Gelap. Hanya itu yang dilihat Hyun Ji saat ia membuka kedua matanya. Tidak ada lagi bunga-bunga bermekaran ataupun pohon-pohon hijau yang bisa ia lihat. Tidak ada lagi burung-burung yang berterbangan dengan aktifnya di musim semi yang bisa ia pandangi di atas langit. Tidak ada lagi, satu objek pun yang bisa ia lihat. Ia bahkan tidak melihat atau bahkan dapat sekedar merasakan bayangan atau cahaya apapun yang masuk ke dalam retina matanya.
Ini memang bukan pertama kalinya ia merasakan seperti gelap seperti ini. Namun, terkadang ia berharap ia hanya bermimpi. Ia seringkali menutup kedua matanya rapat-rapat dan berdoa dalam hatinya dengan sungguh-sungguh agar ketakutan terbesarnya tidak terbukti. Ia berharap setelah ia membuka matanya kembali semuanya kembali seperti biasa. Ia akan melihat cahaya-cahaya di luar sana yang amat dirindukannya.Dan, kegelapan tadi hanyalah mimpi bunga tidurnya.
Namun itu tidak akan pernah terjadi. Cahaya yang hilang di kedua matanya yang cantik tak akan pernah kembali lagi. Sama seperti cahaya di hatinya. Hatinya kini sudah dingin seperti es. Tidak ada lagi kehangatan yang mengisi hidupnya. Baginya hatinya sekarang sudah mati.
Sudah 3 tahun lamanya ia kehilangan cahaya dari matanya. Sudah 3 tahun lamanya ia kehilangan senyuman dari bibir mungilnya. Dan, tak terasa sudah 3 tahun lamanya ia melewati musim semi yang begitu ia sukai dengan kegelapan. Tak ada keindahan musim kesukaannya yang bisa ia lihat. Semuanya terasa begitu gelap. Mulai dari pandangannya hingga hatinya yang amat gelap.
Ia hanya duduk dan termenung sejenak. Tanpa sadar ia tersenyum dengan miris, 3 tahun… Yah.. Sudah 3 tahun sosok Aiden meninggalkannya dan memberikannya luka yang amat dalam. Tak terasa ia sudah berhasil melewati 3 tahun tanpa sosok Aiden di sampingnya.
Seorang wanita berumur sekitar 40-an yang duduk di sampingnya membelai pundak Hyun Ji dengan lembut, “Hyun Ji-ah.. Kita sudah sampai..”
Eommanya membuka pintu mobilnya dan melangkah turun dari mobil terlebih dahulu. Lalu ia menarik tangan Hyun Ji, menuntun Hyun Ji untuk turun dari mobilnya.
Udara Seoul yang sejuk menerbangkan rambut coklat kehitaman Hyun Ji dengan indah. Kacamata hitam yang terpasang di kedua matanya membuatnya terlihat seperti seorang wanita yang amat modis. Kulitnya yang bersih dan putih, bibirnya yang mungil, hidungnya yang mancung, gaun anggun berawarna putih yang terpasang di tubuh rampingnya membuatnya tampak anggun. Kecantikannya yang tampak sempurna membuat mata banyak orang terpusat padanya. Tak banyak orang yang menyadari bahwa ia tak sesempura pikiran banyak orang.
Hyun Ji menahan tangan Eomma - nya yang tengah menuntunnya. “Eomma.. Tolong tongkatku..”
Ibunya segera berpaling, dan mengambil tongkat yang masih tertinggal di dalam mobil. Lali ia memberikannya pada Hyun Ji, “Ige… Kau harus berhati-hati ya..”Ujar Linda Kim – sosok Ibu yang terus mendampinginya selama 3 tahun ini. Ia mengusap rambut Hyun Ji penuh kasih.
“Neh.. Gomawo..” Hyun Ji mengangguk sesaat dan menggenggam tongkat itu dengan erat.
“Eomma pulang saja..” Hyun Ji berkata dengan pelan.
Ibunya jelas menolak,ia tak akan membiarkan anaknya yang buta berjalan seorang diri,“Ani.. Eomma akan menemanimu. Paling tidak sampai kau bertemu dengan Jessica.”
Hyun Ji menghembuskan nafasnya kecewa, “Eomma. Aku mohon.. Aku akan baik-baik saja …”
“Geundae…” Hyun Ji tetap menolak, ia tak ingin dianggap gadis yang manja,“Eomma.. Aku bukan anak kecil. Aku mohon biarkan aku pergi sendiri…”
Ibunya terdiam sejenak. Ia menatap Hyun Ji dengan sedih. Andaikan saja anak tunggalnya itu tidak buta mungkin ia akan membiarkannya pergi sendiri. Andaikan 3 tahun lalu ia tak membiarkan anaknya pergi ke pesta itu. Andaikan… Yah, jikalau saja anaknya tak pergi ke pesta itu mungkin semua akan baik-baik saja. Ia tak mungkin kehilangan penglihatannya.
Ia tahu Hyun Ji adalah anak yang keras kepala dan mandiri. Sekeras apapun ia memaksa, ia tak akan menang dari Hyun Ji. Ia mendesah pasrah, “Arra.. Geundae kau harus tetap berhati-hati. Handphone- mu harus selalu aktif.. Arra?”
“Neh. Arrasso.. Eomma tenang saja…”Ia mengangguk dan tersenyum kecil. Senyuman untuk menenangkan ibunya.
Setelah meminta izin dari ibunya, ia kembali menggenggam tongkat itu dengan erat. Ia menggoyangkan tongkat itu ke lantai untuk menyentuh segala macam benda yang berada di depan langkahnya. Perlahan tapi pasti ia melangkah masuk menuju rumah bergaya Eropa yang besar itu.
***
Sambil meraba-raba Hyun Ji menekan bel yang terselip di balik pagar. Tak perlu menunggu lama, pintu di hadapannya terbuka. Seorang wanita cantik berambut coklat langsung berlari keluar dengan penuh senyuman yang hangat.
“Hyun Ji!!” Hyun Ji mengenal baik suara sahabat baiknya itu. Belum sempat ia melangkah, Jessica – perempuan berdarah Korea – Amerika itu sudah memeluk tubuh Hyun Ji erat sambil tersenyum lebar.
“Sica!” Ia tersenyum senang. Sayangnya ia tak bisa membalas pelukan hangat yang sahabatnya berikan. Suka-tidak suka ia harus tetap memegang tongkat yang kini menjadi panutannya untuk berjalan.
Jessica dan Hyun Ji sudah bersahabat semenjak 3 tahun yang lalu. Semenjak ia kehilangan kedua cahaya dari matanya. Pada awalnya, Hyun Ji hanya mengenal Roy karena Roy adalah dokter yang dipercayakan Ibunya untuk merawat Hyun Ji. Karena Roy dan Hyun Ji berteman, maka Roy juga mengenalkan Jessica pada Hyun Ji. Dan, siapa sangka karakter Hyun Ji dan Jessica yang sama-sama tak banyak bicara menyatukan mereka sebagai sahabat baik. Bagi Hyun Ji, Roy dan Jessica sudah bagaikan saudaranya sendiri. Mereka berdualah yang selalu membantu Hyun Ji untuk bangkit dari keterpurukannya.
“Gomawo sudah mau datang.. Kajja kita masuk ke dalam.Acaranya sudah dimulai..”
Tangan Hyun Ji menggenggam tangan Jessica dengan erat. Namun sebelah tangannya juga tak berhenti memegang tongkatnya dan menggerakkannya ke lantai. Perlahan, Jessica dan Hyun Ji mulai melangkah masuk ke dalam pintu rumah berwarna putih yang ada di depan mereka.
Suasana ramai menghampiri Hyun Ji begitu kedua kakinya menginjak lantai keramik rumah itu. Badannya terasa begitu kaku dalam seketika. Jantungnya berdetak begitu kencang karena takut. Ia benar-benar takut ruangan yang dipenuhi orang-orang. Dulu mungkin ia suka suasana seperti ini, namun sekarang tidak. Ia membenci suasana ini. Suasana yang dipenuhi dengan orang-orang yang akan memandangnya penuh iba dan keanehan selalu menghantuinya. Walaupun ia tidak bisa melihat pandangan mereka. Namun, ia bisa merasakan pandangan itu. Suara bisikan orang-orang yang membicarakan tentangnya pun bisa ia dengarkan walaupun tak begitu jelas. Dan, jelas ia tak menyukainya.
Jessica merangkul Hyun Ji untuk bergabung dengan sahabat-sahabatnya yang lain lalu Jessica pun kembali ke depan panggung bersama tunangannya, Roy Kim. Saat Hyun Ji berdiri seorang diri, perasaan menyesal menghampirinya. Seharusnya ia tidak datang ke sini. Ke acara pertunangan kedua sahabatnya ini. Tapi ia sudah terlanjur kemari. Ia sudah ada di sisni dan sebaiknya ia tak mengecewakan sahabtanya hanya untuk merengek mengantarkannya kembali pulang ke rumah. Apalagi sahabatnya sendiri adalah tuan rumah acara ini. Hyun Ji pun berusaha mengulaskan senyuman manisnya pada bibir mungilnya. Ia berusaha tersenyum walaupun sulit.
Setelah merasa bosan dengan keramaian di ruangan tamu, Hyun Ji pun memutuskan untuk berjalan keluar dari ruang tamu itu menuju taman kecil yang ada di belakang rumah sahabatnya. Semenjak ia dan Jessica bersahabat, ia memang sering mengunjungi rumah sahabat baiknya ini. Dan, tempat yang paling ia suka adalah taman kecil sahabatnnya itu. Karena itulah ia sudah hafal letak taman itu tanpa perlu dibantu oleh siapapun.
Hyun Ji mulai menggoyangkan tongkanya menuju pintu belakang. Saat Hyun Ji hendak membuka pintu itu dengan hati-hati, seorang wanita dengan tiba-tiba saja membuka pintu itu dengan kasar. Hyun Ji yang tak bisa melihat gerakan wanita dan pintu itu, langsung terjatuh.
“OUCH…” Hyun Ji merintih.
Wanita yang membuat Hyun Ji terjatuh itu terkejut, namun ia tak mempedulikan Hyun Ji. Ia hanya memandang Hyun Ji dengan perasaan bersalah lalu meminta maaf sekilas dan berlari meninggalkan Hyun Ji. Sepertinya ia tak menyadari jika Hyun Ji bukanlah wanita normal seperti wanita lainnya yang bisa berdiri kembali dengan mudah.
Hyun Ji tak menyadari jika wanita itu sudah beranjak pergi. Yang ia tahu saat ini ia terjatuh dan tongkatnya hilang. Tanngannya sibuk meraba-raba sekitarnya, mencari-cari tongkat yang terlepas dari genggamannya. Ia takut. Matanya yang tertutup kacamata berwarna hitam mulai meneteskan air mata.
“Tongkatku.. Aku butuh tongkatku…”Gumamnya sambil menangis.
TBC
3 Tahun yang lalu“Aiden, kau harus menikan dengan Ji Yeon. Appa tidak mau dengar alasan apapun!”“Geundae.. Appa tahukan aku dan Hyun Ji telah bertunangan?”“Appa tahu. Geundae, kau juga tahu kan kalau saat ini perusahaan sedang krisis. Apa kau mau perusahaan yang ayah bangun selama ini hancur hanya karena Hyun Ji?”“Tapi Appa.. Aku..”“Aiden Lee. Kau adalah anak tunggal keluarga Lee. Siapa lagi yang Appa bisa harapkan selain kamu. Selama ini Appa tidak pernah memaksakan kehendak Appa. Bahkan Appa membiarkan kamu menjadi dokter. Apa kau tak bisa melakukan ini untuk Appa sekali ini?”“Geundae..”“Aiden. Appa tahu kau tidak mencintai Ji Yeon, tapi Ji Yeon menyukaimu. Belajarlah mencintainya.. Appa yakin kau bisa.. Appa mohon…”“Geundae.. Aku tidak mungkin mel
3 Tahun yang lalu“Hyun Ji-ah... Aku rasa hubungan kita tidak bisa diteruskan..”“Maksud Oppa apa? Oppa bercanda kan?”“Ani.. Aku serius. Aku sudah bilang kepada kedua orang tuaku dan orang tuamu untuk membatalkan pernikahan kita…”“Oppa… Apa maksudmu? Aku tidak mengerti…”“Kau bukan anak kecil. Kau pasti mengerti maksudku kan? Kita putus.”“Kita? Putus? Oppa pasti bercanda… Apa yang terjadi sebenarnya? Aku mohon jangan membuatku takut…”Hyun Jiterbangun dengan nafas yang tidak teratur. Dadanya terasa begitu sakit. Matanya yang indah memandang langit-langit kamar yang diterangi oleh lampu. Namun, gelap yang dilihatnya.. Seterang apapun ruangan itu tidak bisa menimbulkan seberkas cahayapun di matanya.Dengan cepat ia duduk di atas ranjang
Malam ini suasana kota Seoul yang biasanya begitu sibuk tampak sepi. Mobil-mobil dan motor-motor yang biasanya berseliweran di jalanan tampak berkurang. Tak banyak juga orang-orang yang berjalan di pinggir jalan. Dagangan yang biasanya tampak ramai di malam hari pun kini tak ada.Langit Seoulberwarna begitu kelabu. Hujan yang turun semenjak pagi tak kunjung berhenti. Tetesan-tesan hujan yang begitu deras menyapu debu di jalanan Apgujeong- dong. Sebuah mobil BMW putih dengan pelan bergerak menepi di sisi jalanan yang sepi, tepat di seberang sebuah toko kecil yang ada pinggir jalan.Sesosok wanita yang semenjak tadi duduk di mobil, hanya diam dan melempar pandangannya ke seberang jalan. Ia menatap sebuah gereja tua yang bergaya eropa itu dengan sedih. Wajahnya yang tampak sembab tak juga membuatnya berhenti menangis. Sebenarnya ia sudah lelah, tapi sayangnya air mata yang tak ia inginkan ini tak juga kunjung berhenti mengeluarkan air mata
3 YEARS LATERMatahari yang bersinar begitu terik disertai dengan langit biru menghiasi langit kota Seoul. Burung-burung yang berterbangan kesana kemari, pohon-pohon hijau, bunga-bunga bermacam warna tampak menghiasi musim semi tahun ini. Sejenak Aiden termenung dari balik kaca mobilnya. Musim semi telah datang lagi. Dan, itu artinya sudah 3 tahun ia terakhir kali bertemu dengan sosok Hyun Ji. Saat terakhir kali ia membisikkan kata cinta di teliga wanita itu. Kata cinta yang tak akan pernah ia ucapkan di hadapan siapapun selain Hyun Ji.Ia menghentikan mobilnya sejenak dan membuka jendela mobilnya. Ia melempar pandangannya kearah dasbor mobilnya. Di sana terdapat sebuah berkas file yang 2 tahun lalu ia tanda tangani. Sebuah berkas yang menandakan bahwa pernikahannya yang tak pernah ia inginkan itu telah berakhir. Pernikahan yang hanya di dasari oleh keinginan ayahnya yang kini telah tiada.Ia menghela nafasnya sejenak. Sekilas