. Dia tuangkan air panas dari dispenser lalu mencampurnya dengan air dingin. Tak lupa mengambil handuk kecil, untuk mengompres wajah Dewa yang lebam. Usainya dia kembali menuju ruang tamu. Baskom itu diletakkan di atas meja samping vas bunganya.

 Chika memeras handuknya, lalu membersihkan wajah Dewa yang terlelap.

 "Kau tampan sekali, Dewa. Tampan luar juga dalam, sehari saja kamu tidak berangkat sekolah, aku kesepian Wa, perasaanku ngambang, seolah tak ada rasanya. Entah sedih atau sepi, tepatnya hampa kalau tidak ada kamu di belakang tubuhku, walaupun kamu hanya akan melamun," batin Chika sambil menatap lekat-lekat wajah Dewa. 

     °°°°°°°°

Related chapters

  • Dewa   Di balik Putih, Ada Hitam.

    Nyonya Finda telah pulang kerja. Didapati kamar Dewa masih sepi tak berpenghuni. Perasaannya krungsang, tidak tenang. Beliau lalu menggeser langkah menuju kamarnya. Duduk di depan meja rias, sambil menyeret-nyeret layar hape samsungnya. Beliau mengirim pesan pendek kepada Reihan."Dewa belum pulang, lama-lama ibu khawatir Rei, bagaimana kalau dia kenapa-napa?" messege delivered. Lima belas menit Nyonya Finda menunggu balasan dari putranya yang selalu dibanggakan, namun yang ditunggu tak memberi tanggapan. Beliau pun hanya bisa menebak, mungkin Reihan masih sibuk belajar.Jauh di ambang cakrawala sana. Di tengah-tengah kebimbangan dan kekhawatiran orangtua. Sang Reihan mencumbu bibir perawan. Gemerlap lampu disko menyinari ubun-ubunnya. Alunan lagu disko melengking di gendang telinga. Pelayan-pelayan bir yang seksi-seksi, berjejer di pinggiran bar. Moncong-moncong nyawa bersulat asap rokok. Ada yang mengandung zat terlarang, a

    Last Updated : 2021-09-10
  • Dewa   Yang Malang dalam Gelap

    Gelap membuka jubah penerangan bagi sang Rembulan. Jantung waktu lebih mempercepat lajunya. Esok sekejab dilalui oleh sekelompok anak jalanan. Dari pagi buta sampai malam menjemput, kaisan logam terus tertadah. Sayang hanya sepersih barang sepuluh rupiah pun tak terhitung. Koin-koin berharga mereka tumpahkan di atas permukaan tanah, di dalam sekatan kardus mereka.Seharian penuh, Ovan, Agus, Intan, Caca, dan Enggar yang dalam keadaan sakit, menengadahkan telapak tangannya di bawah terik mentari. Jika petang telah memeta jejak, mereka pun kembali ke markas semula. Biasanya mereka akan berpesta ria, kalau uang sudah terkumpul, usai seharian mengais riski dari jalanan. Mereka jarang sarapan pagi, paling makan siang kalau ada banyak koin yang didapat, jika mentok yang didapat pas-pasan seperti malam itu. Mereka pun terpaksa tidak makan siang, yang penting malamnya tidak kelaparan. Karena menurut mereka, lapar saat gelap menjelma itu amatlah menderita.Cac

    Last Updated : 2021-09-11
  • Dewa   Nasib Anak Jalanan

    Perjalanan dari Semarang ke Magelang cukup melelahkan. Akhirnya sampai juga Ovan di Borobudur. Dengan semangat membara anak itu menaiki tangga candi sampai ke tingkat yang paling atas. Tangan Papa dan Mamanya digenggam erat, sementara kakaknya mengekor di belakang. Ice paddle pop, dijilatinya sedari tadi. Wajahnya riang sumringah. Tak dirasa mentari yang membakar habis kulitnya hingga keringat berleleran, seperti ice creamnya yang mencair. Wajah Mama dan Papa nampak lunglai, begitu juga dengan kakak perempuannya. Namun dia cuek, baginya yang penting bisa jalan-jalan bersama, itu cukup membahagiakan. Mau mereka cemberut atau muram dan marah, itu urusan belakangan."Papa gendong!" serunya."Aduh, kamu ini, manja banget!" seloroh Papanya lalu menggendong Ovan kecil.Sampailah mereka di atas, sejenak mereka mengitari candi. Patung-patung batu yang mengagumkan. Pahatan-pahatan di dinding candi sungguh indah. Ovan menyentuh lukisan

    Last Updated : 2021-09-14
  • Dewa   Sebuah Perhatian

    Aroma nikmat menyengat ke sela-sela hidung Dewa. Matanya pun mendelik menatap apa yang tengah terpampang di meja. Ada sop jagung, ayam goreng, ikan goreng, lodeh terong hijau, dan sambal hati. Ke semuanya masih mengepul-ngepulkan asap di udara. Lensanya yang semula terjerat kegelapan karena tertutup tabir mimpi, mendadak bening sekali.Chika keluar dari dalam, menenteng satu ceting nasi panas. Celemek cokelat masih menempel di tubuhnya. Wajahnya berlumur keringat, namun tetap ceria untuk setia mengulum senyum kepada Dewa. Dia sengaja mengangkut semua masakannya ke ruang tamunya yang sempit itu, lantaran Dewa sudah di sana. Dia tidak ingin menambahi penderitaan kaki Dewa yang pincang untuk berpindah-pindah tempat."Menu makan malam sudah siap, adakah yang mau makan?" kata Caca sambil bergaya seperti waiters kafe."Kamu masak semua ini?"Chika mengangguk."Untuk siapa? Untuk aku?""Pe

    Last Updated : 2021-09-16
  • Dewa   Adakah Makna Cinta?

    Bukan masalah heboh atau tidaknya. Tapi itu masalah anak jalanan yang bernaung atap kardus di pinggiran sana. Kalau hujan mana bisa atap kardus menaungi tubuh mereka dengan kehangatan. Mereka bisa kedinginan dan lebih mengenaskan lagi rumah mereka akan roboh. Oh tidak... hati Dewa perih sangat. Rasanya dia ingin kembali ke tempat Ovan dan kawan-kawan untuk mengajaknya ikut bersama tinggal di rumahnya yang megah. Tapi apa bisa, kakinya saja seolah tak mampu menopang berat tubuhnya yang tak seberapa."Intan, Ovan, Caca... " katanya lirih dengan tatapan menerawang."Maksudmu?" Chika tak mengerti."Ah tidak, aku mau pulang," dia lalu menghempaskan tubuh Chika. Pintu dibuka. Dia keluar, sejenak langkahnya terhenti. Berdiri termenung menatap rintikan hujan yang nampak karena sorotan cahaya lampu. Gelap merajai malam. Mendung pun merajut pandang."Ya Tuhan, ini benar-benar hujan, bagaimana dengan mereka?"&n

    Last Updated : 2021-09-16
  • Dewa   Sial!

    Tubuh Dewa lunglai. Badannya bertambah sakit. Pandangannya buyar-buyar samar. Dia diam saja, Chika yang berkali-kali bertanya sesuatu, tak kunjung dijawabnya. Tubuhnya lemah seringan kapas. Di tanjakan Maduretno, tetangga kampung Kaliangkrik. Tepatnya di depan sekolahan SMPnya dulu, Dewa hampir terpelanting jatuh ke jalan raya. Udara dingin dari air hujan, membuat penderitaannya semakin bertambah.Shiiiiittttt...! Chika mengerem mendadak, mengetahui Dewa yang sudah dalam keadaan miring."Dewa, kamu pegangan dong! Nanti kamu masuk rumah sakit!" seru Chika."Kepalaku sakit banget, Chik!" pekik Dewa dengan suara parau."Makanya kamu pegangan nanti kalau jatuh gimana?"Dewa memeluk tubuh Chika. Terasa hangat dan aneh. Tentu karena selama ini dia belum pernah memeluk orang. Ibunya saja jarang dipeluknya. Perasaan aneh menjalar di sekujur tubuhnya. Ah entahlah! Dewa tak memusingkan masalah itu."Ini

    Last Updated : 2021-09-17
  • Dewa   Mekarnya Mawar

    Meninggalkan Magelang kota seribu bunga adalah hal terburuk dalam waktu Mawar. Sanubarinya terbelenggu luka yang teramat getir. Pekerjaan seks bukanlah dambaannya dari dulu, walau hasilnya selalu memukau mata, tapi itu adalah sebuah pilihan. Kalau tidak bagaimana dia menyekolahkan adiknya sementara ayah dan ibunya telah meninggal dunia. Dia kini menjadi tulang punggung untuk adiknya, sebenarnya Mawar bukan anak jalanan, dia memiliki tempat tinggal yang cukup lumayan, ketimbang anak jalanan. Rumah gubuk Mawar ada di kampung sana. Lumayan jauh dari komplek gelandangan. Dia rela tidur di atap kardus, asalkan adiknya tidak tahu kalau selama ini dia melacur. Setahu adiknya, dia sedang kerja di luar kota. Adiknya sendiri kini baru duduk di kelas tiga SMP, tentunya sebentar lagi akan mengupas kantong sakunya secara besar-besaran, untuk membiyayai keperluan ujian, dan acara perpisahan, atau pun rekreasi.Tragis lagi perasaan hatinya, kenapa pula ada ja

    Last Updated : 2021-09-18
  • Dewa   Intan

    Di atas awan melanju tanpa arah, begitu rupa dengan beberapa anak jalanan yang tengah melangkah menembus kegelapan menghindari terpaan embun Tuhan. Rumah mereka roboh, tak lagi mampu melindungi mimpi mereka dalam kelamnya kegelapan. Tubuh yang letih itu, kini ditatih menyusuri bermeter-meternya jalan yang masih terpeciki airmata langit. Badan mereka bermandikan air. Intan menggendong Caca, Ovan memapah Enggar yang semakin melemah, sementara Agus menggendong karung-karung berisi bantal dan baju-baju mereka. Mereka terus melaju tanpa tahu kemanakah mereka akan menepi.Tuhan menciptakan langit berhiaskan keindahan dan kesedihan. Jika bintang dan rembulan datang, tentunya pesolek wajah jubah biru di atas sangatlah menakjubkan, tapi kala kabut, petir, hujan menghantam, apalagi kalau bukan ketakutan dan kedengkian yang menjelang. Tuhan maha adil, tentunya Ia menciptakan sesuatu itu dengan saling berpasang-pasangan. Hal itu diyakini oleh para anak jalanan tersebut. Mungk

    Last Updated : 2021-09-19

Latest chapter

  • Dewa   Lembaran Baru

    Satu bulan berlalu setelah kejadian itu. Ke enam sahabat sama sekali tidak ada yang keluar rumah bahkan berangkat kuliah. Anak jalanan sering meratap dan menangis di bawah rembulan. Mawar sendiri juga ikut terdiam dengan kesedihannya antara dilema cinta yang pahit. Mengingat kondisi janinnya yang akan terkena HIV AIDS juga, serta keadaan Dewa yang tak kunjung membawa kabar indah.Untunglah waktu berbudi baik, tak mau membuat Dewa terluka berlama-lama. Sebulan penuh dia tersungkur dalam pembaringan. Bangkit dengan sisa keterkejutannya mendengar bahwa Reihan meninggal. Langsung airmatanya terjun. Dadanya sesak dicambuk kepedihan. Dewa menangis di ranjang rumah sakit. Nyonya Finda mendekapnya erat-erat."KAK REIHAAANNN!! KAK REIHAN, BU! KAK REIHAN DI MANA???" jeritnya membuat suasana semakin menyesakkan. Nyonya Finda tak kuasa menahan airmata."Sabar, Nak." Nasihat Nyonya Finda seraya mengelus ubun kepala Reihan.&nb

  • Dewa   Kepergian

    Satu Minggu berlalu. Mereka sudah sama-sama mendaftar di universitas yang sama, pada tanggal yang sama, waktu yang sama, keberangkatan yang sama, hanya jurusannya saja yang berbeda.Kala itu langit mendung. Nyonya Finda sedang memasak di dapur. Dewa duduk termenung di balkon depan kamarnya. Dia menatap bintang yang tidak tampak. Dia mengingat Chika dengan senyuman manis. Gadis itu membuat hatinya jatuh dalam kegelapan cinta. Suatu saat nanti kalau impiannya sudah tercapai dan kuliahnya selesai. Dia ingin langsung melamar Chika untuk memberi kejutan. Akan sangat menyenangkan masa depannya. Sekali lagi waktu pertegas bahwa mimpinya adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta mencerdaskan anak jalanan. Dia ingin menaunginya. Selamanya. Dan sekarang setidaknya mimpi itu sudah kelihatan berjalan.Praanngg...lamunanya buyar. Suara gelas pecah mencium lantai dari kamar sebelah. Yah kamarnya Reihan. Ada apa? Napas Dewa langsung se

  • Dewa   This is My Dream's 2

    Keesokan harinya dia mengkopi surat yang ditulisnya itu. Dia lalu mengirimkannya ke sekolahan SD ketika berangkat ke perkampungan kumuh. Setiap didapati sekolahan, dia berhenti dan menitipkan surat itu kepada satpam agar disampaikan ke Kepala Sekolah dengan segera. Setiap mengulurkan surat itu, dia berkata keras-keras SEGERA. SEGERA PAK. NGGAK PAKAI LAMA! Satpam pun hanya menggeleng-geleng.Dewa memang anak yang bertekad baja. Keinginannya tidak pernah bisa diganggugugat. Apalagi jika ada yang sampai bisa mengalahkan watak keras kepalanya. MUSTAHIL. Ada yang pernah mencoba tapi selalu gagal.Sampai di perkampungan kumuh alias perumahan kardus. Mata Dewa berkedip-kedip. Anak-anak jalanan sudah tertata rapi dan belajar seperti kemarin. Mereka malah tampak lebih semangat. Sesekali terdengar suara tawa yang menggelegar karena banyolan Den...eih itu siapa? Den? Dendi??"SUPRAISE!!!" jerit Chika dan ketiga kawannya, Edvin, Rivani, Y

  • Dewa   This is My Dream's 1

    Pagi menguning di ufuk Timur. Senyumnya telah mengembun di dedaunan. Burung ikut menyambut semarak hari dengan berhening cipta di kabel listrik yang mengular sepanjang jalan, terpikir mereka sedang bersyukur dengan kekuasaan Tuhan. Hari itu usai salat shubuh berjamaah bersama Reihan dan Nyonya Finda. Kejadian yang dialami mereka menyadarkan mereka semua tentang makna ketuhanan. Selama ini mereka telah melangkah dalam jalan yang gelap, walhasil hidup pun tak pernah lelap. Ada saja masalah hingga membuat hidup susah. Bagaikan tidur di springbed lembut tapi mata terjemput mimpi buruk, itulah mengapa hidup tak pernah lelap. Dewa langsung loncat dari ranjang tidurnya bergegas mandi, sarapan dan melesat menenteng tasnya, tak lupa dia membungkuskan nasi serta sayur dan lauk pauknya. Kamera canonnya dikalungkan di leher."Mau ke mana?" sapa Reihan yang tengah duduk di meja makan. Tangan kirinya memegang gelas berisi air putih, sementara yang kanan memegang kapsul obat.&nb

  • Dewa   Syukuran

    Perjuangan menahan sakit, begadang setiap malam ternyata tak berujung kesia-siaan. Chika dan kawannya yang sering main ke rumah sakit untuk mengajari Dewa, ternyata semuanya masuk sepuluh besar. Dan apakah Anda tahu? Dewa yang jarang masuk sekolah dan tidak pernah ikut les, masuk dalam kategori tiga besar. Chika si gadis menggemaskan itu meraih peringkat pertama, Rivani ke dua, Dewa ke tiga, Dendi ke empat, Edvin ke lima, sementara Ogi mendapat peringkat ke dua dalam urutan kelas IPAnya. Oh menakjubkan! Senang sekali ketika perjuangan mereka membuahkan hasil, terutama bagi Dewa. Kau tahu? Nyonya Finda amat bangga mendengar kabar menggembirakan itu. Selama ini Nyonya Finda tidak pernah yakin kalau Dewa akan lulus. Bagaimana tidak? Dia saja jarang sekolah, mbolos kerjaannya. Detik-detik akhir ujian malah harus rawat inap, bagaikan mukjizat yang turun dari langit kesuksesan Dewa bagi beliau.Akhirnya hari selanjutnya setelah pengumuman kelulusan. Nyonya Finda mengada

  • Dewa   Renungan

    Dewa berdiri di depan jendela. Ke dua lensanya menatap lurus ke angkasa. Pijaran gumintang di sana begitu menawan. Rembulan membentuk pisang dan tersenyum kepadanya. Cerah. Melintir kehangatan pada gulita dalam penerangan. Hari itu adalah menit terakhir Dewa belajar menyambut ujian Nasional. Mulai besok dia sudah akan bertempur dengan segala macam soal-soal ujian. Bahasa Indonesia, Matematika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris. Jantungnya berdegup kencang membelah keheningan malam. Akan sanggupkah besok? Dia baru belajar selama satu minggu. Jam menunjukkan pukul dua belas pagi. Pergantian tanggal dan hari, tinggal menunggu beberapa jam lagi, Dewa akan dihadapkan dengan soal ujian esok nanti.Keadaannya cukup membaik. Hanya tampak masih lemas. Itu karena beban pikirannya selama ini. Walau sudah berusaha fokus terhadap pelajaran, tetap saja bayang anak jalanan yang menderita di keheningan malam, dalam balutan gerimis langit, serta panasnya mentari kala siang menje

  • Dewa   Kejutan

    Sewaktu berangkat les, Chika menyempatkan diri mampir ke toko buat membeli buah-buahan dan membungkus kejutan untuk Dewa. Benda yang sejak SMP menemaninya itu telah ditemukan di warung bakso tiga hari lalu. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin ingin memberikannya, tapi karena nomor Dewa tidak aktif, ya terpaksa dia simpan terlebih dahulu. Dia tersenyum manis membayangkan kebahagiaan Dewa yang sebentar lagi akan terukir karenanya. "Pasti dia akan amat berterimakasih kepadaku," gumamnya kepedean.Waktu cepat bergulir. Senja tak mau menunggu terang terlalu lama, dia singkirkan bolam api langit ke rumah Barat. Usai les ke lima kawan langsung berangkat ke rumah sakit. Perjuangan! Begitulah mereka menamainya. Bagaimana tidak? Mereka harus mencari kamar Reihan tanpa tahu nama lengkapnya. Suster bilang nama Reihan yang dirawat di rumah sakit itu ada lima. Dari ke lima kamar yang disebutkan oleh suster itu didatangi semua. Dari ujung Barat sampai ujung Selatan. Mereka akhir

  • Dewa   Apa yang Telah Kuberikan?

    Agus lari terbirit-birit kembali ke kamar Enggar. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat mendalam. Caca dan Intan sudah dari tadi malam di kamar Enggar, membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah kardus, seperti bajunya Enggar yang kotor, dan peralatan makannya yang dibawa dari rumah kardus, sendok plastik, gelas plastik, dan piring plastik. Semua barang dimasukkan ke dalam karung yang masih bersih. Napas Agus putus-putus, dia menumpukan tangannya di lututnya. Seperti sedang rukuk di depan mulut pintu."Dari mana saja kamu, Agus?" tanya Enggar dan Intan hampir bersamaan. "Kenapa setelah mengejar Ovan kamu tidak balik lagi ke sini?" kata Intan dengan nada menuntut.Agus berdiri, dia menghela napasnya. "Aku menunggu Kak Dewa, dia sakit. Dari semalam belum sadarkan diri," seru Agus berusaha menjelaskan.Caca yang duduk manis di ranjang mendadak terperanjat kaget. Dia langsung loncat ke bawah dan berjalan meng

  • Dewa   Bunga di Ujung Cakrawala

    Diam. Satu kata pun jarang terucap. Menyendiri di kelas, sama sekali tak mau beranjak. Belajar malas. Pelajaran tak pernah mampu ditangkapnya. Yang ada hanya sosok pemuda yang amat dicintainya. Tapi semu. Pemuda itu hanya menjadi bayang kelabu. Berangkat les lesu. Seakan-akan tak pernah ada semangat dalam hidupnya. Walau di sampingnya ada seorang pangeran yang siap memberikan cintanya dengan sempurna. Bodohnya dia malah ingin memetik cinta yang belum jelas kepastiannya.Chika merenung di kelas. Ke dua tangannya menyangga dagu manisnya. Lensanya menerawang jauh di balik kaca jendela. Sudah berpuluh kali Chika menghubungi nomer hape Dewa tapi tidak aktif-aktif juga. Itu suda empat hari Dewa tidak masuk sekolah. Setelah ada kabar Reihan masuk rumah sakit Dewa sama sekali tak masuk sekolah dan Nyonya Finda pun tak memberi informasi di mana keberadaan Dewa. Tiga hari lalu Dendi dan dia ingin menengok Reihan di rumah sakit, tapi sayang, niat itu terpaksa harus digugurka

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status