Shrya dan Hardian turun dari mobil. Silvia kaget melihat Hardian yang pulang bersama seorang wanita."Assalamualaikum," salam Hardian sambil tersenyum."Waalaikumsalam. Mas? Dia siapa?" tanya Silvia kaget."Perkenalkan, saya Shrya."Shrya mengulurkan tangannya namun Silvia acuh dan menatap suaminya tajam. Shrya kembali menarik tangannya dan menahan kesal dengan sikap diam dan tatapan tajam pada Hardian juga membuat Hardian bingung menghadapi dua wanitanya itu."Silvia, dia karyawan yang diminta kantor mewakili sidak rumah. Yok, masuk dulu. Kita berbicara di dalam," ajak Hardian.Silvia yang masih bingung memilih ikut masuk dan duduk di sofa. Bukannya membuatkan minum, ia justru menatap sengit pada Shrya. "Mas, jangan bercanda deh. Ini gak lucu!" seru Sivia."Kok melucu? Mas kan sudah bilang, Mas sibuk dan ada pekerjaan yang tidak bisa Mas tinggalkan. Shrya ini, perwakilan dari kantor yang bos sengaja kirimkan datang ke sini. Ayolah," bujuk Hardian. "Bikin minum, Sil," titah Hardian.
40One on One"Jangan tidur di kamar istrimu, ya? Aku tak berani tidur di kamar ini sendiri," lirih Shirya pada Hardian yang baru saja mengantarnya ke kamar. Meski ada Silvia yang tidak jauh dari sana, ia berusaha membuat Hardian tidak tunduk pada istrinya. Baginya, Hardian adalah miliknya dan tidak dapat diganggu oleh siapapun.Hardian hanya mengangguk pelan agar tidak terlihat oleh Silvia dan pergi meninggalkan kamar Shirya."Mas, kok kamu nggak bilang kalau yang mau dikirim bosmu itu wanita? Aku nggak suka," adu Silvia saat Hardian sudah sampai di kamar mereka."Nggak apa. Lagian, hanya sebuah formalitas saja. Siapa tahu setelah ini, Mas naik jabatan. Baik-baikin aja dia, dia karyawan kesayangan bos besar.""Tapi, Mas … aku nggak suka ada dia. Awas aja kalau sampai kamu kegoda sama dia. Ingat baby kita, Mas, kalau mau berbuat aneh-aneh.""Iya, sayang. Mas mau mandi, kamu siapin air hangat gih.""Mau Silvia bantuin mandi?" Dahi Hardian berkerut, namun sejurus kemudian dia paham den
Shirya tersenyum dalam hati melihat Silvia dibentak oleh Hardian. Ini lebih menantang dan seru untuk dilanjutkan karena ia merasa dibela oleh Hardian dan mendapatkan bangku kekuasaan di depan Silvia."Mas! Dia ini nggak sopan sekali. Kamu seharusnya marahin dia dan bentak dia, bukan aku!""Silvia, Mas sudah bilang kalau Bu Shirya ini tamu. Kamu harus layani dia dengan baik," terang Hardian berharap Silvia mengerti akan posisinya kali ini. Ia takut Shirya emosi dan berakibat pada pekerjaannya selama ini."Sudah, kalian lanjutkan saja drama rumah tangganya. Saya mau menginap di hotel saja. Nginap di sini nggak bikin betah, yang ada bikin ketularan gila!" ejek Shirya beranjak dan kali ini Silvia membuat perlawanan dengan menarik rambut Shirya."Kamu hanya karyawan bos! Lancang ya, bersikap seperti itu? Saya curiga kamu ini germo bos dan juga suami saya. Saya tahu tatapan genit Anda pada Mas Hardian, kamu ini wanita murahan."Shirya meringis saat rambutnya ditarik dan membuat terlepas be
41Mamah"Ya, enggak ngampus lagi?" tanya Mentari."Ngapain ke kampus?" Cahya yang sedang sibuk mempacking laundry, hanya menyahuti tanpa menengok."Siapa tahu sibuk ngampus lagi kayak kemarin-kemarin.""Nggak lah. Semuanya hanya aktivitas sesaat. Profesi utamaku, tukang laundry.""Laundry juga kalau sudah jadi bos macam kamu gini, lumayan. Ibu jadi kamu boyong ke sini?""Untuk saat ini belum. Masih nunggu rumah yang di Kencana Residance selesai renovasi. Satu minggu lagi mungkin selesai, tapi aku dulu yang menempati. Ibuku masih betah di rumahnya.""Keren Lah kamu. Tujuh bulan lebih, sudah bisa beli rumah. Aku kapan?" Mentari berbicara setengah berharap jika dirinya bisa mengikuti jejak sahabatnya itu."Bismillah, nanti pasti bisa. Rumah itu nggak terlalu besar, Tari. Type 36 kan bisa terjangkau, kalau kamu mau bisa ambil yang cicilan syariah."Cahya memang sudah merencanakan membeli rumah jauh-jauh hari, Uang hasil laundry yang sejak menikah dengan Hardian ia sisihkan dan tabung, ak
Cahya kaget karena Naura dapat mengenalinya meski dia memakai cadar dan gamis syar'i. "Naura, ini Bu Guru. Salim, Nak," titah Bibi–babysitternya."Bukan, Bi. Ini Mamah. Mamah, ini Naura. Mamah lupa?"Cahya mengusap pipi Naura dan memeluknya erat. Meski ia tidak mau menipu gadis kecil di depannya itu, tetapi ia juga tidak ingin ketahuan oleh Ratri jika bekerja di sini."Naura rindu Mamahnya ya?" tanya Cahya sengaja pura-pura tak mengenal Naura."Iya. Nau rindu. Mamah nggak pulang?""Ehm … ini sudah jam masuk kelas. Naura ikut Ibu Guru, ya?" Cahya ingin membuat babysitter Naura tidak curiga dan melapor pada Ratri. Sehingga ia meminta Naura agar ikut dia ke kelas. Naura mengangguk dan Cahya menggandengnya."Kami masuk dulu, Bu. Silahkan orang tua atau wali yang menunggu, di luar saja ya. Jadwal kelas sudah dimulai dan akan selesai dua jam kemudian. Terimakasih," sapa Cahya pada semua orangtua yang ikut mengantar anak-anaknya. Sekolah Bimbel Internasional ini terdiri dari banyak kelas d
42KacauCahya melakukan aktivitasnya sehari-hari dengan perasaan yang mulai tenang. Dia juga tidak melakukan hal yang mencurigakan bahkan sekarang semuanya semakin membaik. Dia sudah tinggal di Kencana Residen dan juga menetap seorang diri."Bu, hari ini Cahya berangkat awal. Ibu jadi pulang ke Bogor?" tanya Cahya."Jadi. Gilang bilang, dia mau cek rumah kita dan katanya ada yang mau beli.""Yakin, Bu, dijual?" tanya Cahya memastikan."Yakin, lah. Lagian, Lila dan Gilang sudah selesai sekolah. Lila bisa kuliah di Jakarta saja. Gilang sudah dapat kerja di Mangga Dua, jadi biar nggak bolak-balik kan, lebih baik dijual. Apa kita mau beli rumah yang lebih besar?" tanya Gayatri."Untuk sementara, ini dulu. Tunggu nanti semua menikah, bisa Ibu belikan rumah satu-satu pada Gilang dan Lila. Bekal nikah dan masa depan masih banyak, Ibu harus punya aset.""Lah, kalau beli rumah sekarang juga aset, Cahya. Gimana sih," pungkas Gayatri."Makanya jangan dijual rumah yang di Bogor. Nanti aja, nungg
"Tidak ada keluarga lain yang bisa membantu mengelola bisnisnya?" Pertanyaan Cahya membuat Babysitter Naura mengerutkan keningnya. "Maksud saya, apa ayah Naura ini tidak memilki asisten kerja? Naura sangat antusias jika menceritakan tokohnya yang bekerja sebagai chef. Jadi, agak aneh kedengarannya dari Chef, ke pengusaha kantoran.""Kalau hal itu, saya kurang tahu. Opahnya Naura sudah lama tidak pulang. Jadi, saya juga tidak paham dengan apa yang terjadi di dalam keluarga bos saya.""Oh, Maaf. Boleh saya menjenguk Papahnya Naura?" tanya Cahya hati-hati."Tentu saja. Dengan senang hati. Terima kasih banyak sudah mau menjenguk Tuan Hasbi dan berkunjung ke rumah sakit.""Boleh saya minta alamat rumah sakitnya? Nanti selepas mengajar barulah saya akan ke sana. Nggak apa, kan?""Oh, tentu. Seluangnya Buguru saja.""Bareng sama Naura saja, Bu Guru. Kita kan searah. Naura juga pengen jenguk Papa," sela Naura."Naura, Sayang. Buguru masih ada jam ngajar, besok aja Naura ke rumah sakitnya ya?
43"Saya mau ke depan dulu. Suami saya tadi nggak sempat masuk, jadi mau ambil barang titipan ke depan. Nitip anak saya, ya, Bu Guru," pamit Ratri."Oh, iya, Bu."Ratri keluar dari kamar inap Hasbi dan kini Cahya merasa lebih lega karena bisa berbincang santai dengan Hasbi dan Naura."Bi, tolong ajak Naura ke depan sebentar. Saya mau bicara empat mata dengan Bu Gurunya Naura," titah Hasbi."Baik, Pak."Babysitter Naura keluar dari kamar membawa Naura. Kini hanya Hasbi dan Cahya yang sedang dilanda gelisah dan takut."Ya, apa kabar?" tanya Hasbi.Cahya terpaku. Bagaimana Hasbi bisa tahu kalau dia adalah Cahya."Alhamdulillah. Bapak bisa mengenali saya?" "Tentu. Suara kamu, perhatian kamu, juga tertawamu, saya hafal semua. Kenapa pergi tidak memberi kabar? Apa saya membuat kesalahan hingga kamu pergi begitu saja tanpa berbicara apapun pada saya?"Cahya tercekat. Dia tidak mungkin mengatakan jika semua ini adalah permintaan Ratri--ibunya."Maaf."Beberapa detik terdiam, helaan napas be