Tidak tahu apa yang ada dipikirannya ketika Yoga menyetujui ajakan Sean untuk membebaskan diri di akhir pekan membuatnya duduk di salah satu deretan meja yang ada di kelab malam.
Suara musik yang kencang dan cahaya lampu redup bermandikan lampu disko, lantai dansa yang penuh dengan orang bergeliat dan menempelkan diri kepada satu sama lain seolah tidak ada hari esok membuat Yoga merasa pusing.
Tempat ramai seperti ini bukan tempat yang Yoga sukai. Selain bising, dia tidak suka bagaimana wanita-wanita itu memandangnya seolah dia santapan lezat bagi mereka.
Seperti wanita dengan terusan ketat sepanjang paha berwarna silver itu. Dia sudah mondar mandir di depan meja Yoga berkali-kali tapi Yoga tidak peduli padanya.
Sekarang wanita itu tengah berliuk seksi di lantai dansa tepat di depan meja Yoga berusaha menarik perhatian lelaki itu.
Yoga melirik perempuan itu dengan jijik. Dia pikir Yoga akan tertarik kepadanya dengan memamerkan tubuhnya seperti itu? Hah! Mana mungkin.
Merasa sudah cukup dengan semua kekonyolan ini, Yoga berniat meninggalkan kelab malam kalau saja sudut matanya tidak menangkap sosok temannya yang mengajak Yoga ke sini.
Akhirnya, Yoga kembali duduk dan memainkan gelas minumannya yang hampir habis itu sambil menatap Sean, temannya, yang datang bersama perempuan dalam pelukannya.
"Kau tidak takut akan dihajar oleh kakak dari tunanganmu?" tanya Yoga yang tidak mengerti kenapa Sean masih melakukan hal bodoh seperti ini. Tak peduli dengan pertanyaan Yoga, Sean mengibaskan tangannya acuh.
"Jangan bicarakan mereka. Aku akan bersenang-senang malam ini." ujar Sean yang tangannya mencubit gemas dagu perempuan di sampingnya.
"Aku pulang kalau begitu." Yoga mengambil dompet dan ponsel yang dia taruh di meja, memasukkannya ke dalam jas.
"Kau pulang? Aku baru datang."
"Kenapa kau datang?" Dia tidak menyangka kalau temannya yang lain akan datang.
"Sean menghubungiku. Katanya kau berantakan." Mendecah tidak suka, Yoga memberikan tatapan tajam kepada Sean.
Mendapati tatapan itu, Sean mengangkat kedua tangannya. Tidak ingin kedua temannya berseteru, Keenan, lelaki yang baru saja datang segera mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku dengar kau menyelesaikan masalah Paladin Palace dengan lancar?" Dari ketiga temannya, Keenan adalah yang paling mudah bergaul dan paling bisa membaca suasana, dia yang selalu membuat ketiganya masih bisa berteman hingga saat ini.
Dengan pertanyaannya itu, Yoga tidak lagi mempermasalahkan kelakuan Sean. "Hm, bukan masalah besar." ujarnya yang menghabiskan sisa minumannya dalam satu tegukkan.
"Lalu kenapa kau tidak senang?" Perlahan Keenan mulai mempertanyakan kembali masalah yang dia sebutkan di awal. Mendengar pertanyaan itu, Yoga teringat hal yang membuatnya uring-uringan selama satu minggu belakangan ini, Bela.
Sejak ucapannya kepada perempuan itu, mereka tidak pernah bertemu atau berbicara lagi. Lebih tepatnya, Bela yang menghindarinya.
Hari pertama Bela menghindarinya, Yoga memarahi Bela yang sama sekali tidak dihiriaukan oleh Bela. Hari kedua pun Yoga masih mencoba untuk mengajak Bela berbicara tapi Bela hanya diam dan tidak menanggapi apapun ucapannya.
Bela benar-benar hanya berdiri dan menatapnya datar.
Merasa tidak ada gunanya, Yoga menjaga jarak dengan Bela dan mulai mengirimi barang yang kemungkinan Bela suka tapi sialnya, barang-barang itu Bela kembalikan lagi keesokan harinya.
Yoga yang mendapatkan perlakuan seperti itu tidak tahu lagi harus bagaimana agar membuat Bela kembali bersikap seperti semula.
Merasa frustasi, Yoga menarik kasar dasi yang masih bertengger rapi di lehernya. "Kudengar kau bertengkar dengan sepupuku dua hari lalu, sudah berbaikan?" Bukan menjawab, Yoga malah balik bertanya.
Keenan yang menduga kalau Yoga tidak ingin urusannya dicampuri, hanya bisa mengikuti alur pembicaraan saja. "Ya, tapi kami sudah berbaikan."
"Secepat itu?" Satu dari alis sempurna Yoga terangkat, dia tertarik. Keenan mengangguk,
"Ya. Aku meminta maaf kepadanya kemarin." jelas Keenan yang merasa heran dengan Yoga yang tertarik dengan hubungannya dan sepupu Yoga.
"Meminta maaf? Semudah itu?"
"Lihat, kau sama sekali tidak tahu bagaimana bersikap dihadapan wanita." Sean berujar dengan sombongnya sambil memandang remeh Yoga.
"Dengar, saat kau bertengkar dengan wanita, kau hanya perlu meminta maaf dan mengatakan kau salah lalu sedikit merayunya dan selesai, dia akan segera luluh dan memaafkanmu. Lihat saja bagaimana Keenan menaklukan sepupumu."
Dengan penuh percaya dirinya, Sean menjelaskan dan menunjuk Keenan yang sebenarnya tidak terlalu setuju dengan ucapan Sean.
Saat meminta maaf, Keenan memang bersungguh-sungguh akan hal itu dan bukan hanya untuk membuat kekasihnya tidak marah lagi, berbeda dengan Sean yang tidak mengakui kesalahannya dan meminta maaf hanya dimulut saja.
"Yang dikatakan Sean benar tapi kau jangan meminta maaf hanya dimulut saja, kau harus serius dengan ucapanmu karena jika kau tidak serius, itu hanya akan berfungsi beberapa kali sebelum mereka menamparmu dan mencampakanmu." ujar Keenan sambil melirik ke arah Sean sebelum kembali menatap Yoga.
"Kau ada masalah dengan wanita?" tanya Keenan penasaran. Untuk pertama kalinya, Yoga merasa Keenan yang cepat tanggap itu menyebalkan.
"Tidak." jawabnya tegas dengan wajah tak berekspresi untuk menutupi apa yang dia rasakan.
Dalam tatapan curiga dari kedua temannya, Yoga hanya bisa diam dan menunjukan sikap tidak peduli seperti biasanya. Dan ketika ponselnya menyala, Yoga segera mengambilnya untuk menghindari pembahasan lebih lanjut mengenai dirinya.
"Kekasihmu menelponku." ucap Yoga ketika melihat nama penelpon di ponselnya. "Cek ponselmu, jangan lupa membalas pesannya." tambahnya pada Keenan dengan jengkel.
Yoga kadang memertanyakan kenapa Keenan bisa betah berpacaran dengan sepupunya yang begitu berlebihan dan posesif.
"Aku sudah bilang kepadanya kalau akan bermain dengan kalian. Kurasa dia menelpon karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan denganmu. Angkat saja."
Meskipun malas, Yoga menuruti perkataan Keenan. "Ada apa?"
"Kau dimana? Tante masuk rumah sakit."
"Apa? Kenapa bisa?"
"Aku tidak tahu! Kau harus cepat kesini."
"Rumah sakit mana?"
"Rumah sakit Amerta."
Yoga segera menutup teleponnya. Kedua teman yang mendengar percakapannya pun menegang. "Ibuku masuk rumah sakit. Aku akan ke sana sekarang."
"Kau sudah minum, biar aku yang menyetir." ujar Keenan cepat. Yoga memberikan kunci mobilnya kepada Keenan dan segera berjalan keluar kelab malam.
"Kami duluan." ucap Keenan kepada Sean sebelum mengejar Yoga keluar. Kedua lelaki itu terburu-buru memasuki mobil dan segera mengemudi ke rumah sakit.
Di lorong rumah sakit, Lena berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Tangannya gemetar dan bibirnya pucat membuat Lena terlihat begitu rapuh.
Dia begitu khawatir kepada tante dari pihak ibunya itu. Dia berharap tidak ada hal buruk terjadi kepadanya. "Kenapa dia lama sekali?!" gerutu Lena sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Lena!" teriakan itu membuat sekujur tubuh Lena melemas, apalagi ketika bola matanya menagkap sosok yang tidak asing. Air mata yang berusaha dia tahan kini turun begitu saja.
"Kenapa lama sekali kau datang?! Tante...tante...," Tidak bisa menahan emosinya, Lena jatuh pada pelukan sepupunya, Yoga.
"Bagaimana keadaan Mama?" Memegangi kedua bahu Lena, Yoga menatapnya panik.
"Aku tidak tahu. Tante masih ditangani dokter." ujar Lena disela tangisnya.
"Kenapa tante bisa sampai di rumah sakit?" Mendengar suara kekasihnya, Lena baru sadar kalau Keenan ada disana.
"Aku ke rumah Yoga untuk mengambil kue yang tante buat karena disuruh mama tapi pas aku sampai, tante sudah di lantai sambil memegangi dadanya dan kesulitan bernapas. Aku segera memanggil ambulans. Aku tidak tahu kenapa tante tiba-tiba terkena serangan jantung." Mendengar penjelasan Lena, sekujur tubuh Yoga merinding.
Jika saja Lena tidak datang, ibunya bisa saja meninggal tanpa ada yang tahu. Tubuh besar Yoga jatuh ke lantai rumah sakit.
Membayangkan wanita yang paling dia sayangi bisa saja pergi tanpa dia ketahui membuat Yoga ketakutan luar biasa.
Melihat sepupunya yang biasanya bersikap arogan dan penuh kepercayaan diri itu begitu lemah dan rapuh, Lena merasa sedih dan kasihan.
Berjalan mendekati Yoga, Lena memeluk sepupunya itu berharap bisa memberikan kekuatan kepada Yoga.
Bela menatap frustasi tumpukan hadiah yang kembali datang tadi sore. Dia tidak mengerti bagaimana cara kerja otak Yoga. Bela rasa sikapnya sudah sangat jelas ketika mengembalikan hadiah yang Yoga berikan sebelumnya tapi kenapa lelaki itu malah mengiriminya hadiah lagi dan kali ini lebih besar, bentuk dan harganya. Dengan ujung jarinya, Bela menyentuh tutup kotak itu untuk mengintipnya dengan enggan. "Aku tidak tahu kalau kau punya phobia terhadap barang malah." ejek Jiah yang meihat kelakuan aneh Bela. Merasa malu dengan kelakuannya, Bela berdeham dan menetralkan ekspresi wajahnya. "Aku tidak phobia kepada barang-barang itu!" belanya sambil menunjuk kotak hadiah itu dengan dagu. "Orang akan mengataimu gila jika kau phobia pada barang bagus seperti itu." sindir Jiah yang membuat Bela kembali diam. Oke, dia memang tidak mungkin menang beradu mulut dengan Jiah. Tidak mau membalas Jiah lagi, Bela memilih membuka kotak h
Dengan rambut yang diikat asal dan tubuh berbalut kaos serta celana jeans, Bela datang ke kantor polisi. Napasnya tersengal dan pipinya memerah karena kelelahan berlari secepat yang dia bisa untuk datang ke sana.Setelahnya semua prosedur berjalan begitu cepat dan Bela tidak begitu mengerti hingga akhirnya dia bisa membawa Yoga keluar dari kantor polisi. Kini keduanya berdiri di depan kantor polisi dan Bela masih mengatur napasnya.Selama di dalam karena ini pertama kalinya bagi Bela, dia gugup dan jantungnya berdegup dengan kencang. Sekarang setelah semuanya berlalu, Bela bisa bernapas dengan lega dan tubuhnya lebih santai."Sebenarnya kenapa kau berkelahi dengan orang itu?" tanya Bela sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena berlari tadi.Polisi tidak menjelaskan ini kepada Bela secara detail. Dia hanya tahu Yoga berkelahi dan memiliki beberapa luka di wajahnya yang membuat Bela merasakan nyerinya juga."Karena dia menyebalka
"M-maaf." Ingin rasanya Bela memukul mulutnya sendiri. Bela pernah dengar mengenai ayah Yoga yang berselingkuh. Waktu itu mereka membahas nama tokoh dalam cerita mereka dan Yoga menolak nama tokoh yang Bela sarankan dengan alasan nama itu sama dengan nama selingkuhan ayahnya. Saat itu Bela tidak terlalu memikirkan ucapan Yoga dan langsung mencari nama lain walau dia merasa nama itu sangat cocok dengan tokoh mereka. "Bukan masalah. Ini sudah jadi rahasia umum Semua temanku tahu hal ini." jawab Yoga sambil menggidikan bahunya. Yoga terlihat tidak peduli dan kembali memakai kemejanya lagi. Bela melirik ke arah Yoga dari sudut matanya sebelum merapikan kotak P3K dan barang-barang yang dia gunakan untuk mengobati Yoga. Suasana tiba-tiba menjadi hening dan ini membuat Bela merasa tidak nyaman. Dia mengambil kotak P3K dan mengembalikannya pada laci di bawah TV. "Tadi...kau bilang akan pergi, mun
Yoga mengesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Pikirannya kalut mengingat percakapan dengan ibunya. Ya, setelah mengantar Bela pulang, dia segera pergi ke rumah sakit dan tinggal disana hingga hari ini. Wanita yang sejak dua malam tidak membuka mata itu akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan memberikan senyuman kepada Yoga yang langsung berubah menjadi raut khawatir dan cemas karena melihat luka lebam segar pada wajah Yoga. Ibunya terlalu tahu Yoga dan tentu tahu darimana asal luka lebab pada wajah Yoga. Wanita yang selalu dijaga oleh Yoga itu segera mencermahinya mengenai sikapnya yang terlalu impulsif dan terbawa emosi. Dia khawatir ayah bangsat Yoga akan datang dan menggunakan ini untuk semakin meraup keuntungan dan menekan Yoga. Ibunya juga tidak ingin kejadian ini dijadikan alasan untuk menceraikan dirinya. Yoga menghela napas frustasi mengingat bagaimana ibunya bersikeras mempertahankan rumah t
Tepat pukul delapan pagi begitu perkantoran mulai bekerja, Seorang perempuan dengan pakaian mewah dan kacamata besar menutpi wajahnya muncul di firma hukum Andreas. Di sebelah kanannya berdiri seorang lelaki dengan jas rapi dan sepatu hitam mengkilap membawa tas jinjing kotak. Sementara sebelah kirinya berdiri seorang permpuan yang memakai pakaian lebih sederhana namun dengan merk mahal juga. Bela tidak tahu apa dia harus memuji perempuan itu karena tepat waktu atau mengatakan dia tidak punya pekerjaan sehingga bisa datang secepat pegawai kantor ini bahkan mendahlui beberapa yang belum datang. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" petugas resepsionis di depan menyapa tamu tidak diundang itu dengan senyuman ramah. Perempuan yang disapa menurnkan kacamatanya sebelum melepas seluruhnya, menampilkan paras rupawan tanpa cacat. Bela yang melihatnya dari ruang sekrearis hampir membuka mulutnya lebar secara tidak
Celine segera menundukan kepalanya menghindari tatapan dingin Yoga. "M-maaf, aku...,""Diam." Suara dingin Yoga membuat Celine merinding dan dia segera membungkam mulutnya rapat.Yoga tidak punya waktu untuk memperpanjang masalah ini. Perhatiannya beralih pada layar ponselnya dan melihat nama Bela disana."Halo...halo..um....mbak?""Ini aku, ada apa?""Yoga? Itu, Reika ada disini.""Oke, aku segera kesana. Bilang padanya suruh menunggu setengah jam lagi, jika tidak mau datang saja ke DS. Bilang aku yang menyampaikannya."Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih panjang Yoga sudah tahu apa yang terjadi disana. Jadi dia memutus telepon sepihak dan segera mengganti pakaiannya."Aku harus segera ke kantor. Kau bisa menunggu disini dan aku antar kau pulang nanti setelah aku selesai bekerja atau ikut keluar bersamaku sekarang tapi kau pulang sendiri."Tanpa menunggu jawaban dari Celine, Yoga m
Yoga membuka pintu kantornya dan melihat Kasih berdiri di meja resepsionis seperti biasanya. "Dimana mereka?" 'Mereka' yang Yoga maksud langsung dimengerti oleh Kasih dan dia menunjuk ke arah pintu ruang rapat. Yoga mengangguk kepada Kasih. Baru dia akan melangkah, suara teriakan terdengar dari ruang rapat. "AHH!!" Teriakan itu mengejutkan Yoga dan Kasih. Keduanya bertukar pandang sebelum sama-sama berlari menuju ruang rapat. "Ada apa?!" Yoga membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Pemandangan yang menyambutnya adalah Bela yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. Disebelah kaki Bela, Yoga melihat ada cangkir yang isinya sudah tumpah di atas kaki Bela dan terlihat ada uap mengepul di sekitar cairan itu. "Aduh, maaf. Tanganku licin jadi...maaf." ujar Reika berpura-pura terkejut dan panik. Dia mengeluarkan sapu tangan dan mencoba mengelap kaki Bela yang ketumpahan air panas.
Diana baru saja kembali setelah selama satu jam berada di ruang sidang yang membosankan hanya untuk melihat kantornya kosong. Dia bertanya kepada OB kemana Kasih yang seharusnya ada di meja resepsionis dan juga Bela dan segera tahu kalau keduanya sedang di ruang istirahat. Mendorong pintu yang tidak memiliki gagang itu, Diana melihat kedua perempuan yang dia cari sedang asik mengobrol dan sepertinya rahasia. "Siapa yang masuk lewat pintu belakang?" tanya Diana yang tidak sengaja mendengar percakapan Kasih dengan Bela. Dia yakin kalau keduanya sedang bergosip. Sudah jadi naluri seorang perempuan untuk menyukai hal-hal seperti ini jadi Diana segera menghampiri Kasih dan Bela. "Astaga Bela, kakimu kenapa?" Menutup kedua mulutnya dengan tangan, Diana menatap terkejut kaki Bela. Yang ditanya hanya memberikan senyuman masam dengan bahu terangkat. "Itu karena tamu kita, Mbak!" Berbeda dengan Bela, K
"Bukan." jawab Yoga santai. "Calon?" tanya Gilbert lagi. "Tidak, kami cuman teman." Gilbert mengerutkan dahinya, dia masih tidak percaya. Dia sudah kenal Yoga cukup lama untuk bisa tahu kalau sikap Yoga pada perempuan itu beda dari sikapnya ke para mantan kekasih Yoga dulu. "Kau terlihat sangat peduli kepadanya." aku Gilbert. Dia tidak ingin terlihat begitu ingin tahu jadi menutuskan untuk berhenti sampai disini saja. Yoga hanya bergumam kecil. "Kami kenal lumayan lama." jelas Yoga yang hanya diberi angukan oleh Gilbert. "Aku mau menjenguknya. Sampai jumpa lagi nanti." Setelah mendapat anggukan dari Gilbert, Yoga meninggalkan ruangan dokter itu. Dia menemui suster yang tadi membantu Bela dan menanyakan dimana kamar Bela di rawat. Di dalam kamar rawatnya, Bela sedang duduk di atas kasur. Dia sudah berganti pakaian menjadi baju pasien. Bela menatap kakinya yang melepuh. Suara pintu dibuka membuat Bela mengalihkan pandangannya ke pintu. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Bel
Diana baru saja kembali setelah selama satu jam berada di ruang sidang yang membosankan hanya untuk melihat kantornya kosong. Dia bertanya kepada OB kemana Kasih yang seharusnya ada di meja resepsionis dan juga Bela dan segera tahu kalau keduanya sedang di ruang istirahat. Mendorong pintu yang tidak memiliki gagang itu, Diana melihat kedua perempuan yang dia cari sedang asik mengobrol dan sepertinya rahasia. "Siapa yang masuk lewat pintu belakang?" tanya Diana yang tidak sengaja mendengar percakapan Kasih dengan Bela. Dia yakin kalau keduanya sedang bergosip. Sudah jadi naluri seorang perempuan untuk menyukai hal-hal seperti ini jadi Diana segera menghampiri Kasih dan Bela. "Astaga Bela, kakimu kenapa?" Menutup kedua mulutnya dengan tangan, Diana menatap terkejut kaki Bela. Yang ditanya hanya memberikan senyuman masam dengan bahu terangkat. "Itu karena tamu kita, Mbak!" Berbeda dengan Bela, K
Yoga membuka pintu kantornya dan melihat Kasih berdiri di meja resepsionis seperti biasanya. "Dimana mereka?" 'Mereka' yang Yoga maksud langsung dimengerti oleh Kasih dan dia menunjuk ke arah pintu ruang rapat. Yoga mengangguk kepada Kasih. Baru dia akan melangkah, suara teriakan terdengar dari ruang rapat. "AHH!!" Teriakan itu mengejutkan Yoga dan Kasih. Keduanya bertukar pandang sebelum sama-sama berlari menuju ruang rapat. "Ada apa?!" Yoga membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Pemandangan yang menyambutnya adalah Bela yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. Disebelah kaki Bela, Yoga melihat ada cangkir yang isinya sudah tumpah di atas kaki Bela dan terlihat ada uap mengepul di sekitar cairan itu. "Aduh, maaf. Tanganku licin jadi...maaf." ujar Reika berpura-pura terkejut dan panik. Dia mengeluarkan sapu tangan dan mencoba mengelap kaki Bela yang ketumpahan air panas.
Celine segera menundukan kepalanya menghindari tatapan dingin Yoga. "M-maaf, aku...,""Diam." Suara dingin Yoga membuat Celine merinding dan dia segera membungkam mulutnya rapat.Yoga tidak punya waktu untuk memperpanjang masalah ini. Perhatiannya beralih pada layar ponselnya dan melihat nama Bela disana."Halo...halo..um....mbak?""Ini aku, ada apa?""Yoga? Itu, Reika ada disini.""Oke, aku segera kesana. Bilang padanya suruh menunggu setengah jam lagi, jika tidak mau datang saja ke DS. Bilang aku yang menyampaikannya."Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih panjang Yoga sudah tahu apa yang terjadi disana. Jadi dia memutus telepon sepihak dan segera mengganti pakaiannya."Aku harus segera ke kantor. Kau bisa menunggu disini dan aku antar kau pulang nanti setelah aku selesai bekerja atau ikut keluar bersamaku sekarang tapi kau pulang sendiri."Tanpa menunggu jawaban dari Celine, Yoga m
Tepat pukul delapan pagi begitu perkantoran mulai bekerja, Seorang perempuan dengan pakaian mewah dan kacamata besar menutpi wajahnya muncul di firma hukum Andreas. Di sebelah kanannya berdiri seorang lelaki dengan jas rapi dan sepatu hitam mengkilap membawa tas jinjing kotak. Sementara sebelah kirinya berdiri seorang permpuan yang memakai pakaian lebih sederhana namun dengan merk mahal juga. Bela tidak tahu apa dia harus memuji perempuan itu karena tepat waktu atau mengatakan dia tidak punya pekerjaan sehingga bisa datang secepat pegawai kantor ini bahkan mendahlui beberapa yang belum datang. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" petugas resepsionis di depan menyapa tamu tidak diundang itu dengan senyuman ramah. Perempuan yang disapa menurnkan kacamatanya sebelum melepas seluruhnya, menampilkan paras rupawan tanpa cacat. Bela yang melihatnya dari ruang sekrearis hampir membuka mulutnya lebar secara tidak
Yoga mengesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Pikirannya kalut mengingat percakapan dengan ibunya. Ya, setelah mengantar Bela pulang, dia segera pergi ke rumah sakit dan tinggal disana hingga hari ini. Wanita yang sejak dua malam tidak membuka mata itu akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan memberikan senyuman kepada Yoga yang langsung berubah menjadi raut khawatir dan cemas karena melihat luka lebam segar pada wajah Yoga. Ibunya terlalu tahu Yoga dan tentu tahu darimana asal luka lebab pada wajah Yoga. Wanita yang selalu dijaga oleh Yoga itu segera mencermahinya mengenai sikapnya yang terlalu impulsif dan terbawa emosi. Dia khawatir ayah bangsat Yoga akan datang dan menggunakan ini untuk semakin meraup keuntungan dan menekan Yoga. Ibunya juga tidak ingin kejadian ini dijadikan alasan untuk menceraikan dirinya. Yoga menghela napas frustasi mengingat bagaimana ibunya bersikeras mempertahankan rumah t
"M-maaf." Ingin rasanya Bela memukul mulutnya sendiri. Bela pernah dengar mengenai ayah Yoga yang berselingkuh. Waktu itu mereka membahas nama tokoh dalam cerita mereka dan Yoga menolak nama tokoh yang Bela sarankan dengan alasan nama itu sama dengan nama selingkuhan ayahnya. Saat itu Bela tidak terlalu memikirkan ucapan Yoga dan langsung mencari nama lain walau dia merasa nama itu sangat cocok dengan tokoh mereka. "Bukan masalah. Ini sudah jadi rahasia umum Semua temanku tahu hal ini." jawab Yoga sambil menggidikan bahunya. Yoga terlihat tidak peduli dan kembali memakai kemejanya lagi. Bela melirik ke arah Yoga dari sudut matanya sebelum merapikan kotak P3K dan barang-barang yang dia gunakan untuk mengobati Yoga. Suasana tiba-tiba menjadi hening dan ini membuat Bela merasa tidak nyaman. Dia mengambil kotak P3K dan mengembalikannya pada laci di bawah TV. "Tadi...kau bilang akan pergi, mun
Dengan rambut yang diikat asal dan tubuh berbalut kaos serta celana jeans, Bela datang ke kantor polisi. Napasnya tersengal dan pipinya memerah karena kelelahan berlari secepat yang dia bisa untuk datang ke sana.Setelahnya semua prosedur berjalan begitu cepat dan Bela tidak begitu mengerti hingga akhirnya dia bisa membawa Yoga keluar dari kantor polisi. Kini keduanya berdiri di depan kantor polisi dan Bela masih mengatur napasnya.Selama di dalam karena ini pertama kalinya bagi Bela, dia gugup dan jantungnya berdegup dengan kencang. Sekarang setelah semuanya berlalu, Bela bisa bernapas dengan lega dan tubuhnya lebih santai."Sebenarnya kenapa kau berkelahi dengan orang itu?" tanya Bela sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena berlari tadi.Polisi tidak menjelaskan ini kepada Bela secara detail. Dia hanya tahu Yoga berkelahi dan memiliki beberapa luka di wajahnya yang membuat Bela merasakan nyerinya juga."Karena dia menyebalka
Bela menatap frustasi tumpukan hadiah yang kembali datang tadi sore. Dia tidak mengerti bagaimana cara kerja otak Yoga. Bela rasa sikapnya sudah sangat jelas ketika mengembalikan hadiah yang Yoga berikan sebelumnya tapi kenapa lelaki itu malah mengiriminya hadiah lagi dan kali ini lebih besar, bentuk dan harganya. Dengan ujung jarinya, Bela menyentuh tutup kotak itu untuk mengintipnya dengan enggan. "Aku tidak tahu kalau kau punya phobia terhadap barang malah." ejek Jiah yang meihat kelakuan aneh Bela. Merasa malu dengan kelakuannya, Bela berdeham dan menetralkan ekspresi wajahnya. "Aku tidak phobia kepada barang-barang itu!" belanya sambil menunjuk kotak hadiah itu dengan dagu. "Orang akan mengataimu gila jika kau phobia pada barang bagus seperti itu." sindir Jiah yang membuat Bela kembali diam. Oke, dia memang tidak mungkin menang beradu mulut dengan Jiah. Tidak mau membalas Jiah lagi, Bela memilih membuka kotak h