Saat itu, Caraka Candra sedang memusatkan perhatiannya ke depan sana. Dan pemuda serba hitam itu sangat terkejut ketika melihat si kakek tua telah kalah di tangan tujuh orang yang menginginkan kematiannya.
Tapi, dia jauh lebih terkejut ketika menyadari ada sebuah bayangan yang sedang melesat ke arahnya. Caraka ingin menghindar, tapi sayangnya dia terlambat!Bayangan yang dimaksud sudah tiba di depan matanya!Wutt!!!Sebatang tongkat tahu-tahu melayang dan mengincar batok kepalanya. Serangan itu datangnya sangat cepat. Siapa pun tidak ada yang sanggup membayangkannya.Seluruh tubuh Caraka bergetar. Nyawanya di ujung tanduk. Untunglah pada saat-saat yang menentukan itu, dia masih dapat mengingat keadaan dirinya. Dalam kekagetan, tubuhnya tiba-tiba melayang mundur sejauh enam langkah.Ancaman dari tongkat sirna saat itu juga. Dia pun selamat dari maut!"Siapa kau?" tanya si Tongkat Dua Jalan yang kini telah berdiri tepat di hadapannya."Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang yang kebetulan berada di sini. Maaf kalau kehadiranku telah membuatmu tersinggung, Tuan," jawab Caraka dengan sopan.Sehabis berkata, pemuda itu sebenarnya berniat untuk segera meninggalkan tempat kejadian. Di hadapan tokoh persilatan seperti si Tongkat Dua Jalan, memang hanya itu saja yang dapat dia lakukan. Berlaku sopan dan bersikap seakan-akan tidak tahu apa-apa.Selain berbuat demikian, memangnya apa pula yang dapat dia lakukan lagi?Melawan? Itu sama saja bunuh diri.Meskipun saat ini hatinya terasa sakit karena melihat kematian si kakek tua dan Caraka merasa marah kepada orang di hadapannya ini, tapi untuk bertarung melawannya, dia harus berpikir ratusan kali.Namun di sisi lain, si Tongkat Dua Jalan juga bukanlah orang bodoh. Dia orang persilatan. Bahkan masuk ke dalam jajaran tokoh kelas satu pula."Tunggu dulu, anak muda. Apa yang kau bawa itu?" tanyanya sambil menyelidik ke buntalan yang dibawa oleh Caraka Candra."Oh, ini hanya buntalan bajuku saja, Tuan," jawabnya berusaha menghilangkan rasa gugup."Boleh aku melihatnya?""Jangan, Tuan,""Aku hanya ingin melihat isinya. Bukan ingin mengambil isinya,""Jangan, Tuan. Aku mohon, ini hanyalah baju dan perbekalan yang sengaja aku bawa. Bukan apa-apa, sungguh," Caraka bicara dalam nada memelas. Dia melakukan hal itu dengan tujuan agar lawan bicaranya percaya.Tetapi, manusia seperti si Tongkat Dua Jalan, bagaimana mungkin mau percaya begitu saja terhadap ucapan orang lain?Menyaksikan sikap pemuda itu yang semakin 'keukeuh', tiba-tiba timbul rasa curiga dalam benaknya.Matanya memicing memandangi buntalan putih tersebut. Pada saat demikian, orang itu terlihat seperti seekor serigala yang sedang mengincar calon mangsanya."Apakah perkataanku kurang jelas? Aku hanya ingin melihat isinya saja," ucapnya setengah memaksa."Jangan, Tuan. Aku tetap tidak mau memperlihatkan isinya kepadamu," jawab Caraka tetap teguh kepada pendiriannya."Hemm … ternyata kau keras kepala juga,"Si Tongkat Dua Jalan mulai kehabisan kesabaran. Dia mendengus dingin. Tongkatnya tiba-tiba diangkat dan langsung di tusukan ke arah Caraka Candra.Walaupun gerakan itu tidak terlalu cepat, tapi sebenarnya mengandung tenaga yang cukup besar.Sejak awal, Caraka sudah siap terhadap segala macam kemungkinan yang bisa saja terjadi setiap waktu. Oleh sebab itulah, ketika melihat tongkat lawan yang ditujukan kepada dirinya, dia langsung mengambil tindakan.Pemuda itu kembali melompat mundur. Setelah itu dirinya langsung membalikkan badan lalu segera pergi dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.Wushh!!!Tubuhnya tiba-tiba melesat cepat menembus gelapnya hutan.Si Tongkat Dua Jalan tersenyum dingin. Dia sudah menduga kalau pemuda itu bukanlah pemuda biasa. Maka, ketika melihat dirinya melarikan diri, dia pun langsung mengejarnya dengan segenap kemampuan.Wushh!!!Dua orang yang tidak saling kenal melakukan kejar-kejaran di tengah malam buta. Awalnya, jarak di antara mereka terpaut cukup jauh. Tapi lama kelamaan, ternyata si Tongkat Dua Jalan mampu mengejar Caraka Candra.Jarak di antara keduanya semakin dekat. Begitu hanya tersisa beberapa langkah, orang itu melepaskan tongkatnya. Dia melemparkannya dengan tenaga penuh.Wutt!!!Bayangan tongkat mengejar Caraka Candra dari arah belakang. Mirip seperti ular berbisa yang ingin mematuk buruannya.Blarr!!!Tongkat itu tahu-tahu telah menghantam sebatang pohon hingga roboh dan hancur berkeping-keping. Caraka Candra berhasil menyelamatkan dirinya dengan cara melompat ke samping.Begitu melihat kesempatan baik itu, dirinya tidak tinggal diam. Caraka segera melepaskan pukulan jarak jauh berhawa panas.Wutt!!!Cahaya keemasan melesat dari balik kepalan tangannya dan meluncur ke arah si Tongkat Dua Jalan.Walaupun serangan itu belum cukup untuk membunuhnya, namun setidaknya serangan tersebut sudah lebih daripada cukup kalau sekedar untuk melukainya.Si Tongkat Dua Jalan sadar kalau posisinya tidak menguntungkan. Untuk menangkis pun sudah terlambat. Oleh karena itulah dirinya hanya bisa menghindar ke arah samping.Kejadian itu berlangsung sekejap mata. Tapi yang sekejap itu ternyata sudah mampu menyelamatkan nyawa Caraka Candra.Pada saat yang menentukan itu, Caraka menemukan kesempatan emas yang tidak mungkin datang dua kali.Wushh!!!Dia kembali melesat melarikan diri. Sebenarnya, tindakan seperti ini sangat pantang dilakukan oleh seorang pendekar seperti dirinya. Tapi apa daya, saat ini memang hanya langkah itu saja yang dapat dia perbuat.Caraka mengambil tindakan nekad!Dia lebih memilih disebut sebagai pengecut untuk sementara waktu, daripada harus mati sekarang.Saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mampus. Tugasnya masih banyak. Dendam keluarganya juga belum terbalas.Bagaimanapun juga, dia tidak boleh mati!Caraka Candra terus berlari menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Meskipun ilmu yang dia miliki belum sempurna, tapi setidaknya masih bisa diandalkan.Akhirnya, setelah dia berusaha keras melepaskan diri dari 'jeratan' si Tongkat Dua Jalan, usahanya tidak sia-sia juga.Caraka Candra berhasil terbebas dari kematian!Sementara itu di tempat lain, si Tongkat Dua Jalan akhirnya berhenti melakukan pengejaran setelah dia menyadari kalau usahanya itu sia-sia semata. Karena hal tersebut, maka dirinya memutuskan untuk kembali menemui rekan-rekannya."Bagaimana? Apakah kau berhasil menemukan orang yang dimaksud?" tanya rekannya kepada Tongkat Dua Jalan setelah dia tiba di lokasi."Sudah, dia seorang pemuda," jawabnya dengan mantap."Siapa dia?""Aku tidak tahu. Tapi sepertinya, buntalan yang kita cari itu, ada pada dirinya,""Kalau begitu, di mana pemuda itu sekarang?""Dia telah melarikan diri,""Bodoh!" maki rekannya tersebut.Dia sangat geram mendengar jawaban yang diberikan oleh dirinya."Kenapa bisa lari? Masa orang sepertimu kalah di tangan pemuda? Apa-apaan ini?" orang itu terus marah-marah karena saking kesalnya. Untunglah salah satu di antara mereka segera melerai."Sudah, sudah. Daripada kita bertengkar, lebih baik kita cari saja pemuda itu. Siapa tahu, kita masih bisa menemukan dirinya," ujar orang tersebut."Hemm, baiklah. Mari kita cari pemuda itu," sahut yang lainnya.Wushh!!! Wushh!!!Tujuh orang tokoh persilatan itu akhirnya segera pergi dari sana. Gerakan mereka sungguh cepat, sehingga baru sebentar saja, mereka sudah berada jauh dari tempat semula.Sekarang yang ada di sana hanyalah kepulan debu dan gubuk tua yang sudah menyatu dengan tanah. Selain itu, ada pula mayat si kakek tua yang terkapar bersimbah darah.Sebenarnya, siapa kakek tua itu? Kenapa dia sampai bertarung dengan tujuh orang tokoh persilatan dan bahkan membunuhnya?Apakah kakek tua itu adalah seorang tokoh pendekar yang selama ini bersembunyi dan mengasingkan diri dari dunia luar? Ataukah ia adalah seorang Dewa yang turun dari langit sana? Tiada yang tahu akan jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Yang pasti, ia adalah kakek tua yang bernasib malang. Bagaimana tidak? Ia menjadi korban keganasan tujuh orang manusia lainnya. Siapa pun yang melihat peristiwa tersebut, pasti akan merasa marah. Akan pula merasa kasihan karena melihat betapa kejamnya mereka menghajar orang tua itu. Ternyata apa yang dikatakan oleh orang-orang tua jaman dulu memang benar adanya. Orang tua jaman dahulu sering mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup paling kejam yang terdapat di muka bumi ini. Sepertinya ungkapan tersebut tidak salah. Bahkan sepenuhnya benar. Di dunia ini, adakah binatang yang rela membunuh keluarga sendiri hanya demi sebuah ambisi? Di muka bumi, sudah tentu banyak manusia yang pernah melihat seorang maling menjebol jendela atau pintu rum
Tubuh Caraka Candra sudah tidak berdaya lagi. Ia tidak bisa bergerak sama sekali. Seakan-akan seluruh tubuhnya telah mati. Rasa sakit yang berasal dari tengkuknya semakin menjadi. Rasa sakit itu tidak hanya menyerang tubuh bagian luar, bahkan bagian dalamnya juga tidak terkecuali. Caraka Candra merasakan organ dalam tubuhnya panas. Panas seperti dibakar. Keringat panas dan dingin telah merembes keluar membasahi seluruh tubuhnya. "Kau pikir dirimu bisa bersembunyi dari kami?" Sebuah suara yang berat dan serak parau tiba-tiba terdengar dari arah belakangnya. Pemuda serba hitam tersebut mencoba melirik dengan ekor mata, tapi sayangnya usaha itu sia-sia. Setelah mendengar suara barusan, ia menyadari bahwa tengkuknya ternyata telah diremas oleh seseorang. Seseorang yang mempunyai kemampuan tinggi tentunya. "Apakah ... apakah kau adalah si Tongkat Dua Jalan?" tanyanya sedikit gugup. "Hemm, bagus. Ternyata kau masih ingat," suara yang sama seperti sebelumnya terdengar lagi.
Langkah yang secara tiba-tiba tersebut tentu saja juga membuat si Tongkat Dua Jalan kaget. Ia tidak mengira kalau pemuda serba hitam yang menjadi lawannya akan mengamb tindakan seperti itu. Akibatnya, serangan beruntun yang ia lancarkan menggunakan tongkat andalannya sendiri, menjadi mengenai udara kosong. Tetapi sebagai pendekar aliran sesat yang sudah mempunyai nama besar, tentu saja ia segera bertindak dengan sigap. Gaya serangannya berubah total. Yang tadinya berputar dan lebih mengincar tubuh bagian atas, sekarang justru menotok ke bawah. Ia mengincar seluruh tubuh Caraka Candra. Walaupun gaya serangannya berubah, tapi inti dari jurusnya tetap sama. Tetap cepat dan mematikan. Caraka berpikir bahwa langkah yang dia ambil ini merupakan jalan yang terbaik. Namun yang terjadi selanjutnya justru malah sebaliknya, posisinya makin tidak menguntungkan! Ia semakin berada di bawah angin. Setiap saat, ujung tongkat lawan bisa saja mengenai tubuhnya dengan telak. Wutt!!! Kaki pemuda
"Hemm, manusia mana yang sudah berani melakukan hal itu?" Rekannya yang lain ikut bertanya. Ia pun berjalan ke depan seraya diikuti oleh rekan-rekannya yang lain. Tujuh Singa Hutan sudah berdiri sejajar kembali. Mereka semua memandang ke tempat sekelilingnya. Orang-orang itu sedang mencari tahu siapa pelaku yang sudah berani ikut campur. Sayangnya, walaupun sudah cukup lama mencari, tapi hasilnya tetap nihil. Mereka tetap tidak berhasil menemukan pelakunya. Karena sudah tidak kuat menahan rasa marah, akhirnya si Tongkat Dua Jalan kembali mengambil tindakan. Ia menyerang Caraka Candra lagi dengan gerakan dan tenaga yang sama. Namun kejadian seperti sebelumnya kembali terjadi. Sebuah batu kerikil seukuran ibu jari telah menghantam tongkatnya dengan sangat keras. Saking kerasnya, sampai-sampai tongkat pusaka itu hampir terlepas dari genggaman tangannya. "Keparat! Manusia atau setan yang telah berani menggangguku?" Si Tongkat Dua Jalan merasa lebih marah lagi. Sebagai tokoh
Tubuh si Tongkat Dua Jalan tiba-tiba lenyap dari pandangan. Satu detik kemudian, tahu-tahu ia sudah muncul tepat di hadapan orang tua serba putih. Tongkat bercabang dua yang menjadi senjata andalannya langsung mengirimkan serangan beruntun. Gerakannya benar-benar cepat. Bahkan hampir tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Akibat amarah yang sudah memuncak, si Tongkat Dua Jalan lebih memilih untuk tidak membuang-buang waktu lebih lama. Dia ingin merobohkan orang tua yang berani mengganggunya itu secepat mungkin. Maka dari itulah ia menyerang dengan jurus pamungkas yang selama ini selalu dia andalkan. "Jurus Tongkat Dua Jalan, ya?" tanya orang tua itu sambil mengelak setiap serangan yang datang kepadanya. "Hebat juga. Jurusmu memang berbahaya, pantas kalau selama ini ada cukup banyak orang yang takut kepadamu," "Berisik, tua bangka! Bersiaplah untuk pergi ke neraka!" Si Tongkat Dua Jalan berteriak. Ia menambah tenaganya sehingga setiap serangan yang datang itu semakin ganas dan
Pada saat matahari sudah berada di atas kepala, tepat pada saat itu pula Caraka Candra tiba di sebuah perkampungan. Perkampungan itu tidak terlalu besar, tapi tidak bisa juga disebut kecil. Di jalanan setapak ada beberapa warga setempat yang berlalu-lalang. Ada yang baru pulang dari sawah ladang, ada pula yang mungkin berniat untuk pergi mencari makan atau lainnya. Pemuda tampan yang baru berusia dua puluh tahun terus berjalan sambil memperhatikan keadaan sekitar. Kebetulan, tanpa disengaja di depan sana dia menemukan sebuah warung makan kecil. Karena perutnya sudah lapar, tanpa menunggu waktu lagi dia langsung pergi ke sana. "Bu, ada nasi liwet?" tanyanya setelah ia berada di dalam. "Ada, Den," jawab si pemilik warung yang kebetulan ibu-ibu dan berusia sekitar lima puluhan tahun. "Pesan satu Bu. Nasi liwet ayam panggang, minumnya teh hangat," "Baik, Deh. Silahkan tunggu sebentar," Ibu-ibu tersebut segera pergi ke belakang untuk menyiapkan makanan yang dipesan Ca
Suara tawa itu semakin lama terdengar semakin dekat. Caraka Candra bisa mendengarnya dengan jelas sekali. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Walaupun belum mengetahui siapa pemilik suara tersebut, tapi dia tahu bahwa orang itu pasti salah satu tokoh dalam dunia persilatan. Seiring berjalannya waktu, suara tawa tersebut ternyata semakin mendekat. Kini si pemilik suara sudah berada di depan goa di mana Caranya Candra sedang bersemedhi.Orang itu ternyata mempunyai tubuh yang tinggi kurus. Usianya paling baru sekitar lima puluhan tahun. Ia mengenakan pakaian serba merah. Wajahnya menyeramkan. Sepasang matanya mencorong tajam. Hidungnya mirip paruh burung dan ada bekas luka di bagian dahinya. Orang itu juga mempunyai kulit hitam kemerahan dengan rambut berwarna merah secara keseluruhan. "Aku tahu kau ada di dalam sana. Keluarlah bocah, serahkan buntalan yang kau bawa. Dengan demikian, mungkin saja aku bisa mengampuni selembar nyawamu yang tidak berguna itu," kata orang asing itu. Su
Selama beberapa tahun belakangan, rasanya baru kali ini dia mengalami hal seperti itu lagi. Perlahan-lahan Dewa Api mulai bangkit berdiri. Tetapi kali ini tidak langsung menyerang. Dia lebih dulu menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh dan menyembuhkan rasa sakit yang dideritanya saat ini. 'Siapa tua bangka itu? Mengapa kemampuan yang dia miliki begitu tinggi?' Batin Dewa Api bertanya-tanya. Dia sudah mengembara puluhan tahun, empat penjuru sudah dia datangi. Dia pasti kenal setiap tokoh dunia persilatan dewasa ini. Kalau pun tidak, minimal dia pernah mendengar namanya. Tetapi, walaupun sudah mengingat-ingat beberapa saat, dia tetap tidak tahu dan tidak mengenal siapa orang tua serba putih yang saat ini berdiri di hadapannya. 'Perduli setan siapa tua bangka itu,' makinya sambil meludah ke tanah. Sementara itu, sampai saat ini, orang tua serba putih tadi masih tetap berdiri di tempatnya semula. Walaupun dirinya tahu bahwa Dewa Api sudah mengalami luka yang cukup parah, tapi ia t
Dalam ruangan tersebut, saat ini tak kurang dari enam orang sudah terkapar. Di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka. Walaupun nyawanya tidak sampai melayang, namun agaknya luka-luka uang mereka cerita cukup berat. Caraka Candra sengaja tidak membunuh orang-orang itu, sebab mereka sendiri tidak mampu berbuat banyak kepada dirinya. Setelah melihat makin banyak yang terkapar, anak buah Kebo Ireng yang masih menyerangnya terlihat mulai sedikit gentar. Serangan mereka berkurang. Tidak seganas seperti sebelumnya. Benak orang-orang itu diliputi oleh ketakutan. Apalagi setelah menyaksikan sendiri bagaimana kemampuan pemuda yang mereka keroyok. Kini, Caraka Candra sudah berdiri dengan tenang di tempat sebelumnya. Beberapa orang pengeroyok tadi tidak lagi menyerang. Sekarang mereka hanya berani mengepung sambil tetap mengangkat senjata saja. "Rupanya penampilanmu tidak sama dengan kemampuanmu," kata Kebo Ireng setelah dia berhasil menguasai diri. Tokoh sesat itu cukup terkejut setelah meli
Si Kebo Ireng mengerutkan kening. Dia cukup heran melihat sikap pemuda asing yang ada di hadapannya tersebut. Di satu sisi, dia pun tidak senang mendengar jawabannya barusan. Selama ini, Kebo Ireng adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati. Apalagi di daerah kekuasaannya. Jangankan warga biasa, bahkan para pejabat daerah pun ikut menaruh hormat kepadanya. Maka dari itu, sangat lumrah apabila dia tidak suka melihat sikap Caraka Candra yang dianggapnya sombong. "Anak muda, apakah kau tahu dengan siapa dirimu berhadapan?" "Ya, aku tahu," Caraka Candra tetap menjawab dengan nada dan ekspresi wajah yang sama. "Saat ini, bukankah aku sedang berhadapan dengan si Kebo Ireng yang terkenal menjadi penguasa dan suka bertindak sewenang-wenang?" anak muda itu mengangkat wajah lalu memandang ke arahnya. Mendengar ucapan tersebut, semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung berubah sikap. Sebagian dari mereka hampir saja menyerbu Caraka Candra. Untung pada saat itu si Kebo Ireng su
Matahari sudah berada di sebelah barat. Sebentar lagi akan tenggelam dibalik bukit-bukit hijau nun jauh di sana. Caraka Candra sudah berada di sebuah perkampungan di bawah kaki gunung. Anak muda itu sengaja tidak berjalan terburu-buru. Karena sekarang dia memang belum mempunyai tujuan ke mana harus pergi. Suasana di perkampungan itu terlihat tenteram. Para warga berlalu-lalang di jalan setapak. Ada yang baru pulang dari sawah ladang, ada pula yang sengaja berjalan-jalan saja. Di kanan kiri jalan, terlihat pula beberapa anak dusun yang sedang bermain riang bersama rekannya masing-masing sambil menikmati keindahan sore hari. Pemuda itu kemudian singgah ke sebuah warung makan. Ia segera memesan nasi liwet, kebetulan sejak kepergiannya tadi, dirinya belum lagi mengisi perut. Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Caraka Candra sudah dihidangkan di atas meja sederhana. Ia memakannya dengan lahap sehingga baru sebentar saja nasi liwet itu sudah habis. Ketika dirinya henda
"Jadi, apakah kau takut dia akan ikut mati bersamamu?" tanya pria yang satunya lagi. Orang ini sudah tua. Usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Dia mengenakan baju warna hitam, di pinggangnya terselip sebatang kapak besar yang terbuat dari baja. "Mati hidup itu sudah menjadi suratan takdir. Buat apa terlalu dikhawatirkan?" Pendekar Seribu Pedang berkata dengan tenang. Bahkan ia masih sempat menyantap singkong rebus lagi. Setelah habis dilahap, ia segera melanjutkan. "Masalah di antara kita sudah lewat belasan tahun yang lalu. Mengapa kalian tidak mau melupakannya?" "Hahaha ..." suara tawa itu terdengar menggema ke seluruh penjuru hutan. Daun-daun pohon berjatuhan seolah-olah terhembus angin kencang. "Begitu mudahnya kau berkata seperti itu," "Sampai kapan pun, arwah kematian Harimau Selatan tidak akan tenang jika kau masih hidup bebas di dunia ini," "Jadi, arwahnya baru akan tenang setelah aku mati?" "Ya, bisa dibilang demikian," tegas pria tersebut. "Baik. Kala
"Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku?" tanya Pendekar Seribu Pedang sambil melirik ke arah Caraka Candra. Orang tua itu tersenyum simpul. Ia kembali mengambil ubi rebus di atas wadah. Setelah ubi itu habis ditelan, ia melanjutkan lagi bicaranya. "Candra, aku ini sudah tua. Sudah bau tanah. Umurku bahkan mungkin tidak panjang lagi. Jadi, kau jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Lagi pula, aku sudah terbiasa hidup sendiri," Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Pendekar Seribu Pedang memang selalu hidup sendiri. Sebab seumur hidupnya dia memilih untuk tidak menikah. Entah alasan apa yang membuat dia memilih jalan tersebut. Mungkin karena dia takut melukai wanita lain yang mencintainya. Mungkin juga karena dia ingin menikmati kesendiriannya. Caraka Candra hanya diam. Hatinya bergejolak. Setelah lima tahun hidup bersama, akhirnya tiba juga mereka harus berpisah. Walaupun sebenarnya berat, tapi anak muda itu tetap harus turun gunung. Karena ini adalah perintah! Ucapan seoran
Caraka Candra dan Pendekar Pedang Seribu tiba di kaki sebuah gunung ketika matahari hampir tenggelam. Orang tua itu berhenti sejenak sambil memandangi gunung tinggi yang berdiri di hadapannya. "Tidak disangka, ternyata aku harus kembali lagi ke tempat ini," gumamnya seorang diri sambil menatap ke arah gunung tersebut. Caraka Candra sebenarnya merasa penasaran akan ucapan gurunya, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Mungkin gunung ini penuh dengan kenangan, demikian ia berpikir. "Nah, muridku, ini adalah Gunung Hejo. Dulu, aku juga pernah mengasingkan diri di gunung ini selama beberapa tahun. Alasan aku pindah ke tempat lain adalah karena pada suatu hari, tiba-tiba seorang musuh di masa lalu berhasil menemukan persembunyianku. Karena aku tidak ingin membunuh lagi, maka terpaksa aku pun pindah," "Sebab kalau terus di sini, bukan tidak mungkin nantinya akan ada musuh-musuh lain yang mendatangiku," Pendekar Seribu Pedang memberikan penjelasan singkat kepada Caraka Candra. Pem
"Kau harus selalu patuh kepada setiap perintah yang aku berikan. Jangan pernah membantah walaupun itu hanya satu kali," kata orang tua serba putih itu sungguh-sungguh. "Baik, guru," jawab Caraka Candra mengubah sebutannya. "Murid siap mentaati setiap patah kata yang guru ucapkan," Hal itu memang wajar. Malah sudah sepatutnya demikian. Sebagai murid, siapa pun itu, tentu harus selalu menuruti ucapan gurunya. Selama itu demi kebaikan si murid, kasarnya walaupun harus menyeberangi lautan golok, maka murid tersebut harus tetap menuruti perintahnya. "Bagus, aku suka melihat anak muda yang dipenuhi semangat seperti dirimu," ucapnya sambil memandangi Caraka Candra. "Semoga saja kau tidak pernah menyesal menjadi muridku. Sebab aku akan memberikan latihan yang mungkin belum pernah kau bayangkan sebelumnya," "Aku siap menerimanya, guru," Caraka Candra sudah bertekad bulat. Sekeras apapun, sesulit apapun, asalkan dia bisa menjadi pendekar besar yang mampu membela kebenaran, maka dia siap m
Selama beberapa tahun belakangan, rasanya baru kali ini dia mengalami hal seperti itu lagi. Perlahan-lahan Dewa Api mulai bangkit berdiri. Tetapi kali ini tidak langsung menyerang. Dia lebih dulu menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh dan menyembuhkan rasa sakit yang dideritanya saat ini. 'Siapa tua bangka itu? Mengapa kemampuan yang dia miliki begitu tinggi?' Batin Dewa Api bertanya-tanya. Dia sudah mengembara puluhan tahun, empat penjuru sudah dia datangi. Dia pasti kenal setiap tokoh dunia persilatan dewasa ini. Kalau pun tidak, minimal dia pernah mendengar namanya. Tetapi, walaupun sudah mengingat-ingat beberapa saat, dia tetap tidak tahu dan tidak mengenal siapa orang tua serba putih yang saat ini berdiri di hadapannya. 'Perduli setan siapa tua bangka itu,' makinya sambil meludah ke tanah. Sementara itu, sampai saat ini, orang tua serba putih tadi masih tetap berdiri di tempatnya semula. Walaupun dirinya tahu bahwa Dewa Api sudah mengalami luka yang cukup parah, tapi ia t
Suara tawa itu semakin lama terdengar semakin dekat. Caraka Candra bisa mendengarnya dengan jelas sekali. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Walaupun belum mengetahui siapa pemilik suara tersebut, tapi dia tahu bahwa orang itu pasti salah satu tokoh dalam dunia persilatan. Seiring berjalannya waktu, suara tawa tersebut ternyata semakin mendekat. Kini si pemilik suara sudah berada di depan goa di mana Caranya Candra sedang bersemedhi.Orang itu ternyata mempunyai tubuh yang tinggi kurus. Usianya paling baru sekitar lima puluhan tahun. Ia mengenakan pakaian serba merah. Wajahnya menyeramkan. Sepasang matanya mencorong tajam. Hidungnya mirip paruh burung dan ada bekas luka di bagian dahinya. Orang itu juga mempunyai kulit hitam kemerahan dengan rambut berwarna merah secara keseluruhan. "Aku tahu kau ada di dalam sana. Keluarlah bocah, serahkan buntalan yang kau bawa. Dengan demikian, mungkin saja aku bisa mengampuni selembar nyawamu yang tidak berguna itu," kata orang asing itu. Su