Pagi menyeruak di lembah kaki gunung Sumbing. Simponi kembali menjalar dengan gesekan dedaunan alam. Rangkak kaki telah tertuntun mendaki tanjakan ladang. Atau mereka yang berbondong-bondong memakai seragam pendidikan untuk masa depan. Menatih jejak menuju sekolahan. Ada juga yang berlari mengejar logam ke pasar atau pun pusat pertokoan. Bahan dagangan ditenteng, kertas rupiah dijulurkan, sementara keringat bercucuran.
Waktu itu Reihan telah siap-siap menggas mobilnya ke Yogyakarta. Jam kuliahnya pukul sembilan esok. Perjalanan hanya membutuhkan waktu dua jam, kalau dia menggas cepat layaknya pembalap, terkadang juga hanya satu jam lewat sedikit. Nyonya Finda membereskan pekerjaan rumah. Menyapu, masak, mencuci piring, dan lain sebagainya. Pagi itu mereka berdua dipersibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga jeritan-jeritan melengking setiap pagi, untuk membangunkan Dewa lenyap seketika. Tak digubris memori hari lain. Seolah kepergian Dewa adalah suatu keberuntungan. Ketika Dewa di rumah, Nyonya Finda selalu dikesalkan untuk membangunkan Dewa yang sulitnya minta ampun.
Shubuh telah menggema. Jarum jam terus berputar. Dengkuran Dewa pun tak henti berkumandang. Mentari menyingsingkan lenteranya menembus celah jendela-jendela kamar. Mencoba mengusik ketentraman mimpi Dewa. Sayang usaha alam tetap tak membuahkan hasil. Dengan emosi yang menggebu Nyonya Finda menggedor-gedor pintu kamar Dewa.
"Dewaaaaa!!! Bangun! Sekolah!" jerit beliau.
Tak ada jawaban dari dalam.
"Dewaaa.... cepetan bangun ibu sudah mau berangkat ke Semarang,"
Nyonya Finda ingin mengontrol usaha butiknya di sana. Biasanya setiap hari Jumat dan Sabtu.
"Astaga! Dewaaaaa!!! Banguuunnnn!" teriaknya sambil mengeraskan ketukan pintunya.
Dewa yang masih berbalut selimut tebal pun menguap lebar. Pagi-pagi sudah ribut, berisik. Keluhnya sambil menyampar sendal jepit di lantainya. Usai bangun dia langsung beranjak. Melipat selimut dan merapikan sepray.
"Dewa, bangun!"
Dewa tak menjawab, dia melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, oh tidak sebentar lagi dia akan terlambat masuk sekolah. Dari pada terlambat kena hukuman, lebih baik tidak sekolah saja. Dia mencari akal cerdik untuk mengelabuhi Nyonya Finda agar mau membuatkannya surat izin. Sejenak matanya tertuju ke arah dispenser yang terletak di atas meja, samping kanan pintu. Dia menyalakan dispensernya. Lalu melarutkan segelas air hangat. Gelas itu kemudian ditempelkan ke jidad dan pipinya, niatnya biar badannya terkesan panas.
"Dewaaaaaaaa!!!!!" teriakan Nyonya Finda lebih keras dari sebelumnya. Dewa pun terperanjat kaget. Nyaris tumpah air panas di dalam gelas yang digenggamnya .
"Kayaknya Ibu kalau disuruh lomba berteriak tingkat dunia, dia bakal jadi juaranya," batinnya dalam hati, seraya menempelkan tubuh gelas itu ke pipinya lagi. Usainya tangan, perut, dan badannya. Sejenak badannya sedikit terasa panas dan menjinggat-jinggat berusaha menghindari sentuhan dengan gelas tersebut. Tapi... harus dia lakukan atau tidak dia akan dihajar hukuman oleh Pak Gilang yang menyeramkan.
"Dewa!" Nyonya Finda nampaknya sudah lelah berteriak. Pita suara tersedak lemah. Walaupun begitu gedorannya tetap lantang, hingga mampu membuat gendang telinga Dewa jebol.
"Banguuunnn! Sudah pukul tujuh,"
"Dewa juga tahu kali," gumamnya lirih sambil cengar-cengir. Dia mematikan dispensernya, lalu meletakkan gelas itu di atas meja, tepatnya di depan moncong krans dispenser. Dia sudah siap dengan aktingnya.
Perlahan, namun pasti diputar kenop pintu usai memutar gagang kunci. Dewa memasang wajah lesu, dengan berpura-pura batuk.
"Uhuk...uhuk... Dewa pusing, Bu." Keluh Dewa.
Nyonya Finda menggeleng-gelengkan kepalanya. Meletakkan ke dua tangannya di pinggang dengan tatapan muram.
"Pusing? Atau alasan tidak mau sekolah? Hah?"
"Uhuk...uhuk... Dewa pusing banget, Bu. Dewa demam,"
"Ah masa bodo! Cepetan mandi lalu sekolaaaahhhh!!!" bentak Nyonya Finda yang sudah terlanjur kesal.
Nyonya Finda lalu menarik kaos abu-abu Dewa bagian lehernya. Dengan kasar beliau menuntun Dewa ke kamar mandi. Dewa berpura-pura lemas. Dia seolah melangkah sempoyongan. Wajahnya ditambah lesu.
"Uhuk... uhuk... uhuk... uhuk...." Dewa terus berakting. Kali ini hati Nyonya Finda terenyuh. Beliau iba melihat wajah putranya yang lesu. Sejenak ditempelkan tangan beliau ke jidad Dewa. Jantung Dewa berdentum kencang. Napasnya seolah akan berhenti berembus. Kalau panasnya sampai sudah hilang, Nyonya Finda bisa tahu kalau dia berbohong. So... dia akan digampar karena telah menipu.
"Semoga panas... semoga panas... " batin Dewa.
"Badan kamu panas, yasudah kalau begitu kamu istirahat saja di rumah. Ibu mau ke Semarang. Pulangnya paling nanti sore."
Nyonya Finda lalu menuntun Dewa masuk ke kamarnya lagi. Beliau membantu merebahkan tubuh Dewa serta menyelimutinya dengan ketulusan.
"Makanya jadi anak itu jangan nakal. Kalau begini siapa yang repot?" gerutu beliau.
"Uhuk... uhuk..." Dewa malah semakin bertingkah. "Uhuk... uhuk... uhuk..."
"Yasudah, kamu istirahat saja, nanti ibu buatkan surat izin." Kata Nyonya Finda perhatian.
Dalam hati Dewa menjerit, "horeeeeee..."
Sejahat-jahatnya seorang ibu. Tak akan pernah rela dia menelantarkan buah hatinya yang sembilan bulan di kandungnya. Amarah dan emosi dia adalah bukti kasih sayang dan kecintaan. Mau itu penjahat kakap pun, nurani keibuan akan tetap ada. Dia akan berusaha sekeras mungkin untuk memberikan hal yang terbaik untuk anaknya.
Tidak ada ibu yang pelit terhadap sang buah hati. Mereka sesungguhnya lebih pandai mengolah uang untuk masa depan putra-putrinya. Tak sedikit seorang ibu yang mengorbankan segala-galanya demi pendidikan anaknya. Menjual perhiasannya, benda berharganya, tenaganya, bahkan ada pula yang sampai kehormatannya demi mencukupi kebutuhan sang anak. Watak keras yang terlahir dari sosok ibu, hanya karena mereka kelelahan. Dan asal Anda tahu, di balik kekasaran mereka tak jarang ibu-ibu yang berpeluh di balik tirai ceria. 'Kenapa aku menampar anakku, kenapa aku berkata kasar kepada anakku?' Pahami realita dan kau akan menuai arti kehidupan yang selayaknya.
"Ibu, maafkan Dewa...!" Dewa terharu dengan sikap orangtuanya.
"Kelak Dewa akan menjadi bintang untuk Ibu,"
Dewa yang konyol dan pemalas itu, menyesali perbuatannya. Tak disangka ibunya yang dianggap menyebalkan bisa luluh lantah seperti itu.
"Ah... tapi tetap saja kalau Ibu masih pelit, aku sebal," mendadak rasa harunya lenyap.
Setelah pekerjaan rumah Nyonya Finda selesai semua. Beliau lalu mandi dan merias diri. Kebetulan kamar beliau bersebelahan dengan kamar Dewa. Milik Dewa ada di pojok sendiri. Di tengahnya kamar beliau, sementara sampingnya lagi adalah kamar Reihan, dan di ujung kanan kamar Reihan adalah kamar mandi khusus Dewa. Ketika akan turun menjejaki tangga, Nyonya Finda melirik ke pintu kamar Dewa. Sunyi, hampa, tiada jeritan yang terlontar seperti dahulu. Beliau lalu membalik tubuhnya mendekati pintu itu.
"Dewa, kau memang anak menyebalkan, tapi di manakah kamu sekarang? Sekesal-kesalnya ibu, ibu juga berharap kebaikan untukmu... maafkan ibu yang selalu memarahimu karena kemalasanmu. Ibu hanya ingin kau menjadi anak rajin layaknya kakakmu yang pandai dan bernilai tinggi," curhatnya kepada tubuh pintu cokelat itu. Beliau lalu membuka pintunya perlahan. Mengintip isi ruangan tersebut.
"Ruangan yang tua," gumamnya sembari melempar pandang ke poster-poster anak jalanan. Entah setan apa yang mendadak membuat amarahnya mendidih. Poster itu menunjukkan kalau Dewa tak berpendidikan. Pantas saja kalau selama ini hidupnya awut-awutan dan pandai bermalas-malasan.
"Dewaaaa... ibu kecewa!" beliau lalu membanting pintu kamar dengan kasar. Langkah kaki dituntun cepat menuruni tangga. Rasa kecewanya kepada Dewa amatlah dalam. Memalukan sekali, selama ini beliau sudah bekerja keras membanting tulang demi kelayakan hidup seorang anak. Eh... apa hasilnya? Dewa anak terakhirnya malah bergaul salah kaprah. Pokoknya jika Dewa pulang, jangan harap beliau mau memberi ampun. Didikannya akan lebih diperkeras. Beliau tak akan pernah rela kalau Dewa bermain dengan anak jalanan lagi.
°°°°°°
Suasana sekolah SMA Satu Magelang kembali ramai seperti semula. Wajah siswa saling memancarkan keceriaan. Ada yang mengerjakan piket pagi untuk mengusir debu-debu. Ada pula, yang baru saja datang menenteng tas yang beratnya tak ada satu kilogram. Koridor sekolah bising akan suara pijakan kaki dan obrolan pagi.
Chika yang telah duduk di atas bangku kayu panjang, mematung di samping mulut pintu kelasnya. Ya, di sana ada bangku yang sering digunakan untuk istirahat anak-anak. Kepala Chika celingukan ke sana kemari. Dia sedang mencari sosok menyebalkan yang tak kunjung datang.
Setengah jam lebih Chika menunggu. Sayang yang ditunggu tak mengerti jua. Chika akhirnya masuk ke dalam kelas. Dia duduk di samping bangku Dendi dengan wajah yang ditekuk.
"Apa mungkin Dewa diculik?" desah Chika pilu.
"Hahaha... kamu kangen ya sama dia? Baru juga sehari nggak ada kabar sudah murung begitu," ledek Dendi seraya menjawil dagu Chika.
"Ih nyebelin!" geruru Chika kesal. "Bukan begitu juga kali, tapi kalau nggak ada Dewa aku nanti gangguin siapa?" keluh Chika dengan tatapan murung. Mereka lalu masuk ke dalam kelas. Obrolan masih melayang dalam perjalanan hingga mereka duduk di kursi.
"Iya juga ya, anak itu kemana sih? Perasaan kalau dia pergi kita selalu dikasih kabar. Kok sekarang ngilang ketelan Bumi gitu aja." Seloroh Dendi.
"Sahabat kita yang satu itu memang menyebalkan," celoteh Chika.
"Biasanya kalau pagi aku sudah jahilin dia, tapi serasa sunyi juga kalau dia nggak berangkat sekolah," sahut Dendi.
"Itulah uniknya dia, kalau ada nyebelin kalau nggak ada bikin sepi." Chika iba.
"Bagaimana kalau nanti sore kita ke alun-alun cari dia," usul Dendi.
"Emmm... ide bagus, tapi apa akan berhasil?" Chika meragukan saran Dendi.
"Kau ini, belum dicoba sudah mau menyerah, bagaimana pun juga kita harus tahu keberadaan Dewa, selama ini kan kita selalu bersama, canda, duka tak pernah berpisah."
Gedubrak. Seorang siswi menggebrak meja tanpa sopan. Spontan Dendi dan Chika pun terlonjak kaget. Mata mereka menyala kucing. Napas Chika tersengal-sengal karena marah. Emosinya telah mendidih di ubun-ubun. Sementara rahang Dendi mengatup dengan keras, giginya berbunyi saling bergemeretak. Reflek Chika berdiri kasar memonyongkan bibirnya.
"Woi, jangan suka bikin jantungan orang kenapa sih? Datang tak diundang, main nyosor saja kayak jalangkung!" jerit Chika kesal.
"Iya tuh, bikin jantung gue mau copot, nggak tahu lagi ngobrol penting juga!" sahut Dendi yang masih duduk.
Gadis berambut panjang sepunggung yang dipotong sasak dan disemir cokelat kemerah-merahan dengan poni miring ke kanan itu hanya meringis tanpa dosa. Dia adalah Rivani, gadis bermata indah dengan lentik kelopak matanya yang mengombak ke atas. Kulit putih bersih, dengan senyuman manis. Seragam OSIS abu-abu putih membalut tubuhnya. Jam tangan putih melingkar di pergelangan tangan kirinya. Kali itu dia berdiri melipat tangan di depan dada.
"Hehehe... kirain kalian lagi nunggu kedatanganku," seloroh Rivani asal ceplos.
"Kalau kamu artis iya, sayangnya tidak," desah Chika kesal.
Rivani adalah sekretaris OSIS, dia termasuk sahabat Dewa juga. Namun keakrabannya kalah dibanding Dendi dan Chika.
"Eh teman kalian si raja ngelamun itu mana?" Rivani tolah toleh sambil mengurai lipatan tangan di dadanya.
"Nggak tahu," cetus Dendi.
"Dia berangkat nggak?" tanya Rivani panik.
"Kalau dia ada di sini, dia pasti berangkat, kalau tidak berarti dia tidak berangkat! Dodooolll!" seru Chika sambil menonyong kepala Rivani.
"Nggak usa segitunya juga kali, woles aja!" Rivani protes. "Kok Dewa nggak datang, memangnya dia kenapa?"
"Tanya saja sama nyokap and bokapnya," seloroh Chika kesal.
"Ih sewot banget sih," ucap Rivani
"Dia sewot karena cemburu kamu perhatian sama Dewa," ledek Dendi sambil cengengesan.
Chika menarik napas panjangnya. Dia menatap lekat-lekat retina Dendi. Dadanya nampak naik turun karena kesal. Sejenak dia memelototi Dendi.
"Bilang apa kamu barusan? Hah?" geretak Chika.
"Hahaha... masak gini aja cemburu sih Chik... ada-ada aja... kalau kamu naksir sama Dewa, kasihan Edvin tuh!" menunjuk Edvin yang baru saja datang. Mendengar suaranya disebut. Edvin pun menoleh ke meja Dendi. Tempat duduk Edvin dan Dendi depan belakang, hanya terselip satu meja miliknya Yazan.
"Ada apa?" sambung Edvin dengan degupan jantung tak keruan.
"Chika naksir sama kamu," ungkap Dendi asal ceplos.
Edvin hanya membalas kalimat Dendi dengan senyuman manis. Rivani cengar-cengir, dia lalu beranjak ke tempat duduknya yang ada di belakang sendiri. Chika hanya melirik Edvin dengan tatapan muram, kemudian menjitak kepala Dendi.
"Mulut jelek, ngomong nyerocos sana nyerocos sini, ngeledekin Dewalah, ngeledekin Edvinlah! Cowok kok kayak cewek," gerutunya kesal.
Chika kemudian geser ke tempat duduknya yang ada di samping Dendi, tepatnya di dekat jendela. Dia duduk paling depan, berhadapan dengan meja guru.
"Tapi kamu suka kan?" Dendi lebih bersemangat meledek Chika.
"Suka dari Hongkong!" jeritnya kesal.
"O... kirain dari hati, wah wah... lebih hebat tuh, kalau suka dari Hongkong, jauh amat, kalau dari hati kan cuma dekat... berarti kamu sungguh-sungguh suka nih! Dibela-belain dari Hongkong,"
"Dendiiiiii!!!!" jerit Chika kesal.
Edvin memandang raut Chika dengan wajah berbinar. Semakin hari tingkah anak itu bertambah menggemaskan. Sudah semenjak kelas satu dia mengendapkan rasa di hati Chika, tapi dia tidak berani mengungkapkannya kepada gadis itu. Terasa cangung dan bingung kalau sudah berhadapan dengan orang yang disuka. Apalagi perasaan itu telah mengabad. Edvin hanya berharap semoga suatu saat nanti dia berani mengungkapkan perasaannya pada waktu yang tepat. Biarlah kini pandangannya yang menuangkan makna sukma.
Sekilas mata mereka saling beradu pandang. Tidak sengaja Chika menoleh ke belakang Dendi, usai melengkingkan suaranya. Mata indah itu tentunya membuat detak jantung Edvin mengamuk hebat. Napasnya juga seolah tercekat. Namun dia tetap berusaha menutupi perubahan perasaannya, yang tadinya biasa menjadi luar biasa. Edvin membalas tatapan Chika dengan senyuman manis. Sayang Chika hanya meresponnya acuh, dia lalu duduk menunggu guru masuk.
Beberapa menit kemudian, guru bahasa Indonesia pagi itu, masuk ke dalam ruangkelas yang terdiri dari tigapuluh meja dan tigapuluh kursi dengan duapuluh sembilan nyawa. Yah ruang IPS A, hanya dipenuhi tigapuluh siswa, sementara yang lain berada di kelas berbeda. Setiap ruangan terdiri dari tigapuluh sampai empatpuluh siswa. Kelas XII IPS, terbagi menjadi lima kelas, dari IPS A, sampai IPS F.
Ruang yang bermarmer putih bersih itu menjadi sunyi dan tenang. Semua mulut terkunci, tak ada satu suara pun yang terngiang, kecuali detak detik jantung waktu, yang menempel dinding Selatan. Dinding yang berlapis cat cream itu tertempeli peta dunia, gambar muka pemegang kekuasaan, satu pahlawan pendidikan, dan tulisan, 'Orang yang berhenti belajar, adalah pemilik masalalu, sementara orang yang terus belajar adalah pemilik masa depan.' Letter sewarna darah itu berbaris melengkung di belakang sendiri, dengan huruf Comic San berukuran duapuluh lima centimeter.
Sebelum pelajaran bermula, Bu Zifa mengabsen ke seluruhan siswa. Dari abjad pertama sampai terakhir.
"Anang Febriansyah,"
"Hadir,"
"Afina Zuhara!"
"Hadir,"
"Bambang Kusuma,"
"Hadir,"
Absen berjalan lancar sampai abjad 'C'
"Chika maura Aurina,"
"Hadir,"
Namun mendadak terhenti di abjad 'D'
"Dewa Pratama!"
Tidak ada jawaban. Siswa yang belum tahu kalau Dewa tidak berangkat, menyongsong lensa ke bangku Dewa yang ada di belakang bangku Chika. Setiap nyawa menggumam, kemana anak pemalas itu?
Bu Zifa mengulangi panggilannya, sebelum akhirnya beliau melirik bangku Dewa.
"Dewa Pratama!"
Beliau lalu menggelengkan kepala. Selalu saja Dewa yang alpa, pasti anak itu tidak masuk tanpa adanya keterangan. Beliau pun menoreh huruf 'A' di jurnal absennya dengan tinta darah. Usainya beliau melanjutkan pekerjaannya, mengabsen siswa yang lain. Kemudian meneruskan materi pelajaran minggu lalu.
Biasanya Chika akan tolah-toleh ke belakang kalau Dewa masuk sekolah. Tapi waktu itu tidak, hati Chika serasa hampa tanpa adanya lelaki yang dianggapnya menyebalkan. Walau itu bukan yang pertama kalinya Dewa tidak masuk kelas, tetap saja hati Chika gusar dan tidak tenang.
"Di manakah dia?"
Jauh di belakang sana, Rivani terus memandang bangku Dewa dengan tatapan kosong. Entah apa sebabnya, kenapa pula dia begitu kecewa melihat bangku itu tak terduduki. Apa jangan-jangan Rivani memendam rasa yang disebut dengan cinta? Dia pun bimbang. Sejelasnya dia hanya tahu, kalau Dewa tampan dan baik hati. Walau dia sendiri belum pernah dibaiki olehnya.
Rivani duduk di pojokan kantin dekat dengan kasir sebelah Barat. Lensanya tak henti-hentinya mematri paras Dewa yang tengah makan semangkok bakso beserta kawan-kawannya Chika, Dendi, dan Yazan. Dari kejauhan dengan jarak lima meja makan itu, dia tersenyum-senyum sendiri sembari memutar-mutar sedotan minuman jus jeruknya yang telah dipesan sedari tadi. Menurutnya Dewa nampak lucu kalau sedang melahap bakso seperti itu, seperti anak kecil saja. Lihat! Mulutnya belepotan, di dagunya mengalir kuah bakso. Ah, sungguh ceroboh! Tapi Rivani menyukai hal itu. Dia bahkan berpindah tempat duduk, sakedar untuk mendekatkan laju pandang pupilnya. Kali ini hanya terhalang tiga meja makan. Dia juga tak lupa ikut membawa segelas minumannya, di sana dia berakting pura-pura sms-n, dengan sesekali melirik wajah Dewa. Jarak sekarang tentunya tidak dikata jauh, dan itu berarti Rivani bisa mendengarkan obrolan mereka.
"Dewa, kenapa kamu tidak masuk sekolah kemarin? Hari Rabu," Dendi mengawali pembicaraan.
Dewa menyedot minuman mineral waternya yang dingin lalu menghentikan kunyahannya.
"Kemarin aku jalan-jalan keliling kota Yogyakarta,"
"Cuma gitu doang, dibela-belain mbolos sekolah?" sambung Chika dengan wajah sedikit muram. Sementara Yazan masih sibuk dengan kuah baksonya. Mie dan bola baksonya sudah ludes, tinggal kuahnya saja yang masih diembat oleh Yazan! Oh itu anak lapar atau doyan ya?
"Entahlah, aku malas sekali masuk sekolah! Aku mencintai dunia luar," desah Dewa sambil mengelap dagunya dengan tisu.
"Memangnya apa yang kamu lakukan di sana, terus kamu berangkatnya pakai apa?Jalan kaki atau naik becak, atau malah jangan-jangan kamu nyepeda lagi sampai Yogyakarta, hahahaha," ledek Dendi.
"Sialan lo! Lo pikir gue nggak punya duit buat naik bus begitu?"
"Lo kan memang seperti itu, setiap hari sekolah naik sepeda, dibela-belain ngobel dari gunung mpe kota, kali aja ke Jogja juga gitu," sambung Yazan, yang telah mengores bersih kuah baksonya.
Selama ini tidak ada yang tahu kalau Dewa kaya raya, kecuali Chika dan Dendi. Semua siswa di sana menganggap Dewa adalah orang biasa dan sederhana. Pernah Dewa diejek orang miskin dan kampungan, Chika ingin membela dan mengatakan yang sebenarnya, namun mendadak mulut Chika dibungkam olehnya. Menurutnya tak ada guna menyombongkan kekayaan, toh hartanya juga bukan jerih payahnya sendiri. Melainkan hasil keringat Nyonya Finda, wanita yang mengandungnya sembilan bulan.
"Enak aja! Sepedanya aku titipin di terminal Magelang, trus ke Jogjanya aku naik bus, sampai terminal Jombor, dari sana aku naik trans Jogja, keliling kota pendidikan. Di sana keren banget loh! Banyak pedagang Gudeg di pinggir jalan, banyak burjoan khas Sunda, banyak pengamen-pengamen keliling Marlioboro, alun-alun Selatan, alun-alun Utara, bahkan menakjubkan lagi banyak pengamen unik di sebagian perempatan yang menggunakan alat musik angklung, dan...."
"Cukuuuupppp!!!! Apa nggak ada kisah menarik dari mbolosmu kemarin?" potong Chika. "Masak yang diceritain cuma begituan, sama sekali tidak MENARIK!" katanya sambil meninggikan suaranya pada kata 'menarik'.
"Itu ma, di Magelang juga banyak, dodol!" Dendi menonyong kepala Dewa.
"Kayaknya teman kita yang satu ini, pengen jadi anak jalanan deh!" sahut Yazan dengan nada menghina. Dia lalu tertawa lebar.
Rivani mengerutkan keningnya. Sejenak dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada-ada saja anak mbolos cuma lihat hal-hal begituan, kenapa pula nggak ngajak main aku ke sana. Khayalnya, lalu menatap paras Dewa.
"Aduh Dewa... Dewa... kenapa sih kamu tuh selalu kepo banget dengan kehidupan anak-anak jalanan?" tanya Chika.
"Kasihan mereka, hatiku sakit melihat mereka menderita seperti itu. Aku ingin mereka juga mendapatkan kehidupan layak seperti kita, belajar di sekolah, tidur di rumah, makan mewah, tidak dari hasil mengemis atau pun dari tong sampah. Aku nggak tega melihat mereka seperti itu!" ungkap Dewa dengan nada pilu.
Sejenak Chika terdiam.
"Jadi presiden saja sono!" gerutu Dendi.
"Hahahaha... presiden sekarang saja belum becus nanganin mereka apalagi kamu," sambung Yazan merendahkan.
Jadi hanya motif itu yang membuat Dewa lari ke Yogyakarta mbolos sekolah? Oh sepele sekali. Tapi jiwanya sungguh mulia. Rasa iba itu terpaut jelas di wajahnya. Dewa mendadak lesu dan sedih. Rivani pun semakin kagum. Ketakjuban itu membuat asmaranya tumbuh subur dalam dada.
"Kau memang baik, Dewa." Puji Rivani di dalam hati.
"Aku nggak pernah bercita-cita jadi presiden! Aku hanya ingin membantu mereka yang kesulitan!" rajuk Dewa.
"Songong lo," Dendi menonyong kepala Dewa lagi. "Mana bisa kamu bantu mereka, ngurusi dirimu saja belum becus," ledeknya.
"Yah, apalah guna niat kalau tak ada usaha," Chika akhirnya mengeluarkan suara.
"Bagaimana kalau kita kumpulkan dana dari uang siswa sesekolahan ini, untuk membantu mereka," usul Dewa dengan wajah ceria yang kaya akan harapan. Dia tak marah akibat tonyongan Dendi dari tadi. Menurutnya itu sudah biasa.
"Ribet ah! Mereka biar menjadi urusan pemerintah! Kita tak usah ikut campur tangan, buat saku saja mepet, apalagi nyisihin buat mereka. Kecuali kita semua dapat saku dari pemerintah, hehehehe... aku baru mau nyumbang," seloroh Yazan sambil mengacak rambutnya sendiri. Matanya menyipit karena ringisan mulutnya.
"Bener tuh kata Yazan." Chika dan Dendi ikut menguatkan kalimat Yazan.
"Aku mau nyumbang kalau sudah jadi gubernur!" desah Chika.
"Gubernur sekarang saja jarang ada yang nyumbang, apalagi kalau kamu yang jadi gubernur! Paling-paling niat doang, sementara korupsi iya!" ledek Dendi.
"Dendiiiiiii...." Chika berdiri lalu memukul meja makan. Spontan minuman yang masih berada di dalam gelas mereka muncrat ke taplak meja coklat itu.
"Kalau aku jadi gubernur aku nggak mungkin korupsi, aku bakal bantu anak-anak jalanan! Kemiskinan bakal aku bunuh!" katanya dengan suara lantang.
"Lulus SMA saja belum, boro-boro mau mikirin jadi gubernur! Mikir nilai matematika biar dapat lima saja sulit apalagi mikirin anak jalanan!" cerocos Yazan sambil berdiri, siap-siap beranjak pergi.
"Perut atau muka? Hah?" Chika kesal dan menunjukkan kepalan tangannya ke muka Yazan.
"Kabuuuurrrr!" teriak Yazan lalu lari terbirit-birit. Chika pun mengejar langkah Yazan, dia kesal karena dilecehkan. Yah...Chika memang konyol! Begitu saja dianggap serius. Masak amarah benar-benar mendidih. Chika... Chika.
Dendi masih setia di tempat duduk bersama Dewa. Namun ingatannya tertuju kepada lembaran rupiah Chika dan Yazan yang belum dibayar. Oh Tuhan, bakal ketiban tahi cicak. Gerutunya di dalam hati. Mendadak dia mendapatkan ide jitu yang mematikan.
"Dewa! Aku ke kamar mandi dulu ya, kebelet!" tanpa menunggu jawaban dari Dewa dia pun langsung lari keluar.
"Woi tunggu! Bakso sama minumannya belum dibayaaarrr!"
Sayangnya Dendi telah lenyap. Dewa pun hanya bisa mendengus kesal. Dia bangkit lalu melangkah menuju kasir. Disodorkan uang limapuluhan yang baru saja diambilnya dari kantong sakunya, kepada Bu Siti, pemilik kantin tersebut.
Rivani yang sedari tadi mendengarkan ocehan mereka itu, terkekeh kecil. Lucu sekali tingkah keempat sahabat itu. Rasanya ingin bergabung dengan mereka. Tapi apakah Dewa mengizinkan? Rivani juga salut kepada Dewa yang mau dengan ikhlas membayarkan makanan ketiga sahabatnya itu.
Terbesit niatnya untuk menghampiri Dewa. Dia pun beranjak... namun yang di depannya malah Bu Zifa.
Oh my God! Ternyata itu hanya lamunan bulan lalu. Kini Bu Zifa telah berdiri menatapnya garang. Sebelah penggaris panjang menuding ke buku paket bahasa Indonesia yang tidak terbuka.
"Kenapa buku pelajaranmu tidak dibuka?" tanya beliau dengan nada tinggi. Suasana hening, pecah menjadi gaduh. Keseraman beliau di balik seragam guru cokelat susu itu tampak menegangkan. Rambut beliau yang disanggul di bawah ubun seolah akan terjun mencium lantai lantaran tak betah menyaksikan kekejaman dalam ruangan. Walau tegang, namun bisa didengar bisikan-bisikan dari siswa nakal. Chika, Dendi, Edvin, Yazan, dan siswa lainnya mendelik menatapnya yang tengah kebingungan.
"Anu... anu... anu..." Rivani kikuk.
"Ona... anu... ona... anu... buka!" perintah beliau.
"Baik, Bu."
Beliau lalu pergi memeriksa siswa yang lain. Ada yang tidak membawa buku, atau rajin semua, kalau ada yang sampai melanggar. Jangan harap penggaris yang panjangnya setengah meter itu akan tinggal diam.
Rivani mengembuskan napas lega. Untung saja tidak mendapat hukuman.
Caca membawa sebaskom air itu ke naungan kardus mereka. Ditentengnya dengan ketulusan. Dewa ingin membantunya, Caca menolak. Dia pun akhirnya hanya mengikuti langkah Caca di belakang. Namun sebelum tiba di tenda kardus,Tiba-tiba... Bruk.Astaga! Seorang perempuan cantik menabrak tubuh Caca. Anak berponi Dora itu terpanting ke samping. Air yang ada di dalam baskom pun tumpah."Heh, kalau jalan hati-hati dong! Anjing lo," jerit perempuan itu sambil menuding wajah Caca dengan jari telunjuknya.Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya. Perempuan yang memakai rok se atas lutut dan baju pink ketat itu sudah salah tak mau mengalah. Jelas-jelas dia yang tidak hati-hati, jalan seenaknya. Jalan sambil sms-an menuntun jemarinya di lantai keybord Blackberrynya. Jika dilihat dari tampangnya serta penampilannya, dia adalah orang kaya. Lipstik merah mawar, elsido, maskara, bedak lima senti, memoles kecantikan alamiahnya. Wajahnya nampak s
Dahaga mengamuk tenggorokan. Kekuatan terseok dalam lara. Tubuh lunglai bak baja bengkok.Kini sampailah dia di pertigaan pasar Beseran. Untuk mencapai rumahnya, dia harus melintasi kurang lebih empat kilometer lagi. Sayangnya dia sudah tak sanggup. Peluh tidak menetes karena dia sakit. Wajahnya merah pucat. Bibirnya kering, di sekeliling matanya berwarna abu-abu. Tubuhnya gemetaran. Perjalanannya barusan membuat tenaganya terkuras habis. Sejenak dia mampir di tempat penjual bakso yang ada di kanan jalan. Dia tidak bermaksud untuk memesan makanan, melainkan untuk numpang membuang letihnya sejenak. Banyak orang yang memerhatikan raut wajahnya dengan iba.Sore telah merangkak. Pasar Beseran sepi. Para pedagang pun telah melipat tikarnya untuk membawanya pulang. Pertokoan sembako mulai tutup rapat. Giliran pedagang kaki lima yang memainkan aksinya. Penjual bakso, penjual gorengan, wedang ronde, dan lainnya. Dewa duduk membungkuk di samping mu
Nyonya Finda telah pulang kerja. Didapati kamar Dewa masih sepi tak berpenghuni. Perasaannya krungsang, tidak tenang. Beliau lalu menggeser langkah menuju kamarnya. Duduk di depan meja rias, sambil menyeret-nyeret layar hape samsungnya. Beliau mengirim pesan pendek kepada Reihan."Dewa belum pulang, lama-lama ibu khawatir Rei, bagaimana kalau dia kenapa-napa?" messege delivered. Lima belas menit Nyonya Finda menunggu balasan dari putranya yang selalu dibanggakan, namun yang ditunggu tak memberi tanggapan. Beliau pun hanya bisa menebak, mungkin Reihan masih sibuk belajar.Jauh di ambang cakrawala sana. Di tengah-tengah kebimbangan dan kekhawatiran orangtua. Sang Reihan mencumbu bibir perawan. Gemerlap lampu disko menyinari ubun-ubunnya. Alunan lagu disko melengking di gendang telinga. Pelayan-pelayan bir yang seksi-seksi, berjejer di pinggiran bar. Moncong-moncong nyawa bersulat asap rokok. Ada yang mengandung zat terlarang, a
Gelap membuka jubah penerangan bagi sang Rembulan. Jantung waktu lebih mempercepat lajunya. Esok sekejab dilalui oleh sekelompok anak jalanan. Dari pagi buta sampai malam menjemput, kaisan logam terus tertadah. Sayang hanya sepersih barang sepuluh rupiah pun tak terhitung. Koin-koin berharga mereka tumpahkan di atas permukaan tanah, di dalam sekatan kardus mereka.Seharian penuh, Ovan, Agus, Intan, Caca, dan Enggar yang dalam keadaan sakit, menengadahkan telapak tangannya di bawah terik mentari. Jika petang telah memeta jejak, mereka pun kembali ke markas semula. Biasanya mereka akan berpesta ria, kalau uang sudah terkumpul, usai seharian mengais riski dari jalanan. Mereka jarang sarapan pagi, paling makan siang kalau ada banyak koin yang didapat, jika mentok yang didapat pas-pasan seperti malam itu. Mereka pun terpaksa tidak makan siang, yang penting malamnya tidak kelaparan. Karena menurut mereka, lapar saat gelap menjelma itu amatlah menderita.Cac
Perjalanan dari Semarang ke Magelang cukup melelahkan. Akhirnya sampai juga Ovan di Borobudur. Dengan semangat membara anak itu menaiki tangga candi sampai ke tingkat yang paling atas. Tangan Papa dan Mamanya digenggam erat, sementara kakaknya mengekor di belakang. Ice paddle pop, dijilatinya sedari tadi. Wajahnya riang sumringah. Tak dirasa mentari yang membakar habis kulitnya hingga keringat berleleran, seperti ice creamnya yang mencair. Wajah Mama dan Papa nampak lunglai, begitu juga dengan kakak perempuannya. Namun dia cuek, baginya yang penting bisa jalan-jalan bersama, itu cukup membahagiakan. Mau mereka cemberut atau muram dan marah, itu urusan belakangan."Papa gendong!" serunya."Aduh, kamu ini, manja banget!" seloroh Papanya lalu menggendong Ovan kecil.Sampailah mereka di atas, sejenak mereka mengitari candi. Patung-patung batu yang mengagumkan. Pahatan-pahatan di dinding candi sungguh indah. Ovan menyentuh lukisan
Aroma nikmat menyengat ke sela-sela hidung Dewa. Matanya pun mendelik menatap apa yang tengah terpampang di meja. Ada sop jagung, ayam goreng, ikan goreng, lodeh terong hijau, dan sambal hati. Ke semuanya masih mengepul-ngepulkan asap di udara. Lensanya yang semula terjerat kegelapan karena tertutup tabir mimpi, mendadak bening sekali.Chika keluar dari dalam, menenteng satu ceting nasi panas. Celemek cokelat masih menempel di tubuhnya. Wajahnya berlumur keringat, namun tetap ceria untuk setia mengulum senyum kepada Dewa. Dia sengaja mengangkut semua masakannya ke ruang tamunya yang sempit itu, lantaran Dewa sudah di sana. Dia tidak ingin menambahi penderitaan kaki Dewa yang pincang untuk berpindah-pindah tempat."Menu makan malam sudah siap, adakah yang mau makan?" kata Caca sambil bergaya seperti waiters kafe."Kamu masak semua ini?"Chika mengangguk."Untuk siapa? Untuk aku?""Pe
Bukan masalah heboh atau tidaknya. Tapi itu masalah anak jalanan yang bernaung atap kardus di pinggiran sana. Kalau hujan mana bisa atap kardus menaungi tubuh mereka dengan kehangatan. Mereka bisa kedinginan dan lebih mengenaskan lagi rumah mereka akan roboh. Oh tidak... hati Dewa perih sangat. Rasanya dia ingin kembali ke tempat Ovan dan kawan-kawan untuk mengajaknya ikut bersama tinggal di rumahnya yang megah. Tapi apa bisa, kakinya saja seolah tak mampu menopang berat tubuhnya yang tak seberapa."Intan, Ovan, Caca... " katanya lirih dengan tatapan menerawang."Maksudmu?" Chika tak mengerti."Ah tidak, aku mau pulang," dia lalu menghempaskan tubuh Chika. Pintu dibuka. Dia keluar, sejenak langkahnya terhenti. Berdiri termenung menatap rintikan hujan yang nampak karena sorotan cahaya lampu. Gelap merajai malam. Mendung pun merajut pandang."Ya Tuhan, ini benar-benar hujan, bagaimana dengan mereka?"&n
Tubuh Dewa lunglai. Badannya bertambah sakit. Pandangannya buyar-buyar samar. Dia diam saja, Chika yang berkali-kali bertanya sesuatu, tak kunjung dijawabnya. Tubuhnya lemah seringan kapas. Di tanjakan Maduretno, tetangga kampung Kaliangkrik. Tepatnya di depan sekolahan SMPnya dulu, Dewa hampir terpelanting jatuh ke jalan raya. Udara dingin dari air hujan, membuat penderitaannya semakin bertambah.Shiiiiittttt...! Chika mengerem mendadak, mengetahui Dewa yang sudah dalam keadaan miring."Dewa, kamu pegangan dong! Nanti kamu masuk rumah sakit!" seru Chika."Kepalaku sakit banget, Chik!" pekik Dewa dengan suara parau."Makanya kamu pegangan nanti kalau jatuh gimana?"Dewa memeluk tubuh Chika. Terasa hangat dan aneh. Tentu karena selama ini dia belum pernah memeluk orang. Ibunya saja jarang dipeluknya. Perasaan aneh menjalar di sekujur tubuhnya. Ah entahlah! Dewa tak memusingkan masalah itu."Ini
Satu bulan berlalu setelah kejadian itu. Ke enam sahabat sama sekali tidak ada yang keluar rumah bahkan berangkat kuliah. Anak jalanan sering meratap dan menangis di bawah rembulan. Mawar sendiri juga ikut terdiam dengan kesedihannya antara dilema cinta yang pahit. Mengingat kondisi janinnya yang akan terkena HIV AIDS juga, serta keadaan Dewa yang tak kunjung membawa kabar indah.Untunglah waktu berbudi baik, tak mau membuat Dewa terluka berlama-lama. Sebulan penuh dia tersungkur dalam pembaringan. Bangkit dengan sisa keterkejutannya mendengar bahwa Reihan meninggal. Langsung airmatanya terjun. Dadanya sesak dicambuk kepedihan. Dewa menangis di ranjang rumah sakit. Nyonya Finda mendekapnya erat-erat."KAK REIHAAANNN!! KAK REIHAN, BU! KAK REIHAN DI MANA???" jeritnya membuat suasana semakin menyesakkan. Nyonya Finda tak kuasa menahan airmata."Sabar, Nak." Nasihat Nyonya Finda seraya mengelus ubun kepala Reihan.&nb
Satu Minggu berlalu. Mereka sudah sama-sama mendaftar di universitas yang sama, pada tanggal yang sama, waktu yang sama, keberangkatan yang sama, hanya jurusannya saja yang berbeda.Kala itu langit mendung. Nyonya Finda sedang memasak di dapur. Dewa duduk termenung di balkon depan kamarnya. Dia menatap bintang yang tidak tampak. Dia mengingat Chika dengan senyuman manis. Gadis itu membuat hatinya jatuh dalam kegelapan cinta. Suatu saat nanti kalau impiannya sudah tercapai dan kuliahnya selesai. Dia ingin langsung melamar Chika untuk memberi kejutan. Akan sangat menyenangkan masa depannya. Sekali lagi waktu pertegas bahwa mimpinya adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta mencerdaskan anak jalanan. Dia ingin menaunginya. Selamanya. Dan sekarang setidaknya mimpi itu sudah kelihatan berjalan.Praanngg...lamunanya buyar. Suara gelas pecah mencium lantai dari kamar sebelah. Yah kamarnya Reihan. Ada apa? Napas Dewa langsung se
Keesokan harinya dia mengkopi surat yang ditulisnya itu. Dia lalu mengirimkannya ke sekolahan SD ketika berangkat ke perkampungan kumuh. Setiap didapati sekolahan, dia berhenti dan menitipkan surat itu kepada satpam agar disampaikan ke Kepala Sekolah dengan segera. Setiap mengulurkan surat itu, dia berkata keras-keras SEGERA. SEGERA PAK. NGGAK PAKAI LAMA! Satpam pun hanya menggeleng-geleng.Dewa memang anak yang bertekad baja. Keinginannya tidak pernah bisa diganggugugat. Apalagi jika ada yang sampai bisa mengalahkan watak keras kepalanya. MUSTAHIL. Ada yang pernah mencoba tapi selalu gagal.Sampai di perkampungan kumuh alias perumahan kardus. Mata Dewa berkedip-kedip. Anak-anak jalanan sudah tertata rapi dan belajar seperti kemarin. Mereka malah tampak lebih semangat. Sesekali terdengar suara tawa yang menggelegar karena banyolan Den...eih itu siapa? Den? Dendi??"SUPRAISE!!!" jerit Chika dan ketiga kawannya, Edvin, Rivani, Y
Pagi menguning di ufuk Timur. Senyumnya telah mengembun di dedaunan. Burung ikut menyambut semarak hari dengan berhening cipta di kabel listrik yang mengular sepanjang jalan, terpikir mereka sedang bersyukur dengan kekuasaan Tuhan. Hari itu usai salat shubuh berjamaah bersama Reihan dan Nyonya Finda. Kejadian yang dialami mereka menyadarkan mereka semua tentang makna ketuhanan. Selama ini mereka telah melangkah dalam jalan yang gelap, walhasil hidup pun tak pernah lelap. Ada saja masalah hingga membuat hidup susah. Bagaikan tidur di springbed lembut tapi mata terjemput mimpi buruk, itulah mengapa hidup tak pernah lelap. Dewa langsung loncat dari ranjang tidurnya bergegas mandi, sarapan dan melesat menenteng tasnya, tak lupa dia membungkuskan nasi serta sayur dan lauk pauknya. Kamera canonnya dikalungkan di leher."Mau ke mana?" sapa Reihan yang tengah duduk di meja makan. Tangan kirinya memegang gelas berisi air putih, sementara yang kanan memegang kapsul obat.&nb
Perjuangan menahan sakit, begadang setiap malam ternyata tak berujung kesia-siaan. Chika dan kawannya yang sering main ke rumah sakit untuk mengajari Dewa, ternyata semuanya masuk sepuluh besar. Dan apakah Anda tahu? Dewa yang jarang masuk sekolah dan tidak pernah ikut les, masuk dalam kategori tiga besar. Chika si gadis menggemaskan itu meraih peringkat pertama, Rivani ke dua, Dewa ke tiga, Dendi ke empat, Edvin ke lima, sementara Ogi mendapat peringkat ke dua dalam urutan kelas IPAnya. Oh menakjubkan! Senang sekali ketika perjuangan mereka membuahkan hasil, terutama bagi Dewa. Kau tahu? Nyonya Finda amat bangga mendengar kabar menggembirakan itu. Selama ini Nyonya Finda tidak pernah yakin kalau Dewa akan lulus. Bagaimana tidak? Dia saja jarang sekolah, mbolos kerjaannya. Detik-detik akhir ujian malah harus rawat inap, bagaikan mukjizat yang turun dari langit kesuksesan Dewa bagi beliau.Akhirnya hari selanjutnya setelah pengumuman kelulusan. Nyonya Finda mengada
Dewa berdiri di depan jendela. Ke dua lensanya menatap lurus ke angkasa. Pijaran gumintang di sana begitu menawan. Rembulan membentuk pisang dan tersenyum kepadanya. Cerah. Melintir kehangatan pada gulita dalam penerangan. Hari itu adalah menit terakhir Dewa belajar menyambut ujian Nasional. Mulai besok dia sudah akan bertempur dengan segala macam soal-soal ujian. Bahasa Indonesia, Matematika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris. Jantungnya berdegup kencang membelah keheningan malam. Akan sanggupkah besok? Dia baru belajar selama satu minggu. Jam menunjukkan pukul dua belas pagi. Pergantian tanggal dan hari, tinggal menunggu beberapa jam lagi, Dewa akan dihadapkan dengan soal ujian esok nanti.Keadaannya cukup membaik. Hanya tampak masih lemas. Itu karena beban pikirannya selama ini. Walau sudah berusaha fokus terhadap pelajaran, tetap saja bayang anak jalanan yang menderita di keheningan malam, dalam balutan gerimis langit, serta panasnya mentari kala siang menje
Sewaktu berangkat les, Chika menyempatkan diri mampir ke toko buat membeli buah-buahan dan membungkus kejutan untuk Dewa. Benda yang sejak SMP menemaninya itu telah ditemukan di warung bakso tiga hari lalu. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin ingin memberikannya, tapi karena nomor Dewa tidak aktif, ya terpaksa dia simpan terlebih dahulu. Dia tersenyum manis membayangkan kebahagiaan Dewa yang sebentar lagi akan terukir karenanya. "Pasti dia akan amat berterimakasih kepadaku," gumamnya kepedean.Waktu cepat bergulir. Senja tak mau menunggu terang terlalu lama, dia singkirkan bolam api langit ke rumah Barat. Usai les ke lima kawan langsung berangkat ke rumah sakit. Perjuangan! Begitulah mereka menamainya. Bagaimana tidak? Mereka harus mencari kamar Reihan tanpa tahu nama lengkapnya. Suster bilang nama Reihan yang dirawat di rumah sakit itu ada lima. Dari ke lima kamar yang disebutkan oleh suster itu didatangi semua. Dari ujung Barat sampai ujung Selatan. Mereka akhir
Agus lari terbirit-birit kembali ke kamar Enggar. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat mendalam. Caca dan Intan sudah dari tadi malam di kamar Enggar, membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah kardus, seperti bajunya Enggar yang kotor, dan peralatan makannya yang dibawa dari rumah kardus, sendok plastik, gelas plastik, dan piring plastik. Semua barang dimasukkan ke dalam karung yang masih bersih. Napas Agus putus-putus, dia menumpukan tangannya di lututnya. Seperti sedang rukuk di depan mulut pintu."Dari mana saja kamu, Agus?" tanya Enggar dan Intan hampir bersamaan. "Kenapa setelah mengejar Ovan kamu tidak balik lagi ke sini?" kata Intan dengan nada menuntut.Agus berdiri, dia menghela napasnya. "Aku menunggu Kak Dewa, dia sakit. Dari semalam belum sadarkan diri," seru Agus berusaha menjelaskan.Caca yang duduk manis di ranjang mendadak terperanjat kaget. Dia langsung loncat ke bawah dan berjalan meng
Diam. Satu kata pun jarang terucap. Menyendiri di kelas, sama sekali tak mau beranjak. Belajar malas. Pelajaran tak pernah mampu ditangkapnya. Yang ada hanya sosok pemuda yang amat dicintainya. Tapi semu. Pemuda itu hanya menjadi bayang kelabu. Berangkat les lesu. Seakan-akan tak pernah ada semangat dalam hidupnya. Walau di sampingnya ada seorang pangeran yang siap memberikan cintanya dengan sempurna. Bodohnya dia malah ingin memetik cinta yang belum jelas kepastiannya.Chika merenung di kelas. Ke dua tangannya menyangga dagu manisnya. Lensanya menerawang jauh di balik kaca jendela. Sudah berpuluh kali Chika menghubungi nomer hape Dewa tapi tidak aktif-aktif juga. Itu suda empat hari Dewa tidak masuk sekolah. Setelah ada kabar Reihan masuk rumah sakit Dewa sama sekali tak masuk sekolah dan Nyonya Finda pun tak memberi informasi di mana keberadaan Dewa. Tiga hari lalu Dendi dan dia ingin menengok Reihan di rumah sakit, tapi sayang, niat itu terpaksa harus digugurka