Yoga mengesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Pikirannya kalut mengingat percakapan dengan ibunya. Ya, setelah mengantar Bela pulang, dia segera pergi ke rumah sakit dan tinggal disana hingga hari ini.
Wanita yang sejak dua malam tidak membuka mata itu akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan memberikan senyuman kepada Yoga yang langsung berubah menjadi raut khawatir dan cemas karena melihat luka lebam segar pada wajah Yoga.
Ibunya terlalu tahu Yoga dan tentu tahu darimana asal luka lebab pada wajah Yoga. Wanita yang selalu dijaga oleh Yoga itu segera mencermahinya mengenai sikapnya yang terlalu impulsif dan terbawa emosi.
Dia khawatir ayah bangsat Yoga akan datang dan menggunakan ini untuk semakin meraup keuntungan dan menekan Yoga. Ibunya juga tidak ingin kejadian ini dijadikan alasan untuk menceraikan dirinya.
Yoga menghela napas frustasi mengingat bagaimana ibunya bersikeras mempertahankan rumah tangga hancur ini.
Dia tidak bisa mengerti dengan ibunya. Sudah diselingkuhi tapi masih saja tetap mempertahankan suami biadab seperti itu.
Sebuah tangan lembut tiba-tiba menjalar dan melingkar di pinggang Yoga. "Tumben sekali kau merokok, hm?" Suara perempuan pelan, lembut dan penuh perhatian itu mengalihkan perhatian Yoga.
Setiap katanya terengar seprti alunan musik yang menenangkan otot-otot tegang membuat setiap orang yang mendengarnya merasa nyaman dan santai.
Yoga tersenyum miring dan menoleh kepada perempuan yang sedang memeluknya. "Kau masih bisa berdiri?" Yoga mematikan rokok dan membuangnya.
Perempuan itu memukul punggung Yoga yang sama sekali tidak terasa sakit. "Aku bersusah payah berdiri karena khawatir denganmu! Kau tidak biasanya merokok." ujarnya dengan wajah cemberut tapi nada suaranya menggoda dan membuat lelaki manapun ingin semakin menakalinya.
"Kau masih bisa bertetiak. Ayo bermain lagi." ujar Yoga yang langsung memagut bibir ranum tanpa pewarna bibir itu.
Tangannya melingkar pada pinggul penuh yang menggoda seolah berteriak meminta disentuh. Yoga menarik tubuh mereka untuk lebih dekat lagi hingga bersentuhan tanpa meninggalkan jarak.
Permainan melepas hasrat itu kembal dimulai lagi dan keduanya baru berhenti ketika malam sudah mencapi puncaknya. Yoga memeluk Celine, nama perempuan itu, erat.
Keduanya sudah lelah dan jika Yoga masih bersemangat pun, Celine tidak bisa mengikuti staminanya.
Yoga memperhatikan Celine yang sedang mengatur napas. Bibirnya terbuka kecil dan bengkak akibat perbuatan Yoga.
Dia tersenyum senang mlihat hasil kerjanya pada bibir Celine. "Kau kabur dari rumah?" tanya Yoga yang hanya dijawab anggukan oleh Celine.
"Kau terlalu besar untuk melakukan itu." ejek Yoga sambil mengusap ujung bibir Celine dengan ibu jarinya. Celine menatap Yoga cemberut tidak setuju dengan apa yang Yoga katakan.
"Aku butuh udara segar dan jauh dari Mama. Aku lelah Yoga." bela Celine untuk dirinya sendiri sambil mengeratkan pelukannya pada Yoga.
Lelaki yang dipeluk mengusap punggung Celine lembut, menenangkan. Yoga tahu apa yang dialami Celine dan menurutnya, perempuan ini berjuang dengan baik.
"Apa dia meminta sesuatu darimu?"
"Dia ingin aku bermain film komersial. Kau tahu, jenis film yang memamerkan tubuh dan sensual, sesuatu seperti itu." Celine bergidik jijik mengingat bagaimana ibunya memaksa Celine untuk mengikuti audisi dengan membohonginya.
Dia begitu kesal kepada ibunya karena sudah 'menjual' dirinya seperti itu. Untung saja Celine sadar akan keanehan di tempat audisi dan segera pergi dari sana.
"Bukankah karirmu lancar sejauh ini? Kurasa pendapatanmu tidak sedikit."
Celine adalah seorang model. Dia bertubuh langsing tinggi namun masih memiliki lengkungan menggoda. Tipe tubuh yang menjadi keinginan banyak wanita dan dikagumi pria.
Untuk wajahnya, tentu saja Celine cantik. Dengan wajah yang bisa ditutup oleh telapak tangan orang dewasa, mata bulat jernih seperti mutiara hitam, dan hidung mungil tinggi dipadu dengan bibir penuh, wajah Celine seperti pahatan patung Yunani.
Celine terlihat seperti gadis polos dengan senyuman manis yang membangkitkan jiwa pelindung pada laki-laki.
Tipe yang berbeda dengan Bela yang memiliki wajah anggun feminin dan terlihat dewasa. Mungkin karena perbedaan umur, Celine lebih muda dari Bela.
"Dia, ingin aku mengalahkan anak perempuan itu. Tapi, kau tahu....aku jauh lebih baik dari anak perempuan wania itu!! Anaknya hanya terkenal di kota mereka tinggal dan dia hanya menjadi model untuk produk lokal kotanya, sementara wajahku bisa muncul di kota-kota besar. Apalagi yang dia inginkan?!"
Isak tangis Celine menyadarkan Yoga dari pikirannya akan bagaimana Bela. Dia tertegun. Berpikir kenapa dia memikirkan Bela disaat seperti ini.
Menutupi dirinya yang tidak memperhatikan Celine yang sedang bercerita, Yoga membelai wajah Celine dan menyingkap rambut kecil yang jatuh di wajah Celine.
Celine masih terisak kecil di dalam pelukan Yoga. Sejak kecil dia selalu menuruti keinginan ibunya dan masuk ke dalam dunia modeling yang sama sekali tidak menarik bagi Celine.
Dia bahkan mengubur mimpinya untuk berakting di atas panggung teater karena tidak disetujui oleh ibunya dan sekarang dia bekeja keras meraup uang banyak demi ibunya tapi itu semua masih kurang.
Celine lelah. Dia ingin terbebas dari semua tuntutan yang diberikan oleh ibunya dan disisi Yoga adalah pelarian untuk Celine.
Hanya saat bersama Yoga, dia merasa bebas dan bisa bernapas. Semua beban yang diberikan ibunya pergi begitu saja.
Yoga mengusap punggung sempit Celine. "Mau menjadi bintang iklan untuk taman rekreasi DS?" tawar Yoga.
"Bukankah kontrak itu sudah jadi milik Reika?" tanya Celine terkejut dengan tawaran Yoga yang tiba-tiba. Dia, tentu saja mau jika bisa. Value Celine sebagai model akan melonjak tinggi jika menjadi model DS.
"Taman rekreasi ini memiliki banyak fasilitas dan yang paling ditonjolkan adalah kolam renangnya. Reika tidak mau memakai baju renang atau berenang, dia bilang, itu akan merusak kulitnya."
Celine mengigit bibir bawahnya, dia tidak tahu harus menyutujui tawaran Yoga atau tidak. Dan mendengar bagaimana Reika bersikap, Celine merasa perempuan itu terlalu sombong dan bodoh.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku yang akan mengurus segalanya dan saat DS memilihmu, itu tidak akan membuat Reika menyerangmu."
"Kalau begitu aku mau." jawab Celine. Dia merasa lebih tenang setelah mendengar ucapan Yoga.
Walau sudah lama menjadi model dan wajahnya sering muncul tapi pamor Celine kalah dengan Reika yang sudah muncul di publik sejak kecil dan memiliki banyak penggemar.
"Kalau begitu sekarang lebih baik kita tidur." Yoga menarik selimut lebih tinggi untuk menutupi tubuh polos mereka.
Celine menyamankan posisinya dan memejamkan matanya. Tubuhnya sudah terlalu lelah karena ulah Yoga ditambah emosinya yang terkuras karena permasalahan dengan ibunya.
Dengan tangan kekar Yoga yang melingkar di tubuhnya, Celine merasa aman dan terlelap dengan cepat.
Tapi ketika bangun di pagi hari, tangan itu sudah tidak ada dan Yoga pun tidak terlihat lagi di atas kasur atau di dalam kamar.
"Yoga?" panggil Celine. Dahinya mulusnya mengerut ketika tidak mendengar jawaban dari Yoga.
Dia turun dari kasur ingin mencari yoga ketika teinganya samar-samar mendengar suara air dari kamar mandi dan tersenyum lega karena tahu dimana Yoga berada.
Celine berjalan mengambil pakaiannya yang berseakan di lantai sebelum keluar dari kamar. Dia ingin membersihkan diri di kamar mandi luar.
Tubuhnya lengket akibat keringat dan cairan cinta semalam.
Belum jauh Celine melangkah keluar dari kamar, ponsel Yoga berdering keras dan menghentikan langkahnya untuk melirik sesaat pada ponsel itu.
Dia tidak berniat mengangkat telepon Yoga. Apalagi itu adalah ponsel yang Yoga pakai untuk urusan pribadi.
Membiarkan panggilan telepon itu, Celine berjalan menuju kamar mandi dan segera membersihkan tubuhnya.
Ketika selesai dan kembali ke dalam kamar, Yoga masih belum keluar dari kamar mandi dan ponsel Yoga terus-menerus berbunyi.
Dilema menempa Celine. Dia tidak ingin mengangkat telepon itu tapi khawatir itu adalah telepon penting. Berjalan mendkati meja kerja di kamar Yoga, Celine melihat layar ponsel Yoga menunjukan nama Lala yang diakhiri dengan emotikon bunga berwarna merah jambu.
Dahinya kembali mengerut. Nama itu terlihat manis dan cara Yoga menyimpan kontak itu membuat Celine tidak suka. Dia menatap lama ponsel Yoga hingga akhirnya panggilan berhenti tapi detik berikutnya kembali menyala.
Celine melihat pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat dam tidak menunjukan ada niat untuk terbuka. Akhirnya dia memutuskan untuk mengangkat telepon itu.
"Yo, dimana? Kok belum datang juga? Cepet ke kantor, Reika sama pengacaranya ada disini dan suasananya kurang baik." Belum sempat Celine mengucapkan apa-apa, suara di seberang sana sudah mendahuluinya.
Menjauhkan ponsel dari telinganya, Celine menatap ponsel itu. Seingatnya, ini adalah ponsel pribadi Yoga dan tidak untuk bekerja, kenapa bisa orang kantornya menelpon ke nomor ini?
Celine ingin menutup telepon itu tapi pesan yang disampaikan penting dan dia harus memberi tahu orang itu kalau dia bukan Yoga. Celine merasa serba salah.
"Halo, Yoga? Kau disana?" suara itu kembali terdengar mengejutkan dirinya. Celine menggelengkan kepalanya pelan, dia tidak bisa seperti ini.
"Maaf tapi sekarang Yoga sedang di kamar mandi." jawab Celine pada akhirnya.
Bela, di seberang sana tertegun mendengar suara perempuan asing di telinganya.
Halo, salam kenal!! Aku Irisha. Terima kasih sudah mau membaca buku ini. Jangan lupa untuk masukan ke pustaka kalian agar tidak tertinggal update chapter terbarunya ya!! Happy reading~
Tepat pukul delapan pagi begitu perkantoran mulai bekerja, Seorang perempuan dengan pakaian mewah dan kacamata besar menutpi wajahnya muncul di firma hukum Andreas. Di sebelah kanannya berdiri seorang lelaki dengan jas rapi dan sepatu hitam mengkilap membawa tas jinjing kotak. Sementara sebelah kirinya berdiri seorang permpuan yang memakai pakaian lebih sederhana namun dengan merk mahal juga. Bela tidak tahu apa dia harus memuji perempuan itu karena tepat waktu atau mengatakan dia tidak punya pekerjaan sehingga bisa datang secepat pegawai kantor ini bahkan mendahlui beberapa yang belum datang. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" petugas resepsionis di depan menyapa tamu tidak diundang itu dengan senyuman ramah. Perempuan yang disapa menurnkan kacamatanya sebelum melepas seluruhnya, menampilkan paras rupawan tanpa cacat. Bela yang melihatnya dari ruang sekrearis hampir membuka mulutnya lebar secara tidak
Celine segera menundukan kepalanya menghindari tatapan dingin Yoga. "M-maaf, aku...,""Diam." Suara dingin Yoga membuat Celine merinding dan dia segera membungkam mulutnya rapat.Yoga tidak punya waktu untuk memperpanjang masalah ini. Perhatiannya beralih pada layar ponselnya dan melihat nama Bela disana."Halo...halo..um....mbak?""Ini aku, ada apa?""Yoga? Itu, Reika ada disini.""Oke, aku segera kesana. Bilang padanya suruh menunggu setengah jam lagi, jika tidak mau datang saja ke DS. Bilang aku yang menyampaikannya."Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih panjang Yoga sudah tahu apa yang terjadi disana. Jadi dia memutus telepon sepihak dan segera mengganti pakaiannya."Aku harus segera ke kantor. Kau bisa menunggu disini dan aku antar kau pulang nanti setelah aku selesai bekerja atau ikut keluar bersamaku sekarang tapi kau pulang sendiri."Tanpa menunggu jawaban dari Celine, Yoga m
Yoga membuka pintu kantornya dan melihat Kasih berdiri di meja resepsionis seperti biasanya. "Dimana mereka?" 'Mereka' yang Yoga maksud langsung dimengerti oleh Kasih dan dia menunjuk ke arah pintu ruang rapat. Yoga mengangguk kepada Kasih. Baru dia akan melangkah, suara teriakan terdengar dari ruang rapat. "AHH!!" Teriakan itu mengejutkan Yoga dan Kasih. Keduanya bertukar pandang sebelum sama-sama berlari menuju ruang rapat. "Ada apa?!" Yoga membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Pemandangan yang menyambutnya adalah Bela yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. Disebelah kaki Bela, Yoga melihat ada cangkir yang isinya sudah tumpah di atas kaki Bela dan terlihat ada uap mengepul di sekitar cairan itu. "Aduh, maaf. Tanganku licin jadi...maaf." ujar Reika berpura-pura terkejut dan panik. Dia mengeluarkan sapu tangan dan mencoba mengelap kaki Bela yang ketumpahan air panas.
Diana baru saja kembali setelah selama satu jam berada di ruang sidang yang membosankan hanya untuk melihat kantornya kosong. Dia bertanya kepada OB kemana Kasih yang seharusnya ada di meja resepsionis dan juga Bela dan segera tahu kalau keduanya sedang di ruang istirahat. Mendorong pintu yang tidak memiliki gagang itu, Diana melihat kedua perempuan yang dia cari sedang asik mengobrol dan sepertinya rahasia. "Siapa yang masuk lewat pintu belakang?" tanya Diana yang tidak sengaja mendengar percakapan Kasih dengan Bela. Dia yakin kalau keduanya sedang bergosip. Sudah jadi naluri seorang perempuan untuk menyukai hal-hal seperti ini jadi Diana segera menghampiri Kasih dan Bela. "Astaga Bela, kakimu kenapa?" Menutup kedua mulutnya dengan tangan, Diana menatap terkejut kaki Bela. Yang ditanya hanya memberikan senyuman masam dengan bahu terangkat. "Itu karena tamu kita, Mbak!" Berbeda dengan Bela, K
"Bukan." jawab Yoga santai. "Calon?" tanya Gilbert lagi. "Tidak, kami cuman teman." Gilbert mengerutkan dahinya, dia masih tidak percaya. Dia sudah kenal Yoga cukup lama untuk bisa tahu kalau sikap Yoga pada perempuan itu beda dari sikapnya ke para mantan kekasih Yoga dulu. "Kau terlihat sangat peduli kepadanya." aku Gilbert. Dia tidak ingin terlihat begitu ingin tahu jadi menutuskan untuk berhenti sampai disini saja. Yoga hanya bergumam kecil. "Kami kenal lumayan lama." jelas Yoga yang hanya diberi angukan oleh Gilbert. "Aku mau menjenguknya. Sampai jumpa lagi nanti." Setelah mendapat anggukan dari Gilbert, Yoga meninggalkan ruangan dokter itu. Dia menemui suster yang tadi membantu Bela dan menanyakan dimana kamar Bela di rawat. Di dalam kamar rawatnya, Bela sedang duduk di atas kasur. Dia sudah berganti pakaian menjadi baju pasien. Bela menatap kakinya yang melepuh. Suara pintu dibuka membuat Bela mengalihkan pandangannya ke pintu. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Bel
Pintu kaca yang tertutup itu terbuka kasar dan menampakan sosok lelaki yang berjalan masuk dengan cepat. Bela menatap lelaki itu penuh rasa penasaran dan heran tapi tidak untuk kedua rekan kerjanya yang menegang.Dina, salah satu rekan kerjanya, yang duduk di sebelahnya bahkan terlihat meneguk ludah dan tangannya gemetar."Siapa yang membuat nota pembelaan Paladin Palace?" Suara bariton khas milik lelaki itu membuat Bela sedikit terkejut. Suaranya itu lugas, berat dan memberi kesan seksi.Semua pujian itu sayangnya tidak menutup amarah yang bergejolak disana. Keadaan semakin menegang ketika lelaki itu melempar berkasnya ke lantai. Saat itulah Bela menyadari betapa seriusnya keadaan ini."S-saya, pak." ujar Dina, sambil menyembunyikan tangannya yang gemetar ke bawah meja.Kepalanya tertundung dan bahunya turun. Dina menarik napas lalu menghembuskannya lembut berusaha menenangkan diri. Bela bisa melihat di bawah meja, Dina mencengkram roknya kuat.
"Aku bisa pulang sendiri." "Rumahmu berjarak satu setengah jam perlajanan dari sini." Bela memutar bola matanya. "Bukan berarti aku tidak bisa pulang sendiri, 'kan?" Yoga menoleh ke arah Bela dan mendengus. "Tidak salah juga jika kau bisa pulang lebih cepat dari biasanya, 'kan?" nada bicaranya mengikuti bagaimana Bela tadi berbicara. Jelas sekali kalau dia sedang mengolok Bela. Matanya menatap Yoga geram. "Setidaknya lepaskan tanganku dulu. Aku kesulitan berjalan." keluh Bela yang tersandung beberapa kali karena harus mengikuti tempo langkah kaki Yoga. "Kau ingin kabur dariku." Mulut mungil Bela terbuka tidak percaya. Dia kehabisan kata-kata. Perkataan Yoga itu memang Benar. Kesan pertamanya yang tidak baik dimata Bela membuatnya ingin menjauhi lelaki yang sebenarnya sudah dikenal Bela selama dua tahun belakangan ini. "Wajahmu menunjukan semuanya." tambah Yoga seolah tahu apa yang ada dipikiran Bela dan itu membuanya meri
Tidak tahu apa yang ada dipikirannya ketika Yoga menyetujui ajakan Sean untuk membebaskan diri di akhir pekan membuatnya duduk di salah satu deretan meja yang ada di kelab malam.Suara musik yang kencang dan cahaya lampu redup bermandikan lampu disko, lantai dansa yang penuh dengan orang bergeliat dan menempelkan diri kepada satu sama lain seolah tidak ada hari esok membuat Yoga merasa pusing.Tempat ramai seperti ini bukan tempat yang Yoga sukai. Selain bising, dia tidak suka bagaimana wanita-wanita itu memandangnya seolah dia santapan lezat bagi mereka.Seperti wanita dengan terusan ketat sepanjang paha berwarna silver itu. Dia sudah mondar mandir di depan meja Yoga berkali-kali tapi Yoga tidak peduli padanya.Sekarang wanita itu tengah berliuk seksi di lantai dansa tepat di depan meja Yoga berusaha menarik perhatian lelaki itu.Yoga melirik perempuan itu dengan jijik. Dia pikir Yoga akan tertarik kepadanya dengan memamerkan tubuhnya sepert
"Bukan." jawab Yoga santai. "Calon?" tanya Gilbert lagi. "Tidak, kami cuman teman." Gilbert mengerutkan dahinya, dia masih tidak percaya. Dia sudah kenal Yoga cukup lama untuk bisa tahu kalau sikap Yoga pada perempuan itu beda dari sikapnya ke para mantan kekasih Yoga dulu. "Kau terlihat sangat peduli kepadanya." aku Gilbert. Dia tidak ingin terlihat begitu ingin tahu jadi menutuskan untuk berhenti sampai disini saja. Yoga hanya bergumam kecil. "Kami kenal lumayan lama." jelas Yoga yang hanya diberi angukan oleh Gilbert. "Aku mau menjenguknya. Sampai jumpa lagi nanti." Setelah mendapat anggukan dari Gilbert, Yoga meninggalkan ruangan dokter itu. Dia menemui suster yang tadi membantu Bela dan menanyakan dimana kamar Bela di rawat. Di dalam kamar rawatnya, Bela sedang duduk di atas kasur. Dia sudah berganti pakaian menjadi baju pasien. Bela menatap kakinya yang melepuh. Suara pintu dibuka membuat Bela mengalihkan pandangannya ke pintu. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Bel
Diana baru saja kembali setelah selama satu jam berada di ruang sidang yang membosankan hanya untuk melihat kantornya kosong. Dia bertanya kepada OB kemana Kasih yang seharusnya ada di meja resepsionis dan juga Bela dan segera tahu kalau keduanya sedang di ruang istirahat. Mendorong pintu yang tidak memiliki gagang itu, Diana melihat kedua perempuan yang dia cari sedang asik mengobrol dan sepertinya rahasia. "Siapa yang masuk lewat pintu belakang?" tanya Diana yang tidak sengaja mendengar percakapan Kasih dengan Bela. Dia yakin kalau keduanya sedang bergosip. Sudah jadi naluri seorang perempuan untuk menyukai hal-hal seperti ini jadi Diana segera menghampiri Kasih dan Bela. "Astaga Bela, kakimu kenapa?" Menutup kedua mulutnya dengan tangan, Diana menatap terkejut kaki Bela. Yang ditanya hanya memberikan senyuman masam dengan bahu terangkat. "Itu karena tamu kita, Mbak!" Berbeda dengan Bela, K
Yoga membuka pintu kantornya dan melihat Kasih berdiri di meja resepsionis seperti biasanya. "Dimana mereka?" 'Mereka' yang Yoga maksud langsung dimengerti oleh Kasih dan dia menunjuk ke arah pintu ruang rapat. Yoga mengangguk kepada Kasih. Baru dia akan melangkah, suara teriakan terdengar dari ruang rapat. "AHH!!" Teriakan itu mengejutkan Yoga dan Kasih. Keduanya bertukar pandang sebelum sama-sama berlari menuju ruang rapat. "Ada apa?!" Yoga membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Pemandangan yang menyambutnya adalah Bela yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. Disebelah kaki Bela, Yoga melihat ada cangkir yang isinya sudah tumpah di atas kaki Bela dan terlihat ada uap mengepul di sekitar cairan itu. "Aduh, maaf. Tanganku licin jadi...maaf." ujar Reika berpura-pura terkejut dan panik. Dia mengeluarkan sapu tangan dan mencoba mengelap kaki Bela yang ketumpahan air panas.
Celine segera menundukan kepalanya menghindari tatapan dingin Yoga. "M-maaf, aku...,""Diam." Suara dingin Yoga membuat Celine merinding dan dia segera membungkam mulutnya rapat.Yoga tidak punya waktu untuk memperpanjang masalah ini. Perhatiannya beralih pada layar ponselnya dan melihat nama Bela disana."Halo...halo..um....mbak?""Ini aku, ada apa?""Yoga? Itu, Reika ada disini.""Oke, aku segera kesana. Bilang padanya suruh menunggu setengah jam lagi, jika tidak mau datang saja ke DS. Bilang aku yang menyampaikannya."Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih panjang Yoga sudah tahu apa yang terjadi disana. Jadi dia memutus telepon sepihak dan segera mengganti pakaiannya."Aku harus segera ke kantor. Kau bisa menunggu disini dan aku antar kau pulang nanti setelah aku selesai bekerja atau ikut keluar bersamaku sekarang tapi kau pulang sendiri."Tanpa menunggu jawaban dari Celine, Yoga m
Tepat pukul delapan pagi begitu perkantoran mulai bekerja, Seorang perempuan dengan pakaian mewah dan kacamata besar menutpi wajahnya muncul di firma hukum Andreas. Di sebelah kanannya berdiri seorang lelaki dengan jas rapi dan sepatu hitam mengkilap membawa tas jinjing kotak. Sementara sebelah kirinya berdiri seorang permpuan yang memakai pakaian lebih sederhana namun dengan merk mahal juga. Bela tidak tahu apa dia harus memuji perempuan itu karena tepat waktu atau mengatakan dia tidak punya pekerjaan sehingga bisa datang secepat pegawai kantor ini bahkan mendahlui beberapa yang belum datang. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" petugas resepsionis di depan menyapa tamu tidak diundang itu dengan senyuman ramah. Perempuan yang disapa menurnkan kacamatanya sebelum melepas seluruhnya, menampilkan paras rupawan tanpa cacat. Bela yang melihatnya dari ruang sekrearis hampir membuka mulutnya lebar secara tidak
Yoga mengesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Pikirannya kalut mengingat percakapan dengan ibunya. Ya, setelah mengantar Bela pulang, dia segera pergi ke rumah sakit dan tinggal disana hingga hari ini. Wanita yang sejak dua malam tidak membuka mata itu akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan memberikan senyuman kepada Yoga yang langsung berubah menjadi raut khawatir dan cemas karena melihat luka lebam segar pada wajah Yoga. Ibunya terlalu tahu Yoga dan tentu tahu darimana asal luka lebab pada wajah Yoga. Wanita yang selalu dijaga oleh Yoga itu segera mencermahinya mengenai sikapnya yang terlalu impulsif dan terbawa emosi. Dia khawatir ayah bangsat Yoga akan datang dan menggunakan ini untuk semakin meraup keuntungan dan menekan Yoga. Ibunya juga tidak ingin kejadian ini dijadikan alasan untuk menceraikan dirinya. Yoga menghela napas frustasi mengingat bagaimana ibunya bersikeras mempertahankan rumah t
"M-maaf." Ingin rasanya Bela memukul mulutnya sendiri. Bela pernah dengar mengenai ayah Yoga yang berselingkuh. Waktu itu mereka membahas nama tokoh dalam cerita mereka dan Yoga menolak nama tokoh yang Bela sarankan dengan alasan nama itu sama dengan nama selingkuhan ayahnya. Saat itu Bela tidak terlalu memikirkan ucapan Yoga dan langsung mencari nama lain walau dia merasa nama itu sangat cocok dengan tokoh mereka. "Bukan masalah. Ini sudah jadi rahasia umum Semua temanku tahu hal ini." jawab Yoga sambil menggidikan bahunya. Yoga terlihat tidak peduli dan kembali memakai kemejanya lagi. Bela melirik ke arah Yoga dari sudut matanya sebelum merapikan kotak P3K dan barang-barang yang dia gunakan untuk mengobati Yoga. Suasana tiba-tiba menjadi hening dan ini membuat Bela merasa tidak nyaman. Dia mengambil kotak P3K dan mengembalikannya pada laci di bawah TV. "Tadi...kau bilang akan pergi, mun
Dengan rambut yang diikat asal dan tubuh berbalut kaos serta celana jeans, Bela datang ke kantor polisi. Napasnya tersengal dan pipinya memerah karena kelelahan berlari secepat yang dia bisa untuk datang ke sana.Setelahnya semua prosedur berjalan begitu cepat dan Bela tidak begitu mengerti hingga akhirnya dia bisa membawa Yoga keluar dari kantor polisi. Kini keduanya berdiri di depan kantor polisi dan Bela masih mengatur napasnya.Selama di dalam karena ini pertama kalinya bagi Bela, dia gugup dan jantungnya berdegup dengan kencang. Sekarang setelah semuanya berlalu, Bela bisa bernapas dengan lega dan tubuhnya lebih santai."Sebenarnya kenapa kau berkelahi dengan orang itu?" tanya Bela sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena berlari tadi.Polisi tidak menjelaskan ini kepada Bela secara detail. Dia hanya tahu Yoga berkelahi dan memiliki beberapa luka di wajahnya yang membuat Bela merasakan nyerinya juga."Karena dia menyebalka
Bela menatap frustasi tumpukan hadiah yang kembali datang tadi sore. Dia tidak mengerti bagaimana cara kerja otak Yoga. Bela rasa sikapnya sudah sangat jelas ketika mengembalikan hadiah yang Yoga berikan sebelumnya tapi kenapa lelaki itu malah mengiriminya hadiah lagi dan kali ini lebih besar, bentuk dan harganya. Dengan ujung jarinya, Bela menyentuh tutup kotak itu untuk mengintipnya dengan enggan. "Aku tidak tahu kalau kau punya phobia terhadap barang malah." ejek Jiah yang meihat kelakuan aneh Bela. Merasa malu dengan kelakuannya, Bela berdeham dan menetralkan ekspresi wajahnya. "Aku tidak phobia kepada barang-barang itu!" belanya sambil menunjuk kotak hadiah itu dengan dagu. "Orang akan mengataimu gila jika kau phobia pada barang bagus seperti itu." sindir Jiah yang membuat Bela kembali diam. Oke, dia memang tidak mungkin menang beradu mulut dengan Jiah. Tidak mau membalas Jiah lagi, Bela memilih membuka kotak h