"Huh, biarkan saja mereka seperti itu. Bude yakin sekali kalau orang macam mereka hidupnya nggak akan mujur," jawab Bu Yuli mengusap bahu Anisa untuk menguatkannya.
"Bude juga yakin sekali kalau wanita baik seperti kamu akan menemukan pria yang jauh lebih baik dari dia. Jadi, bersemangatlah Nis. Nanti, kalau kamu sudah sembuh total dan sudah menyelesaikan tugasmu. Kamu harus bisa merawat tubuhmu kembali biar cantik kayak masih perawan dulu. Biar tuh si Angga mati kutu karena sudah tega meninggalkan kamu," nasihati Bu Yuli.
"Iya Bude. Terima kasih banyak atas nasihat dan dukungannya? Oya, nanti misalnya aku belum menemukan tempat buat tinggal lagi. Aku bolehkan numpang di rumah Bude dulu?" tanya Anisa penuh harap.
"Tentu boleh sangat, Nis." Bu Yuli tersenyum sedih. Dia tahu benar betapa beratnya jadi Anisa.
Di sela-sela obrolan mereka tak berselang lama terdengar suara ketukan pintu lagi.
"Masuk saja! Tidak dikunci kok!" teriak Bu Yuli yang malas berjalan untuk membukakan pintu. Rematiknya mulai kumat lagi karena kedinginan. Lagi pula, dia kurang tidur akibat menunggui Anisa semalam.
Ceklek!
Suara handel pintu dibuka seseorang. Anisa dan Bu Yuli segera menatap ke arah pintu untuk melihat siapa yang masuk.
"Assalamualaikum!" Tampaklah wanita paruh baya yang tadi pagi datang menjenguk Anisa.
"W*,alaikummussalam. Eh, Ibu! Maaf, kakiku kumat linu-linunya jadi malas mau bukakan pintu," ucap Bu Yuli tersenyum malu. Dia benar-benar tidak menyangka kalau tamu agung yang datang.
"Ah, tidak perlu minta maaf. Seharusnya, aku yang minta maaf karena mengganggu obrolan kalian," balas Bu Irma tersenyum. Dia merasa tidak enak karena sudah mengganggu. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekat.
"Tidak mengganggu kok, Bu. Malah tambah seru kalau ketambahan lagi teman ngobrolnya," balas Bu Yuli tersenyum kikuk.
"Baguslah kalau begitu. Aku sangat senang mendengarnya," balas Bu Irma menghentikan langkahnya tepat di samping Bu Yuli. Bibirnya melengkung ke atas. Dia begitu senang bisa bertemu orang-orang ramah macam Anisa dan Bu Yuli.
"Oya, apa anak-anak ibu masih menjenguk si Ganang di ruangannya?" tanya Bu Yuli bosa-basi.
"Ganang? Siapa itu si Ganang?" tanya Bu Irma mengkerutkan keningnya bingung.
"Em, Ganang itu sebutan untuk cucu barunya Ibu, hehe. Kalau suku jawa biasanya menjulukinya itu, Bu." Bu Yuli tersenyum kikuk.
"Oh, maaf aku tidak tahu." Bu Irma tersenyum kikuk. Tangannya menyentuh lengan Bu Yuli.
"Mereka sudah pulang ke rumah duluan. Entah kenapa aku masih betah di sini. Makanya tidak ikut pulang," jelas Bu Irma menatap ke arah Anisa yang masih melengkungkan bibirnya ke atas."Syukurlah, kalau begitu aku nggak sendirian dong menemani Anisanya. Mungkin, Tuhan sengaja membuat Ibu betah di rumah sakit karena kasihan sama aku yang kesepian nih," ledek Bu Yuli tersenyum kikuk.
"Ah, bisa jadi itu, Bu." Akhirnya dua wanita paruh baya itu tertawa renyah bersama-sama. Sementara, Anisa hanya melengkungkan bibirnya saja. Mengingat kondisinya yang belum pulih pasca operasi caesar.
Di saat bersamaan ponsel Bu Irma bergetar. Namun, dia abaikan karena dia paham betul siapa yang sedang menghubunginya itu.
"Maaf Bu, kok itu ponselnya bergetar terus diabaikan? Takutnya, panggilan penting loh, Bu!" peringati Bu Yuli.
"Halah, paling juga yang menghubungi anakku. Biarkan saja dulu, aku belum ingin pulang. Aku masih ingin ngobrol-ngobrol sama kalian. Besok-besok belum tentu aku bisa bertemu sama Bu Yuli lagi. Kalau sama Anisa sih memang masih bisa. Kan dia bakalan tinggal satu atap sama aku sampai si Abigail berumur enam bulan," jelas Bu Irma santai.
"Kalau cuma ingin bertemu denganku, Ibu bisa datang ke pasar kota. Aku sama suami jualan sayuran di sana. Kan, sekalian Ibu beli dagangan kami biar cepat habis," balas Bu Yuli disertai senda gurau.
"Oke deh besok-besok insya Allah aku akan menjadi pelanggan setia Bu Yuli sama Pak Rahmat," balas Bu Irma tersenyum. Tangannya menyentuh bahu Bu Yuli kembali.
"Ah, Ibu serius nih? Padahal aku tadi cuma bergurau saja. Jadi, malu nih," ucap Bu Yuli tersipu malu.
"Hemmm, buat apa malu? Kita kan harus saling menguntungkan sebagai teman. Mulai besok aku nggak perlu susah-susah harus memilih penjual sayuran yang amanah. Sementara, Bu Yuli jualannya mendapatkan pelanggan baru. Benarkan, Nis?" Bu Irma menatap Anisa meminta persetujuan darinya.
"Iya benar sekali. Dengan begitu, aku juga pasti memiliki keuntungan juga. Aku bisa bertemu sama Bu Yuli tanpa mengeluarkan ongkos. Kan, bisa nebeng sama atasan," ledek Anisa gantian.
Lagi-lagi dua wanita paruh baya itu tertawa menggelegar meramaikan kamar rawat Anisa.
Sementara, Anisa lagi-lagi hanya tersenyum saja. Dia tidak berani tertawa berlebihan mengingat bekas operasi caesarnya yang jelas belum sembuh atau mengering.
Di saat bersamaan terdengar suara ketukan pintu di ruangan Anisa.
"Siapa lagi tuh yang datang? Apa suami Bu Yuli sudah kembali?" tanya Bu Irma.
"Sepertinya sih bukan, Bu. Kalau suamiku pasti habis ketuk pintu langsung nyelonong masuk saja. Nggak perlu nunggu dibukakan pintu segala," jelas Bu Yuli tersenyum malu.
"Oh," balas Bu Irma menganggukkan kepala mengerti.
"Masuk saja! pintunya tidak dikunci kok!" perintah Bu Yuli yang malas berjalan hanya untuk sekadar membukakan pintu saja.
Ceklek!
Pintu ruangan Anisa dibuka seseorang. Tak lama tampaklah seorang pria tampan memasang wajah dingin. Mereka yang berada di dalam langsung memasang senyuman. Hanya Bu Irma saja yang diam tanpa ekspresi sama sekali.
Dia paham sikap anaknya seperti itu karena kesal dengannya yang tidak kunjung mengangkat panggilannya. Tanpa ingin masuk ke dalam untuk sekadar bosa-basi pria itu langsung mengutarakan isi hatinya.
"Apakah mengobrol dengan orang yang baru dikenal itu lebih penting daripada mengangkat panggilan anaknya?" tanya Abimana dengan suara dingin. Matanya merah menyala. Dia benar-benar marah sudah diabaikan.
Bu Irma menghela napasnya kasar. "Bukan begitu, ponsel Ibu disailent. Jadi, Ibu tidak mengetahui ada yang memanggil," jelas Bu Irma santai. Terpaksa dia berbohong. Dia malas berdebat dengan anaknya itu.
"Oh, ya sudah. Lanjutkan saja ngobrolnya sampai puas. Aku ingin kembali le ruangan istriku sekarang," ucap Abimana semakin dingin. Dia segera berlalu dari sana meninggalkan ibunya.
"Eh, maksud kamu apa, Abimana?" teriak Bu Irma bingung. Dia jadi khawatir dengan kondisi menantunya itu.
Namun, Abimana tidak menggubrisnya sama sekali. Kakinya terus melangkah cepat meninggalkan ibunya yang sangat menyebalkan itu.
"Sebaiknya, Ibu susul Pak Abimana saja sekarang! Aku takut terjadi sesuatu hal buruk sama Mbak Zaskya. Dari nada bicaranya bisa dipastikan kalau Pak Abimana sedang tidak baik-baik saja," saran Anisa merasa tidak enak hati. Hatinya juga merasa khawatir dengan ucapan Abimana itu.
"Iya. Ya sudah. Aku pergi sekarang menyusul Abimana. Jaga kesehatanmu ya, Nak." Bu Irma menyentuh lengan Anisa dulu sebelum beranjak pergi. Jujur hati Anisa menghangat mendapatkan perlakuan seperti itu. Itu artinya dia memiliki satu orang baru yang mau peduli dengannya. Bu Irma tergesa-gesa mengekori langkah anaknya yang sangat cepat itu. Napasnya ngos-ngosan karena terus mengimbangi Abimana yang jelas masih kuat dan sehat. Berbeda dengannya yang sudah menua dimakan umur. "Abimana tinggu, Nak! Jangan buru-buru gitu! Ibu tak sanggup mengimbangimu!" teriak Bu Irma berusaha meminta keringanan. Abimana menulikan pendengarannya. Langkahnya terus terpacu menyusuri setiap koridor rumah sakit untuk kembali ke ruangan istrinya. Hatinya masih kesal. Bahkan, sangat kesal dengan sikap kekanak-kanakkan ibunya itu. "Haduh, kok jadi begini sih ceritanya? Kenapa sih sikap keras ayahnya nempel banget didia?" gumam Bu Irma sambil membuang napasnya kasar. ***Kini langkah kaki Abimana berhenti tep
"Tidak. Kamu duluan saja yang ke sana. Aku ingin menunggui Ibu dulu. Kasihan beliau sendirian di sini," tolak Abimana. Dia masih terluka hatinya. Jadi, untuk sementara waktu ini dia ingin menghindari istrinya itu. "Oh. Aku tinggal ya? Nanti, sekiranya Ibu sadarkan diri … tolong kamu kabari aku jika terdapat keluhan?" pesan Almira tersenyum. "Tentu," jawab Abimana tersenyum. Almira segera pergi meninggalkan ruangan Bu Irma. Dia paham betul, jika sebenarnya Abimana itu sedang merajuk dengan Zaskya makanya menolak ajakannya. "Semoga amarahmu lekas meredup, Bi. Bagaimanapun juga, Zaskya melakukan semua hal bodoh itu untuk meraih kebahagiaan di sisa-sisa umurnya," gumam Almira dalam hati. Setitik buliran bening kembali menetes.Setelah selesai mengemban tugasnya, sang suster segera memohon izin kepada Abimana untuk kembali ke ruangannya. Kini tinggal Abimana seorang diri di dalam ruangan ibunya. Dia terus merenung dan meresapi nasib buruknya. Entah mengapa semua usahanya terbalaskan d
"Huh, dasar anak itu." Bu Irma tersenyum serta menggelengkan kepalanya.Senyum Abimana memudar saat sudah sampai di depan pintu ruangan istrinya. Tangannya terangkat ke atas mulai mengetuk pintu. Mereka yang berada di dalam langsung tertegun. Almira segera melangkah mendekati pintu untuk membukanya. "Eh, Abimana? Ayo masuk! Oh ya, aku gantian yang keluar ya? Masih banyak pasien yang harus kutangani." Bibir Almira melengkung ke atas. Hatinya sedikit lega melihat siapa yang datang. "Hemmm. Oh ya, tolong sekalian urus ibuku. Tadi, dia bilang mau segera menyusulku kemari. Perintahlah satu suster untuk mengantarkan ibuku kemari menggunakan kursi roda. Aku belum yakin kalau ibuku sudah kuat untuk berdiri lama-lama," ucap Abimana datar. "Siap! Ya sudah. Aku tinggal sekarang!" Almira tersenyum lalu segera beranjak pergi dari sana tanpa berpamitan dengan Zaskya. Abimana segera masuk ke dalam, terlihat istrinya itu masih asik menatap langit-langit kamar sambil tersenyum getir. "Bagaimana
"Ih, apaan sih, Mas!" Zaskya mendorong pelan wajah Abimana agar menjauh. "Ayo cepat jelaskan!" Abimana memegang tangan Zaskya agar tidak bisa mendorongnya lagi. "Issst, aku nggak serius kok. Aku cuma bercanda saja," jawab Zaskya tersipu malu. "Baguslah! Ya sudah. Sekarang mau makan buah apa?" tanya Abimana tersenyum. "Buah apel saja yang jelas manis," jawab Zaskya tersenyum. "Oke, akan aku kupaskan dulu kulitnya." Abimana mencium kening Zaskya sekilas sebelum beranjak.Sungguh momen seperti ini sangat disukai Zaskya. Rasanya ingin sekali dia menolak ketika suatu hari nanti azalnya datang menjemput. ***Seminggu kemudian ….Kini Zaskya, Anisa, serta Baby Abigail sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Sesuai dengan perjanjian yang sudah mereka sepakati, Anisa pun ikut pulang ke rumah mereka. Setibanya di rumah mewah nan megah itu, satu persatu dari mereka turun dari mobil. Lalu, bergegas masuk ke dalam rumah setelah berpamitan dengan Abimana yang masih stay di dalam mobil. Anisa y
"Biasa Bu, melamuni nasib, hehe." Anisa cengengesan lagi. Dia mencoba membuat lelucon lagi untuk menghibur hatinya. "Haduh, buat apa nasib direnungi segala? Lebih baik, kita mensyukuri saja apa yang terjadi. Dengan begitu, beban hidup kita tidak akan terasa berat lagi. Percayalah dari setiap cobaan yang datang menerjang hidup kita. Di balik itu pasti akan ada hadiah terindah. "Aamiin," jawab Anisa senang. Dia berharap apa yang dikatakan pembantu di rumah bosnya ini menjadi kenyataan."Ya sudah. Mari ikuti Mbok masuk ke dalam kamar Den Abigail. Pasti Non Zaskya tengah gusar karena kamu tidak segera menghampirinya," ajak Mbok Nem tersenyum. "Iya Mbok!" Anisa tersenyum sambil mengekori langkah Mbok Nem.Sementara mobil Abimana segera tancap gas ke kantornya. Begitu sampai di kamar yang ditunjukkan Mbok Nem, Anisa segera mohon permisi sebelum masuk. Terlihat jelas, Zaskya sangat kebingungan menangani Abigail yang terus merengek minta jatah. Selama diperjalanan tadi, dia sama sekali t
Malam ini, Anisa harus menerima kenyataan pahit. Di saat kandungannya memasuki tujuh bulan. Semua pakaian yang tersusun rapih di dalam lemari kayu yang mulai rapuh itu dikeluarkan oleh suaminya. Jujur dia panik, cemas dan gelisah. Sebenarnya, apa yang ingin dilakukan suaminya itu."Mas, kenapa pakaianku dikeluarkan semua?" tanya Anisa bingung bercampur cemas. Angga tidak menggagas sama sekali pertanyaan istrinya itu. Dia malah beralih mengambil tas berukuran besar yang tercantol di dinding. Tentu saja hal itu tambah membuat perasaan Anisa tidak karuan. "Mas, apa yang sedang Mas lakukan? Apakah Mas ingin mengusirku?" tanya Anisa dengan air mata yang berderai. Angga yang tidak tahan lagi segera menghela napasnya kasar sebelum mengeluarkan unek-unek di dalam hatinya. "Benar, aku akan mengusirmu. Sekarang tolong kamu bantu aku mengemasi semua barang-barang milikmu," jawab Angga dengan napas naik-turun. "Ya Allah, kenapa Mas mengusirku? Apakah Mas tidak kasihan dengan calon anak kita
Kini Pak Rahmat dan Bu Yuli tengah duduk di depan ruangan gawat darurat. Mereka begitu cemas dan panik. Berbagai macam doa mereka panjadkan untuk memohon keselamatan Anisa dan anaknya. Tak berselang lama, munculah seorang dokter dari dalam ruangan gawat darurat menghampiri mereka. Sepertinya, ada sesuatu hal penting yang beliau ingin diskusikan dengan pihak keluarga pasien."Maaf, ada yang saya ingin rundingkan dengan bapak dan ibu soal pasien," ucap Bu Dokter dengan raut wajah serius. "Oh, iya Bu Dokter." Mereka berdua segera bangkit dari kursi. "Em, setelah saya melakukan beberapa pemeriksaan pada kondisi pasien. Sebaiknya, pasien harus segera menjalankan operasi untuk menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Saat ini pasien tengah mengalami pendarahan hebat. Jika, tidak segera ditangani bisa juga mengancam keselamatan pasien," jelas Bu Dokter dengan wajah serius."Innalillahi wa innalillahi roziun!" Bu Yuli menutup mulutnya dengan telapak tangan karena begitu shock."M
Anisa dengan isak tangisnya segera menatap ke arah tiga orang yang baru masuk. Tangannya dengan cepat mengusap buliran-buliran bening yang terus merembes dari matanya. Lalu, memasang senyuman seindah mungkin di hadapan para tamu agungnya itu. Dia paham sekali kalau orang yang berkunjung itu merupakan calon keluarga baru untuk anaknya. Sementara, mereka yang baru datang itu ikut tersenyum haru. Mereka bisa merasakan kesedihan yang sedang dialami Anisa. Namun, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini adalah kesempatan terbaik bagi mereka untuk melengkapi keluarga mereka. Mereka juga berharap dengan hadirnya sosok bayi adopsi ini. Zaskya juga bisa segera diberi momongan oleh Sang Pencipta. Menurut beberapa sahabat dan kerabat dekat mereka, hal itu digunakan sebagai pancingannya. "Ini ada sedikit buah tangan untuk Anda," ucap Zaskya tersenyum senang. menyerahkan keranjang berisi aneka buah-buahan kepada Anisa. "Terima kasih banyak, Nyonya. Seharusnya, kalian tidak usah repot-repot
"Biasa Bu, melamuni nasib, hehe." Anisa cengengesan lagi. Dia mencoba membuat lelucon lagi untuk menghibur hatinya. "Haduh, buat apa nasib direnungi segala? Lebih baik, kita mensyukuri saja apa yang terjadi. Dengan begitu, beban hidup kita tidak akan terasa berat lagi. Percayalah dari setiap cobaan yang datang menerjang hidup kita. Di balik itu pasti akan ada hadiah terindah. "Aamiin," jawab Anisa senang. Dia berharap apa yang dikatakan pembantu di rumah bosnya ini menjadi kenyataan."Ya sudah. Mari ikuti Mbok masuk ke dalam kamar Den Abigail. Pasti Non Zaskya tengah gusar karena kamu tidak segera menghampirinya," ajak Mbok Nem tersenyum. "Iya Mbok!" Anisa tersenyum sambil mengekori langkah Mbok Nem.Sementara mobil Abimana segera tancap gas ke kantornya. Begitu sampai di kamar yang ditunjukkan Mbok Nem, Anisa segera mohon permisi sebelum masuk. Terlihat jelas, Zaskya sangat kebingungan menangani Abigail yang terus merengek minta jatah. Selama diperjalanan tadi, dia sama sekali t
"Ih, apaan sih, Mas!" Zaskya mendorong pelan wajah Abimana agar menjauh. "Ayo cepat jelaskan!" Abimana memegang tangan Zaskya agar tidak bisa mendorongnya lagi. "Issst, aku nggak serius kok. Aku cuma bercanda saja," jawab Zaskya tersipu malu. "Baguslah! Ya sudah. Sekarang mau makan buah apa?" tanya Abimana tersenyum. "Buah apel saja yang jelas manis," jawab Zaskya tersenyum. "Oke, akan aku kupaskan dulu kulitnya." Abimana mencium kening Zaskya sekilas sebelum beranjak.Sungguh momen seperti ini sangat disukai Zaskya. Rasanya ingin sekali dia menolak ketika suatu hari nanti azalnya datang menjemput. ***Seminggu kemudian ….Kini Zaskya, Anisa, serta Baby Abigail sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Sesuai dengan perjanjian yang sudah mereka sepakati, Anisa pun ikut pulang ke rumah mereka. Setibanya di rumah mewah nan megah itu, satu persatu dari mereka turun dari mobil. Lalu, bergegas masuk ke dalam rumah setelah berpamitan dengan Abimana yang masih stay di dalam mobil. Anisa y
"Huh, dasar anak itu." Bu Irma tersenyum serta menggelengkan kepalanya.Senyum Abimana memudar saat sudah sampai di depan pintu ruangan istrinya. Tangannya terangkat ke atas mulai mengetuk pintu. Mereka yang berada di dalam langsung tertegun. Almira segera melangkah mendekati pintu untuk membukanya. "Eh, Abimana? Ayo masuk! Oh ya, aku gantian yang keluar ya? Masih banyak pasien yang harus kutangani." Bibir Almira melengkung ke atas. Hatinya sedikit lega melihat siapa yang datang. "Hemmm. Oh ya, tolong sekalian urus ibuku. Tadi, dia bilang mau segera menyusulku kemari. Perintahlah satu suster untuk mengantarkan ibuku kemari menggunakan kursi roda. Aku belum yakin kalau ibuku sudah kuat untuk berdiri lama-lama," ucap Abimana datar. "Siap! Ya sudah. Aku tinggal sekarang!" Almira tersenyum lalu segera beranjak pergi dari sana tanpa berpamitan dengan Zaskya. Abimana segera masuk ke dalam, terlihat istrinya itu masih asik menatap langit-langit kamar sambil tersenyum getir. "Bagaimana
"Tidak. Kamu duluan saja yang ke sana. Aku ingin menunggui Ibu dulu. Kasihan beliau sendirian di sini," tolak Abimana. Dia masih terluka hatinya. Jadi, untuk sementara waktu ini dia ingin menghindari istrinya itu. "Oh. Aku tinggal ya? Nanti, sekiranya Ibu sadarkan diri … tolong kamu kabari aku jika terdapat keluhan?" pesan Almira tersenyum. "Tentu," jawab Abimana tersenyum. Almira segera pergi meninggalkan ruangan Bu Irma. Dia paham betul, jika sebenarnya Abimana itu sedang merajuk dengan Zaskya makanya menolak ajakannya. "Semoga amarahmu lekas meredup, Bi. Bagaimanapun juga, Zaskya melakukan semua hal bodoh itu untuk meraih kebahagiaan di sisa-sisa umurnya," gumam Almira dalam hati. Setitik buliran bening kembali menetes.Setelah selesai mengemban tugasnya, sang suster segera memohon izin kepada Abimana untuk kembali ke ruangannya. Kini tinggal Abimana seorang diri di dalam ruangan ibunya. Dia terus merenung dan meresapi nasib buruknya. Entah mengapa semua usahanya terbalaskan d
"Iya. Ya sudah. Aku pergi sekarang menyusul Abimana. Jaga kesehatanmu ya, Nak." Bu Irma menyentuh lengan Anisa dulu sebelum beranjak pergi. Jujur hati Anisa menghangat mendapatkan perlakuan seperti itu. Itu artinya dia memiliki satu orang baru yang mau peduli dengannya. Bu Irma tergesa-gesa mengekori langkah anaknya yang sangat cepat itu. Napasnya ngos-ngosan karena terus mengimbangi Abimana yang jelas masih kuat dan sehat. Berbeda dengannya yang sudah menua dimakan umur. "Abimana tinggu, Nak! Jangan buru-buru gitu! Ibu tak sanggup mengimbangimu!" teriak Bu Irma berusaha meminta keringanan. Abimana menulikan pendengarannya. Langkahnya terus terpacu menyusuri setiap koridor rumah sakit untuk kembali ke ruangan istrinya. Hatinya masih kesal. Bahkan, sangat kesal dengan sikap kekanak-kanakkan ibunya itu. "Haduh, kok jadi begini sih ceritanya? Kenapa sih sikap keras ayahnya nempel banget didia?" gumam Bu Irma sambil membuang napasnya kasar. ***Kini langkah kaki Abimana berhenti tep
"Huh, biarkan saja mereka seperti itu. Bude yakin sekali kalau orang macam mereka hidupnya nggak akan mujur," jawab Bu Yuli mengusap bahu Anisa untuk menguatkannya. "Bude juga yakin sekali kalau wanita baik seperti kamu akan menemukan pria yang jauh lebih baik dari dia. Jadi, bersemangatlah Nis. Nanti, kalau kamu sudah sembuh total dan sudah menyelesaikan tugasmu. Kamu harus bisa merawat tubuhmu kembali biar cantik kayak masih perawan dulu. Biar tuh si Angga mati kutu karena sudah tega meninggalkan kamu," nasihati Bu Yuli. "Iya Bude. Terima kasih banyak atas nasihat dan dukungannya? Oya, nanti misalnya aku belum menemukan tempat buat tinggal lagi. Aku bolehkan numpang di rumah Bude dulu?" tanya Anisa penuh harap. "Tentu boleh sangat, Nis." Bu Yuli tersenyum sedih. Dia tahu benar betapa beratnya jadi Anisa.Di sela-sela obrolan mereka tak berselang lama terdengar suara ketukan pintu lagi. "Masuk saja! Tidak dikunci kok!" teriak Bu Yuli yang malas berjalan untuk membukakan pintu. Re
"Iya benar sekali. Untung saja matanya tidak ikut sipit seperti kamu, Mas. Bisa-bisa aku menaruh curiga sama kamu ... kalau kamu itu ada hubungan gelap sama Anisa. Hehehe," sambung Zaskya meledeki Abimana. "Hemmm, segitu burukkah aku di matamu, Sayang?" tanya Abimana terkekeh. Tangannya mencubit pelan pipi Zaskya karena gemas. "Ih, sakit, Mas." Bibir Zaskya mencebik. "Hisk, kamu ini tidak malu apa sama anak kita memasang tampang seperti itu?" goda Abimana terkekeh. "Tentu tidaklah. Mana ada anak kita mengetahuinya. Sementara, dia masih tertidur pulas seperti itu," jawab Zaskya tersenyum menang. "Hemmm, kalian berdua seharusnya malu dengan Ibu. Secara kelakuan kalian itu kayak ABG tahun sembilan puluhan," sahut Bu Irma tersenyum geli. Di saat bersamaan, bayi mungil itu menggeliat. Tubuhnya yang merah jadi semakin merah seperti tomat matang. Mereka yang melihat langsung tersenyum senang. Ternyata benar sekali, kehadiran anak adopsi mereka menambah kebahagiaan dan kesempurnaan di k
Anisa dengan isak tangisnya segera menatap ke arah tiga orang yang baru masuk. Tangannya dengan cepat mengusap buliran-buliran bening yang terus merembes dari matanya. Lalu, memasang senyuman seindah mungkin di hadapan para tamu agungnya itu. Dia paham sekali kalau orang yang berkunjung itu merupakan calon keluarga baru untuk anaknya. Sementara, mereka yang baru datang itu ikut tersenyum haru. Mereka bisa merasakan kesedihan yang sedang dialami Anisa. Namun, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini adalah kesempatan terbaik bagi mereka untuk melengkapi keluarga mereka. Mereka juga berharap dengan hadirnya sosok bayi adopsi ini. Zaskya juga bisa segera diberi momongan oleh Sang Pencipta. Menurut beberapa sahabat dan kerabat dekat mereka, hal itu digunakan sebagai pancingannya. "Ini ada sedikit buah tangan untuk Anda," ucap Zaskya tersenyum senang. menyerahkan keranjang berisi aneka buah-buahan kepada Anisa. "Terima kasih banyak, Nyonya. Seharusnya, kalian tidak usah repot-repot
Kini Pak Rahmat dan Bu Yuli tengah duduk di depan ruangan gawat darurat. Mereka begitu cemas dan panik. Berbagai macam doa mereka panjadkan untuk memohon keselamatan Anisa dan anaknya. Tak berselang lama, munculah seorang dokter dari dalam ruangan gawat darurat menghampiri mereka. Sepertinya, ada sesuatu hal penting yang beliau ingin diskusikan dengan pihak keluarga pasien."Maaf, ada yang saya ingin rundingkan dengan bapak dan ibu soal pasien," ucap Bu Dokter dengan raut wajah serius. "Oh, iya Bu Dokter." Mereka berdua segera bangkit dari kursi. "Em, setelah saya melakukan beberapa pemeriksaan pada kondisi pasien. Sebaiknya, pasien harus segera menjalankan operasi untuk menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Saat ini pasien tengah mengalami pendarahan hebat. Jika, tidak segera ditangani bisa juga mengancam keselamatan pasien," jelas Bu Dokter dengan wajah serius."Innalillahi wa innalillahi roziun!" Bu Yuli menutup mulutnya dengan telapak tangan karena begitu shock."M