Setelah bercerita di Vila, Ruby merasa bosan. Vivian menghilang entah kemana, hanya pelayan saja yang berkeliaran kemana-mana."Moa apa Max tidak akan pulang?" tanya Ruby."Saya kurang tahu Nona," jawab Moa, pasalnya Max bukanlah orang yang terencana."Baiklah." Ruby benar-benar bosan, sebenarnya kedatangan dia kemari hanya untuk membuat keributan, namun tampaknya Max tak akan kembali entah sampai kapan."Justin, dia kemana?" tanya Ruby kembali."Tuan ada keperluan, mungkin tuan Justin tak akan kembali sampai malam," jawab Moa.Tak ada alasan lagi untuk Ruby tetap tinggal, daripada menghabiskan waktu dengan bosan, lebih baik dia menemui Sophie."Moa, tolong beritahu Justin dan Vivian aku pulang." Lantas Ruby segera mengemasi barang-barangnya lalu tancap gas pergi dari Vila menuju kediaman Windsor....Siang menjemput, Vivian sudah kembali dari hutan. Moa segera mendekati Vivian untuk memberikan sesuatu."Nona, apa anda sudah memakannya?" tanya Moa."Makan apa?" Vivian tampak bingung.
Siang menjemput, Vivian harus kembali ke Vila. Saat itu angin bertiup kencang membuat Vivian kesusahan mengatur rambutnya. Sembari berjalan menikmati indahnya taman dan semerbak bunga yang memabukkan, tanpa diketahui sebuah mobil hitam datang lalu terhenti dipekarangan Vila.Vivian menoleh, menatap siapa yang akan datang ke vila untuk kesekian kalinya."Sekarang siapa lagi?" gumamnya pelan.Di kejauhan, terlihat sosok pria menapak perlahan dari balik pintu. Wajah tampan dengan kacamata hitam, tampak mempesona dengan rambut yang ditiup angin, menambah keanggunan pria itu.Max, melepas kacamata hitamnya. Kedua bola matanya segera menangkap sosok wanita di taman. Tanpa sengaja, mereka saling bertatapan, saling menatap satu sama lain dari jarak yang cukup jauh."Dia sedang apalagi disana." Entah mengapa Max selalu kesal saat Vivian bebas berkeliaran diluar.Vivian, dengan mata yang menyipit, tak melepas tatapannya. Begitu juga Max, dia tak mau kalah, membalas tatapan tajam dari sang istri
Vivian mendengarkan baik-baik setiap kata Max, dan benar saja firasat tidak nyaman itu berasal dari kalimat yang akan keluar dari mulut suaminya.Tanpa meninggalkan kata, Vivian langsung pergi keluar, membuat Max menaikan alisnya."Mau kemana?" tanya Max."Bukankah kau ingin dilayani, aku harus mempersiapkan pelayanan terbaikku," ucap Vivian dengan nada ramah namun terkesan sarkas.Setelah kepergian Vivian, Max menyeringai, menanti pelayanan terbaik sang istri."Dia mulai berani."...Di sisi lain, di ruang istirahat pemotretan, Laura sedang menggigit ibu jari sambil melototi ponsel. Disana terpampang cek list dua berwarna abu menandakan tak ada balasan apapun setelah dua jam pesan tersampaikan. Tak seperti biasanya, sang kekasih menjawab sampai terlambat seperti itu hingga membuat Laura cemas.Tiba-tiba pintu terbuka, lalu datanglah seorang pria dengan dua roti di tangannya. Sontak membuat Laura membalik arah."Kau belum makan kan?" tawar Jill, dia adalah manager Laura.Laura menerim
Siang telah menjemput, Vivian akan kembali menuju Vila. Langkah demi langkah menapaki rumput di taman, sambil mencium harum bunga, tanpa wanita itu sadari seseorang di bangku taman tengah duduk, menatapnya dengan lekat."Kau darimana saja?" tanya Max ramah, Vivian lihat kehadiran Sunny, dan benar saja di sudut sana pelayan pribadinya itu sedang mengintai mereka."Aku hanya berkeliling sebentar untuk berolah raga," jawab Vivian dia langsung mengerti skenarionya.Max tersenyum lalu beranjak sambil mendekatkan wajahnya ke telinga sang istri "bukankah seharusnya kau perlu menjelaskan dengan jelas? apakah kau butuh ruang untuk kita berdua?" bisik Max diakhiri seringai tipis."Dan penilaianku untuk pelayananmu...sangat buruk." Vivian hanya bisa menunduk, kali ini dia memang salah, pergi tanpa izin jelas tidak mencerminkan perilaku seorang istri yang baik."Ayo kita kembali, ada sedikit kejutan untukmu," ajak Max sambil menjauhkan diri. Sementara itu Vivian merasakan firasat tak enak, kejut
Matahari telah menjemput kembali. Seperti biasa Vivian sedang menyiapkan makanan untuk sang suami. Bergelut sejak pagi bulan masalah lagi, terasa wajar bahkan seperti kebiasaan sehari-hari.Malam kemarin Vivian tidak tidur, tadi malam pun sama, dia harus melakukan berbagai tugas dari Max yang tak bisa dimengerti lagi. Bahkan tugas-tugas tersebut baru selesai pukul tiga pagi, dan sialnya Max sama sekali tak melepas pengawasan sedikitpun sejak tugas diberikan.Waktu sarapan telah tiba, dan satu hal yang membuat Vivian merasa tidak adil adalah kondisi Max, dia tak sedikitpun terlihat mengantuk atau lelah. Vivian duduk dihadapan sang suami sambil memerhatikan suaminya menyantap hidangan."Ini masakanmu?" tanya Max dan dibalas dengan anggukan.Garpu mendarat pada hidangan tumis, Max lalu mencicipi sambil melihat reaksi sang istri."Buruk," cela Max.Dengan bola mata lelah, Vivian menatap balik suaminya."Oh itu bukan masakanku, Moa yang membuatnya." Dengan mata kantuk Vivian menunjukan sen
Sudah satu setengah bulan berlalu. Tanpa disadari, beberapa hari terakhir ini Max tak pernah menampakkan diri. Selama hari-hari itu, Vivian banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Hari-hari berharga yang bisa dinikmati Vivian adalah saat Max tidak ada di vila. Dia bisa bernafas dengan lega, tertawa, dan bersenang-senang sesuka hati. Dia merasa bebas, bagai burung yang terbang di alam bebas. "Semoga dia tidak kembali sampai tiga bulan berlalu," harapnya.Selama itu pula, Vivian merasakan kedekatan dengan River. Pria yang lekat dengan baju loreng perlahan telah meluluhkan hatinya.Bagaimana tidak? River adalah satu-satunya orang yang berpihak pada Vivian dengan tulus, tanpa dipengaruhi oleh peraturan apapun. Selain itu dia adalah orang yang selalu memberinya semangat dan solusi. Maka, tak heran jika pagi hari menjadi waktu paling menyenangkan bagi Vivian, karena saat itulah dia bisa bertemu dengannya.Sementara itu di tempat lain, Max sibuk dengan jadwal syuting, tak ada waktu sedik
Vivian melihat tangan kanannya di tarik menuju ruang kamar. Orang lain mungkin melihat ikatan tangan diantara mereka adalah ikatan mesra, namun Vivian dapat merasakan, tenaga dari pegangan itu, ada sedikit tenaga seakan mengartikan ketidak tulusan didalamnya.Saat mereka tiba di ruang kamar, Max melepas tangan Vivian. Lemari di buka lalu ditarik sepasang baju pasangan dari dalam sana."Pakai," titah Max sembari melempar baju tidur wanita ke atas ranjang. Segera Max memasuki kamar mandi untuk berganti, sementara Vivian mengambil pakaian yang telah diberikan suaminya. Vivian tidak banyak berfikir, hanya patuh dan berusaha menjadi istri yang baik, cukup itu yang harus dia lakukan.Ketika Max selesai, Vivian memasuki kamar mandi. Dengan niat menghindari Max, dia berniat menghabiskan waktu lebih lama di sana, mencari sedikit ruang dan waktu untuk dirinya sendiri."Sekarang aku memiliki alasan untuk diam lebih lama di dalam sini."...Waktu berjalan tanpa terasa, hingga 30 menit berlalu da
Melihat Vivian bingung, Sophie tak ingin meneruskan topik tersebut."Baiklah, kalau begitu, Vivian, mari kita berkeliling rumah! Kamu pasti akan menyukainya. Mama akan menunjukkan kebun jeruk yang Mama tanam. Ayo!" Kata-kata Sophie terdengar seperti melodi, penuh semangat dan kehangatan. Dengan langkah gembira, dia langsung menarik tangan Vivian, meninggalkan Max sendirian di tengah keheningan.Sejenak, Vivian menoleh, matanya bertemu dengan mata suaminya. Max hanya berdiri di tempat, tatapannya terasa berat, namun tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tidak ingin berpikir lebih jauh, Vivian memilih untuk mengikuti Sophie, meninggalkan Max dalam diam yang membingungkan."Sudahlah, jangan pikirkan apapun," gumam Vivian....Di kebun Sophie sedang menenteng keranjang. Kebun jeruk di belakang rumah tersebut tampak luas dengan buah yang lebat.Tak bisa dipungkiri setiap Vivian melihat buah-buahan, sang pria berseragam lah yang selalu mengisi kepalanya. Pagi tadi mungkin River telah menunggu
Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu
Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab
Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o
Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang
Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.
Tak...tak... Suara langkah kaki begitu jelas memecah hening. Begitu terlihat tas yang tak asing lagi tergeletak di dekat pohon. Dengan cepat pria itu meraih benda tersebut lalu melihat isi di dalamnya. Ketika lembaran kertas terlihat, tangannya yang besar langsung membuka isi kertas tersebut. Pelan namun pasti rangkaian kata berhasil dibaca. Kalimat indah yang disajikan dengan begitu rapi telah berhasil membuatnya menarik nafas sangat dalam. "Haa...pada akhirnya apa yang ku khawatirkan selama ini ternyata tetap terjadi." ... Sementara itu, di Vila Max sedang duduk di sofa ruang tamu, saat Vivian dan Moa memasuki ruangan, terlihat wanita cantik itu menutupi wajah dengan rambutnya menyembunyikan mata sembab akibat menangis sepanjang tadi. "Kemarilah," pinta Max agar duduk di dekatnya. Vivian lalu duduk dan otomatis Moa undur diri setelah melihat tatapan Max yang dingin padanya. "Besok adalah hari pemeriksaan terakhir kandunganmu, sepertinya aku tidak akan bisa mengantarmu, ada
Di klinik kandungan, Vivian dibaringkan untuk melakukan USG melihat jenis kelamin buah hati mereka. "Selamat sepertinya anda berdua dikaruniai buah hati kembar," ucap dokter Oliv terlihat senang. Max fokus melihat gambar dalam layar, terlihat dua bayi tengah meringkuk disana. "Bagaimana dengan jenis kelaminnya?" tanya Max penasaran. "Sebentar, saya akan lihat." Dokter segera memerhatikan lagi. "Sepertinya anak anda laki-laki dan perempuan, anda bisa melihat di gambar ini." Dokter menunjuk letak gambar kelamin bayi. Max menarik nafas pelan. Tak bisa di tutupi hadirnya dua buah hati telah membuatnya teramat senang. "Kedua bayinya sehat kan?" tanya Max lagi. "Alhamdulillah dari hasil USG tak ada kecacatan sedikitpun." Max lalu melirik istrinya, bibirnya seakan ingin mengucapkan kalimat sakral yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka, namun sayangnya ego yang besar telah meredam keinginan tersebut jauh dalam dalam, hingga Max hanya bisa memegang tangan Vivian erat-erat, tanp
Tanpa terasa langit telah berubah warna, Vivian telah kembali menuju Vila. Langkah lemah menapak menyingkap rerumputan taman yang panjang, dan begitu pandangannya terangkat, disana sosok Max telah berdiri, dia lihat mata biru itu tengah memperhatikan dengan pandangan tak senang. "Kau darimana saja?" Vivian membalas dengan senyuman yang sangat indah, angin yang sengaja bertiup juga semakin mempercantik wajahnya. "Aku melepasnya, seperti keinginanmu aku telah memutuskannya," jawab Vivian dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis yang terus bergejolak di dada. Vivian menurunkan pandangan. "Akan tetapi dia belum sepenuhnya melepas ku, jadi tolong biarkan aku membujuknya agar dia tidak menganggu ku lagi." Max tak bisa menjawab, melihat mata coklat bersinar hanya bisa membuatnya diam. "Jika kau memberiku izin, akan ku pastikan sebelum anak ini lahir aku akan meninggalkan dia sepenuhnya, bagaimana bisakah kau mewujudkan permintaanku?" "Baiklah, namun aku akan mengantarmu saat menemui