45Surat"Seharusnya kamu langsung tolak saja jika dari awal yang datang itu mantan suamimu. Sudah pasti, itu adalah hal yang sangat merepotkanmu dan Arfan. Jika saya di sana, saya akan langsung pergi tanpa mendengarkan ocehan mereka. Tapi kamu baik-baik saja, bukan?" tanya Hasbi membuat Arfan dan Cahya sama-sama saling menatap bingung."Heh. Arfan nggak salah dengar, Kak?" sela Arfan.Hasbi melirik sekilas pada adiknya dan kembali menatap Cahya inten."Sa-ya nggak apa, tenang aja, Pak. Saya dan mantan suami sudah berpisah lama dan baik-baik. Jika ada wanita yang merasa kebakaran jenggot dengan pertemuan kami kembali, itu hak mereka. Saya sudah move on," sarkas Cahya."Syukurlah. Fan, lain kali liat dulu jadwal meeting perusahaan kita. Dengan siapa kita akan bekerjasama, jangan membuat Cahya kelabakan," ujar Hasbi pada Arfan."Saya nggak apa, Pak. Seriusan," sela Cahya yang merasa tak enak dengan Arfan karena tatapan mata Hasbi yang mengintimidasi adiknya itu."Kakak ini gimana? Tahu
55Hanya saja"Apa isi suratnya, Bi?" tanya Ratri saat dia sudah kembali dari mengantar Irma keluar rumah sakit."Nggak penting dan nggak akan merubah apapun dan hati siapapun!" tegas Hasbi. Ia meletakkan kertas surat di bawah bantalnya tadi saat Ratri pergi dan akan mengeceknya sendiri, kebenaran surat itu. Ia paham Irma siapa. Saudara tiri yang mengaku saudara kembar itu, memang kerap membuat Isma merasa berdosa. Faktanya, antara ibu Isma dan ibu dari Irma pernah mengalami perselisihan rumah tangga yang Hasbi sendiri tak ingin tahu lebih jauhnya."Mana Mama lihat!" Ratri menadahkan tangan dan meminta dengan nada memaksa. Namun, Hasbi kekeh dengan keputusannya untuk tidak memberikan surat itu pada sang ibu. Hasbi tak ingin ibunya berdalih, jika surat itu harus terlaksana dan pernikahan dengan Irma harus ia lakukan. Ia tak akan bisa dan selamanya tidak akan pernah menikahinya. Baginya, menikah hanya dengan wanita yang dia cintai dan Irma sama sekali bukan wanita terbaik untuknya.Dari
56Baby bluesHardian merasa risau. Sejak Shirya selalu membuatnya kesal karena selalu mengaitkan dirinya dengan masa lalunya dengan Cahya, dia selalu saja dibuat dalam kondisi dilema. Sekuat hati ia melupakan Cahya agar bisa move on dan tidak menyesali keputusannya, seakan kini Shirya sengaja membuatnya tersudut. Rasa cemburu Shirya benar-benar menyulitkannya. Ia tidak bisa sekalipun melakukan aktivitas tanpa izinnya. Berusaha untuk keluar dari zona tak nyaman itu, tetap saja Hardian selalu saja bisa diancam oleh Shirya. Kelemahan Hardian adalah Ibunya dan Shirya selalu menggunakan ibunya sebagai alasan untuk mengekangnya.Sore ini, ia sengaja pulang ke rumah tanpa sepengetahuan Shirya. Ia ingin melihat kondisi anak dan istrinya. Dua bulan yang lalu Silvia melahirkan dan dia sama sekali tidak diperbolehkan pulang, meski hanya satu jam saja. Hardian ingin mengadzankan anaknya saat mendengar kabar kelahirannya saat itu. Namun, Shirya kekeh tidak memperbolehkannya. Hingga akhirnya sore
57KabarKita akan bahagia di sana, tanpa ayah, Sayang. Kita akan bisa hidup berdua saja di surga, itu akan lebih baik."Silvia mengangkat tubuh anaknya ke atas langit dan melemparnya ke atas ranjangnya dengan keras. Silvia berteriak keras, mengacak dan memberantakan semua yang ada di sampingnya. Jerit Harsi mendadak yang tadi menggema, mendadak sunyi. Cahya yang tadi hendak mampir untuk mengantar loundry Silvia, masuk begitu mendengar teriakan Silvia."Silvia!!" teriak Cahya yang melihat Silvia sedang memukuli anaknya dengan bantal guling kecil di tangannya."Hentikan, Silvia. Istighfar!!" Cahya merebut bantal yang ada di tangan Silvia dan mendorongnya menjauh dari Harsi. Cahya mengambil Harsi yang sudah lemas tak bersuara dan Silvia terduduk sambil menutup kedua mukanya dengan telapak tangannya. Tangis Silvia mulai mereda, saat Cahya mencoba menasehatinya."Istighfar, Sil. Ya Allah, anakmu kamu apakan? Maaf, aku harus membawa anakmu pergi ke rumah sakit. Dia nggak bergerak," ucap
58semoga Saja"Kenapa bisa?" tanya Arfan saat baru sampai dan diberi tahu kabar duka kematian anak Hardian."Baby blues kayaknya. Ini aku gimana, Fan? Aku takut disalahkan karena pulang dalam keadaan tak bernyawa seperti ini," ucap Cahya panik."Bawa hasil visum?""Ada.""Berikan itu saja sebagai bukti nanti. Ada saksi?""Ada Mentari di sana.""Baiklah. Kita kabari dia untuk mengabarkan kematian anaknya Silvia. Kita hadapi sama-sama," ucap Arfan menyentuh bahu Cahya untuk menenangkan kepanikan yang Cahya rasakan.Cahya dan Arfan akhirnya pulang membawa jenazah Harsi menggunakan ambulance. Silvia benar-benar frustasi, hingga saat Mentari mengabarkan berita kematian Harsi dia hanya berteriak sambil memukul dirinya berulang-ulang."Aduh, ini gimana, ya? Mana Silvia frustasi gini. Bisa-bisa dia mati konyol oleh perilakunya sendiri," batin Mentari panik saat mengabari Cahya bahwa Silvia kembali berteriak histeris."Tari, kabari mertua Silvia untuk datang. Jenazah sudah keluar dari rumah s
Marta yang terus saja mengoceh, tetapi tak digubris Cahya. Silvia keluar dari kamar dengan dibantu olehnya. Saat di kamar, Cahya mencoba menjelaskan. Silvia mau menemani dan mengantar anaknya ke liang lahat. Meski Marta mengumpat keduanya."Kalian semua, penghancur hidup anak saya. Dia tidak pulang pasti karena kalian tidak bisa membuat nyaman anak saya!" Silvia hampir saja bangkit, tetaplah Cahya mencegahnya."Sudah! Tidak usah diambil hati. Ibu sedang emosi. Kamu jangan marah, ini akan membuatmu kesulitan," lirih Cahya.Jenazah Harsi diadzani. Silvia tiba-tiba berteriak dan melengking keras, memanggil nama Hardian. "Mas! Tolong jangan pergi! Anak kita butuh kamu, Mas!" teriak Silvia lagi. Hampir semua kaget, termasuk Marta dan Cahya."Istighfar, Silvia. Ikhlaskan anak dan suamimu. Sudah, jangan begini." Cahya terus memeluk Silvia, merangkulnya dan membawanya dalam dekapan."Jangan bawa anak saya!" teriak Silvia saat jenazah akan dibawa ke pemakaman.Namun, proses pemakaman harus s
59Mengingatkan"Kami ingin bertemu Tuan Hardian. Apa beliau ada di kantor?" tanya Arfan saat mereka sudah sampai di perusahaan milik Shirya."Maaf, apa sudah ada janji temu sebelumnya?" tanya resepsionis kantor."Bilang saja, Cahya sudah menunggu di bawah. Silahkan temui atau dia akan menyesal!" seru Cahya.Karyawan tersebut mengangguk dan menelpon ke ruangan Hardian. Baru saja dia selesai rapat dan baru saja dia duduk di kursinya dan mendapati telpon di mejanya berdering."Selamat siang, Pak Hardian. Ada Bu Cahya di bawa, Bapak katanya diminta turun. Apa Bapak kenal dan membuat janji temu dengan beliau?" tanya resepsionis."Cahya?" Hardian sedikit kaget dengan berita itu. Sosok Cahya ke kantornya? Namun, ini di kantor. Bisa saja Shirya memergokinya dan berkata banyak hal yang bisa menyakiti Cahya."Baik. Saya akan ke bawah. Tolong, minta dia tunggu sebentar," titah Hardian.Hardian akan mengajak Cahya berbicara di luar. Ia tak ingin mengambil resiko menerima tamu di luar pekerjaanny
"Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Luka yang paling menyakitkan dalam berumah tangga adalah kurangnya kasih sayang dan perselingkuhan pasangan. Jika Mas bisa berpikir dengan akal, seharusnya Mas tidak melakukan hal yang sama seperti dulu saat bersamaku. Aku dan Silvia berbeda. Kami memiliki cara yang berbeda dalam penyelesaian masalah rumah tangga itu. Daripada Mas menyesal, perbaiki yang ada dan jangan lagi membuat masalah baru. Apa untungnya berselingkuh dengan wanita yang lebih berumur seperti Shirya? Toh Silvia sekarang sudah berubah baik."Kata-kata Cahya memang terdengar menasehati. Namun sayangnya, meninggalkan Shirya bukanlah perkara yang mudah. Ia harus rela miskin jika meninggalkan Shirya dan yang pastinya ia akan sulit mendapatkan pekerjaan karena akses pekerjaan dirinya pasti akan dibuat buruk oleh Shirya."Sayangnya tidak semudah itu meninggalkan Shirya. Dia istriku kini dan semua kekayaan yang aku dapatkan ada darinya. Silvia sendiri yang menuntutku untuk memberinya