Pagi itu aku menasihati Rahman dengan banyak hal. Aku juga sempat bertengkar dengan Rumi karena masalah dia dalam mendidik Rahman. Sayangnya belum selesai aku bicara, Nasya sudah masuk ke dalam ruang keluarga. Putriku itu tampak terpaku di depan pintu. Nada segera meminta Nasya untuk salim pada Rumi dan Mama Saroh. Langkah Nasya terlihat berat dan ragu saat mendekati kami. Dari jarak dekat aku bisa melihat kedua matga Nasya yang berkaca-kaca. Nada mengatakan pada Nasya untuk menungguku di ayunan. Tapi, balasan Nasya sungguh menohok hatiku sangat dalam. Nasya sudah tidak percaya jika aku akan menepati janjiku. Dia langsung keluar lagi dengan cepat. Sementara itu, Rahman kembali menangis dalam pangkuanku. “Diam Rahman. Kamu tidak bisa mendapatkan semua keinginanmu hanya dengan menangis.” Kali ini aku sudah kelepasan hingga membentaknya. Raut wajah Rahman terlihat sangat ketakutan. Anak laki-lakiku itu lalu menangis dalam pelukan Mamanya. Kami kembali berdebat tentang masalah ini. Kare
Perdebatan hari itu sama sekali tidak bisa terhindarkan. Rumi akhirnya tahu jika aku dan Nada akan mengangkat Karina sebagai anak kami. Selain itu, aku juga akan melaporkan Rahmi ke kantor polisi karena sudah melakukan pemganiayaan pada Karina. Orang yang selalu vokal berbicara justru Rumi. Bukan Rahmi yang mengaku sebagai Ibu kandung Karina. Hingga akhirnya Rahmi juga angkat bicara. “Apa bukti kalian jika saya melakukan penganiayaan pada Karina? Saya akui jika selama ini saya hanya diam saja selama suami saya memukul Karina. Tapi, saya terpaksa diam karena jika saya bergerak, suami saya akan semakin keras memukul anak kami. Setelah Karina kabur aku baru sadar jika sikap saya yang memilih diam selama ini salah.” Nada mendengus tidak percaya. “Apa anda mengatakan jika Karina berbohong pada psikiater yang sudah memeriksanya?” Rahmi menganggukan kepala tanpa ragu. “Bisa jadi anak umur tiga tahun berbohong. Tidak ada yang tidak mungkin mbak.” “Mbak Rahmi benar. Lagian Mbak Nada dan Ma
POV Nada Sudah tiga hari ini Mas Adi berada di rumah Rumi. Selama itu pula aku menyibukan diri dengan bekerja bersama Shanum dan Bude Sri serta mengurus Nasya dan Karina. Untuk pengurusan hak asuh Karina akan kami lakukan setelah hasil tes dna sudah keluar. Akan butuh banyak waktu dan proses hingga pengalihan status Karina sebagai anak kandung Mas Adi dan Rumi. Belum lagi hak asuhnya yang akan jatuh ke tanganku dan Mas Adi. Saat ini aku tengah berada di lantai dua yang terletak di atas dapur dan kamar mandi. Ruangan luas yang sengaja di buat untuk bersantai sudah penuh dengan tumpukan baju yang akan aku jual. Dari lantai dua aku bisa melihat Nasya yang tengah mengajari Karina menaiki sepeda roda tiga yang baru saja aku belikan kemarin. Rasanya sangat bahagia bisa melihat Nasya sangat senang punya adik baru. Meskipun tidak terlahir dari rahim yang sama. “Karina itu mirip banget sama Nasya dan Mas Adi ya mbak. Kalau kalian lagi jalan di luar mungkin orang-orang akan mengira jika Kar
Aku segera membantu Mama untuk membereskan teko kaca yang pecah. “Apa benar yang tadi Mama dengar itu Nad?” Tanya Mama dengan raut wajah khawatir. Wajar saja jika Mama bersikap seperti itu karena pelet adalah ilmu hitam yang sangat di larang dalam agama. Bagaimana bisa orang yang menggunakan ilmu itu adalah orang menjadi bagian dari keluarga kami? “Iya Ma. Tapi, kami belum tahu apakah Rumi juga terlibat dalam hal ini atau tidak. Mama tenang saja, Mas Adi akan mengambil tindakan tegas. Begitu juga dengan Abah, Ibu dan Umi.” Tetap saja Mama masih terlihat khawatir setelah mendengar penjelasanku. “Ya sudah. Kamu ambil sendiri teko di dapur. Tadi Mama sekalian mau antar ke kamar kamu karena mau ke musola dulu. Malah dengar percakapan kamu dengan Adi.” “Iya Ma.” Setelah kepergian Mama, aku berjalan melintasi taman menuju sebrang bangunan yang merupakan dapur. Mengambil teko air yang akan aku letakan di dalam kamar agar tidak perlu pergi ke dapur saat terbangun tengah malam. Saat kembal
Awalnya kening Ibu berkerut bingung menatap Rahman dan Rumi secara bergantian. Apalagi saat ia menatap wajah Rumi yang sudah pias. Baru kali ini Rahman menunjukkan sifat aslinya di depan Ibu seperti ini. Tanpa kami sadari, Rahman sudah bergerak maju lalu mendorong tubuh Karina. Hampir saja tubuh gadis kecil itu terhuyung jatuh jika tidak di tahan oleh Ibu. Aku juga sudah reflek maju untuk menangkap tubuh Karina. Keterlaluan sekali Rahman. Aku jadi heran apa saja yang di ajarkan oleh Rumi padanya selama ini.“Kamu nggak boleh ngomong begitu Rahman. Mulai sekarang Karina itu keluarga kita. Anaknya Ibu Nada dan Ayah juga. Bukan anak pungut. Kamu juga tidak boleh mendorong Karina seperti tadi. Apa kamu paham?” Nasihat Ibu dengan intonasi yang terkendali dan pandangan mata tajam. Tapi, Rahman tetap takut lalu menghambur ke pelukan Mamanya. “Nenek Asih jahat Ma. Aku benci sama mereka semua.” Tangis Rahman yang keras membuat Kanaya dan Hanum keluar dari dapur. Melihat jika Rahman sedang men
Rasa pusing sekaligus mual langsung menghantam kepala begitu aku sadar. Baru saja aku bangun, aku langsung muntah hingga mengotori baju pasien dan selimut yang menutup tubuh. Sayup-sayup aku mendengar suara Mas Adi yang terus memanggil Dokter. Suamiku itu kini sudah meletakan baskom di atas pangkuan sebagai tempat muntahku. Beberapa detik kemudian, aku sudah berhenti muntah.“Keadaan Bu Nada sudah mulai membaik. Tenang saja Pak Adi, ini reaksi yang normal dari pasien setelah mengalami keracunan makanan.” Apa? Keracunan makanan? Tiba-tiba ingatanku terlempae saat aku, Mas Adi, anak-anak dan semua keluarga kami yang lain sedang makan malam bersama di rumah Ibu. Untuk menyambut kedatangan Karina sekaligus acara syukuran sederhana untuk kesembuhan Nasya. Hal terakhir yang aku ingat adalah menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulut hingga kepalaku merasa pusing dan perutku merasa mual. Setelah itu, aku sudah tidak sadarkan diri.Dengan cekatan Mas Adi sudah mengganti pakaianku yang kot
BUUUK. Pria itu tiba-tiba terjatuh setelah wajahnya di pukul. Tidak hanya itu, Mas Adi menghajar pria itu berulang kali hingga pingsan. Seluruh wajahnya sudah lebam karena pukulan suamiku itu. “Sudah mas. Jangan habisi dia. Lebih baik kamu panggil perawat sekarang.” Aku takut jika pria itu tiba-tiba bangun lalu berbalik menyerang Mas Adi. Tidak lama kemudian perawat yang datang bersama dengan satpam sudah masuk ke dalam kamar. Dua satpam bertubuh kekar segera meringkus pria botak yang memakai masker itu. Mas Adi bicara pada perawat akan meminta pihak pengacaranya untuk datang ke kantor polisi guna mengusut pria itu. Baik aku dan Mas Adi sama sekali tidak pernah melihatnya. Jadi, pria itu pasti suruhan seseorang yang berniat buruk untuk melukaiku.“Kamu baik-baik sajakan Nad?” Tanya Mas Adi begitu sudah duduk di tepi tempat tidurku. Raut wajahnya masih nampak sangat khawatir. Aku hanya bisa menganggukan kepala sambil tersenyum. Menggenggam tangan besarnya agar Mas Adi jadi lebih tena
“Waalaikumsalam.” Jawab kami secara serempak. Meskipun rasa kesal masih terasa di hati pada adik maduku itu.“Bagaimana keadaan kamu mbak?” Rumi sudah duduk di kursi tempat Mama duduk sebelumnya. Sedangkan Bu Saroh meletakan parcel buah di atas nakas. Ia tetap berdiri di belakang Rumi.“Alhamdulillah baik. Terima kasih karena sudah menjengukku Rum.” Ucapku datar. Pandangan Rumi terus menoleh ke belakang. Ke tempat Mas Adi dan Papa duduk. Melihat istri keduanya datang sama sekali tidak membuat Mas Adi berniat untuk menghampiri kami. Mama masih setia berdiri di samping tempat tidurku. “Apa kata dokter kemarin? Apa kamu salah makan sebelumnya?” Tanya Bu Saroh dengan raut wajah cemas. Seolah ada rahasia yang sedang ia sembunyikan. Aneh sekali melihatnya. Apa Bu Saroh sama sekali tidak terlibat dengan ulah Rumi?“Keracunan makanan Bu. Kemungkinan besar dari makanan terakhir yang saya makan. Karena racun dalam makanan itu terkontaminasi secara cepat.” Jawabku jujur karena ingin melihat leb
Saat Adi pulang ke rumah, sudah ada Rahman yang datang bersama Bude Sri dan Bu Anisa. Nada menjelaskan jika Rahman sudah tahu semuanya. Rahman menangis dalam pelukan Nada. Mereka tidak menanyakan apapun hingga Rahman akhirnya berhenti menangis."Jangan takut lagi sayang. Mulai sekarang Rahman akan tinggal di rumah ini dengan Ayah, Ibu, Kak Nasya dan Karina. Sejak dulu sampai sekarang, Rahman adalah anak Ibu dan Ayah. " Ucap Nada lembut yang membuat semua orang terharu.Adi sendiri merasa sangat bersyukur bisa kembali bersama Nada yang menerima Rahman dan Karina dengan lapang hati. Juga menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Hari itu, Adi kembali di sibukan untuk menata kamar tamu yang akan di ubah menjadi kamar Rahman. Sedangkan Nada sibuk memasak makan siang di dapur bersama Bude Sri.Mereka memutuskan untuk merawat Rahman bersama serta memberi tahu identitas Rahman dan Karina yang sebenarnya adalah saudara sepersusuan. Berita ini di sampaikan juga pada seluruh keluarga mereka yan
“Tidak mungkin. Anak saya tidak pernah menjebak Adi. Itu semua adalah fitnah.” Bu Anita berdiri di hadapan Galang untuk menghalangi kedua polisi itu yang hendak menangkap sang putra. Alana hanya berdiri dengan tubuh kaku menatap kakaknya dan sekumpulan polisi itu bergantian. “Maaf Bu. Jangan halangi penyelidikan kami. Selain Pak Galang, kami juga harus membawa Bu Rumi sebagai orang yang telah membeli obat-obatan itu. Kami sudah punya bukti yang valid untuk menahan anak dan menantu Ibu.” Kata salah satu polisi yang kepalanya botak dengan wajah datar menatap ke arah mereka. Galang masih terdiam di tempatnya tidak percaya. Jika jebakan yang sudah ia buat dengan matang dapat di ketahui oleh Adi. Dadanya terus berdebar kencang memikirkan semua keanehan yang terjadi selama ini. Adi yang selalu bisa berkelit dari semua jebakannnya. 'Apakah Adi sudah juga mengintaiku dengan menyuruh orang lain? Atau dia memasang kamera CCTV di rumah ini?' Tanya Galang dalam hatinya. Wajah pria itu masih tam
Tanpa sadar Galang membanting hpnya ke atas meja. Sehingga membuat perhatian para guru yang masih ada di ruangan yang sama dengannya jadi teralih pada Galang. Menyadari jika ia sudah membuat dirinya sebagai pusat perhatian, pria itu hanya bisa minta maaf karena sudah membuar keributan"Ada apa Pak Galang?” Tanya salah satu rekan guru senior yang jauh lebih tua darinya. Galang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kikuk. Menyesal karena sudah kelepasan marah di depan rekan guru yang lain.“Maaf Pak. Tadi ada nomor pinjol yang neror saya karena teman saya berhutang padanya.” Guru itu menganggukan kepalanya mengerti lalu kembali sibuk dengan kertas di tangan. Begitu juga dengan guru-guru lain yang tidak lagi memperhatikan GalangUjian akhir semester seperti ini membuat Galang dan beberapa guru memutuskan untuk bertahan di sekolah sampai sore guna membuat soal ulangan. Sebagian guru lain yang mata pelajarannya sudah di ujikan juga memilih untuk bertahan di sekolah untuk memeriksa lemba
“Selamat ya Bu. Anda di nyatakan positif hamil.” Kata Dokter wanita setelah memeriksa hasil usg di rahim Rumi. Tampak bulatan kecil yang ada di layar. Wanita itu membalas senyum Dokter agar tidak curiga. Padahal hatinya biasa saja saat melihat sudah ada benih dari Galang yang bersemayam dalam rahimnya. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak Dok.” “Alhamdulillah dek. Akhirnya kamu hamil juga.” Ujar Galang yang juga bisa berakting dengan sempurna. Walaupun sebagian isi hatinya memang sangat tulus saat menyambut benih yang ada di rahim Rumi. Membuat keraguan di hati Galang tiba-tiba saja semakin kuat. Berbanding terbalik dengan perasaan Rumi. ‘Apakah aku masih harus mengejar Nada jika Rumi memang hamil anakku?’ Batin Galang galau saat ia dan Rumi sudah duduk kembali di hadapan Dokter. Pasangan suami istri itu lalu pulang ke rumah. Galang melangkah lebih dulu hingga masuk ke dalam ruang tengah. Disana sudah menunggu Alana yang tengah menonton TV bersama dengan Bu Anita. Raut wajah Galang
“Apa? Jadi Galang memang benar di pelet sama si Rumi itu? Keterlaluan sekali. Sudah Mama duga kenapa sikap Galang jadi berubah aneh seperti itu setelah menikah dengan Rumi.” Teriak Bu Anita dari sebrang sambungan telpon yang membuat telinga Alana terasa pekak sekali. Sampai perempuan itu mengorek telinganya yang berdenging karena tadi ia menempelkan hp di telinga. Seharusnya ia sudah menggunakan mode loudspeaker sejak tadi. “Iya Ma. Sesuai dengan informasi dari nomor asing itu, aku bisa menemukan dimana Rumi menyimpan kertas dan bubuk aneh ini. Untung saja Bude Sri bisa menulis huruf arab jawa sehingga aku menyuruhnya untuk menyalin tulisan itu. semirip mungkin. Kata Bude Sri dia sedikit mengubah huruf arab dari nama Mas Galang. Padahal aku sama sekali tidak sadar saat membacanya tadi.” Terang Alana mengingat penjelasan wanita paruh baya itu setelah menyapu halaman depan. “Kalau di ubah dan Rumi tahu bagaimana?” Tanya Bu Anita cemas. Dalam hatinya ia berpikir jika rencana Alana bisa
Pesawat yang di tumpangi Alana sudah mendarat di bandara. Ia turun dari pesawat lalu langsung naik ke dalam taksi yang menunggu di dalam bandara dengan membawa dua koper besar. Karena Alana memang berniat untuk tinggal di rumah Galang selama satu minggu. Selain untuk memastikan kebenaran jika Galang memang sudah di pelet oleh Rumi, ada pekerjaan di yayasan yang ingin Alana bicarakan secara langsung dengan kakaknya itu. Ia menyebutkan tujuan alamatnya pada sopir taksi yang sudah melajukan mobilnya keluar dari bandara lalu menuju rumah Galang. Tangannya mengambil hp dari dalam tas untuk membuka pesan dari Bu Anita. Jari Alana dengan cepat mengetikan pesan balasan untuk sang Mama yang terkirim satu setengah jam yang lalu. Itu berarti saat Alana masih berada di dalam pesawat. [Aku sudah turun dari pesawat dan sekarang sedang di dalam taksi menuju rumah Mas Galang, Ma. Tenang saja. Aku akan langsung mengambil kertas itu dari kabinet dapur. Aku akan tetap menjalankan rencanaku agar Rumi t
Dua minggu sejak acara reuni sudah berlalu. Tidak ada hal yang mencurigakan dari pantauan kamera CCTV dan alat perekam di rumah Galang. Arman juga mengatakan bahwa ia masih memantau semua rekaman itu bersama anak buahnya. Membuat hati Nada menjadi sedikit lebih tenang. Pikirannya selalu teralihkan karena niat jahat Galang dan Rumi. Sehingga Nada sering kali melamun. Fokusnya kini sedang menyusun laporan keuangan akhir bulan untuk kemudian di gabungkan dengan toko Dinada. Ia tidak boleh memikirkan hal itu lagi. Hari senin baru saja di mulai. Namun, waktu terasa sangat cepat berlalu karena semburat jingga yang terlihat dari balik jendela sudah akan turun ke peraduannya. Sudah ada lima pegawai yang sibuk mengepak semua pesanan hijab dan mukena di toko online milik Nada. Bude Sri hanya bisa membantu jika pekerjaan di rumah orang tua Nada sudah selesai. Hanum dan Shanum juga sudah mulai fokus untuk belajar karena sebentar lagi akan menjalani ujian akhir sekolah. Jadi, Nada sudah merekrut
"Gimana caranya kita menjebak Mas Adi sebagai pemakai jika ia tidak memakai obat itu?" Tanya Rumi bingung dengan rencana baru sang suami. Ia sama sekali tidak paham dengan obat-obatan terlarang. Rumi membeli obat itu juga karena perintah Galang. "Mudah saja. Kita bisa mengancam Adi akan melaporkannya dengan dua tuduhan yaitu kemungkinan sebagai pemakai dan sebagai pengedar narkoba. Tapi, bukan itu poin utamanya Rum. Hal itu bertujuan untuk membuat Nada tidak percaya lagi pada Adi. Aku juga tidak ingin melaporkannya ke polisi. Itu hanya sebagai ancaman saja." Rumi menganggukan kepalanya mengerti. "Setelah itu, aku masih harus meminta bantuanmu untuk mendapatkan Nada. Untuk urusan Adi aku serahkan padamu. Lakukan apa saja sesukamu untuk mendapatkan Adi lagi." 'Tidak perlu. Yang penting aku bisa mengabulkan keinginan terbesarmu. Aku sudah tidak mau berurusan dengan dukun itu. Untuk membantumu aku akan cari dukun lain yang metodenya lebih simple Mas.' Batin Rumi dalam hatinya. “Terus
Kelopak mata Galang perlahan terbuka. Kepalanya terasa sangat pusing hingga ia tidak bisa bangun untuk sebentar. Saat melihat langit-langit atap kamarnya yang familiar, pria itu kembali memejamkan kedua matanya. Untuk sesaat Galang seperti sudah melupakan kejadian tadi malam. Pria itu justru kembali melanjutkan tidur dengan badan yang terasa cukup dingin. Padahal ia sudah pakai selimut yang menutupi seluruh badannya. Tubuhnya miring ke kanan. Kelopak matanya mengerjap menatap wajah Rumi yang masih terlelap. Dengan bahu yang polos tanpa tertutup pakaian.Seketika kesadaran itu menghantam Galang. Seharusnya Rumi tidak sedang tidur di kamar ini bersama dengannya. Tapi, istrinya itu harus tidur dengan Adi di kamar hotel yang sudah ia sewa.Seperti yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari. Hati Galang menjerit marah karena rencana mereka sudah gagal sejak tadi malam. “Ya ampun sial banget.” Pekik pria itu meluapkan emosinya hingga tiba-tiba terbangun. Selimut yang tadi menutup tubuh po