Share

Pembantaian

Penulis: Junot Senju
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Suara dentingan nyaring ketika berbagai senjata beradu, terus terdengar memecahkan keheningan malam. Teriakan anggota Perkumpulan Iblis Merah dan murid Perguruan Naga Langit, menyatu dalam satu suara.

Teriakan, lolongan panjang seperti sergala, bentakan dan geraman terus terdengar mengiringi nyaringnya benda keras beradu.

Pertempuran di malam bulan purnama itu sangat sengit. Kedua belah pihak tidak ada yang mau kalah. Masing-masing terus berjuang untuk mempertahankan pihaknya sendiri.

Beberapa waktu telah berlalu. Pertempuran yang sangat menegangkan itu telah berakhir. Pihak Perguruan Naga Putih kalah telak. Puluhan murid mereka tidak ada yang selamat. Walaupun sampai kini masih ada yang bernafas, namun dapat dipastikan bahwa mereka tidak sanggup menjalani hidup lagi.

Para murid itu akan mati! Pasti!

Sebab kondisinya sungguh mengenaskan. Darah menggenangi seluruh tubuhnya. Berbagai macam luka akibat sayatan dan tusukan, terlukis dengan sangat jelas.

Bau anyir darah menyebar luas ke seluruh penjuru mata angin. Kematian di tempat itu terus berlanjut. Di tempat tersebut, nyawa manusia seakan tidak ada artinya sama sekali.

Tapi di posisi lain, pihak Perkumpulan Iblis Merah juga mengalami kerugian yang tidak sedikit. Dari puluhan anggota yang bertempur, sekarang yang tersisa hanya tinggal belasan orang saja. Itu pun dalam keadaan terluka cukup parah.

Kebanyakan dari mereka, tewas di tangan Keluarga Ketua Adiyaksa. Sepak terjang si Naga Hitam Dari Selatan itu benar-benar membuat mental lawan ciut. Istrinya, Nyai Diah Ayu, juga tidak kalah daripada suaminya.

Dalam pertempuran tadi, wanita itu telah membunuh setidaknya dua puluhan orang anggota Perkumpulan Iblis Merah.

Caraka Candra, pemuda yang merupakan anak tunggal dari dua pendekar itu, juga ikut andil dalam pertempuran.

Walaupun saat ini usianya baru dua puluh tahun, tapi kemampuannya sudah terhitung tinggi. Dia setara dengan pendekar kelas dua yang sudah banyak pengalaman bertarung.

Di usia mudanya, Caraka Candra sudah cukup banyak menguasai ilmu-ilmu pemberian dari ayahanya. Walaupun belum bisa menguasai secara sempurna, namun menurut Ketua Adiyaksa sendiri, setidaknya hal itu saja sudah lebih daripada cukup.

Jangan lupa, si Naga Hitam Dari Selatan adalah Ketua Perguruan Naga Langit. Ilmu silatnya sangat tinggi. Di sisi lain, ilmunya juga begitu dahsyat.

Oleh karena itulah, walaupun Caraka Candra belum bisa menguasai seluruh ilmu ayahnya dengan sempurna, tapi kalau untuk melindungi diri sendiri, rasanya itu saja sudah lebih daripada cukup.

Malam semakin larut. Kentongan ketiga baru saja selesai dibunyikan di tempat yang cukup jauh. Walaupun pertempuran sudah selesai, tapi keadaan di halaman itu masih menegangkan. Bahkan jauh lebih menegangkan daripada sebelumnya.

Hal itu terjadi karena pertempuran yang sebenarnya, baru akan dimulai.

Keluarga kecil Ketua Adiyaksa berdiri sejajar. Mereka memasang wajah sangat serius. Pancaran matanya mencorong setajam pedang.

Di depan mereka, Ranu Brata juga berdiri dengan kokoh bersama lima anak buah pilihannya yang tersisa. Dari sekian puluh anak buah, rasanya hanya lima orang itu saja yang mempunyai kemampuan tidak jauh di bawah pimpinannya sendiri.

"Semua muridmu sudah mampus," tiba-tiba pemimpin perkumpulan itu berkata dengan nada mengejek.

"Aku tahu," jawab Ketua Adiyaksa dengan singkat.

"Sekarang yang tersisa hanya tinggal kalian bertiga saja,"

"Aku tahu," jawabnya dengan ucapan yang sama.

"Tidak ada pilihan lain bagi kalian, kecuali kematian,"

"Kami bukan orang yang takut mati," sela Nyai Diah Ayu.

Suaranya nyaring. Namun di dalamnya mengandung kemarahan yang luar biasa.

Walaupun luarnya tidak terlihat seperti pendekar wanita pada umumnya, namun jangan salah, waktu muda, dia juga merupaka pendekar. Bahkan mempunyai nama yang cukup terkenal juga.

Puluhan tahun lalu, nama Pendekar Bunga Mawar Biru sangat ditakuti lawan dan disegani kawan. Setiap orang persilatan pasti menaruh hormat kepadanya.

Walaupun hal itu terjadi puluhan tahun lalu, tapi setidaknya, 'sisa-sisanya' masih ada sampai kini.

Oleh karena itulah, tadi Diah Ayu atau yang dulunya berjuluk Pendekar Bunga Mawar Biru, juga berperan penting di medan pertempuran.

Sementara itu, ketika mendengar jawaban tersebut, Ranu Brata malah tertawa nyaring.

"Hahaha … bagus kalau begitu. Keinginanku untuk membunuh kalian sekeluarga jadi semakin membesar," ujarnya sambil tersenyum dingin.

"Kalau begitu, kenapa kau belum juga melakukannya?" tantanta Caraka Candra.

Pemuda itu sudah gemas sejak tadi. Ingin sekali dia menghajar mulut busk Ranu Brata. Sayangnya, dia tidak bisa melakukan hal tersebut.

Bahkan untuk saat ini, hal itu rasanya sangat mustahil. Sebab Caraka sendiri tahu bahwa pemimpin tersebut bukanlah lawan yang mudah dihadapi. Kemampuannya pasti sangat tinggi. Apalagi, beberapa saat yang lalu dia sudah menyaksikannya sendiri.

"Sekarang juga aku akan melakukannya!" teriak Ranu Brata.

Sambil berteriak, tangan kanannya diayunkan. Ayunan itu terlihat sangat perlahan. Namun jangan salah, bersamaan dengan gerakan tersebut, tiba-tiba muncul segulung angin berhawa panas yang menerjang ke arah depan.

Ketua Adiyaksa dan yang lainnya tahu bahwa angin itu bukanlah angin biasa. Oleh karena itulah, sebelum angin tersebut mengenai tubuhnya, mereka sudah menghindar lebih dulu.

Ketiganya berlompatan ke samping kanan dan kiri. Sedangkan angin tad terus menerjang ke depan sana.

Blarr!!!

Ledakan cukup besar terdengar ketika angin berhawa panas itu menerjang bangunan Perguruan Naga Langit.

Ketua Adiyaksa geram. Tanpa membuang waktu lebih lama, dia langsung melompat ke arah musuhnya. Sebilah pedang tipis segera dikeluarkan dari balik pinggang.

Cahaya keperakan langsung menyeruak ke penjuru mata angin. Hawa pedang terasa begitu kental.

Ranu Brata tersentak kaget ketika menyaksikan pedang tersebut. Meskipun baru pertama kali melihatnya, namun dia tahu bahwa pedang itu bukanlah senjata sembarangan.

Dan kenyataannya memang demikian!

Pedang tipis itu adalah Pedang Lemas Sembilan Titik.

Itu adalah senjata pusaka Ketua Adiyaksa, sekaligus juga lambang dari Ketua Perguruan Naga Langit.

Selama puluhan tahun ini, pedang tersebut telah menemani dirinya dalam suka dan duka. Entah sudah berapa pertarungan yang dia lewatkan bersama pedang itu. Entah sudah berapa banyak pula nyawa yang melayang karenanya.

Rasa percaya diri Ketua Adiyaksa semakin menambah tebal ketika dia sudah mengeluarkan Pedang Lemas Sembilan Titik tersebut.

Mendadak orang itu membentak nyaring. Tubuhnya meloncat ke depan sambil melayangkan sebuah tusukan maut yang mengarah ke berbagai titik penting di tubuh manusia.

Bersamaan dengan gerakan tersebut, si Naga hitam Dari Selatan itu juga turut serta mengeluarkan salah satu jurus andalannya yang bernama "Tusukan Awan Gelap".

Ranu Brata bertindak waspada ketika menyaksikan serangan lawan yang menurutnya berbahaya tersebut. Dala waktu yang sangat singkat itu, dia telah mencabut sebilah golok pusaka miliknya.

Sring!!!

Golok yang menjadi senjata andalannya sudah tergenggam erat di telapak tangan. Dia langsung mengangkat golok tersebut untuk menghadapi pedang Ketua Adiyaksa.

Trangg!!! Trangg!!!

Benturan dua senjata pusaka terjadi. Menimbulkan kembali percikan api yang indah sekaligus mengerikan.

Awalnya Ranu Brata berhasil menahan tusukan si Naga Hitam Dari Selatan. Tapi lama kelamaan, dia mulai keteteran juga. Beberapa kali tubuhnya hampir menjadi sasaran telak serangan lawannya.

Bab terkait

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Tiga Belas Serangan Raja Golok

    Untunglah, sebagai orang yang dijadikan pemimpin dalam penyerangan, tentu kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Memang tidak salah juga kalau orang itu dijadikan pemimpin. Sebab apa yang dilakukan oleh dia selanjutnya cukup membuat Ketua Adiyaksa merasa kagum. Ketika serangan ganasnya terus datang beruntun tanpa berhenti, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu Ranu Brata telah berhasil melepaskan diri dari 'jeratan' tersebut. Tubuhnya masih utuh. Tidak ada luka. Tidak ada pula ekspresi wajah kepanikan. Wajah orang itu masih sama seperti sebelumnya. Tetap sangar sekaligus tenang. "Hemm, bagus. Ternyata kau mempunyai kemampuan juga. Aku jadi lebih bersemangat untuk bertarung denganmu," ujar si Naga Hitam Dari Selatan. Sesaat berikutnya, dia segera memasang kuda-kuda. Pedang Lemas Delapan Titik disilangkan di depan dada. Tenaga dalam dan hawa murni langsung dikerahkan oleh Ketua Adiyaksa dalam waktu yang hampir bersamaan. Perisai tak kasat mata sudah tercipta. Hawanya mem

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Tewasnya si Naga Hitam Dari Selatan

    Bukk!!! Caraka Candra terlempar jauh ke belakang. Dia jatuh bergulingan. Serangan barusan dilayangkan dengan pengerahan tenaga dalam. Sehingga walau hanya satu kali serangan, namun hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya terluka. Darah segar langsung merembes keluar dari mulut dan hidungnya. Pemuda itu juga merasaka kalau dadanya sangat sakit sehingga kesulitan bernafas. Melihat dirinya yang sudah tidak berdaya, maka dua orang lawannya tertawa bergelak. Mereka langsung melompat ke depan dan seketika itu juga melayangkan tendangan serta pukulan keras ke beberapa titik penting di tubuhnya. Caraka Candra menggeram perlahan. Walaupun serangan lawan datang bertubi-tubi dan menimbulkan rasa sakit yang tidak sedikit, namun dirinya berusaha untuk tetap tidak berteriak. Dia takut kalau sampai berteriak, maka dirinya akan mengganggu konsentrasi kedua orang tuanya yang saat ini sedang bertempur mati-matian. Sehingga pada akhirnya, Caraka Candra hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Kenap

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Dendam yang Harus Dibalas

    Lima anak buah Ranu Brata mengangguk secara bersamaan. Mereka langsung pergi lalu segera membakar Perguruan Naga Langit. Begitu api berkobar, Ranu Brata lalu berjalan pergi dari perguruan itu. Langkahnya tenang namun pasti. Dia tahu, sebentar lagi Perguruan Naga Langit pasti akan rata bersama tanah. Oleh karena itulah, dirinya tidak pernah menengok lagi ke belakang. Sementara itu, Caraka Candra masih terlentang di atas tanah. Luka-luka di tubuhnya sudah mengering. Seperti juga darahnya. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar. Entah berapa lama dirinya tidak sadarkan diri. Tetapi, secara tiba-tiba dirinya membuka mata ketika merasakan adanya hawa panas yang sangat menyengat kulit. Caraka Candra sangat terkejut ketika dia mengetahui bahwa Perguruan Naga Langit ternyata sudah hancur lebur dan menyatu bersama tanah. Kesedihan, kemarahan, semuanya bercampur menjadi satu. Caraka Candra bangkit berdiri. Walaupun hal itu terasa sangat sulit, tapi setelah berusaha sekuat tena

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Lima Harimau Gunung

    Wushh!!! Wushh!!! Bayangan manusia berkelebat dengan cepat. Lima Harimau Gunung telah mengambil tindakan. Mereka mengirimkan serangan berupa pukulan dan tendangan yang cepat sekaligus ganas. Melihat betapa hebatnya serangan lawan, mau tak mau Caraka Candra dibuat terkejut juga. Dia sungguh tidak menyangka bahwa Lima Harimau Gunung ternyata mempunyai kemampuan setinggi ini. Kelima orang itu menyerang dari segala sisi. Mereka benar-benar seperti kawanan harimau buas yang sedang kelaparan. Serangannya tidak pernah berhenti. Bahkan makin lama, mereka makin ganas dalam melancarkan jurusnya. Dalam pada itu, Caraka sedang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan dirinya dari jurus-jurus lawan. Pemuda itu bergerak ke sana kemari. Kadang kala dia pun mengangkat kedua tangannya untuk memberikan tangkisan. Pada awal pertarungan, Caraka memang masih mampu meladeni Lima Harimau Gunung. Tetapi setelah lewat dari enam jurus, posisinya perlahan-lahan berubah. Dia mulai terdesak hebat. Puku

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Permintaan Kakek Tua Misterius

    Rintik air hujan sudah berhenti. Berhenti seluruhnya. Kegelapan malam pun sudah menghilang. Sekarang sudah tiada lagi rasa dingin menusuk tulang, yang ada hanyalah kehangatan yang memberikan kenyamanan. Pagi hari telah tiba. Sinar mentari di pagi ini terlihat begitu cemerlang. Awan putih berarak mengikuti arah mata angin. Burung-burung berterbangan ke sana kemari dengan lincah. Di pinggir hutan itu ada sebuah sebuah gubuk reot berukuran kecil. Gubuk itu beralaskan tanah dan beratapkan daun kelapa yang dianyam. Walaupun terlihat jelek, tapi jelas, gubuk itu membawa suatu kenyamanan tersendiri. Di sebuah pendopo kecil yang ada di depannya, seorang kakek tua sedang duduk seorang diri. Di depannya ada kopi hitam yang diseduh dalam cangkir bambu. Tidak lupa juga, kakek tua itu pun membakar tembakau yang sudah hampir habis. Wushh!!! Asap tembakau yang berwarna putih menggulung tebal ke depan ketika kakek tua itu menghembuskan nafasnya dengan panjang. Tidak lama kemudian, dari dalam g

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Hancurnya Sebuah Gubuk Tua

    Pemuda tampan yang selalu mengenakan pakaian serba hitam itu segera membalikkan tubuhnya. Tanpa banyak bertanya lagi, dia langsung saja melesat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Di tengah perjalanan, Caraka Candra merasa sedikit terkejut. Sebab sekarang ini, tubuhnya tidak lagi terasa ngilu dan sakit seperti hari kemarin. Sekarang, tiba-tiba dia merasa lebih segar bugar daripada biasanya. Bahkan menurut anggapannya pribadi, ilmu meringankan tubuhnya seperti meningkat. Meskipun peningkatannya tidak terlalu banyak, tapi hal itu saja jelas bukan kejadian biasa. Caraka baru mengalami kejadian seperti ini. Dan dia benar-benar merasa aneh kepada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa pula dia merasa tenaganya makin meningkat? Pemuda itu sebenarnya ingin terus memikirkan hal tersebut. Sayangnya, hal itu tidak bisa dia lakukan secara terus menerus. Selain daripada itu, secara tiba-tiba sepasang telinganya juga mendengar adanya dentuman keras yang berasal dari ara

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Si Tongkat Dua Jalan

    Saat itu, Caraka Candra sedang memusatkan perhatiannya ke depan sana. Dan pemuda serba hitam itu sangat terkejut ketika melihat si kakek tua telah kalah di tangan tujuh orang yang menginginkan kematiannya. Tapi, dia jauh lebih terkejut ketika menyadari ada sebuah bayangan yang sedang melesat ke arahnya. Caraka ingin menghindar, tapi sayangnya dia terlambat! Bayangan yang dimaksud sudah tiba di depan matanya! Wutt!!! Sebatang tongkat tahu-tahu melayang dan mengincar batok kepalanya. Serangan itu datangnya sangat cepat. Siapa pun tidak ada yang sanggup membayangkannya. Seluruh tubuh Caraka bergetar. Nyawanya di ujung tanduk. Untunglah pada saat-saat yang menentukan itu, dia masih dapat mengingat keadaan dirinya. Dalam kekagetan, tubuhnya tiba-tiba melayang mundur sejauh enam langkah. Ancaman dari tongkat sirna saat itu juga. Dia pun selamat dari maut! "Siapa kau?" tanya si Tongkat Dua Jalan yang kini telah berdiri tepat di hadapannya. "Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang y

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Tujuh Singa Hutan

    Apakah kakek tua itu adalah seorang tokoh pendekar yang selama ini bersembunyi dan mengasingkan diri dari dunia luar? Ataukah ia adalah seorang Dewa yang turun dari langit sana? Tiada yang tahu akan jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Yang pasti, ia adalah kakek tua yang bernasib malang. Bagaimana tidak? Ia menjadi korban keganasan tujuh orang manusia lainnya. Siapa pun yang melihat peristiwa tersebut, pasti akan merasa marah. Akan pula merasa kasihan karena melihat betapa kejamnya mereka menghajar orang tua itu. Ternyata apa yang dikatakan oleh orang-orang tua jaman dulu memang benar adanya. Orang tua jaman dahulu sering mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup paling kejam yang terdapat di muka bumi ini. Sepertinya ungkapan tersebut tidak salah. Bahkan sepenuhnya benar. Di dunia ini, adakah binatang yang rela membunuh keluarga sendiri hanya demi sebuah ambisi? Di muka bumi, sudah tentu banyak manusia yang pernah melihat seorang maling menjebol jendela atau pintu rum

Bab terbaru

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Kematian si Kebo Ireng

    Dalam ruangan tersebut, saat ini tak kurang dari enam orang sudah terkapar. Di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka. Walaupun nyawanya tidak sampai melayang, namun agaknya luka-luka uang mereka cerita cukup berat. Caraka Candra sengaja tidak membunuh orang-orang itu, sebab mereka sendiri tidak mampu berbuat banyak kepada dirinya. Setelah melihat makin banyak yang terkapar, anak buah Kebo Ireng yang masih menyerangnya terlihat mulai sedikit gentar. Serangan mereka berkurang. Tidak seganas seperti sebelumnya. Benak orang-orang itu diliputi oleh ketakutan. Apalagi setelah menyaksikan sendiri bagaimana kemampuan pemuda yang mereka keroyok. Kini, Caraka Candra sudah berdiri dengan tenang di tempat sebelumnya. Beberapa orang pengeroyok tadi tidak lagi menyerang. Sekarang mereka hanya berani mengepung sambil tetap mengangkat senjata saja. "Rupanya penampilanmu tidak sama dengan kemampuanmu," kata Kebo Ireng setelah dia berhasil menguasai diri. Tokoh sesat itu cukup terkejut setelah meli

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Naga Menari di Pusaran Badai

    Si Kebo Ireng mengerutkan kening. Dia cukup heran melihat sikap pemuda asing yang ada di hadapannya tersebut. Di satu sisi, dia pun tidak senang mendengar jawabannya barusan. Selama ini, Kebo Ireng adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati. Apalagi di daerah kekuasaannya. Jangankan warga biasa, bahkan para pejabat daerah pun ikut menaruh hormat kepadanya. Maka dari itu, sangat lumrah apabila dia tidak suka melihat sikap Caraka Candra yang dianggapnya sombong. "Anak muda, apakah kau tahu dengan siapa dirimu berhadapan?" "Ya, aku tahu," Caraka Candra tetap menjawab dengan nada dan ekspresi wajah yang sama. "Saat ini, bukankah aku sedang berhadapan dengan si Kebo Ireng yang terkenal menjadi penguasa dan suka bertindak sewenang-wenang?" anak muda itu mengangkat wajah lalu memandang ke arahnya. Mendengar ucapan tersebut, semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung berubah sikap. Sebagian dari mereka hampir saja menyerbu Caraka Candra. Untung pada saat itu si Kebo Ireng su

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Kebo Ireng

    Matahari sudah berada di sebelah barat. Sebentar lagi akan tenggelam dibalik bukit-bukit hijau nun jauh di sana. Caraka Candra sudah berada di sebuah perkampungan di bawah kaki gunung. Anak muda itu sengaja tidak berjalan terburu-buru. Karena sekarang dia memang belum mempunyai tujuan ke mana harus pergi. Suasana di perkampungan itu terlihat tenteram. Para warga berlalu-lalang di jalan setapak. Ada yang baru pulang dari sawah ladang, ada pula yang sengaja berjalan-jalan saja. Di kanan kiri jalan, terlihat pula beberapa anak dusun yang sedang bermain riang bersama rekannya masing-masing sambil menikmati keindahan sore hari. Pemuda itu kemudian singgah ke sebuah warung makan. Ia segera memesan nasi liwet, kebetulan sejak kepergiannya tadi, dirinya belum lagi mengisi perut. Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Caraka Candra sudah dihidangkan di atas meja sederhana. Ia memakannya dengan lahap sehingga baru sebentar saja nasi liwet itu sudah habis. Ketika dirinya henda

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Masalah di Masa Lalu

    "Jadi, apakah kau takut dia akan ikut mati bersamamu?" tanya pria yang satunya lagi. Orang ini sudah tua. Usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Dia mengenakan baju warna hitam, di pinggangnya terselip sebatang kapak besar yang terbuat dari baja. "Mati hidup itu sudah menjadi suratan takdir. Buat apa terlalu dikhawatirkan?" Pendekar Seribu Pedang berkata dengan tenang. Bahkan ia masih sempat menyantap singkong rebus lagi. Setelah habis dilahap, ia segera melanjutkan. "Masalah di antara kita sudah lewat belasan tahun yang lalu. Mengapa kalian tidak mau melupakannya?" "Hahaha ..." suara tawa itu terdengar menggema ke seluruh penjuru hutan. Daun-daun pohon berjatuhan seolah-olah terhembus angin kencang. "Begitu mudahnya kau berkata seperti itu," "Sampai kapan pun, arwah kematian Harimau Selatan tidak akan tenang jika kau masih hidup bebas di dunia ini," "Jadi, arwahnya baru akan tenang setelah aku mati?" "Ya, bisa dibilang demikian," tegas pria tersebut. "Baik. Kala

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Pedang Pembawa Maut

    "Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku?" tanya Pendekar Seribu Pedang sambil melirik ke arah Caraka Candra. Orang tua itu tersenyum simpul. Ia kembali mengambil ubi rebus di atas wadah. Setelah ubi itu habis ditelan, ia melanjutkan lagi bicaranya. "Candra, aku ini sudah tua. Sudah bau tanah. Umurku bahkan mungkin tidak panjang lagi. Jadi, kau jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Lagi pula, aku sudah terbiasa hidup sendiri," Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Pendekar Seribu Pedang memang selalu hidup sendiri. Sebab seumur hidupnya dia memilih untuk tidak menikah. Entah alasan apa yang membuat dia memilih jalan tersebut. Mungkin karena dia takut melukai wanita lain yang mencintainya. Mungkin juga karena dia ingin menikmati kesendiriannya. Caraka Candra hanya diam. Hatinya bergejolak. Setelah lima tahun hidup bersama, akhirnya tiba juga mereka harus berpisah. Walaupun sebenarnya berat, tapi anak muda itu tetap harus turun gunung. Karena ini adalah perintah! Ucapan seoran

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Gunung Hejo

    Caraka Candra dan Pendekar Pedang Seribu tiba di kaki sebuah gunung ketika matahari hampir tenggelam. Orang tua itu berhenti sejenak sambil memandangi gunung tinggi yang berdiri di hadapannya. "Tidak disangka, ternyata aku harus kembali lagi ke tempat ini," gumamnya seorang diri sambil menatap ke arah gunung tersebut. Caraka Candra sebenarnya merasa penasaran akan ucapan gurunya, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Mungkin gunung ini penuh dengan kenangan, demikian ia berpikir. "Nah, muridku, ini adalah Gunung Hejo. Dulu, aku juga pernah mengasingkan diri di gunung ini selama beberapa tahun. Alasan aku pindah ke tempat lain adalah karena pada suatu hari, tiba-tiba seorang musuh di masa lalu berhasil menemukan persembunyianku. Karena aku tidak ingin membunuh lagi, maka terpaksa aku pun pindah," "Sebab kalau terus di sini, bukan tidak mungkin nantinya akan ada musuh-musuh lain yang mendatangiku," Pendekar Seribu Pedang memberikan penjelasan singkat kepada Caraka Candra. Pem

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Pendekar Seribu Pedang

    "Kau harus selalu patuh kepada setiap perintah yang aku berikan. Jangan pernah membantah walaupun itu hanya satu kali," kata orang tua serba putih itu sungguh-sungguh. "Baik, guru," jawab Caraka Candra mengubah sebutannya. "Murid siap mentaati setiap patah kata yang guru ucapkan," Hal itu memang wajar. Malah sudah sepatutnya demikian. Sebagai murid, siapa pun itu, tentu harus selalu menuruti ucapan gurunya. Selama itu demi kebaikan si murid, kasarnya walaupun harus menyeberangi lautan golok, maka murid tersebut harus tetap menuruti perintahnya. "Bagus, aku suka melihat anak muda yang dipenuhi semangat seperti dirimu," ucapnya sambil memandangi Caraka Candra. "Semoga saja kau tidak pernah menyesal menjadi muridku. Sebab aku akan memberikan latihan yang mungkin belum pernah kau bayangkan sebelumnya," "Aku siap menerimanya, guru," Caraka Candra sudah bertekad bulat. Sekeras apapun, sesulit apapun, asalkan dia bisa menjadi pendekar besar yang mampu membela kebenaran, maka dia siap m

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Tekad Caraka Candra

    Selama beberapa tahun belakangan, rasanya baru kali ini dia mengalami hal seperti itu lagi. Perlahan-lahan Dewa Api mulai bangkit berdiri. Tetapi kali ini tidak langsung menyerang. Dia lebih dulu menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh dan menyembuhkan rasa sakit yang dideritanya saat ini. 'Siapa tua bangka itu? Mengapa kemampuan yang dia miliki begitu tinggi?' Batin Dewa Api bertanya-tanya. Dia sudah mengembara puluhan tahun, empat penjuru sudah dia datangi. Dia pasti kenal setiap tokoh dunia persilatan dewasa ini. Kalau pun tidak, minimal dia pernah mendengar namanya. Tetapi, walaupun sudah mengingat-ingat beberapa saat, dia tetap tidak tahu dan tidak mengenal siapa orang tua serba putih yang saat ini berdiri di hadapannya. 'Perduli setan siapa tua bangka itu,' makinya sambil meludah ke tanah. Sementara itu, sampai saat ini, orang tua serba putih tadi masih tetap berdiri di tempatnya semula. Walaupun dirinya tahu bahwa Dewa Api sudah mengalami luka yang cukup parah, tapi ia t

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Dewa Api

    Suara tawa itu semakin lama terdengar semakin dekat. Caraka Candra bisa mendengarnya dengan jelas sekali. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Walaupun belum mengetahui siapa pemilik suara tersebut, tapi dia tahu bahwa orang itu pasti salah satu tokoh dalam dunia persilatan. Seiring berjalannya waktu, suara tawa tersebut ternyata semakin mendekat. Kini si pemilik suara sudah berada di depan goa di mana Caranya Candra sedang bersemedhi.Orang itu ternyata mempunyai tubuh yang tinggi kurus. Usianya paling baru sekitar lima puluhan tahun. Ia mengenakan pakaian serba merah. Wajahnya menyeramkan. Sepasang matanya mencorong tajam. Hidungnya mirip paruh burung dan ada bekas luka di bagian dahinya. Orang itu juga mempunyai kulit hitam kemerahan dengan rambut berwarna merah secara keseluruhan. "Aku tahu kau ada di dalam sana. Keluarlah bocah, serahkan buntalan yang kau bawa. Dengan demikian, mungkin saja aku bisa mengampuni selembar nyawamu yang tidak berguna itu," kata orang asing itu. Su

DMCA.com Protection Status