Betapa terkejutnya si Naga Hitam Dari Selatan itu ketika dia menyaksikan adanya puluhan orang berpakaian merah. Semerah darah. Orang-orang tersebut berdiri dengan tegak. Wajahnya sangat sangar melambangkan kebengisan. Sorot matanya memancar dengan tajam. Seperti layaknya mata pedang.
Ketua Adiyaksa mencoba menenangkan dirinya. Dia mulai melihat ke tempat sekeliling Perguruan Naga Langit. Dan orang tua itu lebih terkejut saat dia menyadari bahwa para penjaga perguruan ternyata sudah tewas. Malah ada pula beberapa puluh murid yang juga sudah meregang nyawanya.Waktu terus berjalan. Entah sejak kapan, tahu-tahu di halaman itu sudah semakin banyak orang-orang yang mengenakan pakaian serba merah darah.Mereka semua mempunyai penampilan yang serupa benar. Terutama sekali dari warna pakaian dan senjata mereka.Warna pakaian merah. Senjata juga berupa golok bersarung merah.Siapa mereka? Kenapa orang-orang itu membantai Perguruan Naga Langit?Ketua Adiyaksa mencoba untuk tetap tenang. Meskipun saat ini dia sangat panik dan marah, namun dirinya masih berusaha untuk menahan kemarahan tersebut.Tidak berapa lama kemudian, dari belakangnya muncul pula puluhan murid Perguruan Naga Langit yang tersisa.Para murid sudah memasang wajah angker. Mereka juga mengenakan ikat kepala berwarna putih.Ternyata semua murid juga sudah siap. Siap untuk bertempur sampai ke titik darah penghabisan.Sekarang, di belakang Ketua Adiyaksa juga sudah berkumpul puluan orang. Termasuk pula istri dan anak tunggalnya, Caraka Candra."Ayahanda, siapa mereka?" tanya Caraka Candra sambil melirik sekilas ke arah puluhan orang berpakaian serba merah."Ayahanda juga tidak tahu. Hanya saja, mereka datang kemari dengan niat buruk. Tak kurang dari dua puluh murid sudah tewas di tangannya," jelas Ketua Adiyaksa.Darah dalam dada Caraka Candra langsung naik ke ubun-ubun ketika dia mendengar jawaban tersebut. Sepasang matanya memandang tajam. Dari balik bola mata itu, seolah-olah muncul satu kekuatan yang sulit dikatakan."Keparat jahanam! Kalau begitu, kawanan tikus ini harus membayar semuanya!" geram Caraka Candra."Ayahanda juga berharap begitu. Tapi, sepertinya mereka bukan lawan yang mudah ditundukkan,"Ketua Adiyaksa bicara dengan jujur. Sebagai orang persilatan, apalagi sebagai Ketua dari sebuah perguruan ternama, tentu dirinya bisa menilai mana lawan yang lemah, dan mana lawan yang kuat.Terkait orang-orang serba merah itu, menurut penilaiannya, mereka termasuk ke dalam jajaran pendekar kelas satu.Lawan yang kuat dan sulit untuk dihadapi!"Kakang, apakah kau punya masalah dengan orang lain?" tanya Nyai Diah Ayu kepada suaminya."Hemm, seingatku tidak. Bahkan, rasanya aku baru melihat orang seperti mereka ini," jawab Ketua Adiyaksa.Si Naga Hitam Dari Selatan itu merasa sangat asing dengan puluhan orang serba merah tersebut. Jangankan punya masalah, bahkan rasanya, bertemu dengan mereka pun baru sekarang ini.Kalau baru pertama bertemu, lalu bagaimana mungkin bisa punya masalah?Sementara itu, kini puluhan orang serba merah tersebut semakin dekat jaraknya. Mereka mengepung seluruh wilayah Perguruan Naga Langit dengan ketat. Sedikit pun tidak ada celah.Jangankan manusia, rasanya lalat pun sulit untuk menerobos keluar masuk kepungan itu.Melihat ini, Ketua Adiyaksa terkejut juga. Posisi pihaknya sudah terpojok. Jalan keluar sudah tertutup. Tetapi karena belum tahu apa masalahnya, maka dia tidak mau menyerang lebih dulu.Sebaliknya, Ketua Adiyaksa justru malah bertanya kepada pihak lawan. "Maaf sebelumnya, tolong jelaskan siapa dan apa maksud kedatangan saudara sekalian ini," pintanya.Salah seorang dari mereka tiba-tiba maju ke depan. Orang itu mempunyai perawkan tinggi kekar. Kulit mukanya garang dan penuh dengan luka codetan. Otot-otot tangannya merongkol keluar. Pertanda bahwa orang tersebut mempunyai tenaga yang besar."Perkenalkan, namaku adalah Ranu Brata, pemimpin dari orang-orang ini. Kami adalah anggota Perkumpulan Iblis Merah. Datang kemari untuk memberikan penawaran," ujar pemimpin yang menyebut dirinya bernama Ranu Brata.Suara orang tersebut terdengar menyeramkan. Sama seramnya dengan wajah dia sendiri."Penawaran? Penawaran apa?" tanya Ketua Adiyaksa sambil mengerutkan kening."Kami menawarkan kerja sama kepada pihak Perguruan Naga Langit untuk bergabung bersama kami," ujar Ranu Brata tanpa tedeng aling-aling.Ketua Adiyaksa tersenyum simpul. Senyuman itu walaupun sedikit, namun bisa membuat pihak lawan nauk darah. Sebab itu adalah senyuman ejekan, senyuman tanda tidak sudi."Bagaimana kalau kami menolak tawaran tersebut?" tanyanya kemudian."Maka anggota Perkumpulan Iblis Merah yang aku bawa ini akan menghancurkan Perguruan Naga Langit,"Ketika mengucapkan kata-kata terakhir, Ranu Brata meninggikan nada suaranya. Seolah-olah dia sengaja melakukan hal itu agar dapat didengar oleh semua orang.Di lain sisi, kemarahan puluhan murid Perguruan Naga Langit langsung mencuat ke ubun-ubun kepala. Nyai Diah Ayu dan Caraka Candra pun merasakan hal yang sama."Sombong sekali mulutmu itu, sobat," kata Caraka Candra angkat bicara.Ranu Brata yang merupakan pemimpin gerombolan tertawa lantang. Dia ingin menjawab kata-kata pemuda tampan tadi. Namun sebelum itu, Ketua Adiyaksa malah sudah berkata lebih dulu."Baiklah. Kalau begitu, maka secara tegas, pihak Perguruan Naga Putih menolak tawaran tersebut," ujarnya dengan suara yang sangat lantang.Ketua Adiyaksa mengatakan hal tersebut dengan dorongan tenaga dalam tinggi. Sehingga suaranya menjadi terdengar lebih sangar dan berwibawa. Bahkan dalam nada suara tersebut juga terkandung satu kekuatan yang mampu menyebabkan gendang telinga terasa sakit. Seperti ditusuk oleh ribuan jarum.Sayangnya, apa yang terjadi berikutnya telah membuat dia terkejut kembali. Kali ini, yang terkejut bukan cuma dirinya seorang. Bahkan orang-orang di sekitarnya juga sama.Ternyata anggota Perkumpulan Iblis Merah yang ada di sana, satu pun tidak ada yang terpengaruh oleh suara si Naga Hitam Dari Selatan.Mereka masih terlihat tenang dan berdiri kokoh. Sedikit pun tidak terlihat merasa terganggu atau kesakitan.Padahal biasanya, ketika Ketua Adiyaksa mengeluarkan jurus Suara Raja Harimau, maka orang-orang yang berada di bawah kemampuannya, pasti akan merasakan kesakitan luar biasa.Tapi ini … ah, rasanya sulit untuk dijelaskan."Hahaha … percuma saja, Adiyaksa. Jurus Suara Raja Harimau milikmu tidak akan terpengaruh kepada anak buahku," kata Ranu Brata sambil tertawa lantang kembali."Bagaimana, setelah menyaksikan kejadian barusan, apakah kau akan berubah pikiran?" lanjutnua bertanya."Sekali aku berkata tidak. Maka seribu kali pun akan tetap tidak," jawab Ketua Adiyaksa dengan cepat."Hemm, baiklah. Kalau begitu rasakan sendiri akibatnya,"Begitu selesai berkata, Ranu Brata langsung memberikan perintah kepada puluhan anak buahnya."Hancurkan perguruan ini!" ujarnya memberikan perintah."Baik. Perintah akan segera dilaksanakan," jawab puluhan anggotanya secara bersamaan.Wushh!!! Wushh!!!Puluhan bayangan manusia seketika menerjang ke depan. Bayangan merah memenuhi langit. Hawa kematian segera terasa sangat kental."Serang!!!" teriak Ketua Adiyaksa.Pata murid Perguruan Naga Langit berteriak lantang guna menambah kobaran semangatnya. Secara serempak pula, mereka maju menerjang lawannya.Pedang dan golok mulai berbenturan di tengah udara. Malam yang gelap itu, seketika berubah makin terang ketika percikan bunga api membumbung tinggi ke angkasa raya.Suara dentingan nyaring ketika berbagai senjata beradu, terus terdengar memecahkan keheningan malam. Teriakan anggota Perkumpulan Iblis Merah dan murid Perguruan Naga Langit, menyatu dalam satu suara. Teriakan, lolongan panjang seperti sergala, bentakan dan geraman terus terdengar mengiringi nyaringnya benda keras beradu. Pertempuran di malam bulan purnama itu sangat sengit. Kedua belah pihak tidak ada yang mau kalah. Masing-masing terus berjuang untuk mempertahankan pihaknya sendiri. Beberapa waktu telah berlalu. Pertempuran yang sangat menegangkan itu telah berakhir. Pihak Perguruan Naga Putih kalah telak. Puluhan murid mereka tidak ada yang selamat. Walaupun sampai kini masih ada yang bernafas, namun dapat dipastikan bahwa mereka tidak sanggup menjalani hidup lagi. Para murid itu akan mati! Pasti! Sebab kondisinya sungguh mengenaskan. Darah menggenangi seluruh tubuhnya. Berbagai macam luka akibat sayatan dan tusukan, terlukis dengan sangat jelas. Bau anyir darah menyebar luas
Untunglah, sebagai orang yang dijadikan pemimpin dalam penyerangan, tentu kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Memang tidak salah juga kalau orang itu dijadikan pemimpin. Sebab apa yang dilakukan oleh dia selanjutnya cukup membuat Ketua Adiyaksa merasa kagum. Ketika serangan ganasnya terus datang beruntun tanpa berhenti, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu Ranu Brata telah berhasil melepaskan diri dari 'jeratan' tersebut. Tubuhnya masih utuh. Tidak ada luka. Tidak ada pula ekspresi wajah kepanikan. Wajah orang itu masih sama seperti sebelumnya. Tetap sangar sekaligus tenang. "Hemm, bagus. Ternyata kau mempunyai kemampuan juga. Aku jadi lebih bersemangat untuk bertarung denganmu," ujar si Naga Hitam Dari Selatan. Sesaat berikutnya, dia segera memasang kuda-kuda. Pedang Lemas Delapan Titik disilangkan di depan dada. Tenaga dalam dan hawa murni langsung dikerahkan oleh Ketua Adiyaksa dalam waktu yang hampir bersamaan. Perisai tak kasat mata sudah tercipta. Hawanya mem
Bukk!!! Caraka Candra terlempar jauh ke belakang. Dia jatuh bergulingan. Serangan barusan dilayangkan dengan pengerahan tenaga dalam. Sehingga walau hanya satu kali serangan, namun hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya terluka. Darah segar langsung merembes keluar dari mulut dan hidungnya. Pemuda itu juga merasaka kalau dadanya sangat sakit sehingga kesulitan bernafas. Melihat dirinya yang sudah tidak berdaya, maka dua orang lawannya tertawa bergelak. Mereka langsung melompat ke depan dan seketika itu juga melayangkan tendangan serta pukulan keras ke beberapa titik penting di tubuhnya. Caraka Candra menggeram perlahan. Walaupun serangan lawan datang bertubi-tubi dan menimbulkan rasa sakit yang tidak sedikit, namun dirinya berusaha untuk tetap tidak berteriak. Dia takut kalau sampai berteriak, maka dirinya akan mengganggu konsentrasi kedua orang tuanya yang saat ini sedang bertempur mati-matian. Sehingga pada akhirnya, Caraka Candra hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Kenap
Lima anak buah Ranu Brata mengangguk secara bersamaan. Mereka langsung pergi lalu segera membakar Perguruan Naga Langit. Begitu api berkobar, Ranu Brata lalu berjalan pergi dari perguruan itu. Langkahnya tenang namun pasti. Dia tahu, sebentar lagi Perguruan Naga Langit pasti akan rata bersama tanah. Oleh karena itulah, dirinya tidak pernah menengok lagi ke belakang. Sementara itu, Caraka Candra masih terlentang di atas tanah. Luka-luka di tubuhnya sudah mengering. Seperti juga darahnya. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar. Entah berapa lama dirinya tidak sadarkan diri. Tetapi, secara tiba-tiba dirinya membuka mata ketika merasakan adanya hawa panas yang sangat menyengat kulit. Caraka Candra sangat terkejut ketika dia mengetahui bahwa Perguruan Naga Langit ternyata sudah hancur lebur dan menyatu bersama tanah. Kesedihan, kemarahan, semuanya bercampur menjadi satu. Caraka Candra bangkit berdiri. Walaupun hal itu terasa sangat sulit, tapi setelah berusaha sekuat tena
Wushh!!! Wushh!!! Bayangan manusia berkelebat dengan cepat. Lima Harimau Gunung telah mengambil tindakan. Mereka mengirimkan serangan berupa pukulan dan tendangan yang cepat sekaligus ganas. Melihat betapa hebatnya serangan lawan, mau tak mau Caraka Candra dibuat terkejut juga. Dia sungguh tidak menyangka bahwa Lima Harimau Gunung ternyata mempunyai kemampuan setinggi ini. Kelima orang itu menyerang dari segala sisi. Mereka benar-benar seperti kawanan harimau buas yang sedang kelaparan. Serangannya tidak pernah berhenti. Bahkan makin lama, mereka makin ganas dalam melancarkan jurusnya. Dalam pada itu, Caraka sedang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan dirinya dari jurus-jurus lawan. Pemuda itu bergerak ke sana kemari. Kadang kala dia pun mengangkat kedua tangannya untuk memberikan tangkisan. Pada awal pertarungan, Caraka memang masih mampu meladeni Lima Harimau Gunung. Tetapi setelah lewat dari enam jurus, posisinya perlahan-lahan berubah. Dia mulai terdesak hebat. Puku
Rintik air hujan sudah berhenti. Berhenti seluruhnya. Kegelapan malam pun sudah menghilang. Sekarang sudah tiada lagi rasa dingin menusuk tulang, yang ada hanyalah kehangatan yang memberikan kenyamanan. Pagi hari telah tiba. Sinar mentari di pagi ini terlihat begitu cemerlang. Awan putih berarak mengikuti arah mata angin. Burung-burung berterbangan ke sana kemari dengan lincah. Di pinggir hutan itu ada sebuah sebuah gubuk reot berukuran kecil. Gubuk itu beralaskan tanah dan beratapkan daun kelapa yang dianyam. Walaupun terlihat jelek, tapi jelas, gubuk itu membawa suatu kenyamanan tersendiri. Di sebuah pendopo kecil yang ada di depannya, seorang kakek tua sedang duduk seorang diri. Di depannya ada kopi hitam yang diseduh dalam cangkir bambu. Tidak lupa juga, kakek tua itu pun membakar tembakau yang sudah hampir habis. Wushh!!! Asap tembakau yang berwarna putih menggulung tebal ke depan ketika kakek tua itu menghembuskan nafasnya dengan panjang. Tidak lama kemudian, dari dalam g
Pemuda tampan yang selalu mengenakan pakaian serba hitam itu segera membalikkan tubuhnya. Tanpa banyak bertanya lagi, dia langsung saja melesat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Di tengah perjalanan, Caraka Candra merasa sedikit terkejut. Sebab sekarang ini, tubuhnya tidak lagi terasa ngilu dan sakit seperti hari kemarin. Sekarang, tiba-tiba dia merasa lebih segar bugar daripada biasanya. Bahkan menurut anggapannya pribadi, ilmu meringankan tubuhnya seperti meningkat. Meskipun peningkatannya tidak terlalu banyak, tapi hal itu saja jelas bukan kejadian biasa. Caraka baru mengalami kejadian seperti ini. Dan dia benar-benar merasa aneh kepada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa pula dia merasa tenaganya makin meningkat? Pemuda itu sebenarnya ingin terus memikirkan hal tersebut. Sayangnya, hal itu tidak bisa dia lakukan secara terus menerus. Selain daripada itu, secara tiba-tiba sepasang telinganya juga mendengar adanya dentuman keras yang berasal dari ara
Saat itu, Caraka Candra sedang memusatkan perhatiannya ke depan sana. Dan pemuda serba hitam itu sangat terkejut ketika melihat si kakek tua telah kalah di tangan tujuh orang yang menginginkan kematiannya. Tapi, dia jauh lebih terkejut ketika menyadari ada sebuah bayangan yang sedang melesat ke arahnya. Caraka ingin menghindar, tapi sayangnya dia terlambat! Bayangan yang dimaksud sudah tiba di depan matanya! Wutt!!! Sebatang tongkat tahu-tahu melayang dan mengincar batok kepalanya. Serangan itu datangnya sangat cepat. Siapa pun tidak ada yang sanggup membayangkannya. Seluruh tubuh Caraka bergetar. Nyawanya di ujung tanduk. Untunglah pada saat-saat yang menentukan itu, dia masih dapat mengingat keadaan dirinya. Dalam kekagetan, tubuhnya tiba-tiba melayang mundur sejauh enam langkah. Ancaman dari tongkat sirna saat itu juga. Dia pun selamat dari maut! "Siapa kau?" tanya si Tongkat Dua Jalan yang kini telah berdiri tepat di hadapannya. "Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang y
Dalam ruangan tersebut, saat ini tak kurang dari enam orang sudah terkapar. Di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka. Walaupun nyawanya tidak sampai melayang, namun agaknya luka-luka uang mereka cerita cukup berat. Caraka Candra sengaja tidak membunuh orang-orang itu, sebab mereka sendiri tidak mampu berbuat banyak kepada dirinya. Setelah melihat makin banyak yang terkapar, anak buah Kebo Ireng yang masih menyerangnya terlihat mulai sedikit gentar. Serangan mereka berkurang. Tidak seganas seperti sebelumnya. Benak orang-orang itu diliputi oleh ketakutan. Apalagi setelah menyaksikan sendiri bagaimana kemampuan pemuda yang mereka keroyok. Kini, Caraka Candra sudah berdiri dengan tenang di tempat sebelumnya. Beberapa orang pengeroyok tadi tidak lagi menyerang. Sekarang mereka hanya berani mengepung sambil tetap mengangkat senjata saja. "Rupanya penampilanmu tidak sama dengan kemampuanmu," kata Kebo Ireng setelah dia berhasil menguasai diri. Tokoh sesat itu cukup terkejut setelah meli
Si Kebo Ireng mengerutkan kening. Dia cukup heran melihat sikap pemuda asing yang ada di hadapannya tersebut. Di satu sisi, dia pun tidak senang mendengar jawabannya barusan. Selama ini, Kebo Ireng adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati. Apalagi di daerah kekuasaannya. Jangankan warga biasa, bahkan para pejabat daerah pun ikut menaruh hormat kepadanya. Maka dari itu, sangat lumrah apabila dia tidak suka melihat sikap Caraka Candra yang dianggapnya sombong. "Anak muda, apakah kau tahu dengan siapa dirimu berhadapan?" "Ya, aku tahu," Caraka Candra tetap menjawab dengan nada dan ekspresi wajah yang sama. "Saat ini, bukankah aku sedang berhadapan dengan si Kebo Ireng yang terkenal menjadi penguasa dan suka bertindak sewenang-wenang?" anak muda itu mengangkat wajah lalu memandang ke arahnya. Mendengar ucapan tersebut, semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung berubah sikap. Sebagian dari mereka hampir saja menyerbu Caraka Candra. Untung pada saat itu si Kebo Ireng su
Matahari sudah berada di sebelah barat. Sebentar lagi akan tenggelam dibalik bukit-bukit hijau nun jauh di sana. Caraka Candra sudah berada di sebuah perkampungan di bawah kaki gunung. Anak muda itu sengaja tidak berjalan terburu-buru. Karena sekarang dia memang belum mempunyai tujuan ke mana harus pergi. Suasana di perkampungan itu terlihat tenteram. Para warga berlalu-lalang di jalan setapak. Ada yang baru pulang dari sawah ladang, ada pula yang sengaja berjalan-jalan saja. Di kanan kiri jalan, terlihat pula beberapa anak dusun yang sedang bermain riang bersama rekannya masing-masing sambil menikmati keindahan sore hari. Pemuda itu kemudian singgah ke sebuah warung makan. Ia segera memesan nasi liwet, kebetulan sejak kepergiannya tadi, dirinya belum lagi mengisi perut. Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Caraka Candra sudah dihidangkan di atas meja sederhana. Ia memakannya dengan lahap sehingga baru sebentar saja nasi liwet itu sudah habis. Ketika dirinya henda
"Jadi, apakah kau takut dia akan ikut mati bersamamu?" tanya pria yang satunya lagi. Orang ini sudah tua. Usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Dia mengenakan baju warna hitam, di pinggangnya terselip sebatang kapak besar yang terbuat dari baja. "Mati hidup itu sudah menjadi suratan takdir. Buat apa terlalu dikhawatirkan?" Pendekar Seribu Pedang berkata dengan tenang. Bahkan ia masih sempat menyantap singkong rebus lagi. Setelah habis dilahap, ia segera melanjutkan. "Masalah di antara kita sudah lewat belasan tahun yang lalu. Mengapa kalian tidak mau melupakannya?" "Hahaha ..." suara tawa itu terdengar menggema ke seluruh penjuru hutan. Daun-daun pohon berjatuhan seolah-olah terhembus angin kencang. "Begitu mudahnya kau berkata seperti itu," "Sampai kapan pun, arwah kematian Harimau Selatan tidak akan tenang jika kau masih hidup bebas di dunia ini," "Jadi, arwahnya baru akan tenang setelah aku mati?" "Ya, bisa dibilang demikian," tegas pria tersebut. "Baik. Kala
"Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku?" tanya Pendekar Seribu Pedang sambil melirik ke arah Caraka Candra. Orang tua itu tersenyum simpul. Ia kembali mengambil ubi rebus di atas wadah. Setelah ubi itu habis ditelan, ia melanjutkan lagi bicaranya. "Candra, aku ini sudah tua. Sudah bau tanah. Umurku bahkan mungkin tidak panjang lagi. Jadi, kau jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Lagi pula, aku sudah terbiasa hidup sendiri," Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Pendekar Seribu Pedang memang selalu hidup sendiri. Sebab seumur hidupnya dia memilih untuk tidak menikah. Entah alasan apa yang membuat dia memilih jalan tersebut. Mungkin karena dia takut melukai wanita lain yang mencintainya. Mungkin juga karena dia ingin menikmati kesendiriannya. Caraka Candra hanya diam. Hatinya bergejolak. Setelah lima tahun hidup bersama, akhirnya tiba juga mereka harus berpisah. Walaupun sebenarnya berat, tapi anak muda itu tetap harus turun gunung. Karena ini adalah perintah! Ucapan seoran
Caraka Candra dan Pendekar Pedang Seribu tiba di kaki sebuah gunung ketika matahari hampir tenggelam. Orang tua itu berhenti sejenak sambil memandangi gunung tinggi yang berdiri di hadapannya. "Tidak disangka, ternyata aku harus kembali lagi ke tempat ini," gumamnya seorang diri sambil menatap ke arah gunung tersebut. Caraka Candra sebenarnya merasa penasaran akan ucapan gurunya, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Mungkin gunung ini penuh dengan kenangan, demikian ia berpikir. "Nah, muridku, ini adalah Gunung Hejo. Dulu, aku juga pernah mengasingkan diri di gunung ini selama beberapa tahun. Alasan aku pindah ke tempat lain adalah karena pada suatu hari, tiba-tiba seorang musuh di masa lalu berhasil menemukan persembunyianku. Karena aku tidak ingin membunuh lagi, maka terpaksa aku pun pindah," "Sebab kalau terus di sini, bukan tidak mungkin nantinya akan ada musuh-musuh lain yang mendatangiku," Pendekar Seribu Pedang memberikan penjelasan singkat kepada Caraka Candra. Pem
"Kau harus selalu patuh kepada setiap perintah yang aku berikan. Jangan pernah membantah walaupun itu hanya satu kali," kata orang tua serba putih itu sungguh-sungguh. "Baik, guru," jawab Caraka Candra mengubah sebutannya. "Murid siap mentaati setiap patah kata yang guru ucapkan," Hal itu memang wajar. Malah sudah sepatutnya demikian. Sebagai murid, siapa pun itu, tentu harus selalu menuruti ucapan gurunya. Selama itu demi kebaikan si murid, kasarnya walaupun harus menyeberangi lautan golok, maka murid tersebut harus tetap menuruti perintahnya. "Bagus, aku suka melihat anak muda yang dipenuhi semangat seperti dirimu," ucapnya sambil memandangi Caraka Candra. "Semoga saja kau tidak pernah menyesal menjadi muridku. Sebab aku akan memberikan latihan yang mungkin belum pernah kau bayangkan sebelumnya," "Aku siap menerimanya, guru," Caraka Candra sudah bertekad bulat. Sekeras apapun, sesulit apapun, asalkan dia bisa menjadi pendekar besar yang mampu membela kebenaran, maka dia siap m
Selama beberapa tahun belakangan, rasanya baru kali ini dia mengalami hal seperti itu lagi. Perlahan-lahan Dewa Api mulai bangkit berdiri. Tetapi kali ini tidak langsung menyerang. Dia lebih dulu menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh dan menyembuhkan rasa sakit yang dideritanya saat ini. 'Siapa tua bangka itu? Mengapa kemampuan yang dia miliki begitu tinggi?' Batin Dewa Api bertanya-tanya. Dia sudah mengembara puluhan tahun, empat penjuru sudah dia datangi. Dia pasti kenal setiap tokoh dunia persilatan dewasa ini. Kalau pun tidak, minimal dia pernah mendengar namanya. Tetapi, walaupun sudah mengingat-ingat beberapa saat, dia tetap tidak tahu dan tidak mengenal siapa orang tua serba putih yang saat ini berdiri di hadapannya. 'Perduli setan siapa tua bangka itu,' makinya sambil meludah ke tanah. Sementara itu, sampai saat ini, orang tua serba putih tadi masih tetap berdiri di tempatnya semula. Walaupun dirinya tahu bahwa Dewa Api sudah mengalami luka yang cukup parah, tapi ia t
Suara tawa itu semakin lama terdengar semakin dekat. Caraka Candra bisa mendengarnya dengan jelas sekali. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Walaupun belum mengetahui siapa pemilik suara tersebut, tapi dia tahu bahwa orang itu pasti salah satu tokoh dalam dunia persilatan. Seiring berjalannya waktu, suara tawa tersebut ternyata semakin mendekat. Kini si pemilik suara sudah berada di depan goa di mana Caranya Candra sedang bersemedhi.Orang itu ternyata mempunyai tubuh yang tinggi kurus. Usianya paling baru sekitar lima puluhan tahun. Ia mengenakan pakaian serba merah. Wajahnya menyeramkan. Sepasang matanya mencorong tajam. Hidungnya mirip paruh burung dan ada bekas luka di bagian dahinya. Orang itu juga mempunyai kulit hitam kemerahan dengan rambut berwarna merah secara keseluruhan. "Aku tahu kau ada di dalam sana. Keluarlah bocah, serahkan buntalan yang kau bawa. Dengan demikian, mungkin saja aku bisa mengampuni selembar nyawamu yang tidak berguna itu," kata orang asing itu. Su