Beberapa tahun kemudian..."Mama....." Seorang anak laki-laki berlarian menghampiri seorang wanita yang tengah berdiri membuka lebar kedua tangannya. Nampak senyum melebar indah menyambut pelukan hangat si bocah laki-laki."Pelan-palan saja nanti kamu terjatuh...." Dengan cemas melihatnya berlari kencang menghampiriku.Tanpa perduli ia terus berlari "Aku sangat merindukan mama....""Hey....cuci tanganmu dulu jangan langsung peluk putraku, nanti kuman di tanganmu bisa membuatnya sakit." Datanglah seolah pria berkumis tipis dari balik pintu. Baju casual celana sebetis membuat pria berusia 45 tahun itu nampak lebih muda sepuluh tahun. Tampan gagah berisi itulah perawakan sang pria.Berbalik badan "Hem...baiklah sayang, mama cuci tangan dulu atau si tukang kebersihan itu bisa membunuh mama dengan satu tatapannya." Begitulah dia sangat menjaga kebersihan, bahkan debu saja lari melihatnya."Bicara apa kamu barusan?" Berkacak tangan sehingga otomatis dagunya terangkat, kedua bola matanya me
Malam semakin larut, jarum jam terus berdenting menunjuk angka 12, tapi ia tidak kunjung kembali. Sejak sore pergi tanpa kabar dan sepatah kata pun. Tidak seperti biasa pak Candra pergi sampai selarut ini. Rasa cemas mulai mengusik, berulang kali kaki melangkah kesana-kemari menunggu kepulangannya, sembari terus ku pandangi pagar besi yang tidak kunjung terbuka. Puncak kemarahan pak Candra ketika mulutku menyebutnya bagai orang asing. Sudah berulang kali ia marah hanya karena ku sebut seperti itu, tetapi marahnya kali ini sedikit berbeda."Non..... sudah larut malam, lebih baik non Rika istirahat saja dulu, nanti kalau Tuan Candra pulang bibi kasih tau non Rika. Sejak tadi bibi perhatikan non Rika begitu cemas sampai makan malam pun belum tersentuh. Lebih baik non makan dulu, nanti kalau tuan tau non tidak makan, bibi bisa kena marah." Sejak tadi Bibi menemaniku duduk di teras rumah, meski beliau mengantuk tetap saja memaksakan diri menemaniku.Boro-boro makan melihat makanan saja hil
Blam....Suara pintu tertutup keras. Sejak tadi air mataku tak kunjung berhenti, mengingat setiap kalimat dari mulut pak Candra. Bagiku ucapan itu seperti pemantik api yang langsung menyambar bensin. Selama kami menikah, aku mengira ia akan menganggap Askara sebagai putra kandungnya, tapi ternyata pada dasarnya ia hanya menggap putraku sebagai anak tiri. Memang benar di antara mereka tidak ada ikatan darah. Entah kenapa hati serasa hancur berkeping. Aku sadar memang benar Askara bukan darah daging pak Candra, hanya saja hatiku terlalu sakit mendengar ucapannya tadi.Ya! Mas Darwin adalah ayah biologis dari putraku, Askara. Tanpa sadar setelah bercerai aku telah mengandung darah daging mas Darwin. Kehamilanku sudah memasuki usia lima minggu, dan aku baru sadar setelah hakim mengetuk palu.Beberapa tahun lalu, usai jalani sidang perceraian aku dinyatakan hamil. Sungguh pukulan terberat dalam hidup, harus menjadi ibu sekaligus ayah untuk si jabang bayi. Selama hamil tidak seorang pun men
Sejak pertemuan beberapa waktu lalu, pikiran Darwin tidak lepas dari wajah mantan istrinya. Rasa bersalah terus mengurung kebahagiaan yang dulu ia miliki. Arang telah menjadi debu terbawa angin entah kemana. Cinta yang ada hanya meninggalkan serpihan kenangan sekarang hanya menjadi pemanis semata. Sepanjang waktu bayangan indah mereka terus menjadi mimpi indah dalam setiap malam. Setiap hari selalu berandai-andai membayangan rumah tangga bahagia mereka dulu. Namun, sayang sekali angan hanya sebatas asa tak mampu lagi di perjuangkan. Saat ini sampai entah kapan akan terus berlangsung buah dari perselingkuhan terus menghukum diri. Nafsu sesaat di bayar seumur hidup. Percaya atau tidak penghianatan akan terbayar tunai dalam sekejap mata. Nikmatnya tidak seberapa hukumannya seumur hidup.Memandang langit gelap sembari terduduk bawah pohon rindang samping rumah kontrakan. Sesekali ia menghisap rokok bertemankan bayangan semu. Wajah lesu tak bersemangat membuat malam semakin kelam, pasalnya
"Pa....hari ini hari pertama masuk sekolah, papa tidak lupa kan sama janji papa?" Tanya Azka sembari menatap Pak Candra. Ia begitu antusias masuk sekolah baru. Hari pertama masuk sekolah, membuatnya bersemangat. Sejak jam lima pagi ia sudah terbangun dan berkemas. Sejak kemarin ia sudah mengemas beberapa buku dan pelaratan lain. Wajar saja jika putraku begitu senang, sebab dunia baru akan segera di mulai.Pak Candra menghentikan langkah ketika baru saja menuruni anak tangga. Ia menatapku sesaat. Sudah hampir seminggu kami tidak pernah saling sapa, bahkan ketika berpapasan selalu menghindar. Sudah beberapa kali pak Candra minta maaf, tapi rasa sakit masih jelas terasa.Bangkit menghampiri pak Candra "Azka ingin sekali di antar mama sama papa sampai gerbang sekolah. Please (Mengatupkan kedua tangan), hari pertama pasti seru bisa berangkat sama papa dan mama. Selama ini kalian selalu sibuk sendiri, setiap hari hanya berapa jam kita kumpul kalian sudah pergi kerja seharian (Seketika wajah
Sepanjang jalan menuju sekolah, wajah Aska terlihat murung, ia nampak begitu kecewa. Terdengar lirih isak tangis putra kesayanganku. Seketika itu pula hati terasa sakit. Ku rangkul sembari mencium ujung kepala "Aska jangan sedih, sayang. Ada mama di sini temani Aska. Emmmm....bagaimana kalau pulang sekolah nanti mama beliin Aska mainan""Are you sure, mom?""Ya, tentu. Semua yang Aska mau pasti mama balikan. Tapi Aska senyum dulu dong, biar tambah ganteng." mencubit dagu.Tak lama kemudian senyumnya mengembang. Jujur saja hati ini merasa sangat bersalah. Gara-gara keegoisan orang tua dia menjadi korban. Dalam sesaat aku merasa semua terjadi atas salahku, kenapa dulu ku injinkan Pak Candra masuk dalam dunia kami. Andai dulu dia tidak pernah hadir mungkin sekarang kehidupan kami aman tentram. Dulu tak terpikir olehku suatu saat pak Candra akan berkata demikian yang menyakiti hatiku. Setiap kali mengingat kalimat itu hati terasa nyesek.Tak lama kemudian kami sampai di depan gerbang seko
"Sekarang juga kamu harus membayar utangmu yang sudah empat bulan belum di bayar, atau kami bakar rumah ini...." Dua orang pria tinggi besar berkacak tangan sambil melototi Marni. Mereka adalah rentenir keliling. Sudah empat bulan Marni nunggak bayar hutang, sampai membuat rentenir murka.Tak lama setelah itu seorang wanita berbadan gemuk turun dari mobil. Leher berkalung emas puluhan gram nampak mengkilap terkena sinar metahari. Sambil menyalakan rokok "Marni, Marni, Marni...." Ujarnya seraya menghampiri Marni.Segera bersujud di kaki wanita tersebut "Ampun, Mami. Beri sedikit waktu lagi, pasti kami bayar. Sungguh." pekara hutang rentenir tidak bisa tawar menawar. Jasa pinjam uang berbunga itu sangat menjerat leher, kalau tidak sanggup bayar terima akibatnya.Menendang Marni hingga terguling "Sudah berapa lama saya kasih waktu buat kamu dan suami pemulung kamu itu. Empat bulan bukan waktu yang sebentar, Marni." Berjongkok lalu meniup asap rokok tepat mengenai wajah keriput Marni.Uhu
Malam hari Darwin mulai memutar otak, ia tidak mungkin selamanya hidup sebagai pemulung. Hasil tidak seberapa banyak di remehkan orang. Ia lalu sempat berpikir untuk mencoba jualan keliling. Dalam dekapan malam terus menatap bulan dan para bintang. Mereka menjadi sebuah inspirasi baginya. Hidup susah banyak terlilit hutang terasa begitu mencekik.Pada keesokan pagi, ia mulai melihat peluang di sekitar sekolah. Di sana hanya ada beberapa penjual cilok dan pedagang telur gulung. Menemukan inspirasi menjual mainan dari barang bekas. Lalu mulai mendesain botol bekas menjadi baling-baling dan beberapa plastik menjadi rangkaian bunga cantik. Pertama kali jualan ada rasa ragu, karena jualan barang bekas tentu akan banyak di hujat. Benar saja, pertama jualan pedangan lain mengolok barang jualannya. Tidak ada satu dagangan pun laku terjual, betapa sedih hatinya. Pertama berjualan tapi tidak menghasilkan apa pun.Untung ada salah satu penjual cilok membantunya. Dia mengajarkan Darwin cara berda
Bagaimana cara menjelaskan semua pada putraku, sungguh tidak bisa melihat harapannya hancur begitu saja. Mata yang tadi di penuhi kebahagiaan seketika sirna penuh air mata. Kaki mulai melemas menitikkan air mata sembari ku raih pusara mas Darwin "Bagaimana caraku menjelaskan semua pada Aska, mas? Andai bisa ku putar waktu aku tidak ingin kau pergi dengan cara seperti ini. Sekarang Aku harus bagaimana? Kenapa harus kamu? Kenapa bukan orang lain saja yang mendonorkan jantung untuk Aska, kenap harus kamu, kenapa? Setelah semua kejadian ini bagaimana caraku menghindari tatapan putraku sendiri, mungkin setelah ini dia akan sangat membenciku. Hati ku sakit melihatnya hancur. Aku takut, mas. Bagaimana jika dia membenci ku setelah ini? Sungguh aku tidak sanggup di benci olehnya," Wajah tertunduk lesu tidak tau harus berbuat apa. Semua memang salah ku, seharunya tidak pernah memberi jarak pada mereka supaya semua tidak seperti sekarang."Kebaikan mu akan selalu ku ingat dalam seumur hidup, tap
Dua hari kemudian.Sesuai janji ku pada Aska, tepatnya selasa pagi kami mengajaknya bertemu dengan Mas Darwin. Meski seluruh dunia mengetahui bahwa orang mati tidak bisa bangkit kembali ke dunia manusia. Aku menyadari bahwa harapan besar mereka bertemu sangatlah mustahil. Setiap saat hati terasa gelisah takut putraku kecewa atas kenyataan pahit ini, semua memang bukan mau ku, semua atas keputusan mas Darwin sendiri, sejauh kebencianku terhadapnya sedikit pun tidak pernah menganggapnya benar, sehingga pada saat dia memberikan jantungnya pada putra kandungnya sendiri, di situlah baru aku menyadari bahwa seburuk apa pun seorang mantan suami dia tetap ayah terbaik bagi anak-anak. Sejauh apa pun sakit hati membawa kita, hubungan yang sudah terjalin tidak akan pernah terhapus oleh banyaknya dosa. Masa lalu tetap meninggalkan kenangan walau tidak untuk di perjuangkan. Wahai mantan jadilah masa lalu terbaik jangan kotori masa lalu seseorang dengan penuh kebencian. Merasa jatuh cinta dan menci
Satu minggu kemudian kondisi Aska perlahan mulai membaik. Hari ini Dokter memberi kabar gembira bahwa putra kami sudah di perbolehkan pulang. Dengan kondisi Aska sekarang tentunya ia banyak di batasi oleh dokter, sebelum benar-benar sembuh ia tidak boleh keluar rumah bahkan sekedar sekolah pun belum di ijinkan. Sebagai seorang ibu jelas hati sangat bahagia sekaligus cemas, bagaimana jika Aska bosan ingin bertemu teman-temannya? tidak mungkin dia terus di rumah sepanjang hari di tambah lagi kami juga banyak kerjaan pasti dia sangat kesepian."Jangan lupa di minum obatnya, kamu tidak boleh terlalu beraktifitas dulu. Sementara waktu kamu duduk di kursi roda dulu, baru setelah selesai kamu bisa kembali bersekolah." Jelas Dokter.Mengulurkan tangan "Kami sangat berterima kasih atas segalanya, Dok. Kalau begitu kami pamit pulang"Usai menebus obat kami pun pulang. Sepanjang jalan pukang entah kenap Aska terus diam tanpa kata. Mungkinkah dia memikirkan sesuatu? Coba ku tanyakan pelan padanya
"Sayang coba lihat itu....." Mas Candra menunjuk sebrang jalan di mana seorang wanita berlari tertatih tanpa busana. Rambut terurai lusuh membuatku sulit mengenalinya, namun setelah mengamati seksama ternyata wanita itu adalah ibu Marni. Tidak jauh dari tempat beliau terlihat dua pria mengejarnya. Pria itu nampak begitu sangar berpenampilan preman dan bertubuh tinggi besar."Mas, itu ibu Marni....." Tanpa ragu kami pun menepi berusaha mengejar beliau sebisa dan sekuat kami. Sempai pada akhirnya bu Marni terjatuh, kedua pria berpenampilan preman tadi berusaha memaksa Bu Marni.Melihat beliau meronta dengan kondisi seperti itu tentu kedua pria itu bukan orang baik "Tolong......maling....." Mencari cara untuk meminta bantuan warga dan orang sekitar dengan berteriak maling. Benar saja beberapa orang berbondong ke arah kami lalu mengejar kedua pria tersebut. Awalnya mereka hendak membawa Ibu Marni, namun karena langkah kaki beliau tertatih membuat mereka memutuskan meninggalkan begitu saja
"Tidak, jangan, pergi kalian...Tolong..." Marni berteriak kencang ketika ada beberapa preman mengejarnya. Ketika duduk di tepi jalan tiba-tiba tiga orang berpakaian preman menghampiri lalu menyeretnya ke dalam mobil. Sembari meronta Marni terus berharap ada salah satu orang baik bisa menolongnya, namun siapa sangka tidak ada satu pun orang perduli. Mungkin bisa di katakan hukum karma masih berlaku padanya. Salah seorang pria berkulit hitam mata besar langsung membungkam mulutnya sampai tak bersuara. Sesekali terdengar suara dering ponsel dari salah satu preman."Kita sudah berhasil, bos." ucapnya sembari tersenyum girang ke arah Marni.Sejak memutuskan pergi dari Darwin, kini kehidupan Marni semakin sulit. Setiap hari berjalan lontang-lantung tanpa tujuan, semua tempat telah ia datangi demi mencari kerja atau sekedar numpang berteduh, namun hampir semua orang menolak, siapa yang mau menerima orang dengan penampilan compang-camping dan rambut kusut seperti tidak pernah di sisir. Banyak
Operasi berlangsung cukup lama. Setiap detik do'a tak pernah terputus. Mas Candra selalu berada di sampingku berusaha membuatku tenang. Meski ku tau di dalam hati terdalam ia juga rapuh. Aska memang bukan darah dagingnya, tapi dia yang selama ini mencintai, merawat, dan berperan layaknya seorang ayah. Wajar jika hatinya rapuh sama peperti itu pula hati ini."Jangan cemas putraku sangat hebat, dia pasti bisa melewati semua ini." Lirih mas Candra meyakinkan ku. Kalau boleh jujur suamiku tidak sekuat itu, tanpa sadar sejak tadi ku perhatikan ia menyeka air mata. Memaksa kuat sebisa mungkin supaya tidak membuatku semakin lemah.Sembari bersandar pada bahu mas Candra "Semua salahku, mas." Tiap kali mengingat bagaimana kami bertengkar sebelum akhirnya Aska berlari dariku. Andai bisa aku bersedia bertukar posisi, asal putraku baik-baik saja.Genggaman tangan semakin erat kurasakan "Jangan salahkan diri sendiri, kalau tau akan terjadi hal seburuk ini, maka aku pun tidak akan pernah mengajak k
Brug....."Aska...." Menjerit sekencang mungkin. Dunia seakan berhenti berputar. Gelap terasa menutup hati. Tidak sekali pun terpikir akan terjadi musibah besar pada putraku."Tidak....." Air mata terurai lepas. Jerit tangis mulai mengalihkan banyak pasang mata.Betapa hancur hati ini melihat pemandangan mengerikan baru menimpa putraku. Ketika ia hendak menyebrang dari arah berlawanan ada truk kontainer melintas kencang, sampai akhirnya menghantam putraku. Tubuhnya terpental beberapa meter dari tempat kejadian. Mata ini menyaksikan darah bercucuran sampai tubuh serasa lemas tak bertenaga. Kaki sulit di gerakkan. Tatapanku terus tertuju pada Aska yang sudah tidak sadarkan diri."Ya Tuhan....Aska." Di susul teriakan mas Candra.Air mataku pecah ketika kerumunan orang menutupi pandangan. Mas Candra lantas menghampiriku. Memelukku lalu membawaku ke sebrang jalan."Mas anak kita, mas. Dia...." Mulut bergetar hebat sampai tak sanggup lagi berkata-kata.Tatapan mas Candra tidak seperti biasa
Beberapa hari kemudian.Bertepatan hari libur kami sekeluarga menyempatkan waktu jogging, demi kesehatan bersama. Mentari mulai menyapu wajah. Sesekali menyeka keringat "Rasanya matahari pagi begitu terik seperti membakar kulit..." Ucapku sembari terus berlari kecil.Cuaca pagi begitu cerah. Langit membiru di sertai gumpalan awan putih. Suara bising kendaraan sedikit menggangu pendengaran, wajar saja hari libur banyak orang keluar rumah sekedar cari makan, jalan-jalan, dan lain sebagainya.Mas Candra menolehku "Baru berapa putran sudah mengeluh. Kasihan matahari jadi takut sama keluhanmu...." Celetuknya semakin mempercepat laju kaki."Ih kok malah ngejek sih, awas kamu mas...." Kami bermain kejar kucing tikus seperti masa kanak-kanak.Tanpa sengaja aku melihat Aska tengah duduk dengan seseorang. Topi bulat warna coklat kusam menghalangi wajah pria di samping putraku itu. Kebetulan hari minggu kami sekeluarga selalu meluangkan waktu berolahraga. Tadinya Aska ikut jogging tapi entah ken
Tengah hari terlihat Darwin berdiri sembari melihat sebrang jalan. Jam sekolah segera berakhir, ia terus menunggu meski terik membakar kulit. Berulang kali menyeka keringat dengan pandangan terfokus pada sekolah tersebut. Ia tidak berniat berdagang di area sekolah hanya sekedar menunggu seseorang. Melihat jalanan semakin ramai kendaraan berlalu-lalang ia memilih duduk sejenak. Matahari siang sangat panas sekali, keringat bercucuran membasahi wajah. Berulang kaki mengibas topi bututnya untuk mendapat angin.Dari jauh salah seorang pedangan melihatnya. "Itu bukannya tukang jagung serut itu bro...." Bertanya pada salah seorang pedangan juga."Iya. Mau apa dia kemari, kepala sekolah tidak mengijinkan dia berjualan di sini masih mau nekat juga tuh orang...." Sambung salah seorang.Kebetukan pak satpam sedang jajan cilok lalu melihat ke tepi jalan "Sebenarnya dia sudah bisa berjualan di sini bersama kalian, tapi dia menolak. Dua minggu lalu dia menolong salah satu murid di sini, mungkin kal