Tibalah waktunya ulang tahun Ahmad. Rani masih dandan cantik, dia tidak mau datang dengan penampilan biasa saja. Hasan sudah mengirim alamat resto tempat acara. Namun, Bimo belum juga datang. Rani tampak kesal, apalagi jika Bimo tidak jadi ikut. "Ah kenapa Mas Bimo tidak kunjung datang? Apa istrinya sekarat?" tanya Rani gelisah. Terdengar deru mobil Bimo, Rani segera menyambut kedatangan suaminya itu. Dia tidak mau terlihat cemberut. "Wah kamu sudah siap, sayang?" tanya Bimo. "Oh ya kamu sudah beli kado?" tanya Bimo. "Belum, mas. Rencananya nanti sekalian berangkat," jawab Rani. "Ayo kita berangkat!" ajak Bimo. Rani menggandeng lengan Bimo. Mereka mampir membelikan kado untuk Ahmad. Rani tentu tidak membeli kado yang murahan. Dia membeli kado yang mahal agar tidak dipandang rendah. Setelah itu mereka menuju resto, Rani beberapa kali dandan. Bimo tahu jika istrinya itu tidak mau terlihat miskin di depan keluarga Hasan. "Mas, aku sudah cant
Hani masih bergeming, kekasih Hani sudah mengajaknya pergi namun dia.tidak kunjung beranjak dari tempatnya. "Han, ayo pergi!" ajak Ferdi. "Kita tidak diharapkan di sini," kata Ferdi. "Mas, beri saya waktu sekali ini saja untuk berbicara dengan kamu," ucap Hani. "Aku ke sini tidak ingin membuat keributan. Ini ada kado untuk Ahmad," kata Hani. Hasan dengan malas menerima kado Hani. Dia kira Hani sudah melupakan dia dan Ahmad dan pergi jauh. Tetapi kini dia malah datang di saat yang tidak tepat. "Selain itu, aku juga mau meminta maaf sama kamu dan keluarga kamu. Aku sudah buat kalian malu," ucap Hani. "Aku tidak perlu permintaan maafmu. Aku rasa sudah cukup kamu menyakitiku Hani. Lebih baik kamu sekarang pergi, dan bawa kekasih kamu itu," bentak Hasan. "Aku tidak akan mengingat kamu lagi, aku yakin akan dapat wanita yang lebih baik dari dirimu," ujar Hasan. "Dan tentunya yang menerima pria miskin seperti aku," lanjut Hasan. "Maafkan aku, Mas. Aku tulu
Dua bulan Kemudian Jaka tengah mempersiapkan lamaran untuk Yunita. Bos yang saat ini menjadi kekasihnya. Berbagi persiapan sudah selesai. Jaka tidak banyak membawa barang, karena Yunita memintanya tidak usah membawa apapun. Namun, dia tetap membawa makanan dan cincin tunangan mereka. Ponsel Jaka berdering, panggilan dari Yunita. Jaka segera mengangkatnya, sekiranya ada hal penting yang ingin Yunita sampaikan. "Halo, Yun. Ada apa?" tanya Jaka. "Mas, maaf ya. Adikku nggak bisa hadir, dia ada acara penting di luar kota," jawab Yunita. "Emang acaranya nggak bisa ditunda?" tanya Jaka. "Nggak bisa, Mas," jawab Yunita. "Ya sudah nggak apa-apa," kata Jaka. "Tapi Mas tenang saja, keluarga Mama udah pada datang," ucap Yunita. Dia takut jika Jaka kecewa karena tidak ada yang hadir di acara tunangan mereka. "Iya, semoga mereka setuju," ucap Jaka. Setelah itu Jaka bersiap untuk datang ke rumah Yunita. Yanti, Lukman dan Rosi sudah siap dengan barang yang mer
"Iya, memang kenapa? Oh ya ku tahu dari siapa? Pasti Rudi," tebak Jaka santai. "Oh jadi benar, ternyata dulu kita tinggal di kota yang sama. Kenapa kita nggak kenal dari dulu," ucap Yunita. "Dulu kita masih remaja, ya kita pasti belum dipertemukan. Lagian jodoh itu nggak ada yang tahu kalau ternyata kita lahir di kota yang sama," ucap Jaka. Yunita dan Jaka makan bersama. Sebenarnya Yunita ingin tanya soal adiknya tetapi dia takut Jaka marah. Akhirnya dia memilih menyelidikinya sendiri.** Hasan sudah mulai melupakan Hani, dia fokus pada Ahmad dan pekerjaannya. Jika dia dipertemukan dengan jodohnya, dia harap wanita yang baik-baik. "Pa, Mama Rani punya suami baru. Kapan Papa punya istri baru?" tanya Ahmad. "Belum ketemu yang cocok, sayang. Lagian menikah itu nggak mudah. Dia harus sayang juga sama Ahmad," jawab Hasan. "Ahmad ingin seperti yang lain, Pa. Punya keluarga yang lengkap. Apalagi Mama Rani sudah nggak mau datang lagi." Ahmad berkeluh
"Jangan-jangan apa?" tanya Hasan. "Apa Hani meninggal?" tanya Istri Leo. Hasan lalu mengajak istri Leo ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit apa yang Hasan khawatirkan terjadi. Hani sudah tiada, dia hanya bisa melihat jenazah Hani untuk yang terakhir kalinya. Hasan tidak menyangka Hani akan pergi secepat itu. Ferdi dan keluarga Hani telah membawa jenazah Hani pulang. Hasan juga mengikuti hingga acara pengalaman.** Hasan akhirnya bisa move on dari kesedihannya ditinggal Hani. Dia tidak mudah melupakan Hani. Namun, dia juga harus melanjutkan hidupnya. Dia tidak ingin larut dalam kesedihan. Hasan mulai membuka hatinya untuk orang lain. Dia ingin mempunyai hidup yang lebih baik. Sementara itu hubungan Rani dan Bimo cukup baik setelah meninggalkannya istri Bimo. Namun, Bimo belum mau meresmikan pernikahan mereka secara hukum. "Mas, sudah sebulan istrimu tiada. Apa kamu tidak ada niatan meresmikan hubungan kita? Aku ingin diakui di mata hukum sebagai istri
Semenjak kejadian itu, Yunita jarang sekali untuk menemui Jaka. Dia juga menunda pernikahannya dengan Jaka. "Yun, kenapa harus ditunda?" tanya Jaka saat Yunita bilang menunda pernikahan. "Mas, Amara masih mencintai kamu. Aku juga harus memikirkan perasaan adikku," jawab Yunita. "Baiklah kalau itu maumu," kata Jaka. Keluarga Jaka komplain tetapi Jaka berhasil membujuk mereka. Menunda pernikahan tidak masalah dari pada gagal menikah.** Amara pergi entah kemana, Yunita penasaran seperti apa hubungan Jaka dan Amara dulu. Yunita berniat untuk masuk ke kamar Amara. Kali ini dia tidak mendapatkan apapun dari kamar Amara. Tidak ada petunjuk apapun itu. Dia kembali ke kamarnya. Dia akan mencobanya lain kali. Amara terdengar sudah pulang, dia masuk ke dalam kamarnya. Yunita menghampiri adiknya. Dia ingin tahu lebih jelasnya tentang hubungan Amara dan Jaka. "Ra, sebenarnya apa yang terjadi antara kamu sama Mas Jaka? Sampai kamu tidak bisa melupa
Yunita tahu keputusannya sulit diterima Jaka. Yunita yakin Jaka marah karena dia meminta Jaka memilih Amara. Yunita meninggalkan Amara bersama Jaka. Dia ingin )z"mmereka bersatu lagi. Yunita tidak mungkin menyakiti Amara. "Mas, ayo masuk!" ajak Amara sambil menggandeng lengan Jaka. Jaka mengikuti Amara dan duduk di ruang tamu. "Mas, Kak Yunita sudah meminta kamu memilih aku, jadi kamu harus mencoba mencintai aku lagi," kata Amara. "Tidak, Ra. Aku mencintai Yunita, bukan kamu," tolak Jaka. Dia tidak bisa membohingi dirinya sendiri. "Mas, kenapa kamu jahat? Apa kamu tidak ingat apa yang kamu lakukan padaku?" tanya Amara. "Aku ingat, aku meminta maaf karena melakukan itu. Tapi aku mencintai Yunita." Jaka berdiri. Dia mencari Yunita. "Yunita, mari kita bicara," kata Jaka. Yunita di dalam kamar, dia menangis. Dia sengaja meninggalkan mereka berdua. Dia mengalah demi kebahagiaan adiknya. "Yunita aku mencintai kamu bukan Amara," teriak Jaka.
Verawati dibebaskan secara bersyarat Oleh pihak kepolisian karena Papa Angga memberi jaminan. Dia tidak berani mengganggu Fatimah dan Naura lagi. Angga tidak akan membiarkan siapapun menyakiti mereka termasuk Verawati sekalipun. Hari pernikahan Angga dan Fatimah sudah dekat. Tidak banyak persiapan karena tidak ada pesta. Namun, pernikahan ini tetap berkesan untuk Angga dan Fatimah. "Mas, sebentar lagi Shaka akan punya keluarga yang utuh. Dia pasti sangat bahagia," kata Fatimah. "Iya, Sayang. Dia sudah berharap kamu menjadi Mamanya sejak pertama bertemu," ucap Angga. "Udah dech jangan sok romantis. Nikah aja nggak ada pesta. Nikah model apa itu," kata Aminah yang tiba-tiba nimbrung. "Bu, sampai kapan Ibu kaya gitu. Lama-lama nggak ada yang suka sama kelakuan Ibu," ucap Fatimah. "Kalau nggak suka ya udah. Ngapain sih repot," bantah Aminah. "Mendingan Ibu urus Bapak biar nggak sering pergi dari rumah. Sekali-kali kalau keluar rumah iti dibu
Jaka dan Yunita tidak hanya mengundang Fatimah dan Angga. Mereka juga mengundang keluarga Adam, keluarga Hasan juga. Dam tentu Santo dan Aminah tidak ketinggalan. Meskipun Jaka hanya mantan menantu tetapi dia tetap menghargai Santo dan Aminah. Pagi sekali Fatimah sudah menyiapkan baju untuk ketiga anaknya. Dia sudah mandi sejak awal. Baru dia memandikan ketiga anaknya. "Ya ampun repot sekali," kata Fatimah. Padahal dia sudah di bantu Mbok Inah dan baby sitter Shaka. Mbok Inah tertawa melihat Fatimah gugup. Dia bahkan sempat kebalik saat memakaikan kaos dalam untuk Shaka. "Jangan gugup, Bu. Nggak akan ketinggalan kereta," goda Mbok Inah. "Bari gantiin baju mereka aja sudah ribet apalagi nanti di sana. Mana Mas Angga nggak mau ajak kalian," kata Fatimah. "Ya nanti kan ada Bu Aminah biar dibantu beliau, Bu," kata Baby Sitter Shaka. "Kalau Shaka pasti main sama Jonathan pasti anteng," lanjutnya. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kal
Fatimah terus saja berpikir keputusan apa yang akan dia ambil. Dia tidak mungkin meneruskan gugatannya. ''Ibu tahu kamu sangat menyayangi Shaka dan Clarisa. Apa lagi aku lihat Clarisa dekat sekali dengan kamu dan Naura. Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Angga Ibu silahkan," kata Aminah. "Ibu akan coba bicara dengan Angga agar dia berubah," kata Aminah. "Sepertinya aku memang harus kembali pada Mas Angga, Bu. Kalau aku meninggalkan dia itu tandanya aku egois," ucap Fatimah. "Semoga Mas Angga mau merubah sikapnya," kata Fatimah. Hari ini adalah tujuh harinya Luna. Itu tandanya Fatimah harus memberi jawaban pada Angga. "Bagaimana Fatimah? Aku menunggu keputusan kamu. Aku harap kamu mau kembali bersamaku. Kita rawat anak kita sama-sama," kata Angga. "Setelah saya pikirkan, saya rasa saya harus tetap bersama kamu, Mas. Anak-anak butuh aku," kata Fatimah. "Angga, aku mau kamu jangan sampai sakiti Fatimah lagi. Kalau sampai kamu sakiti Fatimah lagi, aku
Setelah mendapat telfon dari Angga, Luna panik. Dia tidak menyangka pria suruhannya itu ditangkap Angga. Dan kini dia ketahuan sebagai dalang dari masalah perselingkuhan Fatimah. "Aku harus kabur, aku nggak mau ditangkap polisi," ucap Luna panik. Luna membereskan bajunya ke dalam koper. Dia tidak membawa ikut serta Clarisa karena bagi dia akan merepotkan. "Bagaimana kalau sampai aku tertangkap?" tanya Luna. Dia menyeret kopernya keluar kamar. "Bu, kamu mau kemana?" tanya Mbok Inah saat melihat Luna membawa koper. "Aku mau pergi, kamu jaga Clarisa. Aku nggak mungkin bawa dia," jawab Luna panik. Dia segera membawa mobilnya pergi dari rumah Angga. Dia terburu-buru sekali. Di tengah jalan dia mendengar ada sirine mobil polisi dia semakin parno. Dia tancap gas sekencang mungkin agar tidak bertemu polisi. Luna bahkan beberapa kali menerobos lampu merah di jalan yang sedikit sepi. Dia tidak peduli dengan keselamatan dia lagi. Dari arah yang berlaw
"Mas, maksud kamu apa?" tanya Fatimah. "Kamu kemarin hanya nolongin aku untuk antar aku ke rumah Kak Rani. Kenapa malam ngaku-ngaku kita ada hubungan?" tanya Fatimah. "Loh memang kita ada hubungan, kan?" tanya Pria itu. "Kamu jangan ngarang," bantah Fatimah. "Nah udah ketahuan dia selingkuh. Kenapa masih kamu pertahankan dia, Mas," sahut Luna. "Sudah ayo kita pergi!" ajak Angga pada Luna. Angga meninggalkan Fatimah dan keluarganya. Dia tidak mau terus berdebat. Bahkan Angga malah mengajak Luna langsung pulang. Acara mereka jalan-jalan gagal total. Fatimah dan keluarganya juga pulang. Mereka tidak menyangka pria itu berbohong di depan Angga. "Siapa sih pria tadi? Dia kok malah berbohong?" tanya Rani. "Sudah kalian tenang saja, saya sudah suruh orang selidiki dia. Aku yakin ada orang lain dibelakang dia," jawab Adam. "Maksud Mas Adam dia disuruh orang?" tanya Rani. ''Betul sekali," jawab Adam. "Pasti ulah Luna," sahut Fatimah.
Fatimah sudah berada di rumah Rani. Beruntung tadi dia bertemu pria baik yang mau mengantar dia sampai di rumah Rani. Awalnya Fatimah menolak karena tidak kenal orang tersebut. Tetapi lama-lama dia mau karena Naura terus saja rewel. "Terima kasih, Mas. Maaf saya tidak bisa balas dengan apapun," kata Fatimah. "Tidak apa-apa, Mbak. Saya senang melihat Mbak sudah sampai tujuan dengan selamat. Lagian suami Mbak tega sekali membiarkan istrinya pergi sendiri membawa anak kecil," kata pria itu. "Saya permisi, Mbak!" ucap pria itu lalu pergi. Fatimah masuk ke rumah Rani. Dia beristirahat di kamar tamu yang sudah di sediakan pembantu Rani. "Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya, Mbak," ucap pembantu Rani. "Iya, Mbak," jawab Fatimah. Dia menidurkan Naura yang sudah terlelap di atas ranjang. Dia merasa kasihan karena membawa Naura panas-panasan. Malamnya Rani datang, dia sedih melihat keadaan Fatimah saat ini. Namun, sebagai kakak dia akan mensupport apapun k
Angga melotot dia tidak menyangka Fatimah akan berani menggugat cerai Angga. Angga tidak mau jika Fatimah meninggalkan dia. "Jangan asal bicara. Pikirkan dulu ucapan kamu!" pinta Angga. "Aku tidak akan menceraikan kamu, dan kamu tidak akan bisa menceraikan aku," kata Angga. "Kenapa kamu takut? Bukanya kamu sudah ada Luna?" tanya Fatimah. "Aku tidak mau ya tidak mau," jawab Angga. "Kamu egois, Mas," kata Fatimah. Dokter masuk, seketika mereka diam. "Pak Angga, Bu Fatimah sudah boleh pulang sore ini," kata Dokter. "Baik, Dok. Terimakasih," kata Angga. Fatimah tidak mau melihat ke arah Angga. Dokter memeriksa keadaan Fatimah. "Bu Fatimah banyak istirahat ya. Jangan sampai salah makan lagi," kata Dokter. "Baik, Dok," ucap Fatimah. Dokter keluar dari ruangan Fatimah. Angga juga kembali ke kantor tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Fatimah.** Sorenya Angga menjemput Fatimah dan juga Mbok Inah. Mereka saling diam bahk
Luna memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat Angga membenci Fatimah. Dia ingin Fatimah meminta cerai dari Angga. "Fatimah, Fatimah untuk apa kamu masih di sini. Mas Angga sah sudah tidak peduli lagi dengan kamu. Jadi harusnya kamu sadar diri dan pergi dari sini. Kalau perlu malah kamu gugat cerai saja Mas Angga," kata Luna. "Aku tidak akan semudah itu kamu singkirkan, Luna," ucap Fatimah. "Hahahha baiklah, kalau gitu kamu siap saja merasakan sakit hati yang amat dalam," kata Luna. "Kamu tidak akan kuat bertahan," ucap Luna. "Kita lihat saja siapa yang akan tersingkir dari rumah ini. Aku atau justru kamu," tantang Fatimah. "Kamu tidak akan bisa menyingkirkan aku," kata Luna. Perang antara Luna dan Fatimah semakin sengit. Fatimah tidak lagi cuek pada Shaka dan Angga. Dia berusaha mati-matian mendapatkan hati mereka lagi. "Mas, ini ada teh buat kamu," kata Fatimah setelah melihat Angga pulang kerja. Angga meminum teh buatan Fatimah. "Teh
Beberapa hari setelah kamar Naura di pindah untuk Clarisa. Kini Luna membuat ulah lagi. "Mas, kamar kita kejauhan dari kamar Clarisa. Kalau dia nangis aku jadi tidak dengar," kata Luna. "Bagaimana kalau kamu suruh Fatimah pindah ke kamar ini. Dan kita tidur di kamar utama yang lebih dekat dengan kamar Clarisa," kata Luna. "Iya, nanti aku suruh Fatimah pindah. Tapi aku harus panggil orang buat pindahin almari milik Naura dan box Naura," kata Angga. "Tidak masalah. Yang penting kita pindah ke kamar utama." Luna tersenyum. Semenjak pulang dari rumah sakit Luna selalu meminta ini itu pada Angga. Semua keinginan dia tidak ada yang Angga tolak. "Fatimah, kamu pindah ke kamar Luna. Biar aku dan Luna pindah di kamar kamu," kata Angga. "Kamar kamu mana muat Mas untuk aku dan Naura?" tanya Fatimah. "Sudah jangan protes," jawab Angga. Angga meminta para pembantu untuk memindahkan barang-barang Fatimah ke kamar Luna. Begitu juga sebaliknya.
Fatimah diam saja, dia tidak menanggapi ucapan Shaka. Dia memilih untuk acuh saja. Merasa dicuekin, Shaka kesal dan masuk ke kamarnya. "Maafkan Shaka, Bu," kata Baby sitter Shaka. "Tidak masalah," jawab Fatimah. Baby site Shaka menyusul Shaka ke kamar. Fatimah menidurkan Naura, dia tidak mau terbebani oleh apapun.** Angga dengan panik membawa Luna ke rumah sakit. Sampai di sana Dokter langsung menangani Luna. Angga mengurus administrasi sementara Luna di periksa oleh Dokter. Angga yakin Luna pendarahan akibat kelelahan kemarin melayani tamu undangan. "Semoga kalian baik-baik saja," kata Angga. Angga kembali menunggu Luna, Dokter mencari Angga. "Pak Angga, Bu Luna mengalami banyak pendarahan. Dia harus segera melahirkan, namun tidak bisa normal melihat kondisinya saat ini sangat lemah," kata Dokter. "Lalu harus bagaimana, Dok? Luna memaksa normal soalnya?" taya Angga khawatir. "Tadi Bu Luna sudah saya kasih arah, dia mau caesar," jawa