Home / Romansa / Dewa / Lapar

Share

Lapar

last update Last Updated: 2021-09-03 09:48:48

 Caca membawa sebaskom air itu ke naungan kardus mereka. Ditentengnya dengan ketulusan. Dewa ingin membantunya, Caca menolak. Dia pun akhirnya hanya mengikuti langkah Caca di belakang. Namun sebelum tiba di tenda kardus,

 Tiba-tiba... Bruk.

 Astaga! Seorang perempuan cantik menabrak tubuh Caca. Anak berponi Dora itu terpanting ke samping. Air yang ada di dalam baskom pun tumpah. 

 "Heh, kalau jalan hati-hati dong! Anjing lo," jerit perempuan itu sambil menuding wajah Caca dengan jari telunjuknya.

 Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya. Perempuan yang memakai rok se atas lutut dan baju pink ketat itu sudah salah tak mau mengalah. Jelas-jelas dia yang tidak hati-hati, jalan seenaknya. Jalan sambil sms-an menuntun jemarinya di lantai keybord Blackberrynya. Jika dilihat dari tampangnya serta penampilannya, dia adalah orang kaya. Lipstik merah mawar, elsido, maskara, bedak lima senti, memoles kecantikan alamiahnya. Wajahnya nampak seperti barbie, kulitnya putih mulus bersih. Kakinya memakai sepatu highheels sepuluh senti. Tingginya pun kini sejajar dengan Dewa. Rambutnya yang ikal panjang sepunggung diurai ke belakang.

 Sebelum Dewa membela Caca, dia sempat membantu Caca untuk berdiri.

 "Kamu yang salah! Jalan pakai mata dong," gerutu Dewa.

 "Heh anjing lo! Berani-beraninya nyalahin gue, gue nggak salah, anak kecil itu yang salah. Gara-gara dia kaki gue basah kena air. Tolol!" dia menonyong jidad Dewa dengan kasar. Kepalanya yang masih pening karena amukan kemarin pun bertambah pening. Hampir saja dia terjatuh tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. 

 "Maafkan Caca Kak Mawar," seloroh Caca dengan nada iba. Dia lalu mencium tangan Mawar. 

 "Caca kenal dia?" tanya Dewa tidak yakin. Caca mengangguk. 

 "Astaga, kamu benar-benar keterlaluan! Sudah tahu anak kecil itu kamu kenal dibentak dan dimarahin, padahal dia tidak bersalah," 

 "Heh, mata lo buta?" bentaknya sambil mengibaskan bibir Caca yang tadi mencium tangannya. Wajah Caca pun merona merah, bukan karena malu, melainkan karena airmata dari matanya yang indah itu akan jatuh. 

 "Kamu yang buta! Tidak bisa membedakan mana yang salah dan yang benar!" bentak Dewa.

 "Anjing lo, taik, babiiiiiii...." 

 Dewa langsung menggiring Caca untuk pergi. Dia khawatir anak kecil itu mencontoh perkataan Mawar yang menjijikkan. Paras saja yang cantik, hatinya busuk, lidahnya juga tak terjaga. Mawar pun menendang kaleng yang ada di depannya, lalu pergi berlalu meninggalkan kawasan itu.

 Caca menangis sesenggukan sambil berhambur di pelukan Intan. Sementara Dewa mematung di depan kelambu yang menguak lentera dari luar. Dilihatnya lelaki yang tengah terbaring di atas lembaran sarung lusuh, berselimut dengan kertas kardus besar. Wajah itu? Yah... itu wajah yang kemarin memakaikannya topi. Dia yang membuat warga mengamuknya. Mendadak emosi Dewa mendidih. Dia mengalungkan kamera yang sedari tadi dipegangganya. Dia menghampiri anak lelaki itu. Tak dihiraukan lagi Caca yang masih menangis, kini dia terfokus dengan tubuh berselimut sebilah kardus itu.

 "Heh, kamu kemarin yang nyopet kan?" hardiknya.

 Lelaki itu hanya diam. 

 "Dewa, apa yang terjadi dengan Caca?" tanya Intan. 

 Sayangnya Dewa tak menggubris pertanyaan Intan. "Woi lelaki sialan! Jawab omonganku, aku sedang mengajakmu bicara!" seru Dewa sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Anak lelaki itu membungkuk, nampak seperti menggigil karena sakit. Lensanya terbuka, sayang mulutnya dikunci. 

 "Kamu bisu atau tuli? Hah?" emosi Dewa semakin bertambah menggebu.

 Intan yang melihat lelaki itu, lelaki yang tak lain adalah Enggar teman seperjuangannya menggelandang tak terima dia diperlakukan seperti itu. Jika dia tidak kelaparan dia juga tidak akan mencopet. Intan menurunkan tubuh Caca dari pangkuannya. 

 "Caca diam dulu ya, kakak mau nolong Kak Enggar," katanya sambil mengelus kepala Caca. Anak itu pun menurut. Airmatanya diseka, walau bahunya masih terguncang sesenggukan. Caca duduk di mulut kelambu sendirian. Sementara Dewa tepat di samping tubuh Enggar yang terbaring di dalam.

 "Dia nggak bakal nyopet kalau dia tidak kelaparan! Dia juga melakukan itu terpaksa, sebenarnya kami juga nggak tega kamu dipukuli seperti itu, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau kami keluar, kami semua bisa jadi amukan warga." Rajuk Intan.

 "Tapi tidak sebaiknya dia meletakkan topi dan tasnya kepadaku, aku kan jadi sasarannya. Pokoknya aku akan memproses kejahatan ini kepada hukum!" geretak Dewa. 

 "Kak Dewa jahaaaattt... Kak Dewa jahaaattt," Caca menghambur ke tubuhnya. Dia memukuli kakinya. 

 "Aduh," Dewa meringis kesakitan. Bekas injakan orang kemarin saja masih membuatnya pincang, apalagi ditambah dipukuli anak itu, walau kekuatannya tidak seberapa, tetap saja menambah derita di kakinya.

 "Kak Dewa jahat! Kak Dewa jahat! Caca kecewa, Caca kecewaaaa..." anak itu kembali menangis, malahan bertambah histeris.

 "Caca," Intan jongkok, menghampiri tubuh mungil yang memakai baju kebesaran itu, lalu memeluk tubuh Caca. Tubuhnya malah ikut terguncang. Kedua perempuan itu menangis. Dewa iba melihat mereka. Hatinya sakit sekali. Dia pun jongkok. 

 "Maafin kakak, Caca." Desah Dewa menyesal.

 "Kami lapar! Kami terpaksa melakukan hal itu, kami lapar... kami lapar..."

 "Andaikan kami punya orangtua," sambung Enggar. Kali ini dia duduk setengah badan, menyibak selimut kardusnya itu. "Kami tak akan semenderita ini, maafkan aku karena kemarin membuatmu terluka," 

 Enggar juga menitikkan airmata. "Kami lapar," seru Intan lagi. Sementara tubuhnya masih memeluk Caca. 

 Hati Dewa tersentuh. Sakit menjalar sampai ke seluruh tubuhnya. Mendadak tubuhnya terseok. Dia pun duduk di atas tanah. Melingkarkan tangannya di kedua lututnya. Pandangannya lurus. Dia kesal kepada Enggar, tapi mendengar jerit mereka yang kelaparan serta melihat bulir-bulir airmata mereka seolah hatinya dicambuk palu malaikat maut. Sakit sekali!

 "Aku tak pernah berkeinginan mencopet kalau perutku masih kuat, aku nggak kuat Kak, perutku sakit sekali." Lanjut Enggar.

 "Enggar," Intan menghapus bulir yang menetes di pipinya. Caca dibiarkan menangis sendirian tanpa dekapannya yang bisa mengurangi kesedihan batin anak kecil itu.

 "Kamu istirahat dulu, nanti aku cariin kamu makan, badan kamu masih panas. Wajahmu juga pucat," 

 Mendengar itu. Dewa langsung menoleh menatap Enggar. Jadi anak itu sakit? Ya Tuhan, dia menyesal karena tadi mengganggu istirahatnya. Tapi bagaimanapun juga, Enggar tetap bersalah. Wajar kalau dia marah. 

 "Kamu sakit apa?" kali ini Dewa berkata lembut. 

 "Tidak usah urusi kami, sebaiknya kamu pulang. Dan aku mohon jangan bawa masalah Enggar ke polisi," pinta Intan.

 Kalimat itu begitu menusuk relung hati Dewa. Bukan untuk melaporkannya kepada polisi, tapi karena Intan marah kepadanya hingga dia tidak boleh mengurusi mereka. Dia tidak tega. Dia ingin membantu. 

 "Kak Dewa pergiiiiiiii!!!!!" teriak Caca sambil berdiri menghadapnya dengan mendorong-dorong tubuhnya yang rapuh. 

 "Maafkan kakak. Caca," desah Dewa sambil menghapus airmata Caca.

 "Pergiiiiiiiii..."

 "Pergilah, Caca sudah tak menghendaki adanya kamu di sini," sergah Intan.

 Dewa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia pun akhirnya keluar. Badannya yang masih lemah dipaksa menuntun sepeda untuk menyusuri gang demi gang sampai ke jalan raya. Dia sengaja tak menaiki sepedanya. Kakinya masih sakit dan ngilu, melangkah saja pincang, apalagi mengobel sepeda sampai ke kampungnya. Tidak mungkin dia akan sanggup. 

 Sesampainya di pertigaan, dia berhenti sejenak. Dia mampir ke warung makan pinggiran yang ada di sebelah kanan jalan. Warung tenda, beratap terpal orange dan berpondasi sebilah kayu bambu di setiap sudutnya yang dikaitkan dengan tali rafia. Warung itu cukup sederhana, satu meja kusam memanjang, dan satu kursi memanjang dengan cat cokelat. Jika di Jogja tempat seperti itu biasanya disebut angkringan, tapi menurutnya itu bukan angkringan karena menu makanannya berbeda. Kalau di angkringan menyediakan sate usus, sate hati, sate ayam, gorengan, dan nasi yang sudah dibungkus dengan harga seribuan. Sementara warung itu menyediakan aneka makanan, seperti gado-gado, nasi ayam, nasi pecel, dan aneka makanan yang lainnya. 

 Dia memesan satu es teh dan satu piring nasi ayam. Sepedanya diparkir di samping warung itu. Satu suap nasi dia lahap. Seolah tak mampu menelannya, mengingat anak-anak yang kelaparan di tenda kardus. Airmatanya menetes begitu saja. Dia membayangkan kalau mereka tak mendapatkan uang sampai malam, makan apa mereka nanti? Di rumahnya dia sering membuang-buang nasi seenaknya saja. Padahal di luar sana masih banyak orang yang kelaparan. Jangan sampai mereka mengosek-ngosek tempat sampah. 

 Dewa sungguh tak mampu memakan makanannya. Bukan karena jijik dia singgah di tempat itu. Biasanya kalau bersama Chika dan Dendi dia akan makan di tempat bersih, seperti rumah makan berkelas, kafe, atau restoran kecil. Tapi dia tidak mempermasalahkan hal itu, melainkan karena mengingat penderitaan anak-anak jalanan. Selama ini dia hidup mewah, makan nikmat, tidur enak, sekolah tinggal berangkat. Mobil punya, motor apalagi. Saku sehari seratus ribu. Lah anak jalanan? Sehari buat makan saja susah payah. Harus mengumpulkan koin dulu dengan menjual keringatnya di bawah sengatan bola pijar dunia. 

Dewa merogoh sakunya, ada uang lima puluh ribuan, dan dua puluh ribuan. 

 "Pak, satu porsi nasi ayam harganya berapa?" tanyanya usai menghapus airmatanya yang menetes. 

 "Tujuh ribu lima ratus, Nak." 

 "Saya pesan enam, Pak. Dibungkus ya? Kesemuanya jadinya berapa?" 

 Bapak-bapak pemilik warung itu mengambil kalkulator untuk menghitungnya. 

 "Lima puluh dua lima ratus, Nak. Sama yang dipesan barusan." Katanya.

 "Baik Pak, ini saya punya uang tujuh puluh ribu, pokoknya sama minumannya sekalian," kata Dewa sambil mengulurkan kedua kertas bernilai rupiah itu. 

 Setelah pesanannya selesai dibungkus semuanya. Dia pun menggayuh sepedanya ke tempat yang tadi. Dua kantong kresek hitam digantungkan di stang kanan dan kirinya. Susah payah dia mengobel karena kakinya masih sakit. Tapi, walaupun begitu dia tetap bahagia, karena bisa membantu mereka sarapan pagi. 

 "Hallo!" sapanya sambil membuka kelambu. 

 Tenda sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Isak tangis Caca dan Intan sudah tak lagi terdengar. Bahkan Enggar yang katanya sakit pun, tidak ada di sana. Rumah kardus itu telah bersih. Bantal-bantal sampah tertumpuk rapi di sebelah Barat. Sarung lusuh tadi terlipat rapi pula. Tanah merah itu membekaskan goresan sapu lidi. Nampaknya setelah dia pergi, Intan langsung menggulung karung yang melembari permukaan rumahnya. Dewa terpaku kecewa. Dalam hati dia bertanya-tanya, kemanakah mereka pergi. Secepat kilat walau tiada badai, mereka telah lenyap. Kedua kantong kresek yang dibawanya pun seolah meratap pilu. Dewa meletakkannya di atas lipatan sarung. Dia lalu keluar, menuntun sepedanya mendekat pohon mangga di tepian sungai. Dia duduk di sana, menatap lurus ke bawah. 

 "Kemana mereka, apakah mereka pergi untuk mencari makan?" desisnya kepada angin yang berembus di depannya.

 "Kasihan sekali ya mereka,"

 Dia menarik napasnya dalam-dalam. Meluruskan kakinya. Sejenak dia rilekkan tubuhnya. Wajahnya pucat, hatinya seolah berkarat. Baru kali itu dia bisa dengan nyata mengamati kehidupan di luar istananya yang selalu dipuji banyak orang megah, walau kamarnya sendiri sangatlah sederhana. 

 Angin membawa ingatannya ke kampung halaman. Ibu, Kak Reihan, Dendi dan Chi... eh Chika. Gadis yang selalu membuyarkan lamunannya itu. Gadis yang duduk di depannya. Gadis yang berpipi tembem menggemaskan. Gadis yang omongannya bak geledek di siang bolong. Gadis yang... yang dia rindukan kekonyolan wataknya. Dia terkekeh sendiri mengingat Chika. 

 "Hampa juga kalau tidak digangguin anak itu," selorohnya. Wajah Chika yang lucu seolah terpantul di permukaan sungai. 

 "Chika... Chika... oh aku merindukanmu. Merindu kenakalanmu kepadaku. Dan Dendi," dia berhenti sejenak menatap langit, "aku juga merindukan kekocakanmu. Kalian berdua adalah sahabat baikku, Dendi, Chika." Katanya. 

 Langit! Sampaikan salamku kepada mereka, katakan bahwa aku sangat merindukan tawa mereka berdua. Walau baru dua hari kami berpisah, tapi rindu ini sudah menggebu. Katakan kepada mereka kalau waktuku amatlah hampa tanpa mereka berdua. Dendiiiii, Chikaaaaaa.....

 Pandangannya lalu dijaring ke kanan dan ke kiri. Bangunan rumah penduduk mengikuti aliran sungai, berderet rapi. Banyak warga yang tengah menikmati kekeruhan air sungai tersebut. Ada yang mandi, mencuci, ada juga beberapa anak kecil yang main cebur-ceburan di pusarnya untuk berenang. Raut mereka cerah ceria, tak seperti miliknya yang kusam dan pucat. Ada juga bapak-bapak yang menimba air itu dengan ember lalu dibawanya pergi. Entah untuk apa, dia pun tidak tahu. Seorang nenek-nenek tua, menelusuri jalan pinggiran sungai dengan membawa nampan yang berisi lontong dan puluhan sate. Nenek itu berbarut selendang. Bibirnya sekering aspal. Wajahnya mengeriput dengan rambut yang telah menguban. Sementara daging tak bertulangnya terus mengalunkan syair. "Sate... sate... sate! Sepuluh ribu tiga, sepuluh ribu tiga,"

 Nenek tua? Yang renta dan keriput? Yang sudah lemah dengan tulang yang saling menonjol itu? Masih kuat melangkah mengumpulkan kaisan logam untuk makan? Oh Tuhan! Pahit. Serunya. Selayaknya makhluk renta itu duduk manis di teras, menyeruput kopi hitam manis, sambil memerhatikan tawa cucu-cucu mereka. Bukannya malah menjalarkan langkah di atas tanah untuk mencari sesuap nasi, yang bisa digunakan sebagai sumbatan pencernaannya agar tidak kelaparan. Apa tak ada jaminan dari pemerintah di masa tua? Sungguh menderita negeriku. Gumam Dewa perih. Dia lalu melepas kameranya yang tadinya dikalungkan di lehernya. Satu kilatan blitz menyambar tubuh nenek itu, tanpa sepengetahuan wajah keriputnya. 

 Cekreeeekkkk.... 

 Dia lalu memandang ke depan. Tepatnya ke arah jembatan penghubung dengan kampung sebelah. Di sana berdiri sosok elok wanita yang serasa tak asing di ingatannya. Rok mini se atas lutut, kaos pink ketat, sepatu highheels, yang wajahnya anggun dengan lipstik merah darah. Itu kan... gadis tak sopan yang tadi menabrak tubuh Caca. Dewa bangkit menghampirinya, sepeda polygonnya dibiarkan melamun bersama pohon mangga. 

 "Hey, kau!" serunya. Mawar menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke bawah. Parasnya memerah, tubuhnya bergoncang. Airmata mengalir dari sudut retinanya. Dia menangis. 

 Dewa mengerutkan keningnya. Bisa-bisanya gadis congkak itu dihantam tangisan. Gerangan apakah yang membuatnya seperti itu.

 "Kenapa kau menangis?" nampaknya Dewa sudah tak mempermasalakan kejadian tadi pagi.

 "Ngapain lo ke sini?" tanyanya, sementara matanya masih menatap lurus ke aliran sungai.

 "Nggak papa, cuma nanya aja." Balas Dewa sambil menyandarkan tubuhnya di pagar jembatan. Dewa menghadap ke Barat, sementara Mawar menghadap ke Timur.

 "Nggak nyangka aku, gadis sekasar kamu bisa nangis," lanjut Dewa dengan tatapan menerawang langit. Di atas cerah, tak ada kabut yang berseliweran. Lentera alam begitu ceria. Mentari menyilaukan lensanya, dia pun kembali menatap sungai.

 "Memangnya kau pikir orang jahat seperti aku tak punya perasaan? Hah? Anjing lo!" emosi Mawar meledak lagi.

 "Namamu Mawar kan?" Dewa membalik tubuhnya. "Nama yang indah! Sayang ucapanmu tidak bisa mencerminkan keindahan namamu," cetus Dewa.

 "Apa peduli lo terhadap gue, suka-suka gue mau ngomong ini, ngomong itu. Sok alim loh! Dasar manusia kaya, keparat!" celoteh Mawar.

 "Kenapa kamu bilang seperti itu?" Dewa menatap parasnya dari samping. 

 "Ya karena memang begitulah sifat orang kaya. Sok benar! Songong! Sombong! Padahal watak kayak binatang," 

 "Maksudmu? Aku tak mengerti. Apa kamu juga anak jalanan?" 

 "Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Masalah buat lo? Hah?" 

 Astaga! Gadis cantik berpenampilan anggun dan modern itu anak jalanan? Tidak mungkin. Apa dunia sudah gila. Dewa terkejut bukan main. Bagaimana bisa dia menjadi anak jalanan. Bedak tercukupi, hapenya Blackberry, pakainnya juga nampak berkelas. 

 "Kamu bukan anak jalanan kan?" tanya Dewa memastikan.

 "Ya. Tapi aku lebih hina dari anak jalanan," terangnya.

 "Kenapa bisa?" 

 "Aku PELACUR jalanan! Puas lo uda mengintrogasi latar belakang kehidupan gue. Puas lo! Anjing, babi lo! Orang kaya keparat, munafik, anjiiiiiiinnnnngggggg," dia terus mencaci Dewa yang tak bersalah, sambil memukul-mukul dada Dewa. 

 "Woi... kenapa kamu marah sama aku, apa salahku? Aku juga anak jalanan seperti kamu kok!" seru Dewa asal ceplos. 

 Dewa tak bisa melukiskan bagaimana kagetnya dia mendengar jawaban dari Mawar, bahwa ternyata gadis yang menurutnya jelia itu adalah pelacur. Pantas saja Mawar menangis sendirian di jembatan itu, mungkin dia menyesal karena tubuhnya dinikmati banyak orang. Tubuhnya yang seksi dan menggairahkan seolah sia-sia termakan nista. Di usainya yang baru menginjak tujuh belas tahun. Mawar itu telah layu, walau kelopaknya masih mekar. Hatinya tercabik-cabik angkara bisu. 

 "Tidak mungkin. Mana ada anak jalanan pakai kamera, mana ada anak jalanan setampan lo," 

 "Mawar, aku anak jalanan! Jelaskan kenapa kamu melacur?" 

 "Lo mau tahu? Karena gue lapar! Karena gue ingin hidup bahagia, karena gue ingin mendapatkan uang," pekik Mawar lalu mendorong tubuh Dewa kuat-kuat. "Gue emosi dengan lelaki murahan seperti lo! Gue benci lelaki! Benciiiii..." 

 Satu tonjokan melesat di perut Dewa.

 "Jangan pukul aku! Aku lagi nggak enak badan, lepaskan aku," Dewa meronta-ronta dari cengkraman Mawar. Ke dua tangannya dipuntir oleh Mawar ke belakang dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanan Mawar dipergunakan untuk mengamuk tubuh Dewa bagian depan. Dewa hanya bersandar di pagar jembatan sungai yang terbuat dari bambu. 

 "Apa salahku? Kenapa kamu marah kepadaku! Aku juga bukan siapa-siapanya kamu," Dewa coba menjelaskan.

 "Lo lelaki! Dan gue benci lelaki. Karena lelaki yang buat gue HAMIL. Anjiiinnnggg lo! Anjing lo!" hantaman tangannya semakin diperkeras. Kali ini Dewa tak tinggal diam. Bagaimana pun juga tenaga perempuan masih lemah ketimbang lelaki. Dia mencoba melawan. Kini giliran tangan Mawar yang dipuntir. Dia lalu mendorong tubuh Mawar hingga terpental ke belakang.

 "Kamu gila ya! Yang ngehamilin kamu bukan aku, aku ke sini cuma ingin tahu kenapa kamu menangis, barangkali aku bisa membantumu. Malah kamu bertindak seenaknya saja. Kamu pikir aku cowok apaan?" rahang Dewa mengatup dengan keras. Retinanya memerah tajam.

 "Dasar orang kaya keparat!" 

 "Heh. Tak semua orang punya sehina yang kau anggap. Banyak dari mereka yang punya hati!" 

 "Pemerintah yang kaya raya saja jarang mau memerhatikan kehidupan anak jalanan, pengamen dibiarkan! Bisanya cuma melarang mengamen tanpa memberikan lapangan pekerjaan. Apalagi kalian orang kaya yang pas-pasan. Nggak mungkin mau memerhatikan kami," 

 "Gila ya kamu! Heh, jangan bawa-bawa nama pemerintah dalam masalahmu. Kamu melacur atas kehendakmu! Kenapa pula mengadudombakan anak jalanan dan pemerintah?" 

 Suasana menjadi panas. Mata penduduk memerhatikan pertengkaran mereka dari kejauhan. Tapi tak ada satu pun yang berani melerai. Bagi mereka, anak jalan yang bertengkar itu sudah biasa. Kalau diganggu malah bisa membara.

 "Ya. Itu memang kehendak gue! Tapi karena gue lapar dan ingin hidup bahagia!"

 "Kenapa kamu pilih melacur? Padahal pekerjaan di luar sana banyak yang membutuhkan karyawan cantik sepertimu,"

 "Lo pikir bekerja hanya mengandalkan kecantikan saja? Pendidikan perlu! Kalau tidak cuma jadi babu! Anjingnya lagi, gue pernah kerja di perumahan orang kaya, dan akhirnya gue diperkosa oleh majikan gue sendiri! Orang kaya itu memang anjiiiiiinnnnggggg!!"

 "Heh, tidak semuanya mereka seperti itu. Tidak semuaaaa...." Dewa mempertahankan nama baik orang di atasnya.

 "Kata siapa tidak semua? Penjabat itu kan kaya? Banyak yang korupsi, pemilik perusahaan besar juga terkadang ada yang menggaji karyawannya di bawah UMR negara, bos-bos pengusaha rumah makan dan yang lainnya, terkadang menggaji karyawannya tak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan,"

 "Eh... tapi itu tidak semua! Itu tidak semua! Aku memang benci dengan pemerintah karena ada yang korupsi, tapi tidak semua. Ingat Mawar, tidak semua. Tak semua orang di atas seburuk yang kau pikir! Dan masalah batin kamu ini bukan masalah pemerintah, kamu yang memilih hidup sebagai pelacur! Jadi itu salah kamu, bukan pemerintah!"

 "Gue jadi pelacur karena gue lapaaaaaarrrrr!!! Gue mau kerja tapi nggak punya ijazah sekolah! Gue mau sekolah tidak ada biaya! Kenapa pemerintah tidak membantu gue, kenapaaaaa?????" 

 "Entahlah! Aku pusing mikirin kamu, aneh. Orang tiba-tiba nangis, tiba-tiba marah, tiba-tiba nyalahin pemerintah. Padahal kalau dipikir, sebenarnya kamu sendiri yang salah. Kenapa juga kamu mau ditidurin banyak pria. Hamil itu karena kamu tidak memikirkan resiko sebelum melangkah! Kamu kan bisa mengamen atau apa ketimbang melacur," 

 "Gila lo! Anjing lo! Keparat! Tak bisa mengerti perasaan gue! Gue benciiiii lo!" 

 "Nggak ada untungnya kamu benci denganku, lagi pula kita tidak saling kenal, permisi aku mau pulang." Dewa lalu berjalan menuju sepedanya. Emosinya masih membara di dada. Tapi dia tak mau memperpanjang masalah lagi dengan gadis itu. Dalam hatinya yang terdalam ada rasa iba pula terhadap Mawar. Nampaknya Mawar sedang frustasi berat karena janin yang dikandungnya, jadinya semua orang disalahkan. Tapi kenapa harus yang di atas yang disalahkan? Dia merasa tersindir. Entah dari mana angin menelusup, bisa-bisanya dia juga membela pemerintah yang diolok-olok oleh Mawar. Ya. Tapi memang betul kan, tidak semua pemerintah itu buruk dan korupsi. 

 Kepalanya dibuat Mawar semakin pening. Tak dirisaukan kondisi tubuhnya yang lemah lagi. Masih dengan emosi yang menggebu, Dewa menyusuri gang demi gang dengan obelannya yang secepat kilat. Rasa sakit di tubuhnya terbalut emosinya yang membara. Ingin segera dia membanting tubuhnya di atas kasur. 

 Ketika berada di tanjakan tinggi, Dewa pun turun dari sepeda. Dia menuntun sepedanya. Tenaganya tak kuat menggayuh laju di tanjakan. Andaikan tadi uangnya tak dihabiskan untuk beli makanan, dia pasti sudah naik bus atau angkot untuk pulang. 

     °°°°°°°°

Related chapters

  • Dewa   Rasa yang Mengambang

    Dahaga mengamuk tenggorokan. Kekuatan terseok dalam lara. Tubuh lunglai bak baja bengkok.Kini sampailah dia di pertigaan pasar Beseran. Untuk mencapai rumahnya, dia harus melintasi kurang lebih empat kilometer lagi. Sayangnya dia sudah tak sanggup. Peluh tidak menetes karena dia sakit. Wajahnya merah pucat. Bibirnya kering, di sekeliling matanya berwarna abu-abu. Tubuhnya gemetaran. Perjalanannya barusan membuat tenaganya terkuras habis. Sejenak dia mampir di tempat penjual bakso yang ada di kanan jalan. Dia tidak bermaksud untuk memesan makanan, melainkan untuk numpang membuang letihnya sejenak. Banyak orang yang memerhatikan raut wajahnya dengan iba.Sore telah merangkak. Pasar Beseran sepi. Para pedagang pun telah melipat tikarnya untuk membawanya pulang. Pertokoan sembako mulai tutup rapat. Giliran pedagang kaki lima yang memainkan aksinya. Penjual bakso, penjual gorengan, wedang ronde, dan lainnya. Dewa duduk membungkuk di samping mu

    Last Updated : 2021-09-07
  • Dewa   Di balik Putih, Ada Hitam.

    Nyonya Finda telah pulang kerja. Didapati kamar Dewa masih sepi tak berpenghuni. Perasaannya krungsang, tidak tenang. Beliau lalu menggeser langkah menuju kamarnya. Duduk di depan meja rias, sambil menyeret-nyeret layar hape samsungnya. Beliau mengirim pesan pendek kepada Reihan."Dewa belum pulang, lama-lama ibu khawatir Rei, bagaimana kalau dia kenapa-napa?" messege delivered. Lima belas menit Nyonya Finda menunggu balasan dari putranya yang selalu dibanggakan, namun yang ditunggu tak memberi tanggapan. Beliau pun hanya bisa menebak, mungkin Reihan masih sibuk belajar.Jauh di ambang cakrawala sana. Di tengah-tengah kebimbangan dan kekhawatiran orangtua. Sang Reihan mencumbu bibir perawan. Gemerlap lampu disko menyinari ubun-ubunnya. Alunan lagu disko melengking di gendang telinga. Pelayan-pelayan bir yang seksi-seksi, berjejer di pinggiran bar. Moncong-moncong nyawa bersulat asap rokok. Ada yang mengandung zat terlarang, a

    Last Updated : 2021-09-10
  • Dewa   Yang Malang dalam Gelap

    Gelap membuka jubah penerangan bagi sang Rembulan. Jantung waktu lebih mempercepat lajunya. Esok sekejab dilalui oleh sekelompok anak jalanan. Dari pagi buta sampai malam menjemput, kaisan logam terus tertadah. Sayang hanya sepersih barang sepuluh rupiah pun tak terhitung. Koin-koin berharga mereka tumpahkan di atas permukaan tanah, di dalam sekatan kardus mereka.Seharian penuh, Ovan, Agus, Intan, Caca, dan Enggar yang dalam keadaan sakit, menengadahkan telapak tangannya di bawah terik mentari. Jika petang telah memeta jejak, mereka pun kembali ke markas semula. Biasanya mereka akan berpesta ria, kalau uang sudah terkumpul, usai seharian mengais riski dari jalanan. Mereka jarang sarapan pagi, paling makan siang kalau ada banyak koin yang didapat, jika mentok yang didapat pas-pasan seperti malam itu. Mereka pun terpaksa tidak makan siang, yang penting malamnya tidak kelaparan. Karena menurut mereka, lapar saat gelap menjelma itu amatlah menderita.Cac

    Last Updated : 2021-09-11
  • Dewa   Nasib Anak Jalanan

    Perjalanan dari Semarang ke Magelang cukup melelahkan. Akhirnya sampai juga Ovan di Borobudur. Dengan semangat membara anak itu menaiki tangga candi sampai ke tingkat yang paling atas. Tangan Papa dan Mamanya digenggam erat, sementara kakaknya mengekor di belakang. Ice paddle pop, dijilatinya sedari tadi. Wajahnya riang sumringah. Tak dirasa mentari yang membakar habis kulitnya hingga keringat berleleran, seperti ice creamnya yang mencair. Wajah Mama dan Papa nampak lunglai, begitu juga dengan kakak perempuannya. Namun dia cuek, baginya yang penting bisa jalan-jalan bersama, itu cukup membahagiakan. Mau mereka cemberut atau muram dan marah, itu urusan belakangan."Papa gendong!" serunya."Aduh, kamu ini, manja banget!" seloroh Papanya lalu menggendong Ovan kecil.Sampailah mereka di atas, sejenak mereka mengitari candi. Patung-patung batu yang mengagumkan. Pahatan-pahatan di dinding candi sungguh indah. Ovan menyentuh lukisan

    Last Updated : 2021-09-14
  • Dewa   Sebuah Perhatian

    Aroma nikmat menyengat ke sela-sela hidung Dewa. Matanya pun mendelik menatap apa yang tengah terpampang di meja. Ada sop jagung, ayam goreng, ikan goreng, lodeh terong hijau, dan sambal hati. Ke semuanya masih mengepul-ngepulkan asap di udara. Lensanya yang semula terjerat kegelapan karena tertutup tabir mimpi, mendadak bening sekali.Chika keluar dari dalam, menenteng satu ceting nasi panas. Celemek cokelat masih menempel di tubuhnya. Wajahnya berlumur keringat, namun tetap ceria untuk setia mengulum senyum kepada Dewa. Dia sengaja mengangkut semua masakannya ke ruang tamunya yang sempit itu, lantaran Dewa sudah di sana. Dia tidak ingin menambahi penderitaan kaki Dewa yang pincang untuk berpindah-pindah tempat."Menu makan malam sudah siap, adakah yang mau makan?" kata Caca sambil bergaya seperti waiters kafe."Kamu masak semua ini?"Chika mengangguk."Untuk siapa? Untuk aku?""Pe

    Last Updated : 2021-09-16
  • Dewa   Adakah Makna Cinta?

    Bukan masalah heboh atau tidaknya. Tapi itu masalah anak jalanan yang bernaung atap kardus di pinggiran sana. Kalau hujan mana bisa atap kardus menaungi tubuh mereka dengan kehangatan. Mereka bisa kedinginan dan lebih mengenaskan lagi rumah mereka akan roboh. Oh tidak... hati Dewa perih sangat. Rasanya dia ingin kembali ke tempat Ovan dan kawan-kawan untuk mengajaknya ikut bersama tinggal di rumahnya yang megah. Tapi apa bisa, kakinya saja seolah tak mampu menopang berat tubuhnya yang tak seberapa."Intan, Ovan, Caca... " katanya lirih dengan tatapan menerawang."Maksudmu?" Chika tak mengerti."Ah tidak, aku mau pulang," dia lalu menghempaskan tubuh Chika. Pintu dibuka. Dia keluar, sejenak langkahnya terhenti. Berdiri termenung menatap rintikan hujan yang nampak karena sorotan cahaya lampu. Gelap merajai malam. Mendung pun merajut pandang."Ya Tuhan, ini benar-benar hujan, bagaimana dengan mereka?"&n

    Last Updated : 2021-09-16
  • Dewa   Sial!

    Tubuh Dewa lunglai. Badannya bertambah sakit. Pandangannya buyar-buyar samar. Dia diam saja, Chika yang berkali-kali bertanya sesuatu, tak kunjung dijawabnya. Tubuhnya lemah seringan kapas. Di tanjakan Maduretno, tetangga kampung Kaliangkrik. Tepatnya di depan sekolahan SMPnya dulu, Dewa hampir terpelanting jatuh ke jalan raya. Udara dingin dari air hujan, membuat penderitaannya semakin bertambah.Shiiiiittttt...! Chika mengerem mendadak, mengetahui Dewa yang sudah dalam keadaan miring."Dewa, kamu pegangan dong! Nanti kamu masuk rumah sakit!" seru Chika."Kepalaku sakit banget, Chik!" pekik Dewa dengan suara parau."Makanya kamu pegangan nanti kalau jatuh gimana?"Dewa memeluk tubuh Chika. Terasa hangat dan aneh. Tentu karena selama ini dia belum pernah memeluk orang. Ibunya saja jarang dipeluknya. Perasaan aneh menjalar di sekujur tubuhnya. Ah entahlah! Dewa tak memusingkan masalah itu."Ini

    Last Updated : 2021-09-17
  • Dewa   Mekarnya Mawar

    Meninggalkan Magelang kota seribu bunga adalah hal terburuk dalam waktu Mawar. Sanubarinya terbelenggu luka yang teramat getir. Pekerjaan seks bukanlah dambaannya dari dulu, walau hasilnya selalu memukau mata, tapi itu adalah sebuah pilihan. Kalau tidak bagaimana dia menyekolahkan adiknya sementara ayah dan ibunya telah meninggal dunia. Dia kini menjadi tulang punggung untuk adiknya, sebenarnya Mawar bukan anak jalanan, dia memiliki tempat tinggal yang cukup lumayan, ketimbang anak jalanan. Rumah gubuk Mawar ada di kampung sana. Lumayan jauh dari komplek gelandangan. Dia rela tidur di atap kardus, asalkan adiknya tidak tahu kalau selama ini dia melacur. Setahu adiknya, dia sedang kerja di luar kota. Adiknya sendiri kini baru duduk di kelas tiga SMP, tentunya sebentar lagi akan mengupas kantong sakunya secara besar-besaran, untuk membiyayai keperluan ujian, dan acara perpisahan, atau pun rekreasi.Tragis lagi perasaan hatinya, kenapa pula ada ja

    Last Updated : 2021-09-18

Latest chapter

  • Dewa   Lembaran Baru

    Satu bulan berlalu setelah kejadian itu. Ke enam sahabat sama sekali tidak ada yang keluar rumah bahkan berangkat kuliah. Anak jalanan sering meratap dan menangis di bawah rembulan. Mawar sendiri juga ikut terdiam dengan kesedihannya antara dilema cinta yang pahit. Mengingat kondisi janinnya yang akan terkena HIV AIDS juga, serta keadaan Dewa yang tak kunjung membawa kabar indah.Untunglah waktu berbudi baik, tak mau membuat Dewa terluka berlama-lama. Sebulan penuh dia tersungkur dalam pembaringan. Bangkit dengan sisa keterkejutannya mendengar bahwa Reihan meninggal. Langsung airmatanya terjun. Dadanya sesak dicambuk kepedihan. Dewa menangis di ranjang rumah sakit. Nyonya Finda mendekapnya erat-erat."KAK REIHAAANNN!! KAK REIHAN, BU! KAK REIHAN DI MANA???" jeritnya membuat suasana semakin menyesakkan. Nyonya Finda tak kuasa menahan airmata."Sabar, Nak." Nasihat Nyonya Finda seraya mengelus ubun kepala Reihan.&nb

  • Dewa   Kepergian

    Satu Minggu berlalu. Mereka sudah sama-sama mendaftar di universitas yang sama, pada tanggal yang sama, waktu yang sama, keberangkatan yang sama, hanya jurusannya saja yang berbeda.Kala itu langit mendung. Nyonya Finda sedang memasak di dapur. Dewa duduk termenung di balkon depan kamarnya. Dia menatap bintang yang tidak tampak. Dia mengingat Chika dengan senyuman manis. Gadis itu membuat hatinya jatuh dalam kegelapan cinta. Suatu saat nanti kalau impiannya sudah tercapai dan kuliahnya selesai. Dia ingin langsung melamar Chika untuk memberi kejutan. Akan sangat menyenangkan masa depannya. Sekali lagi waktu pertegas bahwa mimpinya adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta mencerdaskan anak jalanan. Dia ingin menaunginya. Selamanya. Dan sekarang setidaknya mimpi itu sudah kelihatan berjalan.Praanngg...lamunanya buyar. Suara gelas pecah mencium lantai dari kamar sebelah. Yah kamarnya Reihan. Ada apa? Napas Dewa langsung se

  • Dewa   This is My Dream's 2

    Keesokan harinya dia mengkopi surat yang ditulisnya itu. Dia lalu mengirimkannya ke sekolahan SD ketika berangkat ke perkampungan kumuh. Setiap didapati sekolahan, dia berhenti dan menitipkan surat itu kepada satpam agar disampaikan ke Kepala Sekolah dengan segera. Setiap mengulurkan surat itu, dia berkata keras-keras SEGERA. SEGERA PAK. NGGAK PAKAI LAMA! Satpam pun hanya menggeleng-geleng.Dewa memang anak yang bertekad baja. Keinginannya tidak pernah bisa diganggugugat. Apalagi jika ada yang sampai bisa mengalahkan watak keras kepalanya. MUSTAHIL. Ada yang pernah mencoba tapi selalu gagal.Sampai di perkampungan kumuh alias perumahan kardus. Mata Dewa berkedip-kedip. Anak-anak jalanan sudah tertata rapi dan belajar seperti kemarin. Mereka malah tampak lebih semangat. Sesekali terdengar suara tawa yang menggelegar karena banyolan Den...eih itu siapa? Den? Dendi??"SUPRAISE!!!" jerit Chika dan ketiga kawannya, Edvin, Rivani, Y

  • Dewa   This is My Dream's 1

    Pagi menguning di ufuk Timur. Senyumnya telah mengembun di dedaunan. Burung ikut menyambut semarak hari dengan berhening cipta di kabel listrik yang mengular sepanjang jalan, terpikir mereka sedang bersyukur dengan kekuasaan Tuhan. Hari itu usai salat shubuh berjamaah bersama Reihan dan Nyonya Finda. Kejadian yang dialami mereka menyadarkan mereka semua tentang makna ketuhanan. Selama ini mereka telah melangkah dalam jalan yang gelap, walhasil hidup pun tak pernah lelap. Ada saja masalah hingga membuat hidup susah. Bagaikan tidur di springbed lembut tapi mata terjemput mimpi buruk, itulah mengapa hidup tak pernah lelap. Dewa langsung loncat dari ranjang tidurnya bergegas mandi, sarapan dan melesat menenteng tasnya, tak lupa dia membungkuskan nasi serta sayur dan lauk pauknya. Kamera canonnya dikalungkan di leher."Mau ke mana?" sapa Reihan yang tengah duduk di meja makan. Tangan kirinya memegang gelas berisi air putih, sementara yang kanan memegang kapsul obat.&nb

  • Dewa   Syukuran

    Perjuangan menahan sakit, begadang setiap malam ternyata tak berujung kesia-siaan. Chika dan kawannya yang sering main ke rumah sakit untuk mengajari Dewa, ternyata semuanya masuk sepuluh besar. Dan apakah Anda tahu? Dewa yang jarang masuk sekolah dan tidak pernah ikut les, masuk dalam kategori tiga besar. Chika si gadis menggemaskan itu meraih peringkat pertama, Rivani ke dua, Dewa ke tiga, Dendi ke empat, Edvin ke lima, sementara Ogi mendapat peringkat ke dua dalam urutan kelas IPAnya. Oh menakjubkan! Senang sekali ketika perjuangan mereka membuahkan hasil, terutama bagi Dewa. Kau tahu? Nyonya Finda amat bangga mendengar kabar menggembirakan itu. Selama ini Nyonya Finda tidak pernah yakin kalau Dewa akan lulus. Bagaimana tidak? Dia saja jarang sekolah, mbolos kerjaannya. Detik-detik akhir ujian malah harus rawat inap, bagaikan mukjizat yang turun dari langit kesuksesan Dewa bagi beliau.Akhirnya hari selanjutnya setelah pengumuman kelulusan. Nyonya Finda mengada

  • Dewa   Renungan

    Dewa berdiri di depan jendela. Ke dua lensanya menatap lurus ke angkasa. Pijaran gumintang di sana begitu menawan. Rembulan membentuk pisang dan tersenyum kepadanya. Cerah. Melintir kehangatan pada gulita dalam penerangan. Hari itu adalah menit terakhir Dewa belajar menyambut ujian Nasional. Mulai besok dia sudah akan bertempur dengan segala macam soal-soal ujian. Bahasa Indonesia, Matematika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris. Jantungnya berdegup kencang membelah keheningan malam. Akan sanggupkah besok? Dia baru belajar selama satu minggu. Jam menunjukkan pukul dua belas pagi. Pergantian tanggal dan hari, tinggal menunggu beberapa jam lagi, Dewa akan dihadapkan dengan soal ujian esok nanti.Keadaannya cukup membaik. Hanya tampak masih lemas. Itu karena beban pikirannya selama ini. Walau sudah berusaha fokus terhadap pelajaran, tetap saja bayang anak jalanan yang menderita di keheningan malam, dalam balutan gerimis langit, serta panasnya mentari kala siang menje

  • Dewa   Kejutan

    Sewaktu berangkat les, Chika menyempatkan diri mampir ke toko buat membeli buah-buahan dan membungkus kejutan untuk Dewa. Benda yang sejak SMP menemaninya itu telah ditemukan di warung bakso tiga hari lalu. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin ingin memberikannya, tapi karena nomor Dewa tidak aktif, ya terpaksa dia simpan terlebih dahulu. Dia tersenyum manis membayangkan kebahagiaan Dewa yang sebentar lagi akan terukir karenanya. "Pasti dia akan amat berterimakasih kepadaku," gumamnya kepedean.Waktu cepat bergulir. Senja tak mau menunggu terang terlalu lama, dia singkirkan bolam api langit ke rumah Barat. Usai les ke lima kawan langsung berangkat ke rumah sakit. Perjuangan! Begitulah mereka menamainya. Bagaimana tidak? Mereka harus mencari kamar Reihan tanpa tahu nama lengkapnya. Suster bilang nama Reihan yang dirawat di rumah sakit itu ada lima. Dari ke lima kamar yang disebutkan oleh suster itu didatangi semua. Dari ujung Barat sampai ujung Selatan. Mereka akhir

  • Dewa   Apa yang Telah Kuberikan?

    Agus lari terbirit-birit kembali ke kamar Enggar. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat mendalam. Caca dan Intan sudah dari tadi malam di kamar Enggar, membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah kardus, seperti bajunya Enggar yang kotor, dan peralatan makannya yang dibawa dari rumah kardus, sendok plastik, gelas plastik, dan piring plastik. Semua barang dimasukkan ke dalam karung yang masih bersih. Napas Agus putus-putus, dia menumpukan tangannya di lututnya. Seperti sedang rukuk di depan mulut pintu."Dari mana saja kamu, Agus?" tanya Enggar dan Intan hampir bersamaan. "Kenapa setelah mengejar Ovan kamu tidak balik lagi ke sini?" kata Intan dengan nada menuntut.Agus berdiri, dia menghela napasnya. "Aku menunggu Kak Dewa, dia sakit. Dari semalam belum sadarkan diri," seru Agus berusaha menjelaskan.Caca yang duduk manis di ranjang mendadak terperanjat kaget. Dia langsung loncat ke bawah dan berjalan meng

  • Dewa   Bunga di Ujung Cakrawala

    Diam. Satu kata pun jarang terucap. Menyendiri di kelas, sama sekali tak mau beranjak. Belajar malas. Pelajaran tak pernah mampu ditangkapnya. Yang ada hanya sosok pemuda yang amat dicintainya. Tapi semu. Pemuda itu hanya menjadi bayang kelabu. Berangkat les lesu. Seakan-akan tak pernah ada semangat dalam hidupnya. Walau di sampingnya ada seorang pangeran yang siap memberikan cintanya dengan sempurna. Bodohnya dia malah ingin memetik cinta yang belum jelas kepastiannya.Chika merenung di kelas. Ke dua tangannya menyangga dagu manisnya. Lensanya menerawang jauh di balik kaca jendela. Sudah berpuluh kali Chika menghubungi nomer hape Dewa tapi tidak aktif-aktif juga. Itu suda empat hari Dewa tidak masuk sekolah. Setelah ada kabar Reihan masuk rumah sakit Dewa sama sekali tak masuk sekolah dan Nyonya Finda pun tak memberi informasi di mana keberadaan Dewa. Tiga hari lalu Dendi dan dia ingin menengok Reihan di rumah sakit, tapi sayang, niat itu terpaksa harus digugurka

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status