Di mana? Kala gemerlap bintang saling bertebaran di langit, kala itu tak ada kabut yang menggelayuti jubah kebiruan angkasa. Angin menelusup melalui celah lubang ventilasi udara. Ia lancang masuk tanpa menyapa sang pemilik istana. Dingin begitu memeluk bulu kuduk insan dengan erat. Petang pun telah menjemput malam. Kicauan jangkrik saling berseru riang di balik semak-semak.
Istana Reihan telah menyalakan kemilauan lentera benderang. Di ruang utama, Reihan memangku kenyamanan. Duduk santai merenungi kehampaan jiwanya selama ini. Yah, hampa karena tiada cinta sejati yang tertera di dalam hatinya. Dalam benaknya terbayang sosok gadis rupawan, teman sekampusnya. Sebut saja dia Adelia. Gadis itu berambut panjang, sombong tidak, cuek iya. Kalau dengan orang lain Adelia murah senyum, kalau dengan dirinya, menyapa saja tidak, apalagi melukiskan senyum di depan korneanya. Seolah mustahil.
Tangannya memutar-mutar hape Blackberry yang hitam. Berkali-kali melirik layar, namun tak ada pesan masuk dari perempuan idaman, yang ada dari perempuan yang ganjen-ganjen semua. Boro-boro Adelia mau kirim pesan, pin BBnya saja tak mau disimpannya. Bisa dibilang Reihan merindu sosok Adelia. Kejadian silam pun seolah-olah terpantul di depan wajahnya.
"Adelia... pinjam materi pelajaran hari ini ya," kata Reihan ketika Adelia duduk di kantin kampus. Dia menghampiri Adelia dengan berdiri di depannya. Sejenak Adelia menatapnya malas, lalu melanjutkan kunyahan makanannya.
"Adelia, boleh kan kupinjam materi pelajaranmu?" pancing Reihan agar gadis berambut panjang itu mau membuka pembicaraan.
"Adelia, pliiss," pintanya kaya akan makna harapan. "Aku serius," tambahnya untuk meyakinkan.
"Sekomplek kampus ini, juga paham kalau yang namanya Reihan Syahgida Pratama sering mendapat nilai 'A'." Akhirnya Adelia berbicara.
Dia sempat melayangkan kepalannya di sebelah garis celananya. Bagaimanapun juga di balik keangkuhan Adelia, ternyata dia juga tahu kalau Reihan anak cerdas. Setidaknya dia punya nama untuk mendekati gadis itu. Walhasil amarahnya meredam.
"Jadi kamu tidak perlu pinjam materiku. Pahaaammm!!" bentak Adelia lalu beranjak pergi.
Elah, baru saja hatinya dibuat tersanjung, mendadak geledek di siang bolong menyambar jantungnya. Sial! Gerutunya kesal.
"Tunggu!" jerit Reihan, sambil berlari mengejar langkah gadis idamannya. Dia menggapai tangan kanan Adelia. Spontan gadis itu menghempaskannya dengan kasar.
"Apa lagi?" Adelia membalik tubuhnya.
"Aku ingin meminjam buku catetanmu," ucap Reihan salah tingkah.
"Tadi kau bilang pinjam materi hari ini, sekarang bilang buku catatan, buku catatanku ada banyak! Sebenarnya kamu mau niat minjam materi, atau mau gangguin waktuku saja? Hah?"
"E... e... e... "
"Ingat jangan dekat-dekat aku lagi! Aku bisa dilabrak pacarmu yang segudang! Hanya orang buruk hatinya saja yang mau mendekatimu! Ingat itu..." geretak Adelia.
Kenapa gadis itu yang ada di benaknya? Dia menggeleng-geleng kepalanya sendiri, seraya menepuk jidadnya. Di mana letak pikirnya malam itu? Tak sengaja lensanya berhenti di jam dinding yang tergantung di depannya. Pukul sembilan malam tepat. Ingatanya berpaling ke adik malangnya. Eih di mana dia? Jam segini belum pulang? Sementara ibunya sedari sore sudah bersantai di rumahnya.
"Ibuuuu..." jeritnya sambil melangkah menghampiri ibunya yang tengah sibuk meracik bumbu-bumbu dapur untuk mempersiapkan makan malam. Tidak ada pembantu di rumah megah itu. Nyonya Finda, yang tak lain adalah nama ibunya Reihan dan Dewa, tidak suka membuang-buang uang untuk hal yang tak terlalu berguna. Pelitnya bisa dikata menandingi tingginya gedung pencakar langit. Tapi bagi Reihan, itu ada benarnya.
Reihan telah berdiri di mulut pintu dapur. Nyonya Finda sedang mengiris bawang merah. Matanya sesekali meneteskan cairan.
"Ibu, Dewa belum pulang," berita Reihan.
Dengan santainya Nyonya Finda menjawab, "paling juga main ke rumah Dendi kalau tidak ya ke rumah Chika."
"Tapi, tadi siang dia mau ke toko Ibu,"
"Ke toko ibu bagaimana? Orang sampai sore ibu tidak lihat wajahnya..."
"Jangan-jangan dia kecelakaan!"
"Hust...!" sekilas pisau yang digenggam Nyonya Finda menggores ibujarinya. Bagaimana pun juga beliau tidak ingin putranya terluka. Walau tak bisa dipungkiri kekasalan beliau kepada anak itu.
"Reihan! Kau ini membuat tangan ibu keiris, kalau ngomong itu dijaga," seloroh beliau dengan mata geram.
"Tapi Bu, Dewa tadi Reihan suruh nemuin Ibu ke toko,"
Reihan mendekati Nyonya Finda usai mengambil kapas dari kotak obat. Dia berdiri di samping kiri beliau. Menempelkan kapas itu ke luka ibunda tercintanya. Setetes cairan merah menyentuh ibujari Nyonya Finda. Setelahnya Reihan membungkus luka itu dengan handsaplas.
"Perasaan Reihan kok nggak enak ya, Bu. Walaupun Reihan sering kesal karena sikap malas Dewa, tapi bagaimana pun juga dia adalah adik Reihan," terang Reihan.
"Ah tak usah kau perpusing tentang Dewa, dia paling ke rumah temannya. Coba kamu hubungi dia saja ke Chika dan Dendi. Mereka ber kan sahabat terdekat Dewa." Saran Nyonya Finda.
"Baiklah, Bu."
"Anak nakal itu memang selalu membuat onar dan cemas keluarga. Sampai dia pulang ke rumah! Bakal ibu hukum habis-habisan." Gerutu beliau.
"Reihan juga ingin memberinya pelajaran, agar dia kapok dan tak seenaknya saja,"
"Kamu tidak usah mengurusi adikmu, persiapkan harimu besok berangkat ke Yogyakarta." Saran Nyonya Finda. "Sudah keluar sana! Ibu mau masak dulu, jangan lupa hubungi Chika dan Dendi."
"Baik, Bu."
Reihan berjalan menaiki tangga yang menggantung di ruang tengah di sisi kiri. Dibukanya kamar Dewa yang berantakan. Niatnya untuk mengecek, apakah hape Dewa dibawa atau tidak. Seperti biasanya, jika Dewa pergi barang elektronik itu selalu ditinggalnya. Dan benarlah apa yang diduganya. Alat komunikasi sederhana itu tergeletak malang di atas tumpukan kapuk yang lusuh.
"Dewaaaa... konyol sekali dirimu! Di mana kamu sekarang, adik menyebalkan! Selalu saja membuat pusing tujuh keliling!" sentak dirinya kepada angin malam yang tak mampu mengutarakan jawaban. Akhirnya dia menghubungi Chika sahabat akrab Dewa ketika SMA. Tempat duduk mereka berhadapan, depan belakang. Jika pelajaran berlangsung kadang Chika menoleh ke belakang menghibur Dewa yang tengah hanyut dalam lamunannya yang jarang bermuara. Walhasil, tak pernah telat Chika dihukum di depan kelas karena suaranya melengking ke gendang telinga guru pengampu pelajaran. Tapi gadis dengan pipi chubby itu tetap tak kapok-kapok jua.
"Chika," sapa Reihan tanpa salam terlebih dahulu.
"Iya, ada apa Kak Reihan?" Jawab Chika dari seberang sana.
"Adakah Dewa di rumahmu?"
"Dewa di rumahku?" dia malah balik bertanya. "Sejak tadi pagi anak itu tidak nongol," terusnya.
"Lantas ke mana perginya anak itu?"
"Aku juga tidak tahu, Kak Reihan. Memangnya tadi dia pergi ke mana?" tanya Chika dengan nada khawatir.
"Entahlah, tapi setahuku dia pergi ke toko Ibuku."
"Atau jangan-jangan dia ke alun-alun Magelang ya? Biasanya dia main bersama anak jalanan di sana," terang Chika keceplosan.
"Jadi, anak pemalas itu sering kluyuran ke alun-alun untuk menemui anak jalanan?" suara Reihan meninggi.
"I... i... ya..." Chika sedikit gagu.
"Astaga! Memalukan, bisa-bisanya gue punya adik kampungan dan menjijikkan seperti itu. "
Tut... tut... tut... sambungan diputus oleh Reihan tanpa salam.
Napasnya nampak menderu kesal. Reihan rasanya malu mempunyai adik yang suka main dengan anak jalanan. Jika orang lain tahu, terutama anak kampus, harga diri dia sebagai orang kaya bisa hancur! Nyonya Finda ngidam apa sih ketika melahirkan Dewa, kok anaknya yang satu itu berbeda watak.
Reihan berjalan menuju ruang makan, yang bersebelahan dengan ruang tengah. Kaki dia tuntun menuruni tangga dengan terburu-buru. Usainya duduk di sana, dia menggebrak meja makan yang memanjang itu. Meja dengan taplak putih ukiran orang Jawa, serta berbalut cat cokelat muda, anggun sekali serupa kursinya. Di pusar ada satu ranjang buah sederhana. Isinya apel, jeruk, pisang, anggur, dan stowbery, tak lupa mangga. Sudah dua hari buah-buahan itu tak ada yang mencerna. Dia duduk dengan tatapan garang, menodai raut wajahnya.
Nyonya Finda menghampirinya sembari menenteng sop ayam yang baru saja dimasaknya. Beliau juga mengambil sayur dan lauk pauk yang tersimpan di almari dapur. Kalau nasinya tinggal mengambil di ricecoker di atas meja kecil, yang terletak di pojokan meja dengan panjang dua kali satu meter itu. Meja yang dulu tak pernah telat digunakan untuk mengunyah makanan bersama ayah, Dewa, beserta mereka, kini sunyi tanpa hadirnya dua nyawa. Namun kesunyian itu, tetap saja tak mampu membunuh kekesalan Reihan, yang sudah mendidih di ubun-ubun.
Ruangan sedikit temaram dengan cahaya bolam lampu bermotif kerajaan itu. Lenteranya yang orange menyebar ke seluruh penjuru ruang makan. Nyonya Finda memang sengaja memilih lampu itu, dengan satu alasan agar makan malam bersama Tuan Pratama selalu terkesan romantis. Yah... namun itu dulu, kini semuanya tinggal abadi di bait-bait kenangan.
"Ada apa denganmu, Reihan?" tanya Nyonya Finda simpati. Beliau lalu mengambil piring untuk menyiapkan makanan yang akan dicerna.
"Kata Chika, Dewa kemungkinan besar main ke alun-alun Magelang, buat nemuin anak-anak JALANAN!" Reihan menekan kata jalanan.
"Astaga! Kenapa bisa anak itu bertingkah seperti gembel! Memalukan!" gerutu Nyonya Finda sambil menggebrak meja. Piring dan sendok yang tadi dibawanya nyaris mencium marmer cokelat yang mereka pijaki.
"Ibu tak pernah mendidiknya menjadi orang seperti itu! Sampai dia pulang, tak akan ibu beri ampun! Ibu bakal kurung dia di kamarnya yang seperti kandang ayam." Seloroh beliau dengan wajah yang kaya akan emosi. Ke dua tangannya mengepal di atas meja.
"Reihan malu Ibuuuu!!!! Itu bisa menghancurkan reputasi keluarga kita sebagai orang terpandang," jelas Reihan.
"Tentu!"
Apakah dunia itu hanya indah dengan harta, akankah mati dimasukkan ke ranah kubur? Ikut ditimbun dan dibawa ke syurga? Boro-boro kalau masuk syurga, bagaimana kalau neraka. Untuk apa harta dan strata sosial dijunjung tinggi? Toh mati juga tidak ikut bersama. Dunia akan indah jika kita saling berbagi. Itulah kata yang ditulis di buku Dewa. Andai saja dia mendengarkan ocehan orangtua dan kakaknya itu, dia pasti akan marah besar. Sekali lagi dia tekankan! Hidupnya mencintai kesederhanaan.
°°°°°°°
Chika memandang foto ke dua sahabat yang terpajang di kamarnya, Dendi dan Dewa. Wajah ceria mereka telah diabadikan di figura blue donker terhias pita biru. Kenang-kenangan dahulu kala, ketika mereka bertiga hura-hura di alun-alun Magelang. Gemerlap lampu temaram yang berwarna-warni menjadi bigron foto mereka. Lampu itu berdiri memanjang di sebuah tiang yang terlilit kabel. Ketika itu malam tahun baru. Kembang api tersebar keindahannya di angkasa. Semua mata mencolok pandang ke atas. Terutama Chika yang mengagumi pesona kembang api.
Namun di manakah sekarang Sang Dewa? Sahabat yang selalu membuat hatinya miris melihat lamunannya. Sahabat yang selalu membuatnya bertingkah konyol agar Dewa tertawa. Sahabat yang membosankan namun menyenangkan, oh di manakah dia sekarang.
Kisah tahun silam terukir di atas keabadian. Bagaimana dengan kisah esok nanti, jikalau Dewa tak kunjung ditemui. Apakah yang membuat hatinya gusar kepalang. Mondar-mandir di kamarnya tanpa memejam mata, sementara pukul sudah menunjukkan detik ke limapuluh pada jam sebelas. Sebentar lagi malam terpinang waktu, namun kantuk belum jua mendekapnya.
Diraihnya ponsel Cross PD2nya itu. Menyeret-nyeret layar untuk membuahkan kalimat. Dikirimlah satu pesan kepada Dendi.
"Sudah tidur kah?" tanya si gadis berpipi tembem dengan rambut sebahu itu. Gadis dengan bulu mata lentik, serta pesona tubuhnya yang anggun. Tentunya menjadi sasaran empuk banyak pria. Belum lagi tingkahnya yang lucu ketika di sekolahan, dia selalu menjadi perhatian banyak mata, kala sedang meraih hati Dewa agar mau menyunggingkan senyuman.
Jam menunjukkan pukul 09:30 WIB. Pertanda waktu istirahat telah menggema. Seluruh siswa-siswi kelas XII IPS berlomba-lomba menghambur langkah untuk keluar dari ruang yang dianggap mereka amatlah membosankan. Dendi pun tak ikut kalah. Dia menyongsong kebebasan di luar jam belajar. Dengan wajah yang berlumur keceriaan, dia pun ikut berderet antre melewati mulut pintu. Chika ada di samping Dendi, sementara Dewa masih duduk di bangkunya dengan pandangan menerawang. Retinanya menatap lurus ke atas eternit putih itu. Tangan kanannya bertumpu di dagunya.
"Oh anak itu," gumam Chika seraya memutar langkah. Dia tak jadi keluar, melainkan mendekati Dewa yang tengah sibuk dengan lamunan bersahajanya.
"Kebakaraaaaannnn!!!!" teriak Chika dengan ekspresi pura-pura panik. Suaranya melengking memantul di sudut ruangan. Siswa yang masih di dalam kelas pun hanya mendelik sambil menatap Chika heran. Dendi beserta puluhan sahabatnya yang berjejelan di mulut pintu, spontan menjaring pandang ke arah Chika.
"Mana kebakaran? Di mana?" jerit histeris para siswi panik.
"Chika! Apa yang kau lakukan?" tanya Dendi dengan rahang yang terkatup keras. Nampaknya dia kesal dengan ucapan Chika barusan, karena sukses membuat warga kelasnya ditakuti kepanikan mendalam. Tanpa sepengetahuan mereka dua siswi lari ke ruang guru untuk memberitahukan perihal terjadinya kebakaran.
"Dewaaaa!!!! Kebakaraaaaannnnn!!! jerit Chika tanpa menghiraukan mata-mata yang mendelik menatapnya garang.
Mendadak Dewa tergagap dari lamunannya. Reflek dia terperanjat kaget dan langsung berdiri. Dia lari keluar menuju mulut pintu. Chika terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Spontan tawa siswa pun meledak, menyaksikan tubuh Dewa yang kebingungan dengan rasa paniknya yang menjalar perasaan. Airmuka Dewa menuturkan ketakutan yang sangat. Siswa yang menyadari bahwa ucapan Chika hanya bermotif mengganggu Dewa pun terus terpingkal-pingkal. Namun ada pula sebagian yang kesal karena ditipu.
"Chikaaaa!!! Menyebalkan!" ketus Rina sahabatnya.
"Hehehehe..."
"Bagaimana kalau satu sekolahan ini panik dengan omonganmu?" sambung Pipit, gadis imut sekelasnya.
"Itu akan lebih indah," balas Chika asal.
Waktu itu juga Dendi langsung mendekati tubuh Chika untuk segera menonyong kepalanya. "Kapan lo waras Chik?" ledek Dendi.
"Lima ribu lima belas," ketusnya sambil mengusap-usap kepalanya yang habis ditonyong Dendi.
"Hahahaha..." tawa seantero kelas.
Tanpa sepengetahuan mereka Dewa telah lari ke kamar mandi, mengambil satu ember air, yang ingin digunakan untuk memadamkan kebakaran di ruang kelasnya. Langkah Dewa nampak terbirit-birit, tak dihiraukan lagi mata siswa yang menatapnya aneh. Yang lain santai-santai saja menikmati waktu istirahat mereka, dia sendiri kok lari maraton menyusuri koridor sekolah, dari ujung ke ujung. Jarak antara kelasnya dengan kamar mandi kurang lebih tigapuluh meter. Tentunya sangatlah menguras tenaganya. Keringat mengalir deras dari keningnya seiring tersengal-sengal napasnya. Akhirnya sampailah dia di ruang kelas yang tadi.
"Mana kebakaran? Mana kebakaran?" katanya panik, "ini aku sudah ambilin satu ember air," lanjutnya dengan napas yang tersengal-sengal.
"Hahahahaha..." serentak seisi ruangan tertawa heboh.
"Loh kenapa ketawa?" Dewa kebingungan.
"Siram aja otak kamu yang kebakaran karena lamunanmu yang membara," tanggap Chika.
"Jadi kau tipu aku?" Dewa membulatkan pupilnya seraya menajamkan pandangannya ke mata Chika.
"Hehehehe..."
"Chikaaaaaaaaaa!!!!!!" teriaknya sambil menendang ember itu penuh emosi. Tanpa pikir panjang Chika langsung melesat pergi menarik lengan Dendi.
"Kabuuuurrrr!!!" seru Chika.
"Hahahaha... Chika... Chika... " seloroh Edvin orang yang menyukai kenakalannya.
Sekilas ruang depan kelas basah. Air menjalar menuntun arah sekehendak mereka. Bersamaan itu Pak Gilang, guru Matematika, yang kumisnya tebal dan panjang itu mendatangi ruang kelas Dewa. Langkahnya tergopoh-gopoh digiring ke dua siswi di belakang beliau. Raut wajah beliau mencerminkan kepanikan pula, tak kalah dengan wajah siswa tadi yang ketakutan namun berakhir kekesalan.
"Mana kebakaran?" tanya beliau.
"Aduh," Edvin memukul jidadnya sendiri, "gawat nih urusannya," gumamnya.
Dewa yang tadinya mendelik muram kesal. Kini tersenyum manis menyambut datangnya Pak Gilang. Aduh alasan apa yang pantas? Kalau dia nyerocos Chika iseng. Gadis itu bisa dihukum. Bagaimana pun juga Chika tetap sahabatnya yang usil dan menyebalkan, dia tak akan rela gadis itu dihukum memutari lapangan basket. Lantas apa alasannya yang tepat? Dewa bingung sendiri.
"Anak itu memang harus diberi pelajaran! Selalu saja membuat onar menyebalkan!" gerutu Dewa di dalam hati.
"Mana ada kebakaran? Kenapa tidak ada tanda-tanda kebakaran di sini?" beliau memasang sudut lancip di pinggang dengan tangannya.
"Anu Pak... anu..." sambung Edvin terbata-bata.
"Anu apaaaa????"
"Anu ... anu... anu... " Edvin kebingungan kata apa yang layak keluar.
"Ona anu... ona... anu... ona anu apaaaa???" hardik Pak Gilang.
"Anuuu... anuuu Pak... anuuu..." Dewa malah menjerit tanpa adanya kata yang terlontar sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Wajah Pak Gilang berubah menjadi macan. Asap emosi mengepul-ngepul di atas kepala beliau. Pipinya menggelembung murka. Napasnya mendengus kesal.
"Anu apaaaaaaaaaaaaa?????????" jeritnya membuat suara ledakan.
"Anu Pak... tad...tadi... Dewa dan teman-teman nonton film accident di laptop miliknya Chika, nah tragedinya sedang kebakaran samudera Hindia dan gedung-gedung tinggi di Australia dan Singapura. Nah mendadak Chika menjerit kebakaran... so... Eva dan Melati," menunjuk ke dua siswi yang ada di samping Pak Gilang. "Panik, dikira ruangan ini yang kebakar," lanjutnya.
Dewa menghela napas lega. Untung saja Edvin cerdik. Tapi itu membuktikan akan hadirnya malapetaka baru, apa ada samudera kebakar? Bodoh sekali.
Tak diduga-duga perkataan Edvin dipercaya juga. Tanpa pikir panjang Eva dan Melati dijewer telinganya, lalu digiring beliau keluar. Oh my god mimpi apa semalam? Bisa-bisanya Pak Gilang yang keganasannya menandingi srigala itu, percaya kalau samudera Hindia kebakaran?
Drt...drt...drt... getar hape Crossnya membuyarkan kejahilan silam lalu. Chika terkekeh sendiri sambil membuka pesan yang masuk.
"Aku belum tidur, ada apa Chik?"
"Eh, Dewa katanya tidak ada di rumah,"
"O... anak itu? Dia pasti sedang main ke alun-alun Magelang, kamu kayak tidak tahu saja, apa hobi anak jalang itu,"
"Dugaanku juga seperti itu, maaf deh ganggu!"
"Aku mengerti perasaanmu sebagai penggemar gelapnya ^_^………"
"Maksud loooooooooo??????" Chika kesal dengan kata-kata barusan. Dia pun membanting tubuhnya ke kasur. Berharap malam menghantarkan Dewa pulang ke rumah, supaya besok bisa membuat onar lagi di sekolahan. Tak ada balasan dari Dendi. Anak itu pastinya sudah mendengkur sambil membuat peta benua Amerika. Dewa... di manakah kau saat ini? Gumam Chika seraya menutup kelopak matanya.
Pagi kembali menghela napas. Malam tadi telah terbakar lentera surya. Angin pagi masuk ke tubuh Dewa menembus dari tembok kardus yang dingin tertampar embun. Dia pun bangun, duduk setengah badan, menggigil kedinginan. Sejenak dia mengedip-ngedipkan matanya untuk menetralisir perasaannya. Sekujur badanya, luar dalam terasa diamuk khodam malaikat. Rasanya perih, sakit, ngilu, berat, panas, oh semuanya campur aduk menjadi satu adonan derita kelemahan Dewa. Sesekali dia memutar kepalanya, mengamati sekeliling tubuhnya.Intan, Ovan, Caca, Agus dan lelaki berambut landak tidur di atas tanah. Caca dipeluk oleh Intan, sementara lelaki itu, Agus dan, Ovan terlentang di samping Intan. Ke semuanya berjejer seperti ikan pindang yang sedang berjemur. Kain sarung robek sebagai alas, karung berisi sampah adalah bantal. Selimutnya ada yang menggunakan kardus, ada pula yang memakai sarung robek. Tidak ada lampu di dalam rumah derita itu, jika malam pun kegelapa
Pagi menyeruak di lembah kaki gunung Sumbing. Simponi kembali menjalar dengan gesekan dedaunan alam. Rangkak kaki telah tertuntun mendaki tanjakan ladang. Atau mereka yang berbondong-bondong memakai seragam pendidikan untuk masa depan. Menatih jejak menuju sekolahan. Ada juga yang berlari mengejar logam ke pasar atau pun pusat pertokoan. Bahan dagangan ditenteng, kertas rupiah dijulurkan, sementara keringat bercucuran.Waktu itu Reihan telah siap-siap menggas mobilnya ke Yogyakarta. Jam kuliahnya pukul sembilan esok. Perjalanan hanya membutuhkan waktu dua jam, kalau dia menggas cepat layaknya pembalap, terkadang juga hanya satu jam lewat sedikit. Nyonya Finda membereskan pekerjaan rumah. Menyapu, masak, mencuci piring, dan lain sebagainya. Pagi itu mereka berdua dipersibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga jeritan-jeritan melengking setiap pagi, untuk membangunkan Dewa lenyap seketika. Tak digubris memori hari lain. Seolah kepergian Dewa adalah suatu keberuntungan.
Caca membawa sebaskom air itu ke naungan kardus mereka. Ditentengnya dengan ketulusan. Dewa ingin membantunya, Caca menolak. Dia pun akhirnya hanya mengikuti langkah Caca di belakang. Namun sebelum tiba di tenda kardus,Tiba-tiba... Bruk.Astaga! Seorang perempuan cantik menabrak tubuh Caca. Anak berponi Dora itu terpanting ke samping. Air yang ada di dalam baskom pun tumpah."Heh, kalau jalan hati-hati dong! Anjing lo," jerit perempuan itu sambil menuding wajah Caca dengan jari telunjuknya.Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya. Perempuan yang memakai rok se atas lutut dan baju pink ketat itu sudah salah tak mau mengalah. Jelas-jelas dia yang tidak hati-hati, jalan seenaknya. Jalan sambil sms-an menuntun jemarinya di lantai keybord Blackberrynya. Jika dilihat dari tampangnya serta penampilannya, dia adalah orang kaya. Lipstik merah mawar, elsido, maskara, bedak lima senti, memoles kecantikan alamiahnya. Wajahnya nampak s
Dahaga mengamuk tenggorokan. Kekuatan terseok dalam lara. Tubuh lunglai bak baja bengkok.Kini sampailah dia di pertigaan pasar Beseran. Untuk mencapai rumahnya, dia harus melintasi kurang lebih empat kilometer lagi. Sayangnya dia sudah tak sanggup. Peluh tidak menetes karena dia sakit. Wajahnya merah pucat. Bibirnya kering, di sekeliling matanya berwarna abu-abu. Tubuhnya gemetaran. Perjalanannya barusan membuat tenaganya terkuras habis. Sejenak dia mampir di tempat penjual bakso yang ada di kanan jalan. Dia tidak bermaksud untuk memesan makanan, melainkan untuk numpang membuang letihnya sejenak. Banyak orang yang memerhatikan raut wajahnya dengan iba.Sore telah merangkak. Pasar Beseran sepi. Para pedagang pun telah melipat tikarnya untuk membawanya pulang. Pertokoan sembako mulai tutup rapat. Giliran pedagang kaki lima yang memainkan aksinya. Penjual bakso, penjual gorengan, wedang ronde, dan lainnya. Dewa duduk membungkuk di samping mu
Nyonya Finda telah pulang kerja. Didapati kamar Dewa masih sepi tak berpenghuni. Perasaannya krungsang, tidak tenang. Beliau lalu menggeser langkah menuju kamarnya. Duduk di depan meja rias, sambil menyeret-nyeret layar hape samsungnya. Beliau mengirim pesan pendek kepada Reihan."Dewa belum pulang, lama-lama ibu khawatir Rei, bagaimana kalau dia kenapa-napa?" messege delivered. Lima belas menit Nyonya Finda menunggu balasan dari putranya yang selalu dibanggakan, namun yang ditunggu tak memberi tanggapan. Beliau pun hanya bisa menebak, mungkin Reihan masih sibuk belajar.Jauh di ambang cakrawala sana. Di tengah-tengah kebimbangan dan kekhawatiran orangtua. Sang Reihan mencumbu bibir perawan. Gemerlap lampu disko menyinari ubun-ubunnya. Alunan lagu disko melengking di gendang telinga. Pelayan-pelayan bir yang seksi-seksi, berjejer di pinggiran bar. Moncong-moncong nyawa bersulat asap rokok. Ada yang mengandung zat terlarang, a
Gelap membuka jubah penerangan bagi sang Rembulan. Jantung waktu lebih mempercepat lajunya. Esok sekejab dilalui oleh sekelompok anak jalanan. Dari pagi buta sampai malam menjemput, kaisan logam terus tertadah. Sayang hanya sepersih barang sepuluh rupiah pun tak terhitung. Koin-koin berharga mereka tumpahkan di atas permukaan tanah, di dalam sekatan kardus mereka.Seharian penuh, Ovan, Agus, Intan, Caca, dan Enggar yang dalam keadaan sakit, menengadahkan telapak tangannya di bawah terik mentari. Jika petang telah memeta jejak, mereka pun kembali ke markas semula. Biasanya mereka akan berpesta ria, kalau uang sudah terkumpul, usai seharian mengais riski dari jalanan. Mereka jarang sarapan pagi, paling makan siang kalau ada banyak koin yang didapat, jika mentok yang didapat pas-pasan seperti malam itu. Mereka pun terpaksa tidak makan siang, yang penting malamnya tidak kelaparan. Karena menurut mereka, lapar saat gelap menjelma itu amatlah menderita.Cac
Perjalanan dari Semarang ke Magelang cukup melelahkan. Akhirnya sampai juga Ovan di Borobudur. Dengan semangat membara anak itu menaiki tangga candi sampai ke tingkat yang paling atas. Tangan Papa dan Mamanya digenggam erat, sementara kakaknya mengekor di belakang. Ice paddle pop, dijilatinya sedari tadi. Wajahnya riang sumringah. Tak dirasa mentari yang membakar habis kulitnya hingga keringat berleleran, seperti ice creamnya yang mencair. Wajah Mama dan Papa nampak lunglai, begitu juga dengan kakak perempuannya. Namun dia cuek, baginya yang penting bisa jalan-jalan bersama, itu cukup membahagiakan. Mau mereka cemberut atau muram dan marah, itu urusan belakangan."Papa gendong!" serunya."Aduh, kamu ini, manja banget!" seloroh Papanya lalu menggendong Ovan kecil.Sampailah mereka di atas, sejenak mereka mengitari candi. Patung-patung batu yang mengagumkan. Pahatan-pahatan di dinding candi sungguh indah. Ovan menyentuh lukisan
Aroma nikmat menyengat ke sela-sela hidung Dewa. Matanya pun mendelik menatap apa yang tengah terpampang di meja. Ada sop jagung, ayam goreng, ikan goreng, lodeh terong hijau, dan sambal hati. Ke semuanya masih mengepul-ngepulkan asap di udara. Lensanya yang semula terjerat kegelapan karena tertutup tabir mimpi, mendadak bening sekali.Chika keluar dari dalam, menenteng satu ceting nasi panas. Celemek cokelat masih menempel di tubuhnya. Wajahnya berlumur keringat, namun tetap ceria untuk setia mengulum senyum kepada Dewa. Dia sengaja mengangkut semua masakannya ke ruang tamunya yang sempit itu, lantaran Dewa sudah di sana. Dia tidak ingin menambahi penderitaan kaki Dewa yang pincang untuk berpindah-pindah tempat."Menu makan malam sudah siap, adakah yang mau makan?" kata Caca sambil bergaya seperti waiters kafe."Kamu masak semua ini?"Chika mengangguk."Untuk siapa? Untuk aku?""Pe
Satu bulan berlalu setelah kejadian itu. Ke enam sahabat sama sekali tidak ada yang keluar rumah bahkan berangkat kuliah. Anak jalanan sering meratap dan menangis di bawah rembulan. Mawar sendiri juga ikut terdiam dengan kesedihannya antara dilema cinta yang pahit. Mengingat kondisi janinnya yang akan terkena HIV AIDS juga, serta keadaan Dewa yang tak kunjung membawa kabar indah.Untunglah waktu berbudi baik, tak mau membuat Dewa terluka berlama-lama. Sebulan penuh dia tersungkur dalam pembaringan. Bangkit dengan sisa keterkejutannya mendengar bahwa Reihan meninggal. Langsung airmatanya terjun. Dadanya sesak dicambuk kepedihan. Dewa menangis di ranjang rumah sakit. Nyonya Finda mendekapnya erat-erat."KAK REIHAAANNN!! KAK REIHAN, BU! KAK REIHAN DI MANA???" jeritnya membuat suasana semakin menyesakkan. Nyonya Finda tak kuasa menahan airmata."Sabar, Nak." Nasihat Nyonya Finda seraya mengelus ubun kepala Reihan.&nb
Satu Minggu berlalu. Mereka sudah sama-sama mendaftar di universitas yang sama, pada tanggal yang sama, waktu yang sama, keberangkatan yang sama, hanya jurusannya saja yang berbeda.Kala itu langit mendung. Nyonya Finda sedang memasak di dapur. Dewa duduk termenung di balkon depan kamarnya. Dia menatap bintang yang tidak tampak. Dia mengingat Chika dengan senyuman manis. Gadis itu membuat hatinya jatuh dalam kegelapan cinta. Suatu saat nanti kalau impiannya sudah tercapai dan kuliahnya selesai. Dia ingin langsung melamar Chika untuk memberi kejutan. Akan sangat menyenangkan masa depannya. Sekali lagi waktu pertegas bahwa mimpinya adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta mencerdaskan anak jalanan. Dia ingin menaunginya. Selamanya. Dan sekarang setidaknya mimpi itu sudah kelihatan berjalan.Praanngg...lamunanya buyar. Suara gelas pecah mencium lantai dari kamar sebelah. Yah kamarnya Reihan. Ada apa? Napas Dewa langsung se
Keesokan harinya dia mengkopi surat yang ditulisnya itu. Dia lalu mengirimkannya ke sekolahan SD ketika berangkat ke perkampungan kumuh. Setiap didapati sekolahan, dia berhenti dan menitipkan surat itu kepada satpam agar disampaikan ke Kepala Sekolah dengan segera. Setiap mengulurkan surat itu, dia berkata keras-keras SEGERA. SEGERA PAK. NGGAK PAKAI LAMA! Satpam pun hanya menggeleng-geleng.Dewa memang anak yang bertekad baja. Keinginannya tidak pernah bisa diganggugugat. Apalagi jika ada yang sampai bisa mengalahkan watak keras kepalanya. MUSTAHIL. Ada yang pernah mencoba tapi selalu gagal.Sampai di perkampungan kumuh alias perumahan kardus. Mata Dewa berkedip-kedip. Anak-anak jalanan sudah tertata rapi dan belajar seperti kemarin. Mereka malah tampak lebih semangat. Sesekali terdengar suara tawa yang menggelegar karena banyolan Den...eih itu siapa? Den? Dendi??"SUPRAISE!!!" jerit Chika dan ketiga kawannya, Edvin, Rivani, Y
Pagi menguning di ufuk Timur. Senyumnya telah mengembun di dedaunan. Burung ikut menyambut semarak hari dengan berhening cipta di kabel listrik yang mengular sepanjang jalan, terpikir mereka sedang bersyukur dengan kekuasaan Tuhan. Hari itu usai salat shubuh berjamaah bersama Reihan dan Nyonya Finda. Kejadian yang dialami mereka menyadarkan mereka semua tentang makna ketuhanan. Selama ini mereka telah melangkah dalam jalan yang gelap, walhasil hidup pun tak pernah lelap. Ada saja masalah hingga membuat hidup susah. Bagaikan tidur di springbed lembut tapi mata terjemput mimpi buruk, itulah mengapa hidup tak pernah lelap. Dewa langsung loncat dari ranjang tidurnya bergegas mandi, sarapan dan melesat menenteng tasnya, tak lupa dia membungkuskan nasi serta sayur dan lauk pauknya. Kamera canonnya dikalungkan di leher."Mau ke mana?" sapa Reihan yang tengah duduk di meja makan. Tangan kirinya memegang gelas berisi air putih, sementara yang kanan memegang kapsul obat.&nb
Perjuangan menahan sakit, begadang setiap malam ternyata tak berujung kesia-siaan. Chika dan kawannya yang sering main ke rumah sakit untuk mengajari Dewa, ternyata semuanya masuk sepuluh besar. Dan apakah Anda tahu? Dewa yang jarang masuk sekolah dan tidak pernah ikut les, masuk dalam kategori tiga besar. Chika si gadis menggemaskan itu meraih peringkat pertama, Rivani ke dua, Dewa ke tiga, Dendi ke empat, Edvin ke lima, sementara Ogi mendapat peringkat ke dua dalam urutan kelas IPAnya. Oh menakjubkan! Senang sekali ketika perjuangan mereka membuahkan hasil, terutama bagi Dewa. Kau tahu? Nyonya Finda amat bangga mendengar kabar menggembirakan itu. Selama ini Nyonya Finda tidak pernah yakin kalau Dewa akan lulus. Bagaimana tidak? Dia saja jarang sekolah, mbolos kerjaannya. Detik-detik akhir ujian malah harus rawat inap, bagaikan mukjizat yang turun dari langit kesuksesan Dewa bagi beliau.Akhirnya hari selanjutnya setelah pengumuman kelulusan. Nyonya Finda mengada
Dewa berdiri di depan jendela. Ke dua lensanya menatap lurus ke angkasa. Pijaran gumintang di sana begitu menawan. Rembulan membentuk pisang dan tersenyum kepadanya. Cerah. Melintir kehangatan pada gulita dalam penerangan. Hari itu adalah menit terakhir Dewa belajar menyambut ujian Nasional. Mulai besok dia sudah akan bertempur dengan segala macam soal-soal ujian. Bahasa Indonesia, Matematika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris. Jantungnya berdegup kencang membelah keheningan malam. Akan sanggupkah besok? Dia baru belajar selama satu minggu. Jam menunjukkan pukul dua belas pagi. Pergantian tanggal dan hari, tinggal menunggu beberapa jam lagi, Dewa akan dihadapkan dengan soal ujian esok nanti.Keadaannya cukup membaik. Hanya tampak masih lemas. Itu karena beban pikirannya selama ini. Walau sudah berusaha fokus terhadap pelajaran, tetap saja bayang anak jalanan yang menderita di keheningan malam, dalam balutan gerimis langit, serta panasnya mentari kala siang menje
Sewaktu berangkat les, Chika menyempatkan diri mampir ke toko buat membeli buah-buahan dan membungkus kejutan untuk Dewa. Benda yang sejak SMP menemaninya itu telah ditemukan di warung bakso tiga hari lalu. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin ingin memberikannya, tapi karena nomor Dewa tidak aktif, ya terpaksa dia simpan terlebih dahulu. Dia tersenyum manis membayangkan kebahagiaan Dewa yang sebentar lagi akan terukir karenanya. "Pasti dia akan amat berterimakasih kepadaku," gumamnya kepedean.Waktu cepat bergulir. Senja tak mau menunggu terang terlalu lama, dia singkirkan bolam api langit ke rumah Barat. Usai les ke lima kawan langsung berangkat ke rumah sakit. Perjuangan! Begitulah mereka menamainya. Bagaimana tidak? Mereka harus mencari kamar Reihan tanpa tahu nama lengkapnya. Suster bilang nama Reihan yang dirawat di rumah sakit itu ada lima. Dari ke lima kamar yang disebutkan oleh suster itu didatangi semua. Dari ujung Barat sampai ujung Selatan. Mereka akhir
Agus lari terbirit-birit kembali ke kamar Enggar. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat mendalam. Caca dan Intan sudah dari tadi malam di kamar Enggar, membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah kardus, seperti bajunya Enggar yang kotor, dan peralatan makannya yang dibawa dari rumah kardus, sendok plastik, gelas plastik, dan piring plastik. Semua barang dimasukkan ke dalam karung yang masih bersih. Napas Agus putus-putus, dia menumpukan tangannya di lututnya. Seperti sedang rukuk di depan mulut pintu."Dari mana saja kamu, Agus?" tanya Enggar dan Intan hampir bersamaan. "Kenapa setelah mengejar Ovan kamu tidak balik lagi ke sini?" kata Intan dengan nada menuntut.Agus berdiri, dia menghela napasnya. "Aku menunggu Kak Dewa, dia sakit. Dari semalam belum sadarkan diri," seru Agus berusaha menjelaskan.Caca yang duduk manis di ranjang mendadak terperanjat kaget. Dia langsung loncat ke bawah dan berjalan meng
Diam. Satu kata pun jarang terucap. Menyendiri di kelas, sama sekali tak mau beranjak. Belajar malas. Pelajaran tak pernah mampu ditangkapnya. Yang ada hanya sosok pemuda yang amat dicintainya. Tapi semu. Pemuda itu hanya menjadi bayang kelabu. Berangkat les lesu. Seakan-akan tak pernah ada semangat dalam hidupnya. Walau di sampingnya ada seorang pangeran yang siap memberikan cintanya dengan sempurna. Bodohnya dia malah ingin memetik cinta yang belum jelas kepastiannya.Chika merenung di kelas. Ke dua tangannya menyangga dagu manisnya. Lensanya menerawang jauh di balik kaca jendela. Sudah berpuluh kali Chika menghubungi nomer hape Dewa tapi tidak aktif-aktif juga. Itu suda empat hari Dewa tidak masuk sekolah. Setelah ada kabar Reihan masuk rumah sakit Dewa sama sekali tak masuk sekolah dan Nyonya Finda pun tak memberi informasi di mana keberadaan Dewa. Tiga hari lalu Dendi dan dia ingin menengok Reihan di rumah sakit, tapi sayang, niat itu terpaksa harus digugurka