Malam hari Darwin mulai memutar otak, ia tidak mungkin selamanya hidup sebagai pemulung. Hasil tidak seberapa banyak di remehkan orang. Ia lalu sempat berpikir untuk mencoba jualan keliling. Dalam dekapan malam terus menatap bulan dan para bintang. Mereka menjadi sebuah inspirasi baginya. Hidup susah banyak terlilit hutang terasa begitu mencekik.Pada keesokan pagi, ia mulai melihat peluang di sekitar sekolah. Di sana hanya ada beberapa penjual cilok dan pedagang telur gulung. Menemukan inspirasi menjual mainan dari barang bekas. Lalu mulai mendesain botol bekas menjadi baling-baling dan beberapa plastik menjadi rangkaian bunga cantik. Pertama kali jualan ada rasa ragu, karena jualan barang bekas tentu akan banyak di hujat. Benar saja, pertama jualan pedangan lain mengolok barang jualannya. Tidak ada satu dagangan pun laku terjual, betapa sedih hatinya. Pertama berjualan tapi tidak menghasilkan apa pun.Untung ada salah satu penjual cilok membantunya. Dia mengajarkan Darwin cara berda
Malam hari Darwin mulai memutar otak, ia tidak mungkin selamanya hidup sebagai pemulung. Hasil tidak seberapa banyak di remehkan orang. Ia lalu sempat berpikir untuk mencoba jualan keliling. Dalam dekapan malam terus menatap bulan dan para bintang. Mereka menjadi sebuah inspirasi baginya. Hidup susah banyak terlilit hutang terasa begitu mencekik.Pada keesokan pagi, ia mulai melihat peluang di sekitar sekolah. Di sana hanya ada beberapa penjual cilok dan pedagang telur gulung. Menemukan inspirasi menjual mainan dari barang bekas. Lalu mulai mendesain botol bekas menjadi baling-baling dan beberapa plastik menjadi rangkaian bunga cantik. Pertama kali jualan ada rasa ragu, karena jualan barang bekas tentu akan banyak di hujat. Benar saja, pertama jualan pedangan lain mengolok barang jualannya. Tidak ada satu dagangan pun laku terjual, betapa sedih hatinya. Pertama berjualan tapi tidak menghasilkan apa pun.Untung ada salah satu penjual cilok membantunya. Dia mengajarkan Darwin cara berda
Malam semakin gelap tapi mata masih terjaga. Semilir angin menyentuh kulit. Dinginnya malam menemaniku dalam sunyi. Seusai hujan malam pun nampak terlihat indah. Kelip bintang jauh lebih terang menghiasi malam. Suasana rumah terasa sepi, sunyi. Jarum jam menunjuk pukul sebelas malam. Di luar masih terdengar suara tv menyala, mungkin itu Pak Candra. Sejak aku mengambil sikap diam, ia sering tidur di ruang tamu. Kami jarang berkomunikasi, atau sekedar saling sapa. Ego kami sangat tinggi, tidak ada yang mau mengalah. Entah akan seperti apa rumah tangga kami kedepannya, untuk sekarang hati masih saling terkunci rapat. Sempat terpikir satu pemikiran bodoh untuk kedepan hubungan kami ini, namun apakah aku mampu menghadapi kerasnya dunia seorang diri. Menjanda sudah pernah ku alami. Akankah kisah pahit itu kembali lagi dalam hidupku ini. Segumpal tanah di genggam sedikitnya akan tumpah, dan ketika waktu mulai berjalan, isi tangan perlahan hilang. Aku takut berjalan di aspal panas tanpa alas
"Mama....mama...." Terdengar pintu di ketuk dari luar. Suara keras itu lantas membangunkan kami dari mimpi indah semalam. Ternyata benar seusai hujan malam terlihat lebih indah, begitu pula dengan hubungan kami."Bangun, ma sudah jam enam waktunya antar Aska ke sekolah...." lantang Aska seraya terus memukul keras pintu kayu. Jagoan kecilku sangat disiplin tidak mau menyiakan waktu.Kami pun langsung terbangun dan panik "Astaga, kita kesiangan, pak, eh maksudnya mas." baru semalam panggilan sayangku pada suamiku mulai berubah. Sudah saatnya hati membuka diri. Untuk apa mengunci terlalu lama kalau pada akhirnya cinta berpihak pada pemiliknya."Sudah jam enam...." Ia menatapku dan kami saling melempar senyum. Cinta semalam membuat lupa waktu."Mama...." Teriak Aska kembali memecah fokus.Jarum jam menunjuk pukul enam pagi. Aku pun segera bangkit dari tempat tidur, namun tanpa sengaja kaki tersandung selimut dan hampir terjatuh. Untung mas Candra sigap menangkapku. Pandangan kami saling m
Tengah hari terlihat Darwin berdiri sembari melihat sebrang jalan. Jam sekolah segera berakhir, ia terus menunggu meski terik membakar kulit. Berulang kali menyeka keringat dengan pandangan terfokus pada sekolah tersebut. Ia tidak berniat berdagang di area sekolah hanya sekedar menunggu seseorang. Melihat jalanan semakin ramai kendaraan berlalu-lalang ia memilih duduk sejenak. Matahari siang sangat panas sekali, keringat bercucuran membasahi wajah. Berulang kaki mengibas topi bututnya untuk mendapat angin.Dari jauh salah seorang pedangan melihatnya. "Itu bukannya tukang jagung serut itu bro...." Bertanya pada salah seorang pedangan juga."Iya. Mau apa dia kemari, kepala sekolah tidak mengijinkan dia berjualan di sini masih mau nekat juga tuh orang...." Sambung salah seorang.Kebetukan pak satpam sedang jajan cilok lalu melihat ke tepi jalan "Sebenarnya dia sudah bisa berjualan di sini bersama kalian, tapi dia menolak. Dua minggu lalu dia menolong salah satu murid di sini, mungkin kal
Beberapa hari kemudian.Bertepatan hari libur kami sekeluarga menyempatkan waktu jogging, demi kesehatan bersama. Mentari mulai menyapu wajah. Sesekali menyeka keringat "Rasanya matahari pagi begitu terik seperti membakar kulit..." Ucapku sembari terus berlari kecil.Cuaca pagi begitu cerah. Langit membiru di sertai gumpalan awan putih. Suara bising kendaraan sedikit menggangu pendengaran, wajar saja hari libur banyak orang keluar rumah sekedar cari makan, jalan-jalan, dan lain sebagainya.Mas Candra menolehku "Baru berapa putran sudah mengeluh. Kasihan matahari jadi takut sama keluhanmu...." Celetuknya semakin mempercepat laju kaki."Ih kok malah ngejek sih, awas kamu mas...." Kami bermain kejar kucing tikus seperti masa kanak-kanak.Tanpa sengaja aku melihat Aska tengah duduk dengan seseorang. Topi bulat warna coklat kusam menghalangi wajah pria di samping putraku itu. Kebetulan hari minggu kami sekeluarga selalu meluangkan waktu berolahraga. Tadinya Aska ikut jogging tapi entah ken
Brug....."Aska...." Menjerit sekencang mungkin. Dunia seakan berhenti berputar. Gelap terasa menutup hati. Tidak sekali pun terpikir akan terjadi musibah besar pada putraku."Tidak....." Air mata terurai lepas. Jerit tangis mulai mengalihkan banyak pasang mata.Betapa hancur hati ini melihat pemandangan mengerikan baru menimpa putraku. Ketika ia hendak menyebrang dari arah berlawanan ada truk kontainer melintas kencang, sampai akhirnya menghantam putraku. Tubuhnya terpental beberapa meter dari tempat kejadian. Mata ini menyaksikan darah bercucuran sampai tubuh serasa lemas tak bertenaga. Kaki sulit di gerakkan. Tatapanku terus tertuju pada Aska yang sudah tidak sadarkan diri."Ya Tuhan....Aska." Di susul teriakan mas Candra.Air mataku pecah ketika kerumunan orang menutupi pandangan. Mas Candra lantas menghampiriku. Memelukku lalu membawaku ke sebrang jalan."Mas anak kita, mas. Dia...." Mulut bergetar hebat sampai tak sanggup lagi berkata-kata.Tatapan mas Candra tidak seperti biasa
Operasi berlangsung cukup lama. Setiap detik do'a tak pernah terputus. Mas Candra selalu berada di sampingku berusaha membuatku tenang. Meski ku tau di dalam hati terdalam ia juga rapuh. Aska memang bukan darah dagingnya, tapi dia yang selama ini mencintai, merawat, dan berperan layaknya seorang ayah. Wajar jika hatinya rapuh sama peperti itu pula hati ini."Jangan cemas putraku sangat hebat, dia pasti bisa melewati semua ini." Lirih mas Candra meyakinkan ku. Kalau boleh jujur suamiku tidak sekuat itu, tanpa sadar sejak tadi ku perhatikan ia menyeka air mata. Memaksa kuat sebisa mungkin supaya tidak membuatku semakin lemah.Sembari bersandar pada bahu mas Candra "Semua salahku, mas." Tiap kali mengingat bagaimana kami bertengkar sebelum akhirnya Aska berlari dariku. Andai bisa aku bersedia bertukar posisi, asal putraku baik-baik saja.Genggaman tangan semakin erat kurasakan "Jangan salahkan diri sendiri, kalau tau akan terjadi hal seburuk ini, maka aku pun tidak akan pernah mengajak k