56Baby bluesHardian merasa risau. Sejak Shirya selalu membuatnya kesal karena selalu mengaitkan dirinya dengan masa lalunya dengan Cahya, dia selalu saja dibuat dalam kondisi dilema. Sekuat hati ia melupakan Cahya agar bisa move on dan tidak menyesali keputusannya, seakan kini Shirya sengaja membuatnya tersudut. Rasa cemburu Shirya benar-benar menyulitkannya. Ia tidak bisa sekalipun melakukan aktivitas tanpa izinnya. Berusaha untuk keluar dari zona tak nyaman itu, tetap saja Hardian selalu saja bisa diancam oleh Shirya. Kelemahan Hardian adalah Ibunya dan Shirya selalu menggunakan ibunya sebagai alasan untuk mengekangnya.Sore ini, ia sengaja pulang ke rumah tanpa sepengetahuan Shirya. Ia ingin melihat kondisi anak dan istrinya. Dua bulan yang lalu Silvia melahirkan dan dia sama sekali tidak diperbolehkan pulang, meski hanya satu jam saja. Hardian ingin mengadzankan anaknya saat mendengar kabar kelahirannya saat itu. Namun, Shirya kekeh tidak memperbolehkannya. Hingga akhirnya sore
57KabarKita akan bahagia di sana, tanpa ayah, Sayang. Kita akan bisa hidup berdua saja di surga, itu akan lebih baik."Silvia mengangkat tubuh anaknya ke atas langit dan melemparnya ke atas ranjangnya dengan keras. Silvia berteriak keras, mengacak dan memberantakan semua yang ada di sampingnya. Jerit Harsi mendadak yang tadi menggema, mendadak sunyi. Cahya yang tadi hendak mampir untuk mengantar loundry Silvia, masuk begitu mendengar teriakan Silvia."Silvia!!" teriak Cahya yang melihat Silvia sedang memukuli anaknya dengan bantal guling kecil di tangannya."Hentikan, Silvia. Istighfar!!" Cahya merebut bantal yang ada di tangan Silvia dan mendorongnya menjauh dari Harsi. Cahya mengambil Harsi yang sudah lemas tak bersuara dan Silvia terduduk sambil menutup kedua mukanya dengan telapak tangannya. Tangis Silvia mulai mereda, saat Cahya mencoba menasehatinya."Istighfar, Sil. Ya Allah, anakmu kamu apakan? Maaf, aku harus membawa anakmu pergi ke rumah sakit. Dia nggak bergerak," ucap
58semoga Saja"Kenapa bisa?" tanya Arfan saat baru sampai dan diberi tahu kabar duka kematian anak Hardian."Baby blues kayaknya. Ini aku gimana, Fan? Aku takut disalahkan karena pulang dalam keadaan tak bernyawa seperti ini," ucap Cahya panik."Bawa hasil visum?""Ada.""Berikan itu saja sebagai bukti nanti. Ada saksi?""Ada Mentari di sana.""Baiklah. Kita kabari dia untuk mengabarkan kematian anaknya Silvia. Kita hadapi sama-sama," ucap Arfan menyentuh bahu Cahya untuk menenangkan kepanikan yang Cahya rasakan.Cahya dan Arfan akhirnya pulang membawa jenazah Harsi menggunakan ambulance. Silvia benar-benar frustasi, hingga saat Mentari mengabarkan berita kematian Harsi dia hanya berteriak sambil memukul dirinya berulang-ulang."Aduh, ini gimana, ya? Mana Silvia frustasi gini. Bisa-bisa dia mati konyol oleh perilakunya sendiri," batin Mentari panik saat mengabari Cahya bahwa Silvia kembali berteriak histeris."Tari, kabari mertua Silvia untuk datang. Jenazah sudah keluar dari rumah s
Marta yang terus saja mengoceh, tetapi tak digubris Cahya. Silvia keluar dari kamar dengan dibantu olehnya. Saat di kamar, Cahya mencoba menjelaskan. Silvia mau menemani dan mengantar anaknya ke liang lahat. Meski Marta mengumpat keduanya."Kalian semua, penghancur hidup anak saya. Dia tidak pulang pasti karena kalian tidak bisa membuat nyaman anak saya!" Silvia hampir saja bangkit, tetaplah Cahya mencegahnya."Sudah! Tidak usah diambil hati. Ibu sedang emosi. Kamu jangan marah, ini akan membuatmu kesulitan," lirih Cahya.Jenazah Harsi diadzani. Silvia tiba-tiba berteriak dan melengking keras, memanggil nama Hardian. "Mas! Tolong jangan pergi! Anak kita butuh kamu, Mas!" teriak Silvia lagi. Hampir semua kaget, termasuk Marta dan Cahya."Istighfar, Silvia. Ikhlaskan anak dan suamimu. Sudah, jangan begini." Cahya terus memeluk Silvia, merangkulnya dan membawanya dalam dekapan."Jangan bawa anak saya!" teriak Silvia saat jenazah akan dibawa ke pemakaman.Namun, proses pemakaman harus s
59Mengingatkan"Kami ingin bertemu Tuan Hardian. Apa beliau ada di kantor?" tanya Arfan saat mereka sudah sampai di perusahaan milik Shirya."Maaf, apa sudah ada janji temu sebelumnya?" tanya resepsionis kantor."Bilang saja, Cahya sudah menunggu di bawah. Silahkan temui atau dia akan menyesal!" seru Cahya.Karyawan tersebut mengangguk dan menelpon ke ruangan Hardian. Baru saja dia selesai rapat dan baru saja dia duduk di kursinya dan mendapati telpon di mejanya berdering."Selamat siang, Pak Hardian. Ada Bu Cahya di bawa, Bapak katanya diminta turun. Apa Bapak kenal dan membuat janji temu dengan beliau?" tanya resepsionis."Cahya?" Hardian sedikit kaget dengan berita itu. Sosok Cahya ke kantornya? Namun, ini di kantor. Bisa saja Shirya memergokinya dan berkata banyak hal yang bisa menyakiti Cahya."Baik. Saya akan ke bawah. Tolong, minta dia tunggu sebentar," titah Hardian.Hardian akan mengajak Cahya berbicara di luar. Ia tak ingin mengambil resiko menerima tamu di luar pekerjaanny
"Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Luka yang paling menyakitkan dalam berumah tangga adalah kurangnya kasih sayang dan perselingkuhan pasangan. Jika Mas bisa berpikir dengan akal, seharusnya Mas tidak melakukan hal yang sama seperti dulu saat bersamaku. Aku dan Silvia berbeda. Kami memiliki cara yang berbeda dalam penyelesaian masalah rumah tangga itu. Daripada Mas menyesal, perbaiki yang ada dan jangan lagi membuat masalah baru. Apa untungnya berselingkuh dengan wanita yang lebih berumur seperti Shirya? Toh Silvia sekarang sudah berubah baik."Kata-kata Cahya memang terdengar menasehati. Namun sayangnya, meninggalkan Shirya bukanlah perkara yang mudah. Ia harus rela miskin jika meninggalkan Shirya dan yang pastinya ia akan sulit mendapatkan pekerjaan karena akses pekerjaan dirinya pasti akan dibuat buruk oleh Shirya."Sayangnya tidak semudah itu meninggalkan Shirya. Dia istriku kini dan semua kekayaan yang aku dapatkan ada darinya. Silvia sendiri yang menuntutku untuk memberinya
60Ikhlas"Siapa yang meninggal, Pak?" tanya Cahya."Tadi belum sempat meninggal. Tapi barusan, pihak rumah sakit menelpon jika saudari atas nama Martakali meninggal di saat penanganan. Pasien satunya kritis dan sedang ditindaklanjuti pihak dokter ahli rumah sakit. Senjata tajam yang dikalungkan pada lehernya, membuatnya kehilangan banyak darah dan sepertinya ini akan semakin lama kasus penyelesaiannya," ucap petugas kepolisian.Hardian shock. Bagaimana mungkin ibunya meninggal? Ia pasti salah dengar. Ia mengira ini adalah mimpi dan ia tak bisa lagi berkata-kata dan berpikir."Di mana Ibu saya?! Di mana!!" teriak Hardian.Seperti bukan hanya shock. Namun, ia jua terpukul mendengar kabar ini. Gegas ia berlari keluar halaman rumah dan hendak pergi. "Kita tenangkan Hardian dan bantu dia untuk bisa menerima semuanya," lirih Arfan.Dia mengambil alih kemudi dan menyusul Hardian yang sudah berlari ke jalanan. "Mas, jangan begini. Lebih baik kita sekarang ke rumah sakit dan melihat keadaan
Tak ada balasan lagi. Cahya yakin, Shirya akan datang."Aku sudah menghubungi Shirya. Kamu mencintainya, bukan? Lanjutkan hidupmu dengan baik dan ikhlas terima semua ini. Cahya akan pamit, jaga diri Mas baik-baik," pamit Cahya membuat Hardian berbalik dan memeluk Cahya sambil terisak."Maafkan Mas, Cahya. Karena Mas selama ini sudah menyakiti hatimu dan semua yang terjadi saat ini adalah semua kesalahan Mas padamu. Maafkan Mas, Cahya."Cahya melepas pelukan Hardian dengan pelan, agar keduanya bisa saling memaafkan. Arfan yang melihat kejadian itu merasa cemburu. Namun, melihat situasi sekarang sepertinya ini bukan yang terbaik untuk membuat keributan."Semua orang pasti pernah berbuat salah dan Mas belum terlambat untuk menyadarinya. Namun, jangan karena hal ini lalu Mas berpikir untuk kembali kepada masa lalu karena hal itu tidak akan pernah sama.""Tapi Mas tidak mencintai Shirya, sungguh. Bahkan, setelah ini Mas tak tahu bagaimana nasib kehidupan Mas tanpa Ibu.""Bisa. Mas bisa ta