Home / Fantasi / Dewa Pedang Tanah Pasundan / Tiga Belas Serangan Raja Golok

Share

Tiga Belas Serangan Raja Golok

Author: Junot Senju
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Untunglah, sebagai orang yang dijadikan pemimpin dalam penyerangan, tentu kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Memang tidak salah juga kalau orang itu dijadikan pemimpin. Sebab apa yang dilakukan oleh dia selanjutnya cukup membuat Ketua Adiyaksa merasa kagum.

Ketika serangan ganasnya terus datang beruntun tanpa berhenti, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu Ranu Brata telah berhasil melepaskan diri dari 'jeratan' tersebut.

Tubuhnya masih utuh. Tidak ada luka. Tidak ada pula ekspresi wajah kepanikan.

Wajah orang itu masih sama seperti sebelumnya. Tetap sangar sekaligus tenang.

"Hemm, bagus. Ternyata kau mempunyai kemampuan juga. Aku jadi lebih bersemangat untuk bertarung denganmu," ujar si Naga Hitam Dari Selatan.

Sesaat berikutnya, dia segera memasang kuda-kuda. Pedang Lemas Delapan Titik disilangkan di depan dada. Tenaga dalam dan hawa murni langsung dikerahkan oleh Ketua Adiyaksa dalam waktu yang hampir bersamaan.

Perisai tak kasat mata sudah tercipta. Hawanya membuat keadaan di sekitar sana cukup tertekan.

Ranu Brata mengetahui akan hal tersebut. Oleh karena itulah, dia pun segera melakukan hal yang sama pula.

Golok pusaka yang diberi nama Golok Merah tersebut, tiba-tiba memancarkan cahaya kemerah-merahan. Hawa kegelapan langsung menyelimuti seluruh tubuhnya.

"Duel yang sebenarnya baru akan dimulai. Aku ingin melihat, apakah si Naga Hitam Dari Selatan bisa menahan jurus Tiga Belas Serangan Raja Golok milikku, atau tidak," ujar Ranu Brata sambil tersenyum dingin.

Selesai berkata seperti itu, tampak dia memutarkan sekali senjatanya. Sedetik kemudian, mendadak dirinya melesat ke depan. Ke arah Ketua Adiyaksa!

Serangan itu sangat mendadak. Datangnya juga tak terduga. Belum lagi kecepatannya.

Kecepatan gerakan Ranu Brata ternyata jauh diluar dugaan Ketua Adiyaksa.

Dia melesat secepat kilat. Tubuhnya seringan kapas. Hanya sesaat saja, dirinya sudah tiba di hadapan si Naga Hitam Dari Selatan.

"Golok Pertama …" teriaknya dengan sangat lantang.

Wushh!!!

Serangan pertama langsung dilancarkan saat itu juga. Tebasan golok datang dari samping kanan ke kiri. Disusul kemudian dengan gerakan lainnya yang tidak kalah cepatnya.

Ketua Adiyaksa tersenyum dingin. Walaupun serangan lawan cukup ganas, tapi baginya tidaklah seberapa. Meskipun jurus golok yang dilayangkan oleh Ranu Brata sudah cukup untuk mencabut nyawa orang lain, tapi jurus itu masih jauh dari kata cukup kalau untuk membunuh si Naga Hitam Dari Selatan tersebut.

Benturan jurus mulai terjadi. Pertarungan keduanya, makin lama makin sengit lagi. Adu jurus tingkat tinggi sudah dimulai.

Sementara di sisi lain, Nyi Diah Ayu juga tidak mau diam berpangku tangan. Saat ini, Pendekar Bunga Mawar Biru itu juga sedang melangsungkan pertarungan melawan tiga orang anak buah Ranu Brata.

Tiga orang anak buah Ranu Brata menyerang dengan kalap. Tiga batang golok tajam menerjang ke sana kemari. Memburu setiap celah yang tercipta.

Tiga batang senjata itu mengeluarkan sinar merah menyala. Seolah-olah itu adalah bayangan tiga ekor ular yang sedang berusaha mematuk mangsanya.

Pada awalnya, Pendekar Bunga Mawar Biru tampak terpojok. Beberapa kali dirinya hampir mati di ujung golok lawan, tapi untunglah hal itu selalu berhasil digagalkan dengan mudah olehnya.

Sekarang, setelah melewati pertarungan sebanyak puluhan jurus, tiba-tiba wanita itu membentak nyaring. Dari balik pinggangnya dia keluarkan sebuah benda pusaka berwarna biru terang.

Wutt!!!

Benda itu melesat sangat cepat, menyambar tiga orang anak buah Ranu Brata secara bersamaan.

Jeritan tertahan terdengar menggelora secara susul menyusul. Sedetik berikutnya, tampak tiga orang itu sudah terjengkang ke belakang. Pada masing-masing wajah mereka terdapat sebuah tanda merah.

Bukan merah karena malu, melainkan merah karena sakit. Bekas luka itu tampak seperti sebuah tamparan. Tapi jelas, luka itu bukan ditimbulkan oleh tamparan.

Begitu ditilik secara menyelidik, ternyata luka tersebut diakibatkan karena sebuah selendang pusaka yang kini telah digenggam oleh Pendekar Bunga Mawar Biru.

Bagi orang lain, selendang itu mungkin tidak ada artinya. Tapi bagi Nyi Diah Ayu, selendang tersebut justru sangat berarti.

Sebab itu adalah pusakanya yang dulu pernah menggetarkan dunia persilatan. Karena selendang biru bersampul bunga mawar itulah, dirinya dikenal dengan julukan Pendekar Bunga Mawar Biru.

"Selendang Penarik Sukma …" Nyai Diah Ayu tiba-tiba berteriak.

Detik berikutnya, tubuh beserta selendang itu sudah meluncur ke depan sana. Selapis hawa kematian mencekam keadaan sekitar. Segulung angin tajam menerjang ke arah tiga lawannya.

Saat itu, pihak lawan sebenarnya belum berada dalam keadaan siap. Namun entah bagaimana caranya, ketika jarak selendang sudah makin dekat, mendadak ketiganya berlompatan ke samping kanan dan kiri.

Disusul kemudian dengan serangan bersamaan yang mengarah ke seluruh tubuh Nyai Diah Ayu.

Perubahan itu sangat mendadak. Datangnya juga begitu cepat. Sehebat dan sekuat apapun Pendekar Bunga Mawar Biru, pada kenyataannya dia berhasil dibuat terpojok kembali.

Hujan serangan lawan lagi-lagi mencecarnya. Kali ini bahkan jauh lebih hebat daripada sebelumnya.

Tiga sinar merah menyambar-nyambar tanpa henti. Satu cahaya biru berkelebat kian kemari. Adu jurus itu berlangsung sengit. Namun lambat laun, siapa pun dapat menyaksikan bahwa Pendekar Bunga Mawar Biru semakin berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Sementara di sisinya, Caraka Candra ternyata juga sedang bertarung melawan dua anak buah Ranu Brata lainnya. Pemuda itu telah mengeluarkan seluruh kemampuan yang telah diajarkan oleh ayahnya.

Sebuah pedang tergenggam dengan erat. Pedang itu memang bukan pedang pusaka. Tapi setidaknya, pedang tersebut masih terhitung ke dalam jajaran senjata kelas satu.

Wutt!!!

Sinar pedang bergerak dengan cepat. Caraka Candra mengeluarkan salah satu jurus pemberian ayahnya yang bernama Sinar Pedang Pengantar Kematian.

Jurus itu merupakan salah satu jurus pamungkas yang selama ini dia andalkan. Caraka Candra jarang mengeluarkan jurus tersebut. Bukan karena apa, melainkan karena siapa pun yang sudah berhadapan dengan jurus Sinar Pedang Pengantar Kematian, dapat dipastikan bahwa lawannya akan mampus dalam waktu singkat.

Sayang sekali, saat ini sepertinya merupakan pengecualian. Bukan saja kedua orang lawannya tidak mampus, bahkan mereka pun tidak terlihat terpojok sama sekali.

Mereka masih tetap bersikap dengan tenang dan wajar. Bahkan sesekali melemparkan senyuman sinis kepadanya.

Dua golok yang dipakai lawannya terus bergerak mengikuti jalur pedang yang dibuat olehnya. Benturan dua benda tajam terus terdengar. Percikan api menjadi pemandangan yang bisa disaksikan kapan saja.

Dua lawan Caraka Candra mulai membalikkan keadaan. Mereka juga sudah mengeluarkan jurus-jurus pamungkas miliknya.

Menghadapi dua jurus dahsyat sekaligus, tentu saja pemuda itu dibuat kerepotan. Bagaimanapun juga, dia masih muda. Pengalaman bertarungnya juga belum sebanyak dua orang musuhnya.

Hal itu merupakan kerugian tersendiri. Sehingga, lewat sepuluh jurus kemudian, salah satu gagang golok lawannya telah berhasil mengirimkan pukulan telak ke ulu hatinya.

Bersamaan dengan kejadian tersebut, satu golok lainnya dibenturkan sehingga mementalkan pedang miliknya dengan jarak cukup jauh.

Related chapters

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Tewasnya si Naga Hitam Dari Selatan

    Bukk!!! Caraka Candra terlempar jauh ke belakang. Dia jatuh bergulingan. Serangan barusan dilayangkan dengan pengerahan tenaga dalam. Sehingga walau hanya satu kali serangan, namun hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya terluka. Darah segar langsung merembes keluar dari mulut dan hidungnya. Pemuda itu juga merasaka kalau dadanya sangat sakit sehingga kesulitan bernafas. Melihat dirinya yang sudah tidak berdaya, maka dua orang lawannya tertawa bergelak. Mereka langsung melompat ke depan dan seketika itu juga melayangkan tendangan serta pukulan keras ke beberapa titik penting di tubuhnya. Caraka Candra menggeram perlahan. Walaupun serangan lawan datang bertubi-tubi dan menimbulkan rasa sakit yang tidak sedikit, namun dirinya berusaha untuk tetap tidak berteriak. Dia takut kalau sampai berteriak, maka dirinya akan mengganggu konsentrasi kedua orang tuanya yang saat ini sedang bertempur mati-matian. Sehingga pada akhirnya, Caraka Candra hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Kenap

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Dendam yang Harus Dibalas

    Lima anak buah Ranu Brata mengangguk secara bersamaan. Mereka langsung pergi lalu segera membakar Perguruan Naga Langit. Begitu api berkobar, Ranu Brata lalu berjalan pergi dari perguruan itu. Langkahnya tenang namun pasti. Dia tahu, sebentar lagi Perguruan Naga Langit pasti akan rata bersama tanah. Oleh karena itulah, dirinya tidak pernah menengok lagi ke belakang. Sementara itu, Caraka Candra masih terlentang di atas tanah. Luka-luka di tubuhnya sudah mengering. Seperti juga darahnya. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar. Entah berapa lama dirinya tidak sadarkan diri. Tetapi, secara tiba-tiba dirinya membuka mata ketika merasakan adanya hawa panas yang sangat menyengat kulit. Caraka Candra sangat terkejut ketika dia mengetahui bahwa Perguruan Naga Langit ternyata sudah hancur lebur dan menyatu bersama tanah. Kesedihan, kemarahan, semuanya bercampur menjadi satu. Caraka Candra bangkit berdiri. Walaupun hal itu terasa sangat sulit, tapi setelah berusaha sekuat tena

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Lima Harimau Gunung

    Wushh!!! Wushh!!! Bayangan manusia berkelebat dengan cepat. Lima Harimau Gunung telah mengambil tindakan. Mereka mengirimkan serangan berupa pukulan dan tendangan yang cepat sekaligus ganas. Melihat betapa hebatnya serangan lawan, mau tak mau Caraka Candra dibuat terkejut juga. Dia sungguh tidak menyangka bahwa Lima Harimau Gunung ternyata mempunyai kemampuan setinggi ini. Kelima orang itu menyerang dari segala sisi. Mereka benar-benar seperti kawanan harimau buas yang sedang kelaparan. Serangannya tidak pernah berhenti. Bahkan makin lama, mereka makin ganas dalam melancarkan jurusnya. Dalam pada itu, Caraka sedang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan dirinya dari jurus-jurus lawan. Pemuda itu bergerak ke sana kemari. Kadang kala dia pun mengangkat kedua tangannya untuk memberikan tangkisan. Pada awal pertarungan, Caraka memang masih mampu meladeni Lima Harimau Gunung. Tetapi setelah lewat dari enam jurus, posisinya perlahan-lahan berubah. Dia mulai terdesak hebat. Puku

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Permintaan Kakek Tua Misterius

    Rintik air hujan sudah berhenti. Berhenti seluruhnya. Kegelapan malam pun sudah menghilang. Sekarang sudah tiada lagi rasa dingin menusuk tulang, yang ada hanyalah kehangatan yang memberikan kenyamanan. Pagi hari telah tiba. Sinar mentari di pagi ini terlihat begitu cemerlang. Awan putih berarak mengikuti arah mata angin. Burung-burung berterbangan ke sana kemari dengan lincah. Di pinggir hutan itu ada sebuah sebuah gubuk reot berukuran kecil. Gubuk itu beralaskan tanah dan beratapkan daun kelapa yang dianyam. Walaupun terlihat jelek, tapi jelas, gubuk itu membawa suatu kenyamanan tersendiri. Di sebuah pendopo kecil yang ada di depannya, seorang kakek tua sedang duduk seorang diri. Di depannya ada kopi hitam yang diseduh dalam cangkir bambu. Tidak lupa juga, kakek tua itu pun membakar tembakau yang sudah hampir habis. Wushh!!! Asap tembakau yang berwarna putih menggulung tebal ke depan ketika kakek tua itu menghembuskan nafasnya dengan panjang. Tidak lama kemudian, dari dalam g

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Hancurnya Sebuah Gubuk Tua

    Pemuda tampan yang selalu mengenakan pakaian serba hitam itu segera membalikkan tubuhnya. Tanpa banyak bertanya lagi, dia langsung saja melesat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Di tengah perjalanan, Caraka Candra merasa sedikit terkejut. Sebab sekarang ini, tubuhnya tidak lagi terasa ngilu dan sakit seperti hari kemarin. Sekarang, tiba-tiba dia merasa lebih segar bugar daripada biasanya. Bahkan menurut anggapannya pribadi, ilmu meringankan tubuhnya seperti meningkat. Meskipun peningkatannya tidak terlalu banyak, tapi hal itu saja jelas bukan kejadian biasa. Caraka baru mengalami kejadian seperti ini. Dan dia benar-benar merasa aneh kepada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa pula dia merasa tenaganya makin meningkat? Pemuda itu sebenarnya ingin terus memikirkan hal tersebut. Sayangnya, hal itu tidak bisa dia lakukan secara terus menerus. Selain daripada itu, secara tiba-tiba sepasang telinganya juga mendengar adanya dentuman keras yang berasal dari ara

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Si Tongkat Dua Jalan

    Saat itu, Caraka Candra sedang memusatkan perhatiannya ke depan sana. Dan pemuda serba hitam itu sangat terkejut ketika melihat si kakek tua telah kalah di tangan tujuh orang yang menginginkan kematiannya. Tapi, dia jauh lebih terkejut ketika menyadari ada sebuah bayangan yang sedang melesat ke arahnya. Caraka ingin menghindar, tapi sayangnya dia terlambat! Bayangan yang dimaksud sudah tiba di depan matanya! Wutt!!! Sebatang tongkat tahu-tahu melayang dan mengincar batok kepalanya. Serangan itu datangnya sangat cepat. Siapa pun tidak ada yang sanggup membayangkannya. Seluruh tubuh Caraka bergetar. Nyawanya di ujung tanduk. Untunglah pada saat-saat yang menentukan itu, dia masih dapat mengingat keadaan dirinya. Dalam kekagetan, tubuhnya tiba-tiba melayang mundur sejauh enam langkah. Ancaman dari tongkat sirna saat itu juga. Dia pun selamat dari maut! "Siapa kau?" tanya si Tongkat Dua Jalan yang kini telah berdiri tepat di hadapannya. "Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang y

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Tujuh Singa Hutan

    Apakah kakek tua itu adalah seorang tokoh pendekar yang selama ini bersembunyi dan mengasingkan diri dari dunia luar? Ataukah ia adalah seorang Dewa yang turun dari langit sana? Tiada yang tahu akan jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Yang pasti, ia adalah kakek tua yang bernasib malang. Bagaimana tidak? Ia menjadi korban keganasan tujuh orang manusia lainnya. Siapa pun yang melihat peristiwa tersebut, pasti akan merasa marah. Akan pula merasa kasihan karena melihat betapa kejamnya mereka menghajar orang tua itu. Ternyata apa yang dikatakan oleh orang-orang tua jaman dulu memang benar adanya. Orang tua jaman dahulu sering mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup paling kejam yang terdapat di muka bumi ini. Sepertinya ungkapan tersebut tidak salah. Bahkan sepenuhnya benar. Di dunia ini, adakah binatang yang rela membunuh keluarga sendiri hanya demi sebuah ambisi? Di muka bumi, sudah tentu banyak manusia yang pernah melihat seorang maling menjebol jendela atau pintu rum

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Memberanikan Diri

    Tubuh Caraka Candra sudah tidak berdaya lagi. Ia tidak bisa bergerak sama sekali. Seakan-akan seluruh tubuhnya telah mati. Rasa sakit yang berasal dari tengkuknya semakin menjadi. Rasa sakit itu tidak hanya menyerang tubuh bagian luar, bahkan bagian dalamnya juga tidak terkecuali. Caraka Candra merasakan organ dalam tubuhnya panas. Panas seperti dibakar. Keringat panas dan dingin telah merembes keluar membasahi seluruh tubuhnya. "Kau pikir dirimu bisa bersembunyi dari kami?" Sebuah suara yang berat dan serak parau tiba-tiba terdengar dari arah belakangnya. Pemuda serba hitam tersebut mencoba melirik dengan ekor mata, tapi sayangnya usaha itu sia-sia. Setelah mendengar suara barusan, ia menyadari bahwa tengkuknya ternyata telah diremas oleh seseorang. Seseorang yang mempunyai kemampuan tinggi tentunya. "Apakah ... apakah kau adalah si Tongkat Dua Jalan?" tanyanya sedikit gugup. "Hemm, bagus. Ternyata kau masih ingat," suara yang sama seperti sebelumnya terdengar lagi.

Latest chapter

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Kematian si Kebo Ireng

    Dalam ruangan tersebut, saat ini tak kurang dari enam orang sudah terkapar. Di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka. Walaupun nyawanya tidak sampai melayang, namun agaknya luka-luka uang mereka cerita cukup berat. Caraka Candra sengaja tidak membunuh orang-orang itu, sebab mereka sendiri tidak mampu berbuat banyak kepada dirinya. Setelah melihat makin banyak yang terkapar, anak buah Kebo Ireng yang masih menyerangnya terlihat mulai sedikit gentar. Serangan mereka berkurang. Tidak seganas seperti sebelumnya. Benak orang-orang itu diliputi oleh ketakutan. Apalagi setelah menyaksikan sendiri bagaimana kemampuan pemuda yang mereka keroyok. Kini, Caraka Candra sudah berdiri dengan tenang di tempat sebelumnya. Beberapa orang pengeroyok tadi tidak lagi menyerang. Sekarang mereka hanya berani mengepung sambil tetap mengangkat senjata saja. "Rupanya penampilanmu tidak sama dengan kemampuanmu," kata Kebo Ireng setelah dia berhasil menguasai diri. Tokoh sesat itu cukup terkejut setelah meli

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Naga Menari di Pusaran Badai

    Si Kebo Ireng mengerutkan kening. Dia cukup heran melihat sikap pemuda asing yang ada di hadapannya tersebut. Di satu sisi, dia pun tidak senang mendengar jawabannya barusan. Selama ini, Kebo Ireng adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati. Apalagi di daerah kekuasaannya. Jangankan warga biasa, bahkan para pejabat daerah pun ikut menaruh hormat kepadanya. Maka dari itu, sangat lumrah apabila dia tidak suka melihat sikap Caraka Candra yang dianggapnya sombong. "Anak muda, apakah kau tahu dengan siapa dirimu berhadapan?" "Ya, aku tahu," Caraka Candra tetap menjawab dengan nada dan ekspresi wajah yang sama. "Saat ini, bukankah aku sedang berhadapan dengan si Kebo Ireng yang terkenal menjadi penguasa dan suka bertindak sewenang-wenang?" anak muda itu mengangkat wajah lalu memandang ke arahnya. Mendengar ucapan tersebut, semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung berubah sikap. Sebagian dari mereka hampir saja menyerbu Caraka Candra. Untung pada saat itu si Kebo Ireng su

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Kebo Ireng

    Matahari sudah berada di sebelah barat. Sebentar lagi akan tenggelam dibalik bukit-bukit hijau nun jauh di sana. Caraka Candra sudah berada di sebuah perkampungan di bawah kaki gunung. Anak muda itu sengaja tidak berjalan terburu-buru. Karena sekarang dia memang belum mempunyai tujuan ke mana harus pergi. Suasana di perkampungan itu terlihat tenteram. Para warga berlalu-lalang di jalan setapak. Ada yang baru pulang dari sawah ladang, ada pula yang sengaja berjalan-jalan saja. Di kanan kiri jalan, terlihat pula beberapa anak dusun yang sedang bermain riang bersama rekannya masing-masing sambil menikmati keindahan sore hari. Pemuda itu kemudian singgah ke sebuah warung makan. Ia segera memesan nasi liwet, kebetulan sejak kepergiannya tadi, dirinya belum lagi mengisi perut. Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Caraka Candra sudah dihidangkan di atas meja sederhana. Ia memakannya dengan lahap sehingga baru sebentar saja nasi liwet itu sudah habis. Ketika dirinya henda

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Masalah di Masa Lalu

    "Jadi, apakah kau takut dia akan ikut mati bersamamu?" tanya pria yang satunya lagi. Orang ini sudah tua. Usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Dia mengenakan baju warna hitam, di pinggangnya terselip sebatang kapak besar yang terbuat dari baja. "Mati hidup itu sudah menjadi suratan takdir. Buat apa terlalu dikhawatirkan?" Pendekar Seribu Pedang berkata dengan tenang. Bahkan ia masih sempat menyantap singkong rebus lagi. Setelah habis dilahap, ia segera melanjutkan. "Masalah di antara kita sudah lewat belasan tahun yang lalu. Mengapa kalian tidak mau melupakannya?" "Hahaha ..." suara tawa itu terdengar menggema ke seluruh penjuru hutan. Daun-daun pohon berjatuhan seolah-olah terhembus angin kencang. "Begitu mudahnya kau berkata seperti itu," "Sampai kapan pun, arwah kematian Harimau Selatan tidak akan tenang jika kau masih hidup bebas di dunia ini," "Jadi, arwahnya baru akan tenang setelah aku mati?" "Ya, bisa dibilang demikian," tegas pria tersebut. "Baik. Kala

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Pedang Pembawa Maut

    "Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku?" tanya Pendekar Seribu Pedang sambil melirik ke arah Caraka Candra. Orang tua itu tersenyum simpul. Ia kembali mengambil ubi rebus di atas wadah. Setelah ubi itu habis ditelan, ia melanjutkan lagi bicaranya. "Candra, aku ini sudah tua. Sudah bau tanah. Umurku bahkan mungkin tidak panjang lagi. Jadi, kau jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Lagi pula, aku sudah terbiasa hidup sendiri," Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Pendekar Seribu Pedang memang selalu hidup sendiri. Sebab seumur hidupnya dia memilih untuk tidak menikah. Entah alasan apa yang membuat dia memilih jalan tersebut. Mungkin karena dia takut melukai wanita lain yang mencintainya. Mungkin juga karena dia ingin menikmati kesendiriannya. Caraka Candra hanya diam. Hatinya bergejolak. Setelah lima tahun hidup bersama, akhirnya tiba juga mereka harus berpisah. Walaupun sebenarnya berat, tapi anak muda itu tetap harus turun gunung. Karena ini adalah perintah! Ucapan seoran

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Gunung Hejo

    Caraka Candra dan Pendekar Pedang Seribu tiba di kaki sebuah gunung ketika matahari hampir tenggelam. Orang tua itu berhenti sejenak sambil memandangi gunung tinggi yang berdiri di hadapannya. "Tidak disangka, ternyata aku harus kembali lagi ke tempat ini," gumamnya seorang diri sambil menatap ke arah gunung tersebut. Caraka Candra sebenarnya merasa penasaran akan ucapan gurunya, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Mungkin gunung ini penuh dengan kenangan, demikian ia berpikir. "Nah, muridku, ini adalah Gunung Hejo. Dulu, aku juga pernah mengasingkan diri di gunung ini selama beberapa tahun. Alasan aku pindah ke tempat lain adalah karena pada suatu hari, tiba-tiba seorang musuh di masa lalu berhasil menemukan persembunyianku. Karena aku tidak ingin membunuh lagi, maka terpaksa aku pun pindah," "Sebab kalau terus di sini, bukan tidak mungkin nantinya akan ada musuh-musuh lain yang mendatangiku," Pendekar Seribu Pedang memberikan penjelasan singkat kepada Caraka Candra. Pem

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Pendekar Seribu Pedang

    "Kau harus selalu patuh kepada setiap perintah yang aku berikan. Jangan pernah membantah walaupun itu hanya satu kali," kata orang tua serba putih itu sungguh-sungguh. "Baik, guru," jawab Caraka Candra mengubah sebutannya. "Murid siap mentaati setiap patah kata yang guru ucapkan," Hal itu memang wajar. Malah sudah sepatutnya demikian. Sebagai murid, siapa pun itu, tentu harus selalu menuruti ucapan gurunya. Selama itu demi kebaikan si murid, kasarnya walaupun harus menyeberangi lautan golok, maka murid tersebut harus tetap menuruti perintahnya. "Bagus, aku suka melihat anak muda yang dipenuhi semangat seperti dirimu," ucapnya sambil memandangi Caraka Candra. "Semoga saja kau tidak pernah menyesal menjadi muridku. Sebab aku akan memberikan latihan yang mungkin belum pernah kau bayangkan sebelumnya," "Aku siap menerimanya, guru," Caraka Candra sudah bertekad bulat. Sekeras apapun, sesulit apapun, asalkan dia bisa menjadi pendekar besar yang mampu membela kebenaran, maka dia siap m

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Tekad Caraka Candra

    Selama beberapa tahun belakangan, rasanya baru kali ini dia mengalami hal seperti itu lagi. Perlahan-lahan Dewa Api mulai bangkit berdiri. Tetapi kali ini tidak langsung menyerang. Dia lebih dulu menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh dan menyembuhkan rasa sakit yang dideritanya saat ini. 'Siapa tua bangka itu? Mengapa kemampuan yang dia miliki begitu tinggi?' Batin Dewa Api bertanya-tanya. Dia sudah mengembara puluhan tahun, empat penjuru sudah dia datangi. Dia pasti kenal setiap tokoh dunia persilatan dewasa ini. Kalau pun tidak, minimal dia pernah mendengar namanya. Tetapi, walaupun sudah mengingat-ingat beberapa saat, dia tetap tidak tahu dan tidak mengenal siapa orang tua serba putih yang saat ini berdiri di hadapannya. 'Perduli setan siapa tua bangka itu,' makinya sambil meludah ke tanah. Sementara itu, sampai saat ini, orang tua serba putih tadi masih tetap berdiri di tempatnya semula. Walaupun dirinya tahu bahwa Dewa Api sudah mengalami luka yang cukup parah, tapi ia t

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Dewa Api

    Suara tawa itu semakin lama terdengar semakin dekat. Caraka Candra bisa mendengarnya dengan jelas sekali. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Walaupun belum mengetahui siapa pemilik suara tersebut, tapi dia tahu bahwa orang itu pasti salah satu tokoh dalam dunia persilatan. Seiring berjalannya waktu, suara tawa tersebut ternyata semakin mendekat. Kini si pemilik suara sudah berada di depan goa di mana Caranya Candra sedang bersemedhi.Orang itu ternyata mempunyai tubuh yang tinggi kurus. Usianya paling baru sekitar lima puluhan tahun. Ia mengenakan pakaian serba merah. Wajahnya menyeramkan. Sepasang matanya mencorong tajam. Hidungnya mirip paruh burung dan ada bekas luka di bagian dahinya. Orang itu juga mempunyai kulit hitam kemerahan dengan rambut berwarna merah secara keseluruhan. "Aku tahu kau ada di dalam sana. Keluarlah bocah, serahkan buntalan yang kau bawa. Dengan demikian, mungkin saja aku bisa mengampuni selembar nyawamu yang tidak berguna itu," kata orang asing itu. Su

DMCA.com Protection Status