60Ikhlas"Siapa yang meninggal, Pak?" tanya Cahya."Tadi belum sempat meninggal. Tapi barusan, pihak rumah sakit menelpon jika saudari atas nama Martakali meninggal di saat penanganan. Pasien satunya kritis dan sedang ditindaklanjuti pihak dokter ahli rumah sakit. Senjata tajam yang dikalungkan pada lehernya, membuatnya kehilangan banyak darah dan sepertinya ini akan semakin lama kasus penyelesaiannya," ucap petugas kepolisian.Hardian shock. Bagaimana mungkin ibunya meninggal? Ia pasti salah dengar. Ia mengira ini adalah mimpi dan ia tak bisa lagi berkata-kata dan berpikir."Di mana Ibu saya?! Di mana!!" teriak Hardian.Seperti bukan hanya shock. Namun, ia jua terpukul mendengar kabar ini. Gegas ia berlari keluar halaman rumah dan hendak pergi. "Kita tenangkan Hardian dan bantu dia untuk bisa menerima semuanya," lirih Arfan.Dia mengambil alih kemudi dan menyusul Hardian yang sudah berlari ke jalanan. "Mas, jangan begini. Lebih baik kita sekarang ke rumah sakit dan melihat keadaan
Tak ada balasan lagi. Cahya yakin, Shirya akan datang."Aku sudah menghubungi Shirya. Kamu mencintainya, bukan? Lanjutkan hidupmu dengan baik dan ikhlas terima semua ini. Cahya akan pamit, jaga diri Mas baik-baik," pamit Cahya membuat Hardian berbalik dan memeluk Cahya sambil terisak."Maafkan Mas, Cahya. Karena Mas selama ini sudah menyakiti hatimu dan semua yang terjadi saat ini adalah semua kesalahan Mas padamu. Maafkan Mas, Cahya."Cahya melepas pelukan Hardian dengan pelan, agar keduanya bisa saling memaafkan. Arfan yang melihat kejadian itu merasa cemburu. Namun, melihat situasi sekarang sepertinya ini bukan yang terbaik untuk membuat keributan."Semua orang pasti pernah berbuat salah dan Mas belum terlambat untuk menyadarinya. Namun, jangan karena hal ini lalu Mas berpikir untuk kembali kepada masa lalu karena hal itu tidak akan pernah sama.""Tapi Mas tidak mencintai Shirya, sungguh. Bahkan, setelah ini Mas tak tahu bagaimana nasib kehidupan Mas tanpa Ibu.""Bisa. Mas bisa ta
60Jodoh Tak akan Kemana"Ini kan berkas untuk untuk PT … ah, ya. Lebih baik tidak usah ditandatangani. Bikin rusuh!" sarkas Arfan saat melihat berkas dari perusahaan milik Shirya.Setelah 5 bulan menggeluti bisnis bersama, Hasbi, Arfan dan Cahya akhirnya bisa membuat perusahaan mereka maju pesat. Bukan hanya sektor pembuatan bahan pangan yang digeluti, tetapi juga bisnis kuliner, jasa dan juga ekspor impor barang baku pangan yang akhirnya membuat perusahaan Shirya kalah telak. Cahya mampu bekerja tanpa hambatan, meski Arfan dan Hasbi seperti ada rasa kepadanya. Dia mampu bekerja konsisten dengan prinsip yang dipegangnya, tanpa goyah dan yakin akan tujuannya untuk meningkatkan hasil dan sumber pendapatan keluarga Hasbi."Sepertinya ini sudah terlalu lama, Ya," ucap Arfan setelah memeriksa berkas yang hendak ia tanda tangani."Apanya yang lama? Kita lagi bahas berkas, bukan yang lain lagi," decak Cahya. "Eh, jadi Irma daftar di perusahaan ini?" tanya Cahya mengalihkan pembicaraan yan
"Sudah. Saya sudah memikirkan matang-matang semua ini. Sampai saya tidak bisa tidur karenanya. Makanya, saya harap kamu bisa membantu saya sekarang. Saya janji, saya akan memberikan apapun yang kamu minta jika kamu berkenan membantu saya. Termasuk, menikahimu secara sah. Saya akan melakukan dengan senang hati, karena saya rasa kamu adalah wanita yang tepat untuk putriku," ucap Hasbi.Cahya memandang Hasbi serius. Semudah itu dia mengatakan hal yang cukup rumit. Menikah? Ah, jika alasannya menikah untuk menutupi ketidaksukaan dirinya terhadap perjodohannya dengan Irma, kenapa harus dengannya? Ini bukan tawaran yang bagus dan Cahya pasti akan jadi pihak yang disalahkan atas hal ini."Maaf, saya tidak bisa. Menikah bagi saya adalah hal sakral. Saya tidak akan memainkan pernikahan seperti keinginan Bapak. Cari saja wanita yang lain, yang mau Bapak bayar untuk menjadi istri bohongan dan pengasuh Bapak. Saya pikir, Bapak ini orang bijak. Sayangnya, permohonan semacam ini hanya untuk lelaki
62PernyataanCahya kembali ke rumahnya setelah seharian lelah dari kantor dan berkutat di layar monitor. Jabatannya yang kini hampir setara dengan Arfan, membuat Cahya juga sudah seperti punya kantor tersendiri di sana."Assalamualaikum," salam Cahya."Waalaikumsalam."Lila membukakan pintu untuk sang Kakak yang baru pulang bekerja."Loh, kamu di sini, La? Datang sama siapa?" tanya Cahya."Sama Mas Gilang.""Ibu mana?""Di dalam."Cahya memberikan bingkisan di tangannya pada Lila yang berisi bakso yang dia beli dari pedagang langganannya."Nggak tahu kamu di rumah, jadi cuma beli bakso dua bungkus. Ya udah gih, kamu makan sono! Ajak Ibu sekalian," titah Cahya sebelum masuk kamarnya.Cahya melepas jaket kerjanya dan melepas hijab serta kaos kaki yang dikenakan. Ia sungguh sangat lelah hari ini dan ingin segera mandi untuk beristirahat dan melepas penat. Namun, ia justru merebahkan diri terlebih dahulu dan terlelap dengan sendirinya karena kelelahan seharian bekerja."Mbak, ada tamu,"
Cahya turun dari mobil dan dia mengikuti langkah Hasbi di belakang. Antara takut dan khawatir, jika nantinya ia akan mendengar umpatan yang tidak lazim dan patut ia dengar."Bersikap apa adanya sesuai dengan karaktermu. Papa pandai menilai seseorang," lirih Hasbi."Assalamualaikum," salam Cahya membuat Antonio dan Ratri menengok.Antonio Regard Alamsyah, adalah pemilik perusahaan textile yang memiliki riwayat hubungan rumah tangga yang pelik. Kehidupan poligami yang ia jalani selama bertahun-tahun, membuat Ratri harus mengalah dan akhirnya menjadi wanita yang tampak berbeda jika suaminya kembali. Kembalinya Antonio kini, berbeda dari alasan kembalinya ia dengan yang sebelumnya. Antonio kembali, karena perusahaannya sedang mengalami penurunan. Bahkan ia mengalami sakit dan tidak bisa dibiarkan tanpa ditangani dengan baik. Ratri bahagia dengan kembalinya Antonio ke rumah. Sehingga hidupnya merasa lengkap, meski kadang ada rasa khawatir jika suaminya akan kembali ke istri nya yang lain s
63Tak Perlu Repot"Tunggu!" cegah Antonio.Langkah Cahya tertahan. Ia sebenarnya sudah ingin segera pergi dari tempat itu, tetapi mengingat kondisi Antonio yang hanya bisa berdiam diri di kursi roda timbul rasa iba di hatinya. Setidaknya ia ingin menghormati Antonio sebagai orang tua dari temannya. Bagaimanapun kedatangannya ke sini bukan untuk mencari masalah, melainkan untuk menyelesaikan masalah. Ia tidak ingin terus disalahkan dan dianggap perempuan murahan yang gampangan sebab mendekati dua lelaki yang masih dalam ikatan kakak adik. “Cahya, kita perlu bicara. Duduklah, Nak.”Demi apa Antonio dengan bicaraya yang lembut menyuruh Cahya duduk kembali, sementara masih di tempat yang sama Ratri menatap dengan sorot kebencian yang pekat. Sebelum menjawab Cahya sempat melihat sekilas pada Hasbi, wajah lelaki itu juga nampak tegang. Namun, ia diam berusaha tenang dan berharap Arfan segera sampai di rumah.“Maaf, Pak Antonio. Saya rasa sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan. Saya da
Tidak bisa di elak kalimat yang barusaja meluncur dari mulut Antonio langsung membuat bara amarah berkobar di dalam dada Ratri. Sementara yang diminta memilih seketika terpaku, mencerna maksud ucapan Antonio dirasanya cukup rumit. Tidak jauh berbeda dengan Hasbi, ia pun cukup shyok dengan permintaan sang ayah. “Apa-apaan ini, Pa? Permintaan macam apa ini? Kamu anggap aku ini apa? Tanpa meminta pertimbangan, tiba-tiba ingin menjadikan dia istri untuk anak-anak kita? Aku tidak terima, Pa!” Ratri yang berapi-api akhirnya menyemburkan banyak pertanyaan bentuk protes kepada sang suami. “Ma, jangan egois. Di mana salahnya kalau Cahya menjadi istri salah satu anak kita? Dia perempuan baik-baik.”“Papa yang egois! Di depan Papa dia terlihat baik, tapi apa Papa tahu dibalik semua kebaikan yang nampak ada kebusukan—““Mama!” potong Antonio keras. “Ngomong apa kamu? Jangan sembarangan menghakimi seseorang.”Suasana terus memanas, adu mulut antara Antonio dan Ratri tidak bisa dielakkan. Masing-