Perdebatan hari itu sama sekali tidak bisa terhindarkan. Rumi akhirnya tahu jika aku dan Nada akan mengangkat Karina sebagai anak kami. Selain itu, aku juga akan melaporkan Rahmi ke kantor polisi karena sudah melakukan pemganiayaan pada Karina. Orang yang selalu vokal berbicara justru Rumi. Bukan Rahmi yang mengaku sebagai Ibu kandung Karina. Hingga akhirnya Rahmi juga angkat bicara. “Apa bukti kalian jika saya melakukan penganiayaan pada Karina? Saya akui jika selama ini saya hanya diam saja selama suami saya memukul Karina. Tapi, saya terpaksa diam karena jika saya bergerak, suami saya akan semakin keras memukul anak kami. Setelah Karina kabur aku baru sadar jika sikap saya yang memilih diam selama ini salah.” Nada mendengus tidak percaya. “Apa anda mengatakan jika Karina berbohong pada psikiater yang sudah memeriksanya?” Rahmi menganggukan kepala tanpa ragu. “Bisa jadi anak umur tiga tahun berbohong. Tidak ada yang tidak mungkin mbak.” “Mbak Rahmi benar. Lagian Mbak Nada dan Ma
POV Nada Sudah tiga hari ini Mas Adi berada di rumah Rumi. Selama itu pula aku menyibukan diri dengan bekerja bersama Shanum dan Bude Sri serta mengurus Nasya dan Karina. Untuk pengurusan hak asuh Karina akan kami lakukan setelah hasil tes dna sudah keluar. Akan butuh banyak waktu dan proses hingga pengalihan status Karina sebagai anak kandung Mas Adi dan Rumi. Belum lagi hak asuhnya yang akan jatuh ke tanganku dan Mas Adi. Saat ini aku tengah berada di lantai dua yang terletak di atas dapur dan kamar mandi. Ruangan luas yang sengaja di buat untuk bersantai sudah penuh dengan tumpukan baju yang akan aku jual. Dari lantai dua aku bisa melihat Nasya yang tengah mengajari Karina menaiki sepeda roda tiga yang baru saja aku belikan kemarin. Rasanya sangat bahagia bisa melihat Nasya sangat senang punya adik baru. Meskipun tidak terlahir dari rahim yang sama. “Karina itu mirip banget sama Nasya dan Mas Adi ya mbak. Kalau kalian lagi jalan di luar mungkin orang-orang akan mengira jika Kar
Aku segera membantu Mama untuk membereskan teko kaca yang pecah. “Apa benar yang tadi Mama dengar itu Nad?” Tanya Mama dengan raut wajah khawatir. Wajar saja jika Mama bersikap seperti itu karena pelet adalah ilmu hitam yang sangat di larang dalam agama. Bagaimana bisa orang yang menggunakan ilmu itu adalah orang menjadi bagian dari keluarga kami? “Iya Ma. Tapi, kami belum tahu apakah Rumi juga terlibat dalam hal ini atau tidak. Mama tenang saja, Mas Adi akan mengambil tindakan tegas. Begitu juga dengan Abah, Ibu dan Umi.” Tetap saja Mama masih terlihat khawatir setelah mendengar penjelasanku. “Ya sudah. Kamu ambil sendiri teko di dapur. Tadi Mama sekalian mau antar ke kamar kamu karena mau ke musola dulu. Malah dengar percakapan kamu dengan Adi.” “Iya Ma.” Setelah kepergian Mama, aku berjalan melintasi taman menuju sebrang bangunan yang merupakan dapur. Mengambil teko air yang akan aku letakan di dalam kamar agar tidak perlu pergi ke dapur saat terbangun tengah malam. Saat kembal
Awalnya kening Ibu berkerut bingung menatap Rahman dan Rumi secara bergantian. Apalagi saat ia menatap wajah Rumi yang sudah pias. Baru kali ini Rahman menunjukkan sifat aslinya di depan Ibu seperti ini. Tanpa kami sadari, Rahman sudah bergerak maju lalu mendorong tubuh Karina. Hampir saja tubuh gadis kecil itu terhuyung jatuh jika tidak di tahan oleh Ibu. Aku juga sudah reflek maju untuk menangkap tubuh Karina. Keterlaluan sekali Rahman. Aku jadi heran apa saja yang di ajarkan oleh Rumi padanya selama ini.“Kamu nggak boleh ngomong begitu Rahman. Mulai sekarang Karina itu keluarga kita. Anaknya Ibu Nada dan Ayah juga. Bukan anak pungut. Kamu juga tidak boleh mendorong Karina seperti tadi. Apa kamu paham?” Nasihat Ibu dengan intonasi yang terkendali dan pandangan mata tajam. Tapi, Rahman tetap takut lalu menghambur ke pelukan Mamanya. “Nenek Asih jahat Ma. Aku benci sama mereka semua.” Tangis Rahman yang keras membuat Kanaya dan Hanum keluar dari dapur. Melihat jika Rahman sedang men
Rasa pusing sekaligus mual langsung menghantam kepala begitu aku sadar. Baru saja aku bangun, aku langsung muntah hingga mengotori baju pasien dan selimut yang menutup tubuh. Sayup-sayup aku mendengar suara Mas Adi yang terus memanggil Dokter. Suamiku itu kini sudah meletakan baskom di atas pangkuan sebagai tempat muntahku. Beberapa detik kemudian, aku sudah berhenti muntah.“Keadaan Bu Nada sudah mulai membaik. Tenang saja Pak Adi, ini reaksi yang normal dari pasien setelah mengalami keracunan makanan.” Apa? Keracunan makanan? Tiba-tiba ingatanku terlempae saat aku, Mas Adi, anak-anak dan semua keluarga kami yang lain sedang makan malam bersama di rumah Ibu. Untuk menyambut kedatangan Karina sekaligus acara syukuran sederhana untuk kesembuhan Nasya. Hal terakhir yang aku ingat adalah menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulut hingga kepalaku merasa pusing dan perutku merasa mual. Setelah itu, aku sudah tidak sadarkan diri.Dengan cekatan Mas Adi sudah mengganti pakaianku yang kot
BUUUK. Pria itu tiba-tiba terjatuh setelah wajahnya di pukul. Tidak hanya itu, Mas Adi menghajar pria itu berulang kali hingga pingsan. Seluruh wajahnya sudah lebam karena pukulan suamiku itu. “Sudah mas. Jangan habisi dia. Lebih baik kamu panggil perawat sekarang.” Aku takut jika pria itu tiba-tiba bangun lalu berbalik menyerang Mas Adi. Tidak lama kemudian perawat yang datang bersama dengan satpam sudah masuk ke dalam kamar. Dua satpam bertubuh kekar segera meringkus pria botak yang memakai masker itu. Mas Adi bicara pada perawat akan meminta pihak pengacaranya untuk datang ke kantor polisi guna mengusut pria itu. Baik aku dan Mas Adi sama sekali tidak pernah melihatnya. Jadi, pria itu pasti suruhan seseorang yang berniat buruk untuk melukaiku.“Kamu baik-baik sajakan Nad?” Tanya Mas Adi begitu sudah duduk di tepi tempat tidurku. Raut wajahnya masih nampak sangat khawatir. Aku hanya bisa menganggukan kepala sambil tersenyum. Menggenggam tangan besarnya agar Mas Adi jadi lebih tena
“Waalaikumsalam.” Jawab kami secara serempak. Meskipun rasa kesal masih terasa di hati pada adik maduku itu.“Bagaimana keadaan kamu mbak?” Rumi sudah duduk di kursi tempat Mama duduk sebelumnya. Sedangkan Bu Saroh meletakan parcel buah di atas nakas. Ia tetap berdiri di belakang Rumi.“Alhamdulillah baik. Terima kasih karena sudah menjengukku Rum.” Ucapku datar. Pandangan Rumi terus menoleh ke belakang. Ke tempat Mas Adi dan Papa duduk. Melihat istri keduanya datang sama sekali tidak membuat Mas Adi berniat untuk menghampiri kami. Mama masih setia berdiri di samping tempat tidurku. “Apa kata dokter kemarin? Apa kamu salah makan sebelumnya?” Tanya Bu Saroh dengan raut wajah cemas. Seolah ada rahasia yang sedang ia sembunyikan. Aneh sekali melihatnya. Apa Bu Saroh sama sekali tidak terlibat dengan ulah Rumi?“Keracunan makanan Bu. Kemungkinan besar dari makanan terakhir yang saya makan. Karena racun dalam makanan itu terkontaminasi secara cepat.” Jawabku jujur karena ingin melihat leb
Mobil terus melaju di tengah sawah dengan kecepatan yang sangat cepat. Mas Adi lalu membelokan mobilnya ke sebelah kiri hingga menabrak sebuah pohon mangga besar di pinggit jalan. Airbag mobil yang otomatis mengembang membuatku dan Mas Adi jadi tidak terhantam bagian depan mobil. Tapi, tetap saja rasanya sakit karena mobil yang tiba-tiba di tabrakkan pada pohon.Aku bisa mendengar suara pintu di sisi kanan yang terbuka. Tidak lama kemudian, Mas Adi sudah membuka pintu di sampingku lalu menarik tanganku keluar dari mobil. “Kamu baik-baik sajakan Dek?” Aku menganggukan kepala sambil terbatuk karena kaget. Dadaku masih berdebar kencang. Begitu juga dengan tubuhku yang masih gemetar hebat.Banyak orang yang sudah mengerubungi kami. Aku dan Mas Adi di tuntun menuju rumah terdekat untuk duduk disana. Pemilik rumah sudah memberikan kami dua gelas air putih yang hangat. Mas Adi menceritakan tentang mobil kami yang remnya blong sehingga Mas Adi memilih untuk membanting setirnya turun ke sawah.