29Jangan Protes"Assalamualaikum, Bu," salam Hardian. Mereka sudah sampai di rumah Marta. Rumah itu nampak sepi karena memang hanya Marta yang tinggal di sana."Waalaikumsalam. Loh, anak Lanang sudah sampai toh. Kangennya Ibu sama kamu, Yan. Dua bulan nggak pulang, rasanya Ibu kangen berat."Marta memeluk anaknya dan mencium keningnya, memperlakukan Hardian layaknya bocah. Silvia yang melihat perilaku lebay sang mertua, hanya melirik sengit."Kamu nggak mau salim sama Ibu, Sil?" sindir Marta.Silvia langsung mengulurkan tangannya dan mencium tangan Marta meskipun hatinya enggan untuk melakukannya. "Nah, gitu. Itu namanya mantu yang baik. Sudah makan, Yan?" tanya Marta sambil menggandeng tangan Hardian masuk ke dalam rumah."Belum, Bu. sengaja Hardian ajak Silvia untuk sarapan bersama di rumah Ibu. Ibu masak apa?" tanya Hardian."Semur ayam kesukaanmu, Yan. Ibu juga masak sambal terasi. Pokoknya, semua Ibu masak sengaja untuk menyambut kepulanganmu ke rumah Ibu. Ibu yakin Silvia tida
Hardian kembali dengan mata setelah mengecek kontrakan. Mereka berdua kembali dengan wajah yang ceria dan penuh kebahagiaan sedangkan Selvia dipenuhi dengan wajah lelah karena harus membersihkan rumah dan juga halaman tempat tinggal Marta."Kok lama, Mas?" protes Silvia."Emang kita main? Kita ini kerja cek kontrakan, bukan kerja main-main. Jadi harus benar-benar teliti dan tepat dalam memperhatikan kontrakan yang hendak dibuat biar gak salah. Emangnya kenapa kalau lama? Lagian kamu aja di rumah tidak kepanasan, protes lagi," omel Marta."Ya nggak gitu, Bu, tapi ....""Sudah. Jangan protes. Buatkan kita es jus ya," perintah Hardian yang lagi-lagi membuat Silvia kesal.Silvia kegas ke belakang untuk membuat kaktus untuk mertua dan juga suaminya. "Awas ya kalian. Akan aku balas!" umpat Silvia dalam batinnya. Ia sengaja memasukkan garam dalam minumannya lalu menyajikannya ke depan seolah-olah ia tidak sengaja."Nih, Mas."Hardian dan Marta menyeruput minuman jus yang apa Silvi buat. Spo
30Lewati Saja"Kenapa harus mendebat Ibu? Mas gak suka kamu dikit-dikit marah ke Ibu. Ibu itu sudah sepuh. Kita yang muda memang sudah seharusnya mengalah dan tidak menanggapi setiap ucapannya. Kalau beliau ngomong, cukup dengerin. Nggak usah ditanggapi," omel Hardian saat sedang dalam perjalanan pulang."Tapi Ibu kalau ngomong suka tajem banget, Mas. Ibu itu suka nyindir-nyindir aku. Salah kalau aku membela diri?" timpal Silvia yang merasa tidak terima dinasehati oleh suaminya."Nah, nih. Mas ngomong aja, kamu nyahut. Dengerin, resapi, terapkan! Apa susahnya nurut!" ucap Hardian yang masih berbicara datar. Akhirnya, buih bening menetes dengan sendirinya. Silvia memang wanita binal. Tetapi untuk hal seperti ini, hati kecilnya masih tersentuh dan peka. Sejahat apapun dirinya, jika dibentak atau dimarahi secara halus pastilah akan membuat jiwa wanitanya bersedih. Hardian melihat Silvia yang menyapu air matanya. Ia hanya lelah. Lelah bekerja setiap hari, menemani janda tua yang Setiap
31Hanya Kedok"Kamu kenapa?" tanya Ilona lembut."Nggak apa. Aku mau pesan wine aja. Kepalaku berat," kilah Silvia yang masing enggan memberikan jawaban atas pertanyaan Ilona."Nggak! Kamu ini sedang ada masalah berat. Nggak baik kalau minum. Bisa hancur ini tempat kamu obrak Abrik. Kamu cerita aja sama aku. Aku akan cerita ke siapa-siapa. Kita ini bersahabatan sudah lama dan pasti kamu tahu kan, kalau aku ini dekat dan care sama kamu?""Aku nggak papa kok. Kamu santai aja, ini hanya sedikit masalah dan tidak terlalu buruk. Kita cek sound yuk di dalam," ajak Silvia.Ilona tidak menyerah. Ia masih penasaran dengan apa yang sedang terjadi pada Silvia. Ia hanya akan menjadi dekat jika dia sedang menginginkan sesuatu. Kedekatannya hanya kedok yang ia sengaja lakukan demi bisa menjatuhkan pesona Silvia.Tanpa mengindahkan ucapan Ilona, Silvia tetap meminum wine yang sudah ia pesan sampai tandas dan hampir 14 sloki ia habiskan. Silvia mabuk berat dan dia mulai meracau."Brengsek, kamu Mas
"Kamu lagi ngapain di situ, Sil?" Tiba-tiba Silvia dikagetkan dengan kedatangan mertuanya di sampingnya."Bu. Udahan? Silvia cari ibu."Silvia yang masih tengak tengok mengamati Cahya dari kejauhan, merasa salah tingkah dengan adanya mertuanya yang justru bertemu di sini."Belum, lah. Ini, kamu bawa belanjaan.""Oh, iya."Sebenarnya Silvia malas, namun karena dia kepo dengan Cahya, maka ia harus mau membawakan barang belanjaan. Ternyata Marta berjalan ke pangkalan sayuran yang digunakan belanja Cahya. Hal itu membuat Silvia merasa senang, karena tidak perlu repot-repot menguping pembicaraan dan juga mencari tahu apa yang sedang Cahya lakukan di pasar ini. "Eh, ada si nyonya. Lagi ngapain di pasar, Nyah? UPS, lupa. Udah bukan nyonya lagi ternyata. Lupa aku kalau ternyata si nyonya udah ganti profesi jadi si bibi."Sindiran Silvia yang amat keras, membuat Marta akhirnya mengetahui keberadaan Cahya yang juga ada di stand dagang di sebelahnya.Cahya diam saja. Berpura-pura tidak mendeng
Keduanya keluar dari pasar setelah membeli aneka sayur dan bumbu dapur. Marta juga membeli bahan makanan lain agar sekalian dibuat stok satu minggunya.Martha melihat Cahya yang sedang menunggu seseorang di depan sebuah toko yang tutup bersama dengan wanita kuno di sebelahnya. Setelah semua belanjaan masuk ke dalam mobil taksi yang dipesan, Marta dan Silvia yang tadinya hendak menghampiri Cahya untuk memberikan pelajaran justru melihat Cahya yang sedang dijemput oleh lelaki tampan dan rapi, dengan senyum yang menawan.Sempat kaget namun Martha dan Silvia tidak urung untuk mendekati Cahya dan ingin membuatnya malu."Kan kan, Bu. Ternyata Cahya ini kerjaannya sebagai wanita simpanan bos bos kaya. Hahaha, pantes aja gayaknya sok-sokan belanja jutaan. Kerjaannya haram begitu," sindir Silvia.Arfan mengerutkan keningnya bingung melihat Silvia dan juga Marta yang tiba-tiba datang dan berbicara asal kepada Cahya."Anda siapa?" tanya Arfan tak suka."Pak Arfan, udah nggak usah diladenin. Mere
"Kamu kenal orang tadi, Ya?" tanya Arfan yang penasaran dengan dua wanita yang ditemuinya di pasar dan membuat keributan dengan Cahya."Gak terlalu dan gak penting. Nggak usah dibahas, A," ucap Cahya."Sepertinya ada dendam tersendiri antara kamu dan mereka. Kenapa?""Bukan aku, tapi mereka. Kalau aku mah, santai. Semua orang tidak ada yang aku anggap musuh. Kalau mereka membenci aku, itu tandanya hati mereka yang bermasalah."Bibi yang menemani Cahya hanya menyimak. Di umurnya yang tidak lagi muda, mendengarkan masalah seperti itu sepertinya sudah sangat tidak menarik."Jadi kepo sama mereka. Kek nggak suka banget sama kamu."Cahya hanya tersenyum simpul dan tidak menjawab. Dia enggan mengorek luka lama dan enggan pula membicarakan hal itu pada sembarang orang.Mereka udah sampai di rumah Hasbi. Cahya tadi dimintai untuk berbelanja oleh Ratri untuk keperluan dapur. Karena Cahya memang pandai dan tahu di mana mendapat langganan sayur yang segar dan bagus. "Sudah, Bu."Cahya melapor
Ke mana ya? Ke taman," jawab Naura antusias."Ke taman? Baiklah. Tanya sama Papa, boleh atau tidak Kita pergi ke taman berdua," ucap Cahya."Oke."Naura turun dari pangkuan Cahya dan mendekat ke arah Hasbi yang pura-pura sibuk dengan file di depannya."Pa, Nau ke taman boleh? Please, Naura hanya sebentar saja kok. Janji nggak lama-lama. Ya?" rengek Naura."Taman samping kantor saja ya? Nanti kalau Papa sudah selesai Papa nyusul," jawab Hasbi."Ye ... ayo, Ma. Papa bolehin Kita pergi berdua. Nanti main ayunan di sana ya, Ma.""Siap!"Cahya langsung beranjak dan membawa Naura tanpa meminta izin ulang kepada Hasbi, membuat Hasbi rasa jik Cahya sedang tidak baik-baik saja.***Cahya kini berada di taman sekitar kantor. Ia dan Naura bermain dan tak sengaja menangkap netra, melihat Hardian yang sedang berdiri di depan mobilnya. Cahya yakin, mobil Hardian sedang mengalami masalah. Namun, ia enggan bertanya dan memang sudah enggan berurusan dengan Hardian."Sial! Mana ini udah siang lagi. Bis
Hardian turun dari pelaminan. Dia langsung keluar dari gedung pesta yang digunakan untuk acara resepsi Arfan dan Cahya. Dia langsung kembali setelah urusannya selesai karena memang dia tidak berniat untuk merusak pernikahan Cahya maupun Arfan. Meski Hardian merasakan rasa yang menyakitkan, tetapi Ini semua adalah hasil dari apa yang sudah ia berbuat di masa lalu saat bersama Cahya."Jangan cemburu, A. Cahya gak mengundangnya," bisik Cahya saat mereka masih menyalami beberapa tamu namun wajah Arfan terlihat berubah dingin."Aku tahu, tapi kedatangannya merusak moodku," ucap Arfan kesal.Hiburan yang membuat acara pesta bertambah begitu meriah, menandakan resepsi Arfan dan cahaya sukses dan membuat semua yang hadir ikut merasakan kebahagiaan pengantin baru itu. Kini, acara telah usai dan keluarga sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggallah Arfan dan Cahya, yang akhirnya memilih menginap di hotel tempat mereka melakukan resepsi."Langsung tidur aja, ya? Capek kan?" tanya Cahya senga
Di depan cermin besar Cahya tengah mematut diri. Wajah perempuan itu sudah selesai di rias, gaun dari bahan brukat terbaik melekat pas di tubuhnya yang ramping. Di bantu seorang asisten MUA ia memakai heels. “Masyallah, Mbak Cahya cantik sekali. Begini juga yang namanya bidadari kalah cantik, Mbak,” seloroh Tari yang ditugaskan menjemput calon pengantin. “Kamu jangan ngeledek. MUA dan semua yang aku pakai ini dari pemberian dari keluarga Arfan!”“Aku serius, kamu memang cantik banget. Suer!” Tari mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V. “Akhirnya kamu ketemu juga dengan laki-laki yang tulus mencintai kamu, Ya. Aku ikut seneng, selamat ya atas pernikahan kamu. Sekarang kamu udah sah jadi istrinya Arfan.” Tari dan Cahya berpelukan. Cahya merasa haru bercampur bahagia. “Makasih, Tari.”“Yuk keluar, kamu udah di tunggu banyak orang.”Hati-hati Tari membimbing Cahya keluar dari kamar hotel, membawanya ke aula yang di sana sudah hadir seluruh keluarga kedua mempela
"Ya. Papa orang hebat, kamu juga anak hebat. Demi kalian, Mama rela. Mama ikhlas, menerima Cahya sebagai menantu. Kamu harus segera sembuh, karena setelah keluar dari rumah sakit nanti kita akan menambah Cahya untukmu bersama-sama."Arfan sangat bahagia. Ternyata perjuangannya tidak sia-sia. Dia sampai ikut menitikan air matanya. "Makasih, Ma, Pa."**Tiga hari kemudian Arfan sudah sembuh dan boleh pulang dari rumah sakit. Malm harinya keluarga Arfan termasuk papa, mama dan Hasbi sendiri datang ke rumah orang tua Cahya untuk meminang. Kalau takdir cinta sudah tertulis untuk bersatu, seperti apapun halangannya tetap akan bersatu juga. Begitu juga dengan restu dari mamanya Arfan, setelah dibujuk oleh Antonio akhirnya istrinya itu bersedia memberi restu. "Ya, Aa rindu. Aa datang," batin Arfan dalam perjalanan menuju rumah Cahya."Om ganteng banget," celetuk Naura."Iya doang. Naura bentar lagi punya Tante baru.""Tante baru?""Iya. Om mau nikah sama Tante Cahya. Naura seneng nggak?""Y
Akhir Perjuangan"Ma, kamu tidak kasihan lihat anak kita? Kamu sedih karena Arfan hendak menikahi janda? Apa yang kamu takutkan hingga kamu tak merestui pernikahan Arfan dan Cahya?" berondong Antonio saat dirinya sedang berusaha membujuk istrinya itu. Sengaja ia membawa istrinya ke rumah sakit untuk melihat wajah pucat dan badan yang mulai menyusut itu."Wanita bukan hanya Cahya, Pa! Kenapa sih, Papa nggak ngerti?" sahut Ratri tak suka dengan pertanyaan suaminya."Lalu, wanita mana yang pantas mendampingi anak kita, jika ditinggalkan Cahya saja dia sudah sakit begini? Papa tahu, Mama masih menyimpan dendam lama karena Papa menikah lagi. Tapi Papa janji, jika Mama merestui Arfan, maka Papa tidak akan kembali pada istri Papa yang tak setia itu. Papa sadar, Mama yang terbaik. Mama wanita hebat yang layak untuk disebut istri setia. Maaf kalau selama ini Papa menyakiti hati Mama. Jujur, Papa menyesal. Papa merasa ini karma dan hadirnya Cahya yang menjadi seseorang yang penting di hati anak
“Yang bikin Cahya bingung, Cahya sama sekali enggak punya perasaan apa-apa sama dia, Bu. Tadi sudah Cahya tolak, tapi….” Mengalirlah cerita yang tadi terjadi di rumah sakit. Gayatri mendengarkan dan sesekali mengangguk, lain kali ia menggeleng ketika merasa tindakan Arfan nekat. “Gimana ya, Bu? Cahya enggak mau menjadi zhalim karena hanya Arfan saja yang mencintai Cahya. Dan Cahya juga masih terauma dengan masa lalu, belum lagi mamanya Arfan yang tidak mau merestui hubungan anaknya dengan Cahya. Jujur Cahya pun enggan menjadi bagian dari keluarga itu, tetapi mulut ini sudah terlanjur menjawab iya.” Sulit. Ya, itu yang pertama kali muncul di kepala Gayatri ketika dimintai pendapat. Hubungan dengan cinta sebelah pihak saja sudah berat, harus di tambah dengan restu yang kemungkinan berat akan terhalang ini benar-benar pelik. Gayatri membenarkan posisi duduknya. Kemudian ia menatap wajah anak perempuannya lembut. Gayatri tersenyum kemudian mulai berbicara.“Nak, pernikahan itu bukan un
“Astagfirullah. Cahya kamu dari mana saja, Nak. Kenapa hujan-hujanan?” Gayatri yang sedari tadi cemas menunggu kepulangan sang anak sangat kaget saat akhirnya menyambut kedatangan Cahya. Anak perempuannya itu pulang dengan pakaian basah kuyup, ia tidak mendapati siapapun bersama Cahya. Sebab memang Cahya pulang seorang diri. “Masuk. Ibu sudah siapkan air hangat. Ya ampun, kenapa tidak menunggu hujan reda. Kalau begini kamu bisa masuk angin! Mandilah dulu, Ibu bikinkan susu jahe hangat.” Cahya tidak banyak bicara, ia menuruti perintah Gayatri. Cahya segera membersihkan diri, air hangat yang digunakan mandi lumayan membuat dirinya merasa lebih rileks. Setelah mandi dan berganti pakaian, Gayatri menyusul anaknya ke kamar. Secangkir susu cahe hangat ia hidangkan untuk sang anak. “Di minum susu jahenya, mumpung masih hangat.”Cahya menerima minuman hangat itu dan menyeruputnya sedikit. Aroma jahe yang lembut dan sensai hangat meluncur melewati tenggorokannya, berakhir di dalam perut.
“Aku tahu kamu datang ke mari karena di suruh oleh Kak Hasbi, kan? Maafkan Aku karena malah membuatmu repot-repot menjenguk. Tapi, kalau boleh jujur aku memang sangat mengharapkan kedatanganmu, Ya.”“Untuk apa?” tanya Cahya cepat.“Untuk mengungkapkan perasaan aku ini. Aku mencintai kamu, Ya. Cinta sejak pertama memandang kamu.”Pengakuan Arfan sontak membuat Cahya mendongakkan kepala, menatap dengan kening mengernyit. Apa-apaan ini? Batinnya. Meski ia sering mendengar Arfan mengatakan hal ini, namun ia merasa berbeda dengan saat Arfan mengatakannya sekarang. Ia menyusuri lewat tatapan mata, berharap menemukan kebohongan. Namun, ia tidak berhasil menemukan itu, semua yang ia lihat adalah nyata. Mata sayu Arfan memancarkan sesuatu yang sangat kuat. “Cahya mungkin bagimu aku terlalu pengecut sebagai lelaki, hingga untuk menyatakan cinta pun harus menunggu kamu yang datang. Tapi, yang perlu kamu ketahui. Cinta Aa benar-benar tulus, aku tidak ingin menyesal dan mati sebelum mengungkapkan
Kedatangan Hasbi semata bertujuan untuk memberitahukan keadaan Arfan kepada Cahya. Setelah sesaat memberi waktu untuk putrinya bercengkerama dengan Cahya, ia pamit pulang. Sebelum pergi sekali lagi Hasbi meminta untuk Cahya sudi meluangkan waktu menjenguk Arfan. Setelah kepergian Hasbi kini Cahya duduk seorang diri di depan kios. Otaknya berfikir keras, ia bingung harus datang ke rumah sakit atau tidak? Selema ini ia sengaja menghindar dari keluarga Hasbi sebab tidak ingin dianggap biang masalah, usahanya pergi dan melupakan kedua pria itu berhasil dan pernyataan cinta Arfan yang diwakili oleh Hasbi barusan malah membuatnya bingung.Benarkah Arfan menyimpan rasa itu? Benarkah ia sakit sebab cintanya padaku tidak mendapat restu? Benarkah seorang Arfan jatuh cinta pada Cahya? Tanya Cahya dalam hati pada dirinya sendiri. Kemudian bibirnya melengkung, tersenyum. Jangan ke-PD-an Cahya, bisa saja ini hanya sandiara dan pemanis bibir mereka. Ingat siapa kamu! Bercerminlah sebelum memimpikan
Siang ini pekerjaan di londry sangat banyak. Beberapa hari belakangan cuaca memang sedang tidak bersahabat, mendung dan hujan tiba-tiba saja turun diluar prediksi. Situasi demikian membawa rejeki tersendiri untuk usaha Cahya. Banyak orang yang memilih menggunakan jasa londry untuk membersihkan pakaian. Lebih praktis, sebab kebanyakan mereka hanya memiliki mesin cuci rumahan walaupun pakaian yang sudah di keringkan masih perlu waktu untuk diangin-anginkan agar kering. Sedangkan Cahya, ia memiliki mesin cuci yang lebih canggih. Pakaian yang dimasukkan dalam keadaan kotor akan di keluarkan dalam keadaan bersih dan kering. Selanjutnya hanya perlu di setrika dan di lipat rapi."Tari, perasaan hari ini gak enak banget ya?" tanya Cahya yang sedang membantu Mentari melabeli beberapa pesanan laundry para pelanggan."Tanya perasaan aku? Aku mah, setiap hari perasaannya juga nggak enak. Soalnya nggak punya Ayang," jawab Mentari asal."Aku lagi tanya perasaanku. Bukan kamu, Ce Eunah.""Lah, diki