Malam ini, Anisa harus menerima kenyataan pahit. Di saat kandungannya memasuki tujuh bulan. Semua pakaian yang tersusun rapih di dalam lemari kayu yang mulai rapuh itu dikeluarkan oleh suaminya. Jujur dia panik, cemas dan gelisah. Sebenarnya, apa yang ingin dilakukan suaminya itu.
"Mas, kenapa pakaianku dikeluarkan semua?" tanya Anisa bingung bercampur cemas.
Angga tidak menggagas sama sekali pertanyaan istrinya itu. Dia malah beralih mengambil tas berukuran besar yang tercantol di dinding. Tentu saja hal itu tambah membuat perasaan Anisa tidak karuan.
"Mas, apa yang sedang Mas lakukan? Apakah Mas ingin mengusirku?" tanya Anisa dengan air mata yang berderai.
Angga yang tidak tahan lagi segera menghela napasnya kasar sebelum mengeluarkan unek-unek di dalam hatinya.
"Benar, aku akan mengusirmu. Sekarang tolong kamu bantu aku mengemasi semua barang-barang milikmu," jawab Angga dengan napas naik-turun.
"Ya Allah, kenapa Mas mengusirku? Apakah Mas tidak kasihan dengan calon anak kita yang sebentar lagi akan lahir di dunia ini?" tanya Aisyah tersedu-sedu. Tangannya berusaha menghalangi tangan suaminya yang terus memasukkan sehelai demi sehelai pakaiannya ke dalam tas.
"Tidak! Aku tidak perduli sama sekali dengan anak itu," jawab Angga dengan nada yang tinggi. Tangannya segera menepis tangan Anisa yang menghalangi aksinya.
"Mas aku mohon jangan usir aku! Aku nggak apa-apa kok, kalau Mas mau menikahi Murni. Aku bersedia dimadu. Jika Mas tidak ingin menafkahi aku juga nggak apa-apa kok." Anisa tersedu-sedu. Dia mencoba merayu suaminya. Dia paham kalau suaminya ini mengusirnya karena wanita itu. Lagi pula hanya gubuk inilah yang dia andalkan untuk berteduh.
"Heh, kamu pikir aku mengusirmu karena wanita itu." Angga tersenyum mengejek. Dia menarik reksleting tas itu hingga tertutup rapat.
"Maaf Mas, jika aku sudah salah." Anisa menyeka air matanya.
"Lalu? Alasan apa Mas yang mendasarinya?" tanya Anisa memberanikan diri."Asal kamu tahu, rumah ini sudah bukan milik kita lagi," jawab Angga santai.
"Astagfirullahaladzim!" Secepat kilat tangannya menutup mulut karena shock. Anisa terdiam. Dia tak mampu berkata-kata lagi. Sekarang dia sudah tidak memiliki tempat berteduh lagi.
"Sudah, sekarang kamu harus pergi dari rumah ini!" Angga menarik paksa Anisa untuk mengikutinya.
Anisa masih terdiam tak ada ucapan sama sekali yang
terlontar dari mulutnya. Dia pasrah saja ditarik kasar begitu. Perutnya mulai berdenyut nyeri. Namun, dia tak memperdulikannya.
Begitu sampai di luar rumah, Angga segera melepaskan cengkramannya. Tangannya bergegas meraih kunci yang berada di saku jaketnya. Lalu, mengunci pintu rumah itu. Kemudian, dia melangkah cepat meninggalkan Anisa yang masih terbengong di depan pintu.
Kini Angga tengah sibuk mengengkol dan mengegas motornya berulang kali. Motornya ini memang bandel saat dinyalakan. Maklum, usia motornya jauh lebih tua dari usia pernikahannya yang baru menginjak satu tahun ini.
"Sialan! Kenapa kamu ini sulit diajak kompromi sih? Enggak tahu apa kalau orang lagi buru-buru," umpat Angga semakin kesal. Kakinya terus bergerak mengengkol motornya. Setelah sepuluh kali berolahraga, akhirnya motor itu menyala.
Suara keras motor Angga menyadarkan lamunannya Anisa. Dia segera meraih tasnya, lalu berlari cepat mendekati suaminya. Dia tidak mau ditinggal sendirian. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bersama suaminya. Dia tidak ingin anaknya ini lahir tanpa sosok ayah.
Tanpa banyak tanya dia segera nangkring di jok motor bagian belakang.
"Apa yang kamu lakukan? Turun!" tegas Angga kasar.
"Enggak mau, aku mau ikut Mas. Mas kan tahu kalau aku nggak punya tempat tinggal lagi," tolak Anisa tersedu-sedu.
"Turun!" titah Angga geram.
Anisa nggak bergeming sama sekali. Dia malah berpegang erat pada perut suaminya.
"Kamu ini memang sulit sekali kalau diberitahu dengan cara baik." Emosi Angga membludak. Tangannya dengan cepat melepaskan rangkulan Anisa. Lalu, mendorong kuat tubuh Anisa menggunakan sikunya.
Brukkk!
"Auwww!" Anisa yang terguling di tanah langsung merintih kesakitan.
"Heh, rasakan!" Angga tersenyum puas. Dia segera melajukan motornya meninggalkan Anisa.
***
Di pertigaan jalan, Angga bertemu dengan tetangga sebelah rumahnya yang baru saja pulang dari Masjid. Dengan gaya angkuhnya, dia menggas motornya kuat. Tentu saja hal itu membuat tetangganya mengelus dada.
"Ya Allah, kenapa bisa sih orang macam dia diberi kesempatan umur yang panjang," kutuk Bu Yuli kesal.
"Astagfirullahaladzim. Ibu ini kalau bicara jangan asal gitu. Lebih baik, Ibu doakan dia supaya segera taubat. Kalau dia sampai berumur pendek, bagaimana dengan nasib Anisa dan anaknya," nasihati Pak Rahmat.
"Halah, Pak. Tanpa dia pun Anisa masih bisa hidup. Asal Bapak tahu ... Anisa itu setiap hari banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri," jawab Bu Yuli santai.
Pak Rahmat tak mampu berbicara lagi. Kini dia hanya menghela napasnya saja.
Mereka berdua terus melangkah berdampingan tanpa ada percakapan lagi. Kondisi jalanan terlihat sepi karena orang-orang tengah berkumpul di Masjid. Hari ini para warga tengah melaksanakan acara maulid nabi. Jadi, rumah-rumah warga pada kosong.
Pak Rahmat dan Bu Yuli memutuskan pulang duluan. Entah mengapa perasaan was-was membubuhi hati Bu Yuli. Dia teringat dengan Anisa yang tadi sempat bilang kalau perutnya sedikit keram. Makanya, dia tak bisa ikut ke Masjid.
Setibanya, di jalan dekat rumah mereka. Samar-samar mereka mendengar suara seseorang meminta tolong. Perasaan was-was Bu Yuli jadi tambah tidak karuan. Tangannya segera menarik paksa tangan suaminya. Dia takut terjadi apa-apa.
"Ayo Pak buruan! Itu pasti suaranya Anisa." Mereka berdua segera berlari secepat mungkin agar segera sampai.
Deggg!
Jantung mereka langsung berhenti seketika melihat Anisa tengah tiduran di tanah sambil memegangi perutnya. Mulutnya terus meminta tolong.
"Ya Allah, Anisa!" teriak Bu Yuli panik. Dia dan suaminya segera mendekati Anisa.
Anisa yang dipanggil segera menatap ke arah orang tersebut. Bibirnya melengkung senang ketika melihat tetangga terbaiknya itu datang.
"Apa yang sudah terjadi denganmu, Nis?" tanya Bu Yuli sambil membantu Anisa bangkit.
"Ah!" Kondisi perut Anisa yang sangat sakit, membuat dirinya tak mampu lagi untuk bangkit.
"Aku tak punya tempat tinggal lagi, Bude. Rumah ini sudah milik orang," jelas Anisa terus memegangi perutnya yang sakit. Bahkan, darah segar terus mengalir lewat selangkangannya.
"Astagfirullah, kejam sekali memang suamimu itu. Aku sumpahin, biar nggak selamet dia di jalan," sumpahi Bu Yuli untuk yang kesekian kalinya.
"Sudah! Daripada sibuk nyumpahin Angga, lebih baik kita bawa Anisa ke rumah sakit sebelum terlambat," nasihati Pak Rahmat. Dia segera meraih ponsel di saku celananya untuk menghubungi rumah sakit terdekat.
Tak berselang lama, terdengar suara ambulan datang. Mereka buru-buru mengangkat tubuh Anisa untuk dinaikkan ke atas brankar.
Kini Pak Rahmat dan Bu Yuli tengah duduk di depan ruangan gawat darurat. Mereka begitu cemas dan panik. Berbagai macam doa mereka panjadkan untuk memohon keselamatan Anisa dan anaknya. Tak berselang lama, munculah seorang dokter dari dalam ruangan gawat darurat menghampiri mereka. Sepertinya, ada sesuatu hal penting yang beliau ingin diskusikan dengan pihak keluarga pasien."Maaf, ada yang saya ingin rundingkan dengan bapak dan ibu soal pasien," ucap Bu Dokter dengan raut wajah serius. "Oh, iya Bu Dokter." Mereka berdua segera bangkit dari kursi. "Em, setelah saya melakukan beberapa pemeriksaan pada kondisi pasien. Sebaiknya, pasien harus segera menjalankan operasi untuk menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Saat ini pasien tengah mengalami pendarahan hebat. Jika, tidak segera ditangani bisa juga mengancam keselamatan pasien," jelas Bu Dokter dengan wajah serius."Innalillahi wa innalillahi roziun!" Bu Yuli menutup mulutnya dengan telapak tangan karena begitu shock."M
Anisa dengan isak tangisnya segera menatap ke arah tiga orang yang baru masuk. Tangannya dengan cepat mengusap buliran-buliran bening yang terus merembes dari matanya. Lalu, memasang senyuman seindah mungkin di hadapan para tamu agungnya itu. Dia paham sekali kalau orang yang berkunjung itu merupakan calon keluarga baru untuk anaknya. Sementara, mereka yang baru datang itu ikut tersenyum haru. Mereka bisa merasakan kesedihan yang sedang dialami Anisa. Namun, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini adalah kesempatan terbaik bagi mereka untuk melengkapi keluarga mereka. Mereka juga berharap dengan hadirnya sosok bayi adopsi ini. Zaskya juga bisa segera diberi momongan oleh Sang Pencipta. Menurut beberapa sahabat dan kerabat dekat mereka, hal itu digunakan sebagai pancingannya. "Ini ada sedikit buah tangan untuk Anda," ucap Zaskya tersenyum senang. menyerahkan keranjang berisi aneka buah-buahan kepada Anisa. "Terima kasih banyak, Nyonya. Seharusnya, kalian tidak usah repot-repot
"Iya benar sekali. Untung saja matanya tidak ikut sipit seperti kamu, Mas. Bisa-bisa aku menaruh curiga sama kamu ... kalau kamu itu ada hubungan gelap sama Anisa. Hehehe," sambung Zaskya meledeki Abimana. "Hemmm, segitu burukkah aku di matamu, Sayang?" tanya Abimana terkekeh. Tangannya mencubit pelan pipi Zaskya karena gemas. "Ih, sakit, Mas." Bibir Zaskya mencebik. "Hisk, kamu ini tidak malu apa sama anak kita memasang tampang seperti itu?" goda Abimana terkekeh. "Tentu tidaklah. Mana ada anak kita mengetahuinya. Sementara, dia masih tertidur pulas seperti itu," jawab Zaskya tersenyum menang. "Hemmm, kalian berdua seharusnya malu dengan Ibu. Secara kelakuan kalian itu kayak ABG tahun sembilan puluhan," sahut Bu Irma tersenyum geli. Di saat bersamaan, bayi mungil itu menggeliat. Tubuhnya yang merah jadi semakin merah seperti tomat matang. Mereka yang melihat langsung tersenyum senang. Ternyata benar sekali, kehadiran anak adopsi mereka menambah kebahagiaan dan kesempurnaan di k
"Huh, biarkan saja mereka seperti itu. Bude yakin sekali kalau orang macam mereka hidupnya nggak akan mujur," jawab Bu Yuli mengusap bahu Anisa untuk menguatkannya. "Bude juga yakin sekali kalau wanita baik seperti kamu akan menemukan pria yang jauh lebih baik dari dia. Jadi, bersemangatlah Nis. Nanti, kalau kamu sudah sembuh total dan sudah menyelesaikan tugasmu. Kamu harus bisa merawat tubuhmu kembali biar cantik kayak masih perawan dulu. Biar tuh si Angga mati kutu karena sudah tega meninggalkan kamu," nasihati Bu Yuli. "Iya Bude. Terima kasih banyak atas nasihat dan dukungannya? Oya, nanti misalnya aku belum menemukan tempat buat tinggal lagi. Aku bolehkan numpang di rumah Bude dulu?" tanya Anisa penuh harap. "Tentu boleh sangat, Nis." Bu Yuli tersenyum sedih. Dia tahu benar betapa beratnya jadi Anisa.Di sela-sela obrolan mereka tak berselang lama terdengar suara ketukan pintu lagi. "Masuk saja! Tidak dikunci kok!" teriak Bu Yuli yang malas berjalan untuk membukakan pintu. Re
"Iya. Ya sudah. Aku pergi sekarang menyusul Abimana. Jaga kesehatanmu ya, Nak." Bu Irma menyentuh lengan Anisa dulu sebelum beranjak pergi. Jujur hati Anisa menghangat mendapatkan perlakuan seperti itu. Itu artinya dia memiliki satu orang baru yang mau peduli dengannya. Bu Irma tergesa-gesa mengekori langkah anaknya yang sangat cepat itu. Napasnya ngos-ngosan karena terus mengimbangi Abimana yang jelas masih kuat dan sehat. Berbeda dengannya yang sudah menua dimakan umur. "Abimana tinggu, Nak! Jangan buru-buru gitu! Ibu tak sanggup mengimbangimu!" teriak Bu Irma berusaha meminta keringanan. Abimana menulikan pendengarannya. Langkahnya terus terpacu menyusuri setiap koridor rumah sakit untuk kembali ke ruangan istrinya. Hatinya masih kesal. Bahkan, sangat kesal dengan sikap kekanak-kanakkan ibunya itu. "Haduh, kok jadi begini sih ceritanya? Kenapa sih sikap keras ayahnya nempel banget didia?" gumam Bu Irma sambil membuang napasnya kasar. ***Kini langkah kaki Abimana berhenti tep
"Tidak. Kamu duluan saja yang ke sana. Aku ingin menunggui Ibu dulu. Kasihan beliau sendirian di sini," tolak Abimana. Dia masih terluka hatinya. Jadi, untuk sementara waktu ini dia ingin menghindari istrinya itu. "Oh. Aku tinggal ya? Nanti, sekiranya Ibu sadarkan diri … tolong kamu kabari aku jika terdapat keluhan?" pesan Almira tersenyum. "Tentu," jawab Abimana tersenyum. Almira segera pergi meninggalkan ruangan Bu Irma. Dia paham betul, jika sebenarnya Abimana itu sedang merajuk dengan Zaskya makanya menolak ajakannya. "Semoga amarahmu lekas meredup, Bi. Bagaimanapun juga, Zaskya melakukan semua hal bodoh itu untuk meraih kebahagiaan di sisa-sisa umurnya," gumam Almira dalam hati. Setitik buliran bening kembali menetes.Setelah selesai mengemban tugasnya, sang suster segera memohon izin kepada Abimana untuk kembali ke ruangannya. Kini tinggal Abimana seorang diri di dalam ruangan ibunya. Dia terus merenung dan meresapi nasib buruknya. Entah mengapa semua usahanya terbalaskan d
"Huh, dasar anak itu." Bu Irma tersenyum serta menggelengkan kepalanya.Senyum Abimana memudar saat sudah sampai di depan pintu ruangan istrinya. Tangannya terangkat ke atas mulai mengetuk pintu. Mereka yang berada di dalam langsung tertegun. Almira segera melangkah mendekati pintu untuk membukanya. "Eh, Abimana? Ayo masuk! Oh ya, aku gantian yang keluar ya? Masih banyak pasien yang harus kutangani." Bibir Almira melengkung ke atas. Hatinya sedikit lega melihat siapa yang datang. "Hemmm. Oh ya, tolong sekalian urus ibuku. Tadi, dia bilang mau segera menyusulku kemari. Perintahlah satu suster untuk mengantarkan ibuku kemari menggunakan kursi roda. Aku belum yakin kalau ibuku sudah kuat untuk berdiri lama-lama," ucap Abimana datar. "Siap! Ya sudah. Aku tinggal sekarang!" Almira tersenyum lalu segera beranjak pergi dari sana tanpa berpamitan dengan Zaskya. Abimana segera masuk ke dalam, terlihat istrinya itu masih asik menatap langit-langit kamar sambil tersenyum getir. "Bagaimana
"Ih, apaan sih, Mas!" Zaskya mendorong pelan wajah Abimana agar menjauh. "Ayo cepat jelaskan!" Abimana memegang tangan Zaskya agar tidak bisa mendorongnya lagi. "Issst, aku nggak serius kok. Aku cuma bercanda saja," jawab Zaskya tersipu malu. "Baguslah! Ya sudah. Sekarang mau makan buah apa?" tanya Abimana tersenyum. "Buah apel saja yang jelas manis," jawab Zaskya tersenyum. "Oke, akan aku kupaskan dulu kulitnya." Abimana mencium kening Zaskya sekilas sebelum beranjak.Sungguh momen seperti ini sangat disukai Zaskya. Rasanya ingin sekali dia menolak ketika suatu hari nanti azalnya datang menjemput. ***Seminggu kemudian ….Kini Zaskya, Anisa, serta Baby Abigail sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Sesuai dengan perjanjian yang sudah mereka sepakati, Anisa pun ikut pulang ke rumah mereka. Setibanya di rumah mewah nan megah itu, satu persatu dari mereka turun dari mobil. Lalu, bergegas masuk ke dalam rumah setelah berpamitan dengan Abimana yang masih stay di dalam mobil. Anisa y
"Biasa Bu, melamuni nasib, hehe." Anisa cengengesan lagi. Dia mencoba membuat lelucon lagi untuk menghibur hatinya. "Haduh, buat apa nasib direnungi segala? Lebih baik, kita mensyukuri saja apa yang terjadi. Dengan begitu, beban hidup kita tidak akan terasa berat lagi. Percayalah dari setiap cobaan yang datang menerjang hidup kita. Di balik itu pasti akan ada hadiah terindah. "Aamiin," jawab Anisa senang. Dia berharap apa yang dikatakan pembantu di rumah bosnya ini menjadi kenyataan."Ya sudah. Mari ikuti Mbok masuk ke dalam kamar Den Abigail. Pasti Non Zaskya tengah gusar karena kamu tidak segera menghampirinya," ajak Mbok Nem tersenyum. "Iya Mbok!" Anisa tersenyum sambil mengekori langkah Mbok Nem.Sementara mobil Abimana segera tancap gas ke kantornya. Begitu sampai di kamar yang ditunjukkan Mbok Nem, Anisa segera mohon permisi sebelum masuk. Terlihat jelas, Zaskya sangat kebingungan menangani Abigail yang terus merengek minta jatah. Selama diperjalanan tadi, dia sama sekali t
"Ih, apaan sih, Mas!" Zaskya mendorong pelan wajah Abimana agar menjauh. "Ayo cepat jelaskan!" Abimana memegang tangan Zaskya agar tidak bisa mendorongnya lagi. "Issst, aku nggak serius kok. Aku cuma bercanda saja," jawab Zaskya tersipu malu. "Baguslah! Ya sudah. Sekarang mau makan buah apa?" tanya Abimana tersenyum. "Buah apel saja yang jelas manis," jawab Zaskya tersenyum. "Oke, akan aku kupaskan dulu kulitnya." Abimana mencium kening Zaskya sekilas sebelum beranjak.Sungguh momen seperti ini sangat disukai Zaskya. Rasanya ingin sekali dia menolak ketika suatu hari nanti azalnya datang menjemput. ***Seminggu kemudian ….Kini Zaskya, Anisa, serta Baby Abigail sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Sesuai dengan perjanjian yang sudah mereka sepakati, Anisa pun ikut pulang ke rumah mereka. Setibanya di rumah mewah nan megah itu, satu persatu dari mereka turun dari mobil. Lalu, bergegas masuk ke dalam rumah setelah berpamitan dengan Abimana yang masih stay di dalam mobil. Anisa y
"Huh, dasar anak itu." Bu Irma tersenyum serta menggelengkan kepalanya.Senyum Abimana memudar saat sudah sampai di depan pintu ruangan istrinya. Tangannya terangkat ke atas mulai mengetuk pintu. Mereka yang berada di dalam langsung tertegun. Almira segera melangkah mendekati pintu untuk membukanya. "Eh, Abimana? Ayo masuk! Oh ya, aku gantian yang keluar ya? Masih banyak pasien yang harus kutangani." Bibir Almira melengkung ke atas. Hatinya sedikit lega melihat siapa yang datang. "Hemmm. Oh ya, tolong sekalian urus ibuku. Tadi, dia bilang mau segera menyusulku kemari. Perintahlah satu suster untuk mengantarkan ibuku kemari menggunakan kursi roda. Aku belum yakin kalau ibuku sudah kuat untuk berdiri lama-lama," ucap Abimana datar. "Siap! Ya sudah. Aku tinggal sekarang!" Almira tersenyum lalu segera beranjak pergi dari sana tanpa berpamitan dengan Zaskya. Abimana segera masuk ke dalam, terlihat istrinya itu masih asik menatap langit-langit kamar sambil tersenyum getir. "Bagaimana
"Tidak. Kamu duluan saja yang ke sana. Aku ingin menunggui Ibu dulu. Kasihan beliau sendirian di sini," tolak Abimana. Dia masih terluka hatinya. Jadi, untuk sementara waktu ini dia ingin menghindari istrinya itu. "Oh. Aku tinggal ya? Nanti, sekiranya Ibu sadarkan diri … tolong kamu kabari aku jika terdapat keluhan?" pesan Almira tersenyum. "Tentu," jawab Abimana tersenyum. Almira segera pergi meninggalkan ruangan Bu Irma. Dia paham betul, jika sebenarnya Abimana itu sedang merajuk dengan Zaskya makanya menolak ajakannya. "Semoga amarahmu lekas meredup, Bi. Bagaimanapun juga, Zaskya melakukan semua hal bodoh itu untuk meraih kebahagiaan di sisa-sisa umurnya," gumam Almira dalam hati. Setitik buliran bening kembali menetes.Setelah selesai mengemban tugasnya, sang suster segera memohon izin kepada Abimana untuk kembali ke ruangannya. Kini tinggal Abimana seorang diri di dalam ruangan ibunya. Dia terus merenung dan meresapi nasib buruknya. Entah mengapa semua usahanya terbalaskan d
"Iya. Ya sudah. Aku pergi sekarang menyusul Abimana. Jaga kesehatanmu ya, Nak." Bu Irma menyentuh lengan Anisa dulu sebelum beranjak pergi. Jujur hati Anisa menghangat mendapatkan perlakuan seperti itu. Itu artinya dia memiliki satu orang baru yang mau peduli dengannya. Bu Irma tergesa-gesa mengekori langkah anaknya yang sangat cepat itu. Napasnya ngos-ngosan karena terus mengimbangi Abimana yang jelas masih kuat dan sehat. Berbeda dengannya yang sudah menua dimakan umur. "Abimana tinggu, Nak! Jangan buru-buru gitu! Ibu tak sanggup mengimbangimu!" teriak Bu Irma berusaha meminta keringanan. Abimana menulikan pendengarannya. Langkahnya terus terpacu menyusuri setiap koridor rumah sakit untuk kembali ke ruangan istrinya. Hatinya masih kesal. Bahkan, sangat kesal dengan sikap kekanak-kanakkan ibunya itu. "Haduh, kok jadi begini sih ceritanya? Kenapa sih sikap keras ayahnya nempel banget didia?" gumam Bu Irma sambil membuang napasnya kasar. ***Kini langkah kaki Abimana berhenti tep
"Huh, biarkan saja mereka seperti itu. Bude yakin sekali kalau orang macam mereka hidupnya nggak akan mujur," jawab Bu Yuli mengusap bahu Anisa untuk menguatkannya. "Bude juga yakin sekali kalau wanita baik seperti kamu akan menemukan pria yang jauh lebih baik dari dia. Jadi, bersemangatlah Nis. Nanti, kalau kamu sudah sembuh total dan sudah menyelesaikan tugasmu. Kamu harus bisa merawat tubuhmu kembali biar cantik kayak masih perawan dulu. Biar tuh si Angga mati kutu karena sudah tega meninggalkan kamu," nasihati Bu Yuli. "Iya Bude. Terima kasih banyak atas nasihat dan dukungannya? Oya, nanti misalnya aku belum menemukan tempat buat tinggal lagi. Aku bolehkan numpang di rumah Bude dulu?" tanya Anisa penuh harap. "Tentu boleh sangat, Nis." Bu Yuli tersenyum sedih. Dia tahu benar betapa beratnya jadi Anisa.Di sela-sela obrolan mereka tak berselang lama terdengar suara ketukan pintu lagi. "Masuk saja! Tidak dikunci kok!" teriak Bu Yuli yang malas berjalan untuk membukakan pintu. Re
"Iya benar sekali. Untung saja matanya tidak ikut sipit seperti kamu, Mas. Bisa-bisa aku menaruh curiga sama kamu ... kalau kamu itu ada hubungan gelap sama Anisa. Hehehe," sambung Zaskya meledeki Abimana. "Hemmm, segitu burukkah aku di matamu, Sayang?" tanya Abimana terkekeh. Tangannya mencubit pelan pipi Zaskya karena gemas. "Ih, sakit, Mas." Bibir Zaskya mencebik. "Hisk, kamu ini tidak malu apa sama anak kita memasang tampang seperti itu?" goda Abimana terkekeh. "Tentu tidaklah. Mana ada anak kita mengetahuinya. Sementara, dia masih tertidur pulas seperti itu," jawab Zaskya tersenyum menang. "Hemmm, kalian berdua seharusnya malu dengan Ibu. Secara kelakuan kalian itu kayak ABG tahun sembilan puluhan," sahut Bu Irma tersenyum geli. Di saat bersamaan, bayi mungil itu menggeliat. Tubuhnya yang merah jadi semakin merah seperti tomat matang. Mereka yang melihat langsung tersenyum senang. Ternyata benar sekali, kehadiran anak adopsi mereka menambah kebahagiaan dan kesempurnaan di k
Anisa dengan isak tangisnya segera menatap ke arah tiga orang yang baru masuk. Tangannya dengan cepat mengusap buliran-buliran bening yang terus merembes dari matanya. Lalu, memasang senyuman seindah mungkin di hadapan para tamu agungnya itu. Dia paham sekali kalau orang yang berkunjung itu merupakan calon keluarga baru untuk anaknya. Sementara, mereka yang baru datang itu ikut tersenyum haru. Mereka bisa merasakan kesedihan yang sedang dialami Anisa. Namun, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini adalah kesempatan terbaik bagi mereka untuk melengkapi keluarga mereka. Mereka juga berharap dengan hadirnya sosok bayi adopsi ini. Zaskya juga bisa segera diberi momongan oleh Sang Pencipta. Menurut beberapa sahabat dan kerabat dekat mereka, hal itu digunakan sebagai pancingannya. "Ini ada sedikit buah tangan untuk Anda," ucap Zaskya tersenyum senang. menyerahkan keranjang berisi aneka buah-buahan kepada Anisa. "Terima kasih banyak, Nyonya. Seharusnya, kalian tidak usah repot-repot
Kini Pak Rahmat dan Bu Yuli tengah duduk di depan ruangan gawat darurat. Mereka begitu cemas dan panik. Berbagai macam doa mereka panjadkan untuk memohon keselamatan Anisa dan anaknya. Tak berselang lama, munculah seorang dokter dari dalam ruangan gawat darurat menghampiri mereka. Sepertinya, ada sesuatu hal penting yang beliau ingin diskusikan dengan pihak keluarga pasien."Maaf, ada yang saya ingin rundingkan dengan bapak dan ibu soal pasien," ucap Bu Dokter dengan raut wajah serius. "Oh, iya Bu Dokter." Mereka berdua segera bangkit dari kursi. "Em, setelah saya melakukan beberapa pemeriksaan pada kondisi pasien. Sebaiknya, pasien harus segera menjalankan operasi untuk menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Saat ini pasien tengah mengalami pendarahan hebat. Jika, tidak segera ditangani bisa juga mengancam keselamatan pasien," jelas Bu Dokter dengan wajah serius."Innalillahi wa innalillahi roziun!" Bu Yuli menutup mulutnya dengan telapak tangan karena begitu shock."M