Cahya benar-benar berada di posisi yang sulit saat ini. Lebih parahnya lagi air mata yang harusnya cukup tahu diri untuk tetap bertahan di tempatnya malah terus menggenang dan menghalangi pandangannya. Sekali saja Cahya berkedip sudah tentu bulir bening itu akan jatuh melewati pipinya.Bagaimana pun cara Cahya menyembunyikan kesedihan, Arfan dapat dengan mudah menemukannya. Hanya lewat tatapan mata yang saling beradu beberapa detik saja, ia bisa menyimpulkan Cahya sedang tidak baik-baik saja. Ada apa? Tanyanya dalam hati.“Maaf aku baru sampai, Kak. Tadi sedikit macet.” Hasbi mengangguk, tanda mengerti.“Cahya, ada apa?” Arfan akhirnya memberanikan diri bertanya pada perempuan yang baru saja menitikkan air mata dan secepatnya ia menyeka, sebelum Arfan dan Hasbi melihat. “Aa Arfan bisa bertanya pada Pak Hasbi.” Arfan mengerutkan kening, tidak biasanya Cahya bicara demikian. Apa yang terjadi sebelum ia sampai?“Kak—““Saya permisi.” Merasa sudahh tidak ada kepentingannya berada di ruma
Satu Bulan sudah sejak kejadian tidak mengenakkan malam itu. Sejak itu pula Cahya tidak pernah melihat Hasbi ataupun Arfan. Kini setelah mengundurkan diri dari pekerjaan, ia lebih fokus pada usahanya sendiri. Setiap hari, dari pagi hingga menjelang sore ia sibuk di tempat londry. Walaupun belum terlalu besar dan terkenal, tetapi penghasilan dari usaha londry milik Cahya tidak bisa dibilang kecil. Dengan pelayanan yang baik membuat banyak orang yang ingin menggunakan jasa londry Cahya berdatangan. Biarpun dia bekerja tanpa seragam yang rapi dan di tempat yang bagus, tetapi kini hatinya sangat damai dirasa. Sibuk dengan pekerjaan membantu Cahya dengan mudah melupakan kisah asmara dengan Hasbi dan Arfan, pun untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lain ia belum ada niat. Biarlah semua mengalir sebagaimana mestinya, bukankah rejeki, jodoh dan maut sudah ditentukan oleh Allah dan tidak mungkin tertukar. Untuk menghindar dari Arfan dan Hasbi, ia sengaja mengganti nomor telepon juga memb
Sudah beberapa hari ini Antonio melihat sesuatu yang berbeda pada diri si bungsu, Arfan. Pemuda itu jadi jarang bicara banyak dan beberapa kali kedapatan tengah melamun oleh Antonio. Sebenarnya perubahan Arfan tidak lain dan tidak bukan sebab kepergian Cahya. Tidak ada lagi sosok perempuan itu yang ia temui setiap hari, separuh semangat hidup Arfan seperti ikut lenyap. Hari-harinya terasa sepi dan malam-malamnya hanya dihabiskan seorang diri di balkon, berteman bayangan wajah Cahya. Seperti malam itu, Antonio kembali memergoki Arfan yang sedang melamun seorang diri. Sebagai seorang lelaki, Antonio paham apa yang tengah sang anak rasakan. Ia juga tahu kalau di antara Arfan dan Hasbi, si bungsulah yang sudah jatuh cinta pada Cahya. Namun, ia tidak bisa terang-terangan meminta Cahya menjadi istri Arfan sebab Hasbi juga memiliki rasa yang sama pada gadis itu. Ia tidak ingin dianggap ayah yang otoriter dan berat sebelah. Anak-anak sudah dewasa, ia bertekad untuk melepas keduanya agar bi
Siang ini pekerjaan di londry sangat banyak. Beberapa hari belakangan cuaca memang sedang tidak bersahabat, mendung dan hujan tiba-tiba saja turun diluar prediksi. Situasi demikian membawa rejeki tersendiri untuk usaha Cahya. Banyak orang yang memilih menggunakan jasa londry untuk membersihkan pakaian. Lebih praktis, sebab kebanyakan mereka hanya memiliki mesin cuci rumahan walaupun pakaian yang sudah di keringkan masih perlu waktu untuk diangin-anginkan agar kering. Sedangkan Cahya, ia memiliki mesin cuci yang lebih canggih. Pakaian yang dimasukkan dalam keadaan kotor akan di keluarkan dalam keadaan bersih dan kering. Selanjutnya hanya perlu di setrika dan di lipat rapi."Tari, perasaan hari ini gak enak banget ya?" tanya Cahya yang sedang membantu Mentari melabeli beberapa pesanan laundry para pelanggan."Tanya perasaan aku? Aku mah, setiap hari perasaannya juga nggak enak. Soalnya nggak punya Ayang," jawab Mentari asal."Aku lagi tanya perasaanku. Bukan kamu, Ce Eunah.""Lah, diki
Kedatangan Hasbi semata bertujuan untuk memberitahukan keadaan Arfan kepada Cahya. Setelah sesaat memberi waktu untuk putrinya bercengkerama dengan Cahya, ia pamit pulang. Sebelum pergi sekali lagi Hasbi meminta untuk Cahya sudi meluangkan waktu menjenguk Arfan. Setelah kepergian Hasbi kini Cahya duduk seorang diri di depan kios. Otaknya berfikir keras, ia bingung harus datang ke rumah sakit atau tidak? Selema ini ia sengaja menghindar dari keluarga Hasbi sebab tidak ingin dianggap biang masalah, usahanya pergi dan melupakan kedua pria itu berhasil dan pernyataan cinta Arfan yang diwakili oleh Hasbi barusan malah membuatnya bingung.Benarkah Arfan menyimpan rasa itu? Benarkah ia sakit sebab cintanya padaku tidak mendapat restu? Benarkah seorang Arfan jatuh cinta pada Cahya? Tanya Cahya dalam hati pada dirinya sendiri. Kemudian bibirnya melengkung, tersenyum. Jangan ke-PD-an Cahya, bisa saja ini hanya sandiara dan pemanis bibir mereka. Ingat siapa kamu! Bercerminlah sebelum memimpikan
“Aku tahu kamu datang ke mari karena di suruh oleh Kak Hasbi, kan? Maafkan Aku karena malah membuatmu repot-repot menjenguk. Tapi, kalau boleh jujur aku memang sangat mengharapkan kedatanganmu, Ya.”“Untuk apa?” tanya Cahya cepat.“Untuk mengungkapkan perasaan aku ini. Aku mencintai kamu, Ya. Cinta sejak pertama memandang kamu.”Pengakuan Arfan sontak membuat Cahya mendongakkan kepala, menatap dengan kening mengernyit. Apa-apaan ini? Batinnya. Meski ia sering mendengar Arfan mengatakan hal ini, namun ia merasa berbeda dengan saat Arfan mengatakannya sekarang. Ia menyusuri lewat tatapan mata, berharap menemukan kebohongan. Namun, ia tidak berhasil menemukan itu, semua yang ia lihat adalah nyata. Mata sayu Arfan memancarkan sesuatu yang sangat kuat. “Cahya mungkin bagimu aku terlalu pengecut sebagai lelaki, hingga untuk menyatakan cinta pun harus menunggu kamu yang datang. Tapi, yang perlu kamu ketahui. Cinta Aa benar-benar tulus, aku tidak ingin menyesal dan mati sebelum mengungkapkan
“Astagfirullah. Cahya kamu dari mana saja, Nak. Kenapa hujan-hujanan?” Gayatri yang sedari tadi cemas menunggu kepulangan sang anak sangat kaget saat akhirnya menyambut kedatangan Cahya. Anak perempuannya itu pulang dengan pakaian basah kuyup, ia tidak mendapati siapapun bersama Cahya. Sebab memang Cahya pulang seorang diri. “Masuk. Ibu sudah siapkan air hangat. Ya ampun, kenapa tidak menunggu hujan reda. Kalau begini kamu bisa masuk angin! Mandilah dulu, Ibu bikinkan susu jahe hangat.” Cahya tidak banyak bicara, ia menuruti perintah Gayatri. Cahya segera membersihkan diri, air hangat yang digunakan mandi lumayan membuat dirinya merasa lebih rileks. Setelah mandi dan berganti pakaian, Gayatri menyusul anaknya ke kamar. Secangkir susu cahe hangat ia hidangkan untuk sang anak. “Di minum susu jahenya, mumpung masih hangat.”Cahya menerima minuman hangat itu dan menyeruputnya sedikit. Aroma jahe yang lembut dan sensai hangat meluncur melewati tenggorokannya, berakhir di dalam perut.
“Yang bikin Cahya bingung, Cahya sama sekali enggak punya perasaan apa-apa sama dia, Bu. Tadi sudah Cahya tolak, tapi….” Mengalirlah cerita yang tadi terjadi di rumah sakit. Gayatri mendengarkan dan sesekali mengangguk, lain kali ia menggeleng ketika merasa tindakan Arfan nekat. “Gimana ya, Bu? Cahya enggak mau menjadi zhalim karena hanya Arfan saja yang mencintai Cahya. Dan Cahya juga masih terauma dengan masa lalu, belum lagi mamanya Arfan yang tidak mau merestui hubungan anaknya dengan Cahya. Jujur Cahya pun enggan menjadi bagian dari keluarga itu, tetapi mulut ini sudah terlanjur menjawab iya.” Sulit. Ya, itu yang pertama kali muncul di kepala Gayatri ketika dimintai pendapat. Hubungan dengan cinta sebelah pihak saja sudah berat, harus di tambah dengan restu yang kemungkinan berat akan terhalang ini benar-benar pelik. Gayatri membenarkan posisi duduknya. Kemudian ia menatap wajah anak perempuannya lembut. Gayatri tersenyum kemudian mulai berbicara.“Nak, pernikahan itu bukan un