Beranda / Romansa / Dewa / Derita di atas Derita.

Share

Derita di atas Derita.

Penulis: Titin Widyawati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

 Pagi kembali menghela napas. Malam tadi telah terbakar lentera surya. Angin pagi masuk ke tubuh Dewa menembus dari tembok kardus yang dingin tertampar embun. Dia pun bangun, duduk setengah badan, menggigil kedinginan. Sejenak dia mengedip-ngedipkan matanya untuk menetralisir perasaannya. Sekujur badanya, luar dalam terasa diamuk khodam malaikat. Rasanya perih, sakit, ngilu, berat, panas, oh semuanya campur aduk menjadi satu adonan derita kelemahan Dewa. Sesekali dia memutar kepalanya, mengamati sekeliling tubuhnya. 

 Intan, Ovan, Caca, Agus dan lelaki berambut landak tidur di atas tanah. Caca dipeluk oleh Intan, sementara lelaki itu, Agus dan, Ovan terlentang di samping Intan. Ke semuanya berjejer seperti ikan pindang yang sedang berjemur. Kain sarung robek sebagai alas, karung berisi sampah adalah bantal. Selimutnya ada yang menggunakan kardus, ada pula yang memakai sarung robek. Tidak ada lampu di dalam rumah derita itu, jika malam pun kegelapan mengabuti mereka. Selimut yang tipis berbahan kain sarung itu tertarik ke sana kemari. Kasihan! Sungguh malang nasib anak jalanan. 

 Dewa menggagapi sekitar. Kamera digitalnya dia cari-cari. Ternyata tidak ada di sisinya. Dia pun akhirnya berusaha untuk beranjak. Disibaknya kelambu kusam yang digunakan sebagai pintu rumah tersebut. Angin menembus melalui pintu itu, hingga tubuhnya terlontang-lantung masuk ke dalam. Kain itu hanya diikat pada ujung atap rumah tersebut. 

 Dewa sudah tak sempat mengingat kejadian pengeroyokan tubuhnya kemarin. Melihat penderitaan mereka semuanya lebih menyakitkan ketimbang dikeroyok warga. Luka itu bisa sembuh, bagaimana dengan derita kemiskinan yang menjalar di negeri Indonesia ini? Setiap tahun bukannya berkurang, malah bertambah. Beda halnya dengan luka akibat tamparan atau pun pukulan, dua, tiga hari, seminggu, dua minggu, atau satu bulan, bisa langsung sembuh, kalau tidak ya dibawa ke rumah sakit. Lantas bagaimana penanganan dari kemiskinan? Banyak anak terlantar di jalanan, pengangguran pada kluyuran, menurut Dewa semua itu karena sebab lapangan pekerjaan yang katanya sudah disediakan melimpah oleh pemerintah tiada bukti.  

 Dewa menghirup udara lepas. Dia menuntun langkahnya yang tertatih menuju pinggiran sungai yang kaya akan sampah dan limbah, warnanya hijau pekat. Ada bau amis yang tercium ke dua lubang hidungnya. Sungai itu memanjang di tepi perumahan kardus dan perumahan penduduk yang kumuh. Ada jembatan penghubung perkampungan seberang. Di samping jembatan itu berdiri satu pohon mangga yang semu buahnya. Derap kakinya dituntun ke sana. Dia duduk di bawah dedaunan mangga, mengamati sungai yang nampak melas itu. Andai saja kameranya tidak hilang, pasti sudahlah dia abadikan kisah pahit sungai itu di dalam fotonya. 

 Kepalanya masih terasa pening. Badannya seolah benar-benar rontok. Apalagi bagian ulu hatinya, sakitnya minta ampun. Tukang becak sialan kemarin, menonjok perutnya amat keras. Coba kalau dia di rumah pasti sudah dilarikan ke rumah sakit ditusuk jarum infus untuk mengurangi penderitaan. Tapi bagaimana caranya dia pulang? Sementara untuk melangkah saja pincang, tak mungkin toh menggayuh sepeda sampai kampung Kaliangkrik. Mana kuat, apalagi jaraknya tidak bisa dikata dekat, kurang lebih perjalanan dua jam. Dewa... Dewa coba kemarin dia pakai motor. Mungkin pagi itu dia bisa kembali pulang, merebahkan tubuhnya di atas kasur tua. 

 "Oh... malang sekali nasib warga di sini," celotehnya ketika melihat seorang ibu-ibu renta menggendong ceting yang berisi pakaian kotor. Dia lalu menceburkan diri ke dalam sungai untuk mencuci pakaian tersebut. Busa menggelembung di sekitar tubuh ibu-ibu itu. 

 "Apa tidak gatal ya? Sementara banyak sampah yang berjalan mengikuti aliran sungai itu," Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Untunglah, di kampungku masih ada sumber air jernih tak seburuk di sini, nampak mengerikan lagi jika hidup di perumahan kumuh Jakarta, oh Tuhan!" jerit Dewa dengan hati miris. "Ingin sekali aku membantu mereka, tapi apalah dayaku?" Dewa terus melontar kalimat bersaksi pohon mangga yang disandari tubuhnya itu. 

 "Semuanya sudah takdir," ada suara di belakangnya. Dia pun memutar lehernya untuk menoleh. 

 "Ketentuan Tuhan nampaknya tak bisa diganggugugat, arus kehidupanku seperti sungai bau busuk ini, yang kelak akan bermuara di samudera. Dan tentunya menurutku itu indah," cerocos gadis dengan rok kebaya seperti kemarin. Ternyata Intan telah berdiri di belakang tubuhnya. Dia lalu duduk di sebelah Dewa.

 "Kau... sejak kapan kau bangun?" Dewa nampak cangung dengan hadirnya gadis itu.

 "Aku bangun ketika kamu membuka pintu kelambu, kenalkan namaku Intan, yang kemarin berbicara denganmu itu Ovan, sampingku Agus, dan yang kecil Caca, kamu?" dia mengulurkan tangan untuk dijabat dalam perkenalan.

 "Aku Dewa," responnya sambil membalas uluran tangan Intan. Sejenak mereka saling beradu pandang sementara tangan berjabatan. Senyum dari wajah kusam Intan mekar. Dewa pun tak mau kalah saingan, walau bibirnya masih dirasa perih, akibat amukan warga kemarin. 

 "Kau nampaknya anak yang baik." Kata Intan dengan nada datar. Dia lalu memalingkan pandangannya dari wajah Dewa. Lensanya menatap lurus ke depan. 

 "Aku lebih buruk daripada kalian." Dewa merendah, "oh ya, dari mana kamu bisa berkata bahwa muara sungai ini indah," dia mengembalikan topik pembicaraan.

 "Yah karena aku suka lautan, setiap sungai kelak akan bermuara di lautan yang luas, sampah-sampah yang tadinya berserakan nampaknya akan lenyap, entah dibawa ke mana. Sungai yang hijau busuk, akan berubah di laut menjadi biru menyejukkan pandangan." Pendapat Intan dengan mata yang berbinar-binar.

 "Aku tak mengerti maksudmu, Intan. Menurutku jika dari asalnya sudah membawa sampah, di muaranya pun malah akan mengendap menjadi tumpukan sampah..." sanggah Dewa. 

 "Apakah kau pernah melihat endapan sampah di lautan?" 

 Dewa menggeleng. 

 "Itulah kehidupan sungai, dari hal yang buruk menjadi keindahan. Seperti hidupku dan kawan-kawan kelak nanti, pasti akan indah..." katanya menggantungkan kalimatnya. Sejenak dia menatap langit.

 "Kenapa kamu bilang seperti itu Intan?" 

 "Jika kelak kami sudah abadi di sana!" jeritnya seraya menunjuk angkasa yang membiru.

 Dewa semakin bingung dengan ucapan gadis yang usianya di bawah umurnya. 

 "Kok begitu?" Dewa mengerlingkan matanya heran, sambil ikut menatap langit datar.

 "Ketika kami mati, kami akan masuk syurga. Di dunia ini kami sudah menderita karena diterlantarkan negara, sebab mereka yang korupsi uang-uang rakyat, hingga akhirnya pembangunan dan sosialisasi tidak merata. Mereka akan dibakar hangus di neraka, sementara kami akan meledek dan mencaci mereka dari syurga. Aku sudah tak sabar menanti hal itu..." terang Intan panjang lebar. 

 Dewa tak tahu mau menaggapi dengan kata apa. Kalimat yang baru diucap Intan, nyaris membuat jantungnya akan copot. Tajam bak belati samurai.

 "Orang kaya pun sama halnya dengan pemerintah! Yang suka korupsi uang perusahaan, yang bertindak sewenang-wenang kepada karyawan dan yang menggusur tempat tinggal kami! Kami benciiiii merekaaaa... benciiiii!!!" satu butir menetes di pipi Intan. 

 Napas Dewa seolah terhenti di kerongkongan. Kalimat Intan begitu tajam dan melecehkan pemerintah. Dari mana anak jalan yang tak memakan bangku sekolah itu bisa berbicara seperti itu? Dewa kagum dan takjub. Andai saja dia membawa hapenya, pasti suara Intan telah direkam. Kalimat-kalimat Intan indah namun mengiris batin. Dewa sendiri seolah tersindir. Bagaimana tidak? Ibunya saja dulu sering menelantarkan anak-anak jalanan. 

 "Kam...kam...kamu...ya...yang... sab...bar... kelak Tuhan akan memberikan balasan yang setimpal!" katanya asal. Dalam hati dia menggumam. 'Tapi jangan dengan Ibuku, beri saja dia kesadaran," 

 "Kak Intaaaannn!!!" panggil Caca yang sudah berdiri di belakang mereka membawa bola. 

 "Main bola, Kak." Seru Caca dengan pengharapan.

 Intan dan Dewa pun menghampiri belia mungil itu. Obrolan mereka terhenti tanpa adanya kehendak yang diminati. Cacalah penyebab ocehan mereka menjadi mati. Caca memakai kaos besar, warnanya hitam dengan bercak-bercak putih. Rambutnya diurai acak-acakan, dia tidak memakai celana panjang. Baju itu telah menutupi lututnya. Itu adalah bajunya Intan. Pantas saja kalau anak itu kebesaran.

 "Eh Caca... sudah bangun sayang?" sapa Intan sambil jongkok di hadapannya.

 "Sudah Kak, Caca pengen main bola dengan kakak itu," menunjuk Dewa. Dia pun hanya tersenyum sambil mengacak rambut Caca.

 "Panggil dia Mas atau Kak Dewa ya?" perintah Intan. Anak kecil dengan poni Dora itu mengangguk paham. 

 "Ya sudah sekarang panggil teman yang lain, kalau mau main bola. Oke Caca," pinta Dewa. 

 "Horeee.... main bola... horeeeee..." Caca lari masuk ke tenda kardus dengan semangat yang membara.

 Dewa merasa ada yang janggal dari hatinya. Terasa sakit, namun entah apa penyebabnya. Melihat Caca gembira, airmatanya malah cair. Ingin sekali dia mengajak Caca dan anak-anak lain main ke tempat yang lebih mengasyikkan ketimbang bola. Misalnya, taman anak-anak, arena komedian, Ancol, dan tempat-tempat rekreasi yang ramai. Ah... kapan itu, lusakah? Ibunya saja jarang mengajaknya pergi, kalau diminta uang ya harus jelas rincian penggunaannya, kalau tidak! Jangan harap ada yang tertransfer ke ATMnya. Dewa menarik napasnya dalam, lalu berjalan mendekati bangunan kardus itu. Intan mengekorinya di belakang.

 "Banguuunnnn!!! Ayo Kak Agus, Enggar, main bola," teriak Caca keras sekali. 

 Agus dan Ovan bebarengan bangun dan mendudukkan badannya sambil menguap lebar-lebar. Sementara lelaki itu masih terjaga. 

 "Caca... pagi-pagi masak main bola, nggak seru!" timpal Agus. 

 "Caca mandi dulu saja ya? Nanti kalau sudah harum baru main bola. Oke... Kak Agus dan kakak mau cari makan dulu," seloroh Ovan dengan bijak.

 "Yasudah Caca mandi dulu saja ya?" Intan menguatkan kalimat Ovan. 

 Ovan yang kemarin dianggapnya kasar, ternyata berjiwa sutra dan penyayang. Kehidupan anak jalanan menurut Dewa sukar ditebak. Terkadang ada yang suka mabuk-mabukan, perokok aktif, main ke dunia gemerlap, foya-foya jika dapat uang, mencicip narkoba, serta menjarah tempat-tempat prostitusi seperti di film-film, ternyata semuanya tak seperti itu. Sebuah argumen salah yang telah tersebar ke penilaian orang-orang, anak jalanan identik dengan kekerasan dan dunia gelap. Dunia anak jalanan tak seburuk anggapan orang di luar sana. Ada yang lebih baik dari mereka. 

 Bagi mereka tepatnya mungkin hanya kesulitan dalam mencari makan, dan pendidikan. Bagaimana caranya? Siapa yang mau mencukupi? Sementara mereka kan tidak punya usaha. Dewa hanya diam tak mau banyak menanggapi ucapan mereka. Kepalanya terasa pening dan berat. Pandangannya pun masih berkunang-kunang. Ingin rasanya dia mencium kembali ranah mimpi, tapi tempatnya tidak memihak. Sudah begitu tadi terlanjur menyanggupi permintaan Caca untuk bermain bola. Tidak mungkin dia menggores perih di batin anak kecil itu. 

 "Kak Intan, Caca ingin bola!" rengek Caca iba. 

 Tak sengaja pandangan Ovan terlempar ke wajah Dewa. Dia pun langsung berdiri dan mendekati Dewa yang masih berdiri di depan mulut kelambu. 

 "Kau!" Ovan mendorong tubuh Dewa, hingga akhirnya Dewa terjengkal beberapa langkah ke belakang. "Sudah kuat pulangkah?" tanya Ovan tanpa hati. Caca memeluk kaki Intan, dia takut setiap melihat Ovan marah. Intan hanya mengelus-elus rambut kepalanya. Sementara Agus merapikan bantal sampah dan melipat sarung yang semalam digunakannya selimutan. 

 "Ada apa? Kenapa kau nampak tak suka dengan hadirku?" ucap Dewa sambil menyeimbangkan tubuhnya yang tadinya doyong hampir mencium tanah. 

 "Kalau sudah sembuh, pulanglah! Jangan berlama-lama di sini."

 "Wajahnya saja masih pucat Kak, lihatlah luka-lukanya masih terlihat segar," sambung Intan yang berdiri di samping kirinya.

 "Aku tak menghiraukan lukanya, yang penting dia kuat pulang dan segera pergi dari sini," Ovan tak bisa dikalahkan. "Aku tidak suka orang kaya," tambahnya. 

 "Aku bukan orang kaya, kalau aku orang kaya, aku akan jijik tinggal bermalaman di tempat kalian," sanggah Dewa membela diri dengan menipu latar belakangnya. 

 "Pergilah!" ucap Ovan untuk yang kesekian kalinya. 

 Namun Dewa tetap berdiri kokoh di hadapannya. Seolah tak ada rasa takut yang menciutkan nyali Dewa. Dia tahu kalau Ovan tak seburuk sikapnya. Ovan berhati mutiara. Dan mutiara itu selalu diselubungi kerang tubuhnya yang keras, padahal sejatinya isinya indah memesonakan jiwa. Setiap ucapan yang terdengar bijak dan menyejukkan. Namun entah alasan apa yang membuat Ovan semakin kasar dengan Dewa. Apa karena benar dia kaya? Atau karena hal lain?

 "Aku tak mungkin pulang dengan keadaan seperti ini, aku bisa mati di jalan," titah Dewa. 

 "Baiklah, kalau begitu akan aku antarkan kamu pulang dengan sepedamu," kata Ovan. 

 Dewa mengerutkan dahinya. Apa dia tak salah dengar? Mengantarkannya pulang? Ovan mengusir namun mau mengantar? Jelaslah sudah kalau ada hal yang disembunyikan dari anak itu.

 "Aku tahu kau berbudi baik," respon Dewa. "Entahlah yang membuatmu tega mengusirku dalan keadaan seperti ini, baiklah jika kau inginkan aku pergi," 

 Kali itu Dewa menyerah. Dia tidak ingin membuat Ovan merasa terbebani akan hadirnya. Ucapannya yang terakhir membuat hatinya terharu. Dia semakin bertambah yakin kalau Ovan berhati mulia. 

 "Di mana kameraku?" Dewa memotong topik pembicaraan. 

 Tanpa perintah dari Ovan, Intan masuk ke dalam rumah kardus. Tinggallah Caca berdiri mematung di depan mulut bangunan kardus tua itu.

 "Baguslah kalau kau sadar diri dan ingin segera pulang," Ovan lalu berlalu pergi menerobos jalan lurus mengeluari gang perumahan kardus dan perumahan kumuh. Dewa hanya menatap punggungnya yang tertelan tikungan. Dalam hati dia bertanya-tanya, ke manakah Ovan akan pergi?

 Intan keluar dari rumah kardus itu. Dia mengulurkan kamera hitam miliknya. Simpulan senyuman pun tertuai di bibirnya yang lebam. 

 "Terima kasih," 

 "Kakak..." panggil Caca iba.

 "Apa sayang..." tanggap Dewa. Cekrek.. Dewa mengambil posisi untuk memotret satu gambar Caca. Dia jongkok setengah badan. 

 "Main bola," 

 Ternyata anak itu masih menginginkan permainan yang melelahkan itu. Dewa tidak tahu harus berkata apa. 

 "Intan! Aku berangkat dulu!" teriak Agus yang berhambur keluar, dia lalu lari melanjutkan jejak Ovan. Sejenak Caca terdiam dan memandang Agus yang bersemangat mengejar apa yang ingin dikejarnya. Entah apa itu.

 "Iyaaaa... hati-hati," jerit Intan seraya menatap punggungnya yang mendadak ditelan tikungan.

 "Mereka mau ke mana?" tanya Dewa penasaran.

 "Mau cari makan," balas Intan.

 "Caranya?"

 "Ngamen atau ngemis," jawab Intan dengan sayu.

 "Emmmm...."  

 Hati Dewa terasa sesak. Dia menunduk menatap tanah. Tak dihiraukan lagi permintaan Caca.

 "In... In... Intan...!" suara serak terdengar dari dalam.

 Intan terperanjat. Dia pun masuk ke dalam. Dewa terpaku merenung. Dia menatap Caca sayu. Dalam hati dia menggumam, derita apalagi yang akan menimpa anak-anak tak berdosa itu. Sebenarnya di manakah orangtua mereka. Apa mungkin sudah dikubur dalam tanah syurga? Atau malah mereka terlahir dari darah haram? Tapi adakah anak haram? 

 Mata Dewa memandang wajah Caca pilu. Gadis jelia, sekecil itu. Ditinggal ke dua orangtua. Ya Tuhan, di mana kasih sayang. Apa dia tahu kalau selama itu dia hidup menderita? Bagaimana besarnya nanti. Pendidikan tak dapat, makan pun tak pernah nikmat. Mandi di sungai yang kaya akan polusi, tidur di atas tikar tanah murni, tubuh pun jarang terselimuti. Di mana mata orang kaya? DI MANA? 

 "Caca... kelak kakak akan membuatmu bisa cerdas dan pintar," cerocos Dewa sambil mengacak poni Dora Caca. Sekali lagi dia mengambil gambar wajah Caca dengan bigron rumah kardus. Cekreekk...

 "Cacaaaaa!!!!! Ambilkan Kak Intan air hangat sebaskom di dapur!" jerit Intan melengking keras ke gendang telinga dua insan itu. Caca pun lalu lari menuju dapur. Dewa mengikuti langkah anak kecil itu. Mendadak mata Dewa hampir saja dibuat coplok oleh tempat yang disebut sebagai dapur. Ruangan tersekat dengan karung yang disobek memanjang sebagai dinding dengan atap terpal biru, tiga batu diberdirikan sebagai tungku. Di sebelahnya ada ember yang terisi air jernih. Debu-debu berkeliaran di udara. Kalau hujan deras, pondasi yang terbuat dari belahan bambu itu, pasti akan roboh. 

 Cekreeeekkkk....kilatan blitz kamera Dewa kembali menyambar wajah Caca. Gadis mungil manis itu hanya terperangah tak berkata. Diam beribu bahasa. Dalam benaknya dia bertanya-tanya, "itu apa sih? Kok bisa bersinar? Kayak petir," 

 Caca mengambil satu gelas air panas dari sebuah termos tua bercat hijau. Dia menuangkan air itu pelan sangat. Usainya mengambil air baskom yang ada di ember, air panas yang dilarutkan di dalam gelas itu pun dicampur dengan air dingin. Caca yang baru berumur lima tahun ternyata pandai beradaptasi di lingkungan kumuh. Hebat! Dewa salut dengan anak itu. 

 Cekreeeekkkk....

 "Air itu buat siapa?" 

 "Nggak tahu," 

 Perasaan kemarin dia hanya melihat Ovan, Agus, Intan, dan Caca. Anak yang lain masuk ke rumah kardus yang di sampingnya. Lantas siapa yang tadi memanggil Intan. Siapa dia? Dewa tadi tak memerhatikan siapa saja yang tidur di dalam kardus. Oh iya, dia ingat satu orang anak yang masih tidur. Itu kan...

     °°°°°°°°

Bab terkait

  • Dewa   Hampa

    Pagi menyeruak di lembah kaki gunung Sumbing. Simponi kembali menjalar dengan gesekan dedaunan alam. Rangkak kaki telah tertuntun mendaki tanjakan ladang. Atau mereka yang berbondong-bondong memakai seragam pendidikan untuk masa depan. Menatih jejak menuju sekolahan. Ada juga yang berlari mengejar logam ke pasar atau pun pusat pertokoan. Bahan dagangan ditenteng, kertas rupiah dijulurkan, sementara keringat bercucuran.Waktu itu Reihan telah siap-siap menggas mobilnya ke Yogyakarta. Jam kuliahnya pukul sembilan esok. Perjalanan hanya membutuhkan waktu dua jam, kalau dia menggas cepat layaknya pembalap, terkadang juga hanya satu jam lewat sedikit. Nyonya Finda membereskan pekerjaan rumah. Menyapu, masak, mencuci piring, dan lain sebagainya. Pagi itu mereka berdua dipersibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga jeritan-jeritan melengking setiap pagi, untuk membangunkan Dewa lenyap seketika. Tak digubris memori hari lain. Seolah kepergian Dewa adalah suatu keberuntungan.

  • Dewa   Lapar

    Caca membawa sebaskom air itu ke naungan kardus mereka. Ditentengnya dengan ketulusan. Dewa ingin membantunya, Caca menolak. Dia pun akhirnya hanya mengikuti langkah Caca di belakang. Namun sebelum tiba di tenda kardus,Tiba-tiba... Bruk.Astaga! Seorang perempuan cantik menabrak tubuh Caca. Anak berponi Dora itu terpanting ke samping. Air yang ada di dalam baskom pun tumpah."Heh, kalau jalan hati-hati dong! Anjing lo," jerit perempuan itu sambil menuding wajah Caca dengan jari telunjuknya.Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya. Perempuan yang memakai rok se atas lutut dan baju pink ketat itu sudah salah tak mau mengalah. Jelas-jelas dia yang tidak hati-hati, jalan seenaknya. Jalan sambil sms-an menuntun jemarinya di lantai keybord Blackberrynya. Jika dilihat dari tampangnya serta penampilannya, dia adalah orang kaya. Lipstik merah mawar, elsido, maskara, bedak lima senti, memoles kecantikan alamiahnya. Wajahnya nampak s

  • Dewa   Rasa yang Mengambang

    Dahaga mengamuk tenggorokan. Kekuatan terseok dalam lara. Tubuh lunglai bak baja bengkok.Kini sampailah dia di pertigaan pasar Beseran. Untuk mencapai rumahnya, dia harus melintasi kurang lebih empat kilometer lagi. Sayangnya dia sudah tak sanggup. Peluh tidak menetes karena dia sakit. Wajahnya merah pucat. Bibirnya kering, di sekeliling matanya berwarna abu-abu. Tubuhnya gemetaran. Perjalanannya barusan membuat tenaganya terkuras habis. Sejenak dia mampir di tempat penjual bakso yang ada di kanan jalan. Dia tidak bermaksud untuk memesan makanan, melainkan untuk numpang membuang letihnya sejenak. Banyak orang yang memerhatikan raut wajahnya dengan iba.Sore telah merangkak. Pasar Beseran sepi. Para pedagang pun telah melipat tikarnya untuk membawanya pulang. Pertokoan sembako mulai tutup rapat. Giliran pedagang kaki lima yang memainkan aksinya. Penjual bakso, penjual gorengan, wedang ronde, dan lainnya. Dewa duduk membungkuk di samping mu

  • Dewa   Di balik Putih, Ada Hitam.

    Nyonya Finda telah pulang kerja. Didapati kamar Dewa masih sepi tak berpenghuni. Perasaannya krungsang, tidak tenang. Beliau lalu menggeser langkah menuju kamarnya. Duduk di depan meja rias, sambil menyeret-nyeret layar hape samsungnya. Beliau mengirim pesan pendek kepada Reihan."Dewa belum pulang, lama-lama ibu khawatir Rei, bagaimana kalau dia kenapa-napa?" messege delivered. Lima belas menit Nyonya Finda menunggu balasan dari putranya yang selalu dibanggakan, namun yang ditunggu tak memberi tanggapan. Beliau pun hanya bisa menebak, mungkin Reihan masih sibuk belajar.Jauh di ambang cakrawala sana. Di tengah-tengah kebimbangan dan kekhawatiran orangtua. Sang Reihan mencumbu bibir perawan. Gemerlap lampu disko menyinari ubun-ubunnya. Alunan lagu disko melengking di gendang telinga. Pelayan-pelayan bir yang seksi-seksi, berjejer di pinggiran bar. Moncong-moncong nyawa bersulat asap rokok. Ada yang mengandung zat terlarang, a

  • Dewa   Yang Malang dalam Gelap

    Gelap membuka jubah penerangan bagi sang Rembulan. Jantung waktu lebih mempercepat lajunya. Esok sekejab dilalui oleh sekelompok anak jalanan. Dari pagi buta sampai malam menjemput, kaisan logam terus tertadah. Sayang hanya sepersih barang sepuluh rupiah pun tak terhitung. Koin-koin berharga mereka tumpahkan di atas permukaan tanah, di dalam sekatan kardus mereka.Seharian penuh, Ovan, Agus, Intan, Caca, dan Enggar yang dalam keadaan sakit, menengadahkan telapak tangannya di bawah terik mentari. Jika petang telah memeta jejak, mereka pun kembali ke markas semula. Biasanya mereka akan berpesta ria, kalau uang sudah terkumpul, usai seharian mengais riski dari jalanan. Mereka jarang sarapan pagi, paling makan siang kalau ada banyak koin yang didapat, jika mentok yang didapat pas-pasan seperti malam itu. Mereka pun terpaksa tidak makan siang, yang penting malamnya tidak kelaparan. Karena menurut mereka, lapar saat gelap menjelma itu amatlah menderita.Cac

  • Dewa   Nasib Anak Jalanan

    Perjalanan dari Semarang ke Magelang cukup melelahkan. Akhirnya sampai juga Ovan di Borobudur. Dengan semangat membara anak itu menaiki tangga candi sampai ke tingkat yang paling atas. Tangan Papa dan Mamanya digenggam erat, sementara kakaknya mengekor di belakang. Ice paddle pop, dijilatinya sedari tadi. Wajahnya riang sumringah. Tak dirasa mentari yang membakar habis kulitnya hingga keringat berleleran, seperti ice creamnya yang mencair. Wajah Mama dan Papa nampak lunglai, begitu juga dengan kakak perempuannya. Namun dia cuek, baginya yang penting bisa jalan-jalan bersama, itu cukup membahagiakan. Mau mereka cemberut atau muram dan marah, itu urusan belakangan."Papa gendong!" serunya."Aduh, kamu ini, manja banget!" seloroh Papanya lalu menggendong Ovan kecil.Sampailah mereka di atas, sejenak mereka mengitari candi. Patung-patung batu yang mengagumkan. Pahatan-pahatan di dinding candi sungguh indah. Ovan menyentuh lukisan

  • Dewa   Sebuah Perhatian

    Aroma nikmat menyengat ke sela-sela hidung Dewa. Matanya pun mendelik menatap apa yang tengah terpampang di meja. Ada sop jagung, ayam goreng, ikan goreng, lodeh terong hijau, dan sambal hati. Ke semuanya masih mengepul-ngepulkan asap di udara. Lensanya yang semula terjerat kegelapan karena tertutup tabir mimpi, mendadak bening sekali.Chika keluar dari dalam, menenteng satu ceting nasi panas. Celemek cokelat masih menempel di tubuhnya. Wajahnya berlumur keringat, namun tetap ceria untuk setia mengulum senyum kepada Dewa. Dia sengaja mengangkut semua masakannya ke ruang tamunya yang sempit itu, lantaran Dewa sudah di sana. Dia tidak ingin menambahi penderitaan kaki Dewa yang pincang untuk berpindah-pindah tempat."Menu makan malam sudah siap, adakah yang mau makan?" kata Caca sambil bergaya seperti waiters kafe."Kamu masak semua ini?"Chika mengangguk."Untuk siapa? Untuk aku?""Pe

  • Dewa   Adakah Makna Cinta?

    Bukan masalah heboh atau tidaknya. Tapi itu masalah anak jalanan yang bernaung atap kardus di pinggiran sana. Kalau hujan mana bisa atap kardus menaungi tubuh mereka dengan kehangatan. Mereka bisa kedinginan dan lebih mengenaskan lagi rumah mereka akan roboh. Oh tidak... hati Dewa perih sangat. Rasanya dia ingin kembali ke tempat Ovan dan kawan-kawan untuk mengajaknya ikut bersama tinggal di rumahnya yang megah. Tapi apa bisa, kakinya saja seolah tak mampu menopang berat tubuhnya yang tak seberapa."Intan, Ovan, Caca... " katanya lirih dengan tatapan menerawang."Maksudmu?" Chika tak mengerti."Ah tidak, aku mau pulang," dia lalu menghempaskan tubuh Chika. Pintu dibuka. Dia keluar, sejenak langkahnya terhenti. Berdiri termenung menatap rintikan hujan yang nampak karena sorotan cahaya lampu. Gelap merajai malam. Mendung pun merajut pandang."Ya Tuhan, ini benar-benar hujan, bagaimana dengan mereka?"&n

Bab terbaru

  • Dewa   Lembaran Baru

    Satu bulan berlalu setelah kejadian itu. Ke enam sahabat sama sekali tidak ada yang keluar rumah bahkan berangkat kuliah. Anak jalanan sering meratap dan menangis di bawah rembulan. Mawar sendiri juga ikut terdiam dengan kesedihannya antara dilema cinta yang pahit. Mengingat kondisi janinnya yang akan terkena HIV AIDS juga, serta keadaan Dewa yang tak kunjung membawa kabar indah.Untunglah waktu berbudi baik, tak mau membuat Dewa terluka berlama-lama. Sebulan penuh dia tersungkur dalam pembaringan. Bangkit dengan sisa keterkejutannya mendengar bahwa Reihan meninggal. Langsung airmatanya terjun. Dadanya sesak dicambuk kepedihan. Dewa menangis di ranjang rumah sakit. Nyonya Finda mendekapnya erat-erat."KAK REIHAAANNN!! KAK REIHAN, BU! KAK REIHAN DI MANA???" jeritnya membuat suasana semakin menyesakkan. Nyonya Finda tak kuasa menahan airmata."Sabar, Nak." Nasihat Nyonya Finda seraya mengelus ubun kepala Reihan.&nb

  • Dewa   Kepergian

    Satu Minggu berlalu. Mereka sudah sama-sama mendaftar di universitas yang sama, pada tanggal yang sama, waktu yang sama, keberangkatan yang sama, hanya jurusannya saja yang berbeda.Kala itu langit mendung. Nyonya Finda sedang memasak di dapur. Dewa duduk termenung di balkon depan kamarnya. Dia menatap bintang yang tidak tampak. Dia mengingat Chika dengan senyuman manis. Gadis itu membuat hatinya jatuh dalam kegelapan cinta. Suatu saat nanti kalau impiannya sudah tercapai dan kuliahnya selesai. Dia ingin langsung melamar Chika untuk memberi kejutan. Akan sangat menyenangkan masa depannya. Sekali lagi waktu pertegas bahwa mimpinya adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta mencerdaskan anak jalanan. Dia ingin menaunginya. Selamanya. Dan sekarang setidaknya mimpi itu sudah kelihatan berjalan.Praanngg...lamunanya buyar. Suara gelas pecah mencium lantai dari kamar sebelah. Yah kamarnya Reihan. Ada apa? Napas Dewa langsung se

  • Dewa   This is My Dream's 2

    Keesokan harinya dia mengkopi surat yang ditulisnya itu. Dia lalu mengirimkannya ke sekolahan SD ketika berangkat ke perkampungan kumuh. Setiap didapati sekolahan, dia berhenti dan menitipkan surat itu kepada satpam agar disampaikan ke Kepala Sekolah dengan segera. Setiap mengulurkan surat itu, dia berkata keras-keras SEGERA. SEGERA PAK. NGGAK PAKAI LAMA! Satpam pun hanya menggeleng-geleng.Dewa memang anak yang bertekad baja. Keinginannya tidak pernah bisa diganggugugat. Apalagi jika ada yang sampai bisa mengalahkan watak keras kepalanya. MUSTAHIL. Ada yang pernah mencoba tapi selalu gagal.Sampai di perkampungan kumuh alias perumahan kardus. Mata Dewa berkedip-kedip. Anak-anak jalanan sudah tertata rapi dan belajar seperti kemarin. Mereka malah tampak lebih semangat. Sesekali terdengar suara tawa yang menggelegar karena banyolan Den...eih itu siapa? Den? Dendi??"SUPRAISE!!!" jerit Chika dan ketiga kawannya, Edvin, Rivani, Y

  • Dewa   This is My Dream's 1

    Pagi menguning di ufuk Timur. Senyumnya telah mengembun di dedaunan. Burung ikut menyambut semarak hari dengan berhening cipta di kabel listrik yang mengular sepanjang jalan, terpikir mereka sedang bersyukur dengan kekuasaan Tuhan. Hari itu usai salat shubuh berjamaah bersama Reihan dan Nyonya Finda. Kejadian yang dialami mereka menyadarkan mereka semua tentang makna ketuhanan. Selama ini mereka telah melangkah dalam jalan yang gelap, walhasil hidup pun tak pernah lelap. Ada saja masalah hingga membuat hidup susah. Bagaikan tidur di springbed lembut tapi mata terjemput mimpi buruk, itulah mengapa hidup tak pernah lelap. Dewa langsung loncat dari ranjang tidurnya bergegas mandi, sarapan dan melesat menenteng tasnya, tak lupa dia membungkuskan nasi serta sayur dan lauk pauknya. Kamera canonnya dikalungkan di leher."Mau ke mana?" sapa Reihan yang tengah duduk di meja makan. Tangan kirinya memegang gelas berisi air putih, sementara yang kanan memegang kapsul obat.&nb

  • Dewa   Syukuran

    Perjuangan menahan sakit, begadang setiap malam ternyata tak berujung kesia-siaan. Chika dan kawannya yang sering main ke rumah sakit untuk mengajari Dewa, ternyata semuanya masuk sepuluh besar. Dan apakah Anda tahu? Dewa yang jarang masuk sekolah dan tidak pernah ikut les, masuk dalam kategori tiga besar. Chika si gadis menggemaskan itu meraih peringkat pertama, Rivani ke dua, Dewa ke tiga, Dendi ke empat, Edvin ke lima, sementara Ogi mendapat peringkat ke dua dalam urutan kelas IPAnya. Oh menakjubkan! Senang sekali ketika perjuangan mereka membuahkan hasil, terutama bagi Dewa. Kau tahu? Nyonya Finda amat bangga mendengar kabar menggembirakan itu. Selama ini Nyonya Finda tidak pernah yakin kalau Dewa akan lulus. Bagaimana tidak? Dia saja jarang sekolah, mbolos kerjaannya. Detik-detik akhir ujian malah harus rawat inap, bagaikan mukjizat yang turun dari langit kesuksesan Dewa bagi beliau.Akhirnya hari selanjutnya setelah pengumuman kelulusan. Nyonya Finda mengada

  • Dewa   Renungan

    Dewa berdiri di depan jendela. Ke dua lensanya menatap lurus ke angkasa. Pijaran gumintang di sana begitu menawan. Rembulan membentuk pisang dan tersenyum kepadanya. Cerah. Melintir kehangatan pada gulita dalam penerangan. Hari itu adalah menit terakhir Dewa belajar menyambut ujian Nasional. Mulai besok dia sudah akan bertempur dengan segala macam soal-soal ujian. Bahasa Indonesia, Matematika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris. Jantungnya berdegup kencang membelah keheningan malam. Akan sanggupkah besok? Dia baru belajar selama satu minggu. Jam menunjukkan pukul dua belas pagi. Pergantian tanggal dan hari, tinggal menunggu beberapa jam lagi, Dewa akan dihadapkan dengan soal ujian esok nanti.Keadaannya cukup membaik. Hanya tampak masih lemas. Itu karena beban pikirannya selama ini. Walau sudah berusaha fokus terhadap pelajaran, tetap saja bayang anak jalanan yang menderita di keheningan malam, dalam balutan gerimis langit, serta panasnya mentari kala siang menje

  • Dewa   Kejutan

    Sewaktu berangkat les, Chika menyempatkan diri mampir ke toko buat membeli buah-buahan dan membungkus kejutan untuk Dewa. Benda yang sejak SMP menemaninya itu telah ditemukan di warung bakso tiga hari lalu. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin ingin memberikannya, tapi karena nomor Dewa tidak aktif, ya terpaksa dia simpan terlebih dahulu. Dia tersenyum manis membayangkan kebahagiaan Dewa yang sebentar lagi akan terukir karenanya. "Pasti dia akan amat berterimakasih kepadaku," gumamnya kepedean.Waktu cepat bergulir. Senja tak mau menunggu terang terlalu lama, dia singkirkan bolam api langit ke rumah Barat. Usai les ke lima kawan langsung berangkat ke rumah sakit. Perjuangan! Begitulah mereka menamainya. Bagaimana tidak? Mereka harus mencari kamar Reihan tanpa tahu nama lengkapnya. Suster bilang nama Reihan yang dirawat di rumah sakit itu ada lima. Dari ke lima kamar yang disebutkan oleh suster itu didatangi semua. Dari ujung Barat sampai ujung Selatan. Mereka akhir

  • Dewa   Apa yang Telah Kuberikan?

    Agus lari terbirit-birit kembali ke kamar Enggar. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat mendalam. Caca dan Intan sudah dari tadi malam di kamar Enggar, membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah kardus, seperti bajunya Enggar yang kotor, dan peralatan makannya yang dibawa dari rumah kardus, sendok plastik, gelas plastik, dan piring plastik. Semua barang dimasukkan ke dalam karung yang masih bersih. Napas Agus putus-putus, dia menumpukan tangannya di lututnya. Seperti sedang rukuk di depan mulut pintu."Dari mana saja kamu, Agus?" tanya Enggar dan Intan hampir bersamaan. "Kenapa setelah mengejar Ovan kamu tidak balik lagi ke sini?" kata Intan dengan nada menuntut.Agus berdiri, dia menghela napasnya. "Aku menunggu Kak Dewa, dia sakit. Dari semalam belum sadarkan diri," seru Agus berusaha menjelaskan.Caca yang duduk manis di ranjang mendadak terperanjat kaget. Dia langsung loncat ke bawah dan berjalan meng

  • Dewa   Bunga di Ujung Cakrawala

    Diam. Satu kata pun jarang terucap. Menyendiri di kelas, sama sekali tak mau beranjak. Belajar malas. Pelajaran tak pernah mampu ditangkapnya. Yang ada hanya sosok pemuda yang amat dicintainya. Tapi semu. Pemuda itu hanya menjadi bayang kelabu. Berangkat les lesu. Seakan-akan tak pernah ada semangat dalam hidupnya. Walau di sampingnya ada seorang pangeran yang siap memberikan cintanya dengan sempurna. Bodohnya dia malah ingin memetik cinta yang belum jelas kepastiannya.Chika merenung di kelas. Ke dua tangannya menyangga dagu manisnya. Lensanya menerawang jauh di balik kaca jendela. Sudah berpuluh kali Chika menghubungi nomer hape Dewa tapi tidak aktif-aktif juga. Itu suda empat hari Dewa tidak masuk sekolah. Setelah ada kabar Reihan masuk rumah sakit Dewa sama sekali tak masuk sekolah dan Nyonya Finda pun tak memberi informasi di mana keberadaan Dewa. Tiga hari lalu Dendi dan dia ingin menengok Reihan di rumah sakit, tapi sayang, niat itu terpaksa harus digugurka

DMCA.com Protection Status