Hardian kembali dengan mata setelah mengecek kontrakan. Mereka berdua kembali dengan wajah yang ceria dan penuh kebahagiaan sedangkan Selvia dipenuhi dengan wajah lelah karena harus membersihkan rumah dan juga halaman tempat tinggal Marta."Kok lama, Mas?" protes Silvia."Emang kita main? Kita ini kerja cek kontrakan, bukan kerja main-main. Jadi harus benar-benar teliti dan tepat dalam memperhatikan kontrakan yang hendak dibuat biar gak salah. Emangnya kenapa kalau lama? Lagian kamu aja di rumah tidak kepanasan, protes lagi," omel Marta."Ya nggak gitu, Bu, tapi ....""Sudah. Jangan protes. Buatkan kita es jus ya," perintah Hardian yang lagi-lagi membuat Silvia kesal.Silvia kegas ke belakang untuk membuat kaktus untuk mertua dan juga suaminya. "Awas ya kalian. Akan aku balas!" umpat Silvia dalam batinnya. Ia sengaja memasukkan garam dalam minumannya lalu menyajikannya ke depan seolah-olah ia tidak sengaja."Nih, Mas."Hardian dan Marta menyeruput minuman jus yang apa Silvi buat. Spo
30Lewati Saja"Kenapa harus mendebat Ibu? Mas gak suka kamu dikit-dikit marah ke Ibu. Ibu itu sudah sepuh. Kita yang muda memang sudah seharusnya mengalah dan tidak menanggapi setiap ucapannya. Kalau beliau ngomong, cukup dengerin. Nggak usah ditanggapi," omel Hardian saat sedang dalam perjalanan pulang."Tapi Ibu kalau ngomong suka tajem banget, Mas. Ibu itu suka nyindir-nyindir aku. Salah kalau aku membela diri?" timpal Silvia yang merasa tidak terima dinasehati oleh suaminya."Nah, nih. Mas ngomong aja, kamu nyahut. Dengerin, resapi, terapkan! Apa susahnya nurut!" ucap Hardian yang masih berbicara datar. Akhirnya, buih bening menetes dengan sendirinya. Silvia memang wanita binal. Tetapi untuk hal seperti ini, hati kecilnya masih tersentuh dan peka. Sejahat apapun dirinya, jika dibentak atau dimarahi secara halus pastilah akan membuat jiwa wanitanya bersedih. Hardian melihat Silvia yang menyapu air matanya. Ia hanya lelah. Lelah bekerja setiap hari, menemani janda tua yang Setiap
31Hanya Kedok"Kamu kenapa?" tanya Ilona lembut."Nggak apa. Aku mau pesan wine aja. Kepalaku berat," kilah Silvia yang masing enggan memberikan jawaban atas pertanyaan Ilona."Nggak! Kamu ini sedang ada masalah berat. Nggak baik kalau minum. Bisa hancur ini tempat kamu obrak Abrik. Kamu cerita aja sama aku. Aku akan cerita ke siapa-siapa. Kita ini bersahabatan sudah lama dan pasti kamu tahu kan, kalau aku ini dekat dan care sama kamu?""Aku nggak papa kok. Kamu santai aja, ini hanya sedikit masalah dan tidak terlalu buruk. Kita cek sound yuk di dalam," ajak Silvia.Ilona tidak menyerah. Ia masih penasaran dengan apa yang sedang terjadi pada Silvia. Ia hanya akan menjadi dekat jika dia sedang menginginkan sesuatu. Kedekatannya hanya kedok yang ia sengaja lakukan demi bisa menjatuhkan pesona Silvia.Tanpa mengindahkan ucapan Ilona, Silvia tetap meminum wine yang sudah ia pesan sampai tandas dan hampir 14 sloki ia habiskan. Silvia mabuk berat dan dia mulai meracau."Brengsek, kamu Mas
"Kamu lagi ngapain di situ, Sil?" Tiba-tiba Silvia dikagetkan dengan kedatangan mertuanya di sampingnya."Bu. Udahan? Silvia cari ibu."Silvia yang masih tengak tengok mengamati Cahya dari kejauhan, merasa salah tingkah dengan adanya mertuanya yang justru bertemu di sini."Belum, lah. Ini, kamu bawa belanjaan.""Oh, iya."Sebenarnya Silvia malas, namun karena dia kepo dengan Cahya, maka ia harus mau membawakan barang belanjaan. Ternyata Marta berjalan ke pangkalan sayuran yang digunakan belanja Cahya. Hal itu membuat Silvia merasa senang, karena tidak perlu repot-repot menguping pembicaraan dan juga mencari tahu apa yang sedang Cahya lakukan di pasar ini. "Eh, ada si nyonya. Lagi ngapain di pasar, Nyah? UPS, lupa. Udah bukan nyonya lagi ternyata. Lupa aku kalau ternyata si nyonya udah ganti profesi jadi si bibi."Sindiran Silvia yang amat keras, membuat Marta akhirnya mengetahui keberadaan Cahya yang juga ada di stand dagang di sebelahnya.Cahya diam saja. Berpura-pura tidak mendeng
Keduanya keluar dari pasar setelah membeli aneka sayur dan bumbu dapur. Marta juga membeli bahan makanan lain agar sekalian dibuat stok satu minggunya.Martha melihat Cahya yang sedang menunggu seseorang di depan sebuah toko yang tutup bersama dengan wanita kuno di sebelahnya. Setelah semua belanjaan masuk ke dalam mobil taksi yang dipesan, Marta dan Silvia yang tadinya hendak menghampiri Cahya untuk memberikan pelajaran justru melihat Cahya yang sedang dijemput oleh lelaki tampan dan rapi, dengan senyum yang menawan.Sempat kaget namun Martha dan Silvia tidak urung untuk mendekati Cahya dan ingin membuatnya malu."Kan kan, Bu. Ternyata Cahya ini kerjaannya sebagai wanita simpanan bos bos kaya. Hahaha, pantes aja gayaknya sok-sokan belanja jutaan. Kerjaannya haram begitu," sindir Silvia.Arfan mengerutkan keningnya bingung melihat Silvia dan juga Marta yang tiba-tiba datang dan berbicara asal kepada Cahya."Anda siapa?" tanya Arfan tak suka."Pak Arfan, udah nggak usah diladenin. Mere
"Kamu kenal orang tadi, Ya?" tanya Arfan yang penasaran dengan dua wanita yang ditemuinya di pasar dan membuat keributan dengan Cahya."Gak terlalu dan gak penting. Nggak usah dibahas, A," ucap Cahya."Sepertinya ada dendam tersendiri antara kamu dan mereka. Kenapa?""Bukan aku, tapi mereka. Kalau aku mah, santai. Semua orang tidak ada yang aku anggap musuh. Kalau mereka membenci aku, itu tandanya hati mereka yang bermasalah."Bibi yang menemani Cahya hanya menyimak. Di umurnya yang tidak lagi muda, mendengarkan masalah seperti itu sepertinya sudah sangat tidak menarik."Jadi kepo sama mereka. Kek nggak suka banget sama kamu."Cahya hanya tersenyum simpul dan tidak menjawab. Dia enggan mengorek luka lama dan enggan pula membicarakan hal itu pada sembarang orang.Mereka udah sampai di rumah Hasbi. Cahya tadi dimintai untuk berbelanja oleh Ratri untuk keperluan dapur. Karena Cahya memang pandai dan tahu di mana mendapat langganan sayur yang segar dan bagus. "Sudah, Bu."Cahya melapor
Ke mana ya? Ke taman," jawab Naura antusias."Ke taman? Baiklah. Tanya sama Papa, boleh atau tidak Kita pergi ke taman berdua," ucap Cahya."Oke."Naura turun dari pangkuan Cahya dan mendekat ke arah Hasbi yang pura-pura sibuk dengan file di depannya."Pa, Nau ke taman boleh? Please, Naura hanya sebentar saja kok. Janji nggak lama-lama. Ya?" rengek Naura."Taman samping kantor saja ya? Nanti kalau Papa sudah selesai Papa nyusul," jawab Hasbi."Ye ... ayo, Ma. Papa bolehin Kita pergi berdua. Nanti main ayunan di sana ya, Ma.""Siap!"Cahya langsung beranjak dan membawa Naura tanpa meminta izin ulang kepada Hasbi, membuat Hasbi rasa jik Cahya sedang tidak baik-baik saja.***Cahya kini berada di taman sekitar kantor. Ia dan Naura bermain dan tak sengaja menangkap netra, melihat Hardian yang sedang berdiri di depan mobilnya. Cahya yakin, mobil Hardian sedang mengalami masalah. Namun, ia enggan bertanya dan memang sudah enggan berurusan dengan Hardian."Sial! Mana ini udah siang lagi. Bis
"Papa," teriak Naura saat melihat Hasbi datang ke rumah sakit. Hasbi langsung menggendong Naura dan membawanya mendekat ke arah Cahya."Kamu bikin aku panik. Kenapa bisa sampai pingsan?" tanya Hasbi datar."Hanya pingsan, bukan mati, Pak," jawab Cahya singkat. Jujur, ia tak suka jika kondisi hati sedang buruk, tapi ia dimaki-maki. Lebih tepatnya, diinterogasi yang dia sendiri tidak suka mendengarnya."Saya hanya tanya. Lain kali, jaga kesehatan. Jika kamu saja tidak bisa menjaga kesehatanmu sendiri, bagaimana kamu bisa menjaga anak saya, hm?" "Bapak tenang saja. Bahkan aku sudah rela mati untuk menjaga anak Bapak ini. Jadi, ketakutan Bapak akan kesehatan saya ini tidak ada landasan karena sejatinya saya akan tetap baik-baik saja meskipun dalam keadaan sakit," ucap Cahya.Hasbi merasa jika wanita di depannya ini sedang marah kepadanya. Namun, ia memang mempunyai sikap gengsi yang cukup besar dan enggan untuk mengakui kesalahannya."Pah, kata Om baik tadi Mama butuh istirahat. Jadi,