"Aku bisa pulang sendiri."
"Rumahmu berjarak satu setengah jam perlajanan dari sini."
Bela memutar bola matanya. "Bukan berarti aku tidak bisa pulang sendiri, 'kan?"
Yoga menoleh ke arah Bela dan mendengus. "Tidak salah juga jika kau bisa pulang lebih cepat dari biasanya, 'kan?" nada bicaranya mengikuti bagaimana Bela tadi berbicara.
Jelas sekali kalau dia sedang mengolok Bela. Matanya menatap Yoga geram. "Setidaknya lepaskan tanganku dulu. Aku kesulitan berjalan." keluh Bela yang tersandung beberapa kali karena harus mengikuti tempo langkah kaki Yoga.
"Kau ingin kabur dariku." Mulut mungil Bela terbuka tidak percaya. Dia kehabisan kata-kata.
Perkataan Yoga itu memang Benar. Kesan pertamanya yang tidak baik dimata Bela membuatnya ingin menjauhi lelaki yang sebenarnya sudah dikenal Bela selama dua tahun belakangan ini.
"Wajahmu menunjukan semuanya." tambah Yoga seolah tahu apa yang ada dipikiran Bela dan itu membuanya merinding. Kau tidak akan dikira bisu jika diam, batin Bela.
Berusaha menenangkan diri, Bela menarik napas dalam dan menghembuskan kasar napasnya. Tidak bisa, dia terlalu jengkel untuk menenangkan diri.
Baru saja mereka saling mengetahu kalau ternyata keduanya adalah sahabat pena, Bela sudah bisa merasakan kalau pertemuan dengan Rio di dunia nyata adalah mimpi buruk.
Selama ini walau mereka bisa bekerja sama tapi mereka sering sekali bertengkar. Dulu ketika mereka mengikuti lomba menulis, selama satu minggu awal mula kerjasama menulis mereka hanya dihabiskan untuk berdebat.
Bela bahkan memblokir kontak Yoga dan laki-laki itu sampai membuat kontak baru untuk menghubunginya dan yang mereka lakukan hanya bertengkar lagi.
Jika melalui pesan saja mereka bisa seperti itu apalai di dunia nyata? Tapi sayangnya Bela seorang pengecut, bagaimana dia bisa melawan Yoga secara langsung?
"Masuk." Dengan satu tangan memegang pintu mobil dan yang lain memegang tangan Bela, tanpa menunggu jawaban, Yoga mengarahkan Bela untuk masuk ke dalam mobil.
Tapi bukannya masuk Bela hanya diam di depan pintu mobil yang terbuka. Dia menghadap ke arah Yoga dan menatap lelaki itu lekat-lekat.
Tubuh mereka begitu dekat dan hanya terhalang oleh pintu mobil. Bela membuka bibirnya dan menutupnya kembali. Dia ingin berargumen dengan Yoga tapi tidak tahu apa yang harus dia ucapkan.
Kepalanya berusaha mencari kata-kata agar bisa diucapkan tapi begitu melihat Yoga yang semakin lama semakin kesal dan dingin. Hati Bela menciut dan masuk ke dalam mobil. Dasar pengecut! Bela mengumpat dirinya sendiri.
Melihat akhirnya Bela menurut, Yoga menutup pintu dan berjalan ke sisi lain mobil untuk duduk di kursi kemudi.
Begitu membuka pintu Yoga melihat Bela yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah mengerut. Yoga menggelengkan kepalanya.
Dia tidak mengerti kenapa Bela harus bersikeras seperti ini padahal tawarannya menguntungkan untuk Bela. Yoga masuk ke dalam mobil, duduk pada kursi kemudi, menaruh tas kerjanya di kursi belakang sebelum duduk.
Dia juga membuka kancing jasnya. Rutinitas yang biasa dia lakukan. Tidak lupa juga dia memasang sabuk pengaman sebelum menyalakan mobil. Dilirik sekilas Bela yang masih bergeming dan tidak memakai sabuk pengaman, Yoga merasa dia sedang membawa anak balita.
Menghela panas, pasrah, dia mendekat ke arah Bela ingin membantu perempuan itu memasang sabuk pengaman. Disaat seperti ini, dia memilih diam karena jika berbicara mereka akan kembali adu mulut.
Merasa ada yang mendekatinya Bela otomatis menatap Yoga dengan kerutan di dahinya. Dia perlahan mundur menjauhkan tubuhnya dari Yoga. "K-kau mau apa?" tanya Bela yang gugup dan merasa bingung walau dia masih melipat kedua tangannya di depan dada.
Melihat reaksi Bela, Yoga tahu kalau Bela salah paham. Ini membuat sudut bibir Yoga terangkat dan dia menatap lurus ke arah Bela. Melihat itu, Bela menjadi semakin salah tingkah.
Apalagi ketika tangan Yoga terangkat dan mengarah ke sekitar kepala Bela membuatnya tersentak dan menjauhi tangan itu dan tanpa sadar mendekatkan kepalanya pada wajah Yoga.
"Sebenarnya kau..," Bela terkejut ketika berbalik dan wajahnya begitu dekat dengan wajah Yoga hingga tanpa sadar menahan napasnya.
Tapi tidak dengan Yoga dan tetap bernapas dan menghembus Hembusan napas segar menerpa wajahnya membuat Bela yang terasa begitu dingin seperti angin di gunung Everest.
"Kau...," mendengar Yoga yang tiba-tiba mengeluarkan suara, jantung Bela meloncat di dalam sana, "Belum memakai sabuk pengaman." Dengan lihai tangan Yoga menarik sabuk pengaman Bela dan memasangkannya.
Proses itu begitu cepat sehingga Bela butuh waktu untuk bisa mencerna apa yang terjadi. Detik berikutnya, semburat merah perlahan muncul di wajah Bela. Dia menatap Yoga nyalang.
"Kau mengerjaiku!" tuduh Bela kepada Yoga. Hidung kecilnya mengembang dan mengempis lantaran Bela terlalu emosi.
"Memang kau pikir aku akan melakukan apa, hm?" goda Yoga dengan menaruh satu tangannya di kursi Bela dan mencondongkan tubuhnya ke arah Bela. Matanya berkilau nakal dan jelas sekali kalau dia sedang menggoda Bela.
"Jangan dekat-dekat!" Bela mendorong dada atletis Yoga dan kemudian memalingkan muka darinya dan tangan Bela kembali melipat di depan dadanya.
Melihat reaksi Bela, Yoga ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Sepertinya hanya posisi itu yang Bela tahu untuk menunjukan perasaan marahnya. Yoga kembali pada posisi duduknya dan mulai menyalakan mobil.
Sebelum menjalankan mobil, Yoga merogoh kantungnya untuk mengambil ponsel lalu memberikannya kepada Bela.
"Nyalakan navigator ke rumahmu dengan ini." pinta Yoga yang sebenarnya lebih seperti menyuruh. Bela mengambil ponsel itu malas-malasan.
"Terkunci, passwordnya?"
"Laalaa. Dengan dua huruf a." jawab Yoga yang membuat Bela menoleh ke arahnya bingung.
"Apa?" Bela memiringkan kepalanya, dia mengira Yoga memanggil namanya tapi juga merasa Yoga tidak sedang memanggilnya. "Itu passwordnya, seperti kode yang kita buat untuk Sean dan Hana."
Berpikir sejenak, Bela mengingat salah satu tokoh dalam tulisan mereka dan kemudian segera mengetik password itu sesuai permintaan Yoga.
"Kenapa menggunakan namaku?" tanya Bela setelah menyalakan navigasi menuju tempat tinggalnya. Tubuhnya dibuat menyerong dan menghadap ke arah Yoga dengan mata yang Yoga yakini penuh dengan rasa penasaran.
"Karena kau teman rahasiaku." jawab Yoga singkat yang tidak memberikan penjelasan apapun bagi Bela. Otaknya tidak sebesar milik Yoga jadi dia tidak mungkin mengerti kenapa dengan menjadi teman rahasianya bisa membuat namanya dijadikan kode rahasia ponselnya. Merasa tak akan mendapat penjelasan lebih lanjut, Bela membalik badannya dan menatak keluar jendela. Melihat lalu lintas dan juga orang-orang yang berlalu di jalan membuat Bela mengantuk. Selang beberapa waktu kemudian, dia sudah tertidur.
Yoga baru sadar kalau Bela tertidur ketika mobil berhenti di lampu merah. Dia ingin menanyakan kenapa Bela tidak cerita tentang dirinya yang akhirnya melamar pekerjaan di kantor Yoga tapi malah mendapati kepala perempuan itu mengangguk-ngangguk hampir membentur kaca jendela.
Yoga pelan-pelan membenarkan kepala Bela agar tidak membentur kaca jendela dan membiarkannya tertidur. Hanya dengan mengandalkan navigasi Yoga berhasil sampai di daerah tempat tinggal Bela tapi dia tidak tahu bangunan mana yang menjadi tempat Bela tinggal.
Yoga memarkirkan mobilnya dan perlahan membangunkan Bela. Ditepuknya bahu Bela perlahan.
"Lala, kita sudah sampai." Merasakan adanya sentuhan di bahunya dan namanya dipanggil kesadaran Bela perlahan-lahan kembali dan matanya terbuka.
Dengan keadaan setengah tersadar, Bela menatap Yoga dan kemudian tubuhnya segera menegak. "Apa aku tertidur?" ujarnya malu sambil merapikan rambutnya yang berantakan. "Maaf." tambah Bela.
Yoga menggelengkan kepalanya memaklumi. "Kurasa kita sudah sampai tapi aku tidak tahu pastinya yang mana tempatmu tinggal." Yoga membuka kaca mobilnya dan menengok deretan rumah di depannya.
Melihat jalan dan bangunan yang tidak asing di depannya, Bela tersenyum. "Kau benar, bangunan berwarna putih itu tempatku tinggal." Memasukan gigi kembali, Yoga memajukan mobil perlahan hingga berada tepat di seberang bangunan yang Bela maksud.
Bangunan itu tidak besar dan terlihat tua yang membuatnya memberi kesan kumuh walau masih dalam batas wajar. Yoga meragukan keamanan dan juga kekuatan bangunan itu karena, dia tidak melihat adanya penjaga di sana.
Terlebih lagi disaat bangunan itu memiliki empat lantai dengan lantai paling bawah dijadikan sebagai tempat parkir dan juga area umum untuk seluruh penghuni dan sisanya adalah ruangan-ruangan yang disewakan untuk tempat tinggal dan lantai paling atas adalah tempat mencuci dan menjemur.
Total kamar di bangunan ini adalah enam, tiga pada lantai dua dan tiga lagi pada lantai tiga. Kamar Bela ada di lantai dua. "Sudah berapa lama kau tinggal disini?"
"Tiga tahun? Sepertinya hampir tiga tahun." jawab Bela sambil melepas sabuk pengamannya.
Yoga masih memperhatikan bangunan itu ketika dia melihat seorang lelaki bermotor memasuki bangunan tempat Bela tinggal. "Bukannya kau bilang ini khusus perempuan?" Yoga menunjuk lelaki yang baru saja masuk.
"Oh, dia anak pemilik bangunan ini. Rumah mereka tepat di sebelah. Dari luar dua rumah itu terlihat terpisah tapi di dalam sebenarnya menyambung dan mereka sering memarkir motor mereka di sini." Yang menarik perhatian Yoga dari penjelasan Bela adalah kata mereka.
"Anak laki-lakinya tidak hanya satu?"
"Iya, anak pertamanya seumur dengan kita, yang kedua dua tahun lebih muda dariku lalu yang terakhir baru berumur dua puluh tahun." Pertanyaan yang terus diajukan Yoga itu membuat Bela heran.
"Kenapa?" Yoga merasa tempat itu tidak layak untuk ditinggali karena bangunannya yang tua dan terkesan kumuh. Selain itu juga, ada tiga lelaki muda yang bisa keluar masuk dari area tempat tinggal Bela yang berisikan perempuan semua.
Memutar otaknya untuk menyampaikan apa yang ada dipikirannya membuat Yoga terdiam dan hanya menatap Bela lekat. Sesaat, dia merasa tidak punya hak untuk ikut campur dalam hal ini dan merasa segala argumen di kepalanya tidak valid.
"Tidak, kau masuklah. Besok aku akan menjemputmu." Yoga mengurungkan niatnya untuk membahas hal ini sekarang. Mungkin nanti jika dia lebih dekat dengan Bela, Yoga bisa membahasnya lagi.
Mengibaskan tangannya agar Bela pergi Yoga bersandar sambil menunggu Bela menutup pintu. Melihat itu, Bela merasa Yoga memeliki emosi seperti roller coaster satu detik dia terlihat begitu tertarik dan penasaran, detik berikutnya dia tidak peduli.
"Terima kasih sudah mengantarku. Hati-hati di jalan." Bela turun dari mobil dan berlari kecil menuju pintu gerbang tempat tinggalnya. Dia melambaikan tangan lalu masuk ke dalam.
Setelah melihat Bela masuk, Yoga baru menyalakan mobil dan pulang ke rumahnya.
❀
❀
❀
❀
❀
Bela yang masih mondar-mandir di dapur. Dia berjalan bolak-balik dan membuka setiap laci yang ada di dapur tapi tidak menemukan apa yang dia cari.
"Jiah." teriak Bela pada bawah anak tangga. Memanggil salah satu penghuni yang juga tetangga sebelah kamarnya agar turun ke bawah. Jika tidak segera menemukannya, Bela bisa terlambat. Melirik jam dinding besar yang berada di ruang tamu, Bela semakin gelisah.
"Jiah, kau sedang apa? Aku butuh bantuanmu!" Kali ini suara Bela lebih keras dari sebelumnya dan dia yakin Jiah pasti mendengarnya.
Dengan apron dan tangan berbalut sarung tangan karet, Jiah berdiri di atas anak tangga memandang Bela malas.
"Ada apa?" Melihat Jiah yang berdiri di atas anak tangga, Bela mendongak.
"Semalam kau meminjam kotak makanku, kau taruh dimana?"
"Kau menaruhnya di meja depan semalam!" Jiah mengehentakkan kakinya jengkel dan segera masuk ke dalam kamarnya untuk berkutat dengan kerajinan tangannya.
Dari bawah Bela bisa mendengar suara pintu dibanting. Bela yakin Jiah pasti marah. Perempuan itu tidak suka digangu ketika sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Nanti Bela akan menyogok Jiah dengan makanan setelah pulang kerja.
Mengambil tempat makannya di meja depan, Bela segera berlari ke dapur dan memasukan masakannya ke dalam. Sudah terbiasa untuk membawa bekal, Bela terpikir untuk membuatkan satu porsi untuk Yoga juga.
Karena dia tidak tahu apa lelaki itu akan menyukai masakannya, Bela membuat makanan yang sudah pasti. Nasi goreng seafood. Bela tahu Yoga tidak punya alergi terhadap masakan laut jadi ini adalah makanan yang pas untuk pertama kali.
Selesai menata makanannya, Bela memasukan kotak makannya pada tas kecil. Dia sudah membedakan mana miliknya dan yang akan diberikan kepada Yoga.
Selesai dengan bekalnya, Bela menaruh tas kecilnya itu di meja depan. Kemudian dia kembali ke kamarnya untuk menaruh apron dan juga merapikan rambut serta riasan yang berantakan karena dia berkeringat ketika masak.
Setelah merasa puas dengan penampilannya, Bela menyampirkan tas berukuran sedang berwarna hitam pada bahunya dan segera turun.
To: Lala
From: Rio
Aku sudah sampai di depan
Pesan itu masuk ketika Bela berada di tangga. Dia segera turun dan mengambil bekalnya lalu memakai stiletto hitam berhak tanggung miliknya. Dia tidak ingin membuat Yoga menunggu lama.
Melihat mobil hitam yang tidak asing itu, Bela segera membuka pintu dan dihadapkan dengan wajah menekuk Yoga.
Bela tidak tahu apa yang salah dengan Yoga. Mood lelaki itu sudah buruk di pagi hari seperti ini. Yoga duduk dengan wajah datar tapi matanya begitu tajam.
Tidak ingin membuat suasana lebih buruk Bela segera duduk dan menutup pintu. Kali ini, dia tidak lupa segera memakai sabuk pengaman.
Perjalanan itu sunyi dan membuat Bela canggung. Dia bahkan tidak berani bernapas terlalu keras takut membuat Yoga kesal. Tubuhnya pun tegap dan tidak bersandar pada kursi yang dia duduki.
Bela sesekali melirik Yoga, ingin tahu apa yang membuat lelaki itu kesal tapi mulutnya tidak berani mengeluarkan suara. Namun Bela juga tidak tahan dengan keadaan seperti ini.
Disaat dirinya sudah tidak tahan lagi, ponselnya berbunyi. Bela membuka pesan yang masuk. Itu dari sarah di grup sekretaris. Dia memberi tahu kalau hari ini dia akan bekerja diluar kantor dan memberikan tugas kepada Bela dan Dina.
"Sarah memintaku memastikan jadwalmu hari ini." ujar Bela yang bersemangat dan menunjukan ponselnya ke arah Yoga, lupa jika lelaki itu sedang dalam suasana hati yang buruk.
Menyadari itu, Bela segera menarik tangannya lagi dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Kalau begitu, aku bergantung padamu, Sekretaris Bela." ujar Yoga.
Nada bicaranya datar. Bela tidak bisa menduga emosi Yoga dari dia berbicara dan ini menyulitkan Bela. Dia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa kepada Yoga. Mobil kembali tenang dan tegang.
Perjalanan dingin itu akhirnya berakhir dan Bela bisa bernapas lega. Akhirnya dia bisa keluar dari mobil yang sedingin kutub itu. Dengan sigap Bela melepas sabuk pengamannya.
"Ini, aku membuatkanmu bekal karena aku selalu bawa bekal. Semoga kau suka." Bela menyodorkan bekalnya kepada Yoga dan segera membuka pintu mobil lalu berlari keluar.
Gerakan Bela sangat cepat dan Yoga tidak bisa bereaksi apa-apa selain menggeram kesal. "Dia kabur."
❀
❀
❀
❀
❀
Bela sudah duduk pada kursinya ketika Yoga sampai di kantor. Melihat Bela yang tertawa riang berbicara dengan Dina membuat suasana hati Yoga semakin buruk.
Dari sudut matanya Yoga bisa melihat Bela memandangnya sebelum menunduk dan membaca buku yang entah apa isinya tapi yang jelas buku itu menghalangi Yoga untuk melihat wajah Bela.
Mungkin dia menggunakan itu sebagai tameng. Semakin kesal, Yoga masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu dengan keras hingga suara benturan terdengar membuat Bela terlonjak.
Dia dan Dina saling menatap satu sama lain sebelum melirik pintu ruangan Yoga. "Ada apa dengannya?" tanya Dina berbisik. Bela menggidikan bahunya.
Dia tahu kalau Yoga sudah memiliki suasana hati yang buruk sejak pagi tapi dia tidak mungkin mengatakan itu kepada Dina.
"Apa kau sudah selesai membuat nota pembelaan?" Dina mengerang mendengar pertanyaan Bela. Dina menggeleng.
"Belum. Aku harus bolak-balik mengecek undang-undang untuk menulis ini. Sementara aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang hukum!" keluh Dina dengan iba.
Bela mengelus pundak Dina, kasihan. Dia tidak tahu seberapa susah membua nota pembelaan dan juga tidak bisa membantu Dina dalam hal itu karena dia baru bekerja kemarin.
Jadi tak ada ucapan semangat atau sanggahan yang bisa Bela katakan. Pekerjaan sendiri terlihat tidak akan mudah untuk hari ini melihat lelaki yang harus dia urus seperti gunung erupsi yang siap menyemburkan lava kapan saja.
Membuka buku catatan yang diberikan Sarah kemarin dan membuka bagian Yoga. Disana tertulis kalau hari ini akan ada yang datang untuk meminta Yoga menangani kasus perceraiannya.
Memeriksa kontak yang ditinggal oleh calon klien, Bela mengambil gagang telepon dan menghubungi klien itu.
"Selamat pagi, dengan Bela dari Andreas Law Firm, apa benar ini Nyonya Gladis?"
Begitu tersambung Bela segera memperkenalkan diri. Setelah mendapat jawaban dari lawan bicaranya dia segera menjelaskan tujuannya.
"Aku ingin memastikan jadwal pertemuan nyonya dengan pengacara kami, kalau tidak salah anda meminta secara khusus untuk kasus ini ditangani oleh Pengacara Yoga, benar?"
"Iya, aku janji bertemu denganya hari ini, apa dia menolak?" suara disana terdengar lembut namun ada gurat cemas disana.
Bela melihat catatan milik Sarah dan sudah bertulis kalau Yoga akan mengambil kasus ini jadi tidak mungkin Yoga menolaknya.
"Tidak, Nyonya. Aku menelpon karena ingin memastikan jam kedatangan anda ke kantor kami." jelas Bela dengan ramah.
Gladis menghela napas lega dan suaranya terdengar lebih cerah. "Aku akan datang pada pukul sepuluh, apa bisa?" Bela melirik jam yang sekarang menunjukan pukul delapan lewat tujuh belas menit.
"Baik, aku akan memastikannya ke pengacara Yoga dan akan menghubungi anda lagi jika ada perubahan jam."
"Terima kasih." jawab Gladis. Bela mencatat itu pada bukunya dan melanjutkan kegiatan menelponnya.
Sekiranya butuh setengah jam untuk Bela selesai menghubungi orang-orang yang akan ada janji temu dengan Yoga. Setelah selesai mencatatnya, Bela menutup buku dan siap menemui Yoga.
"Bela, kau mau ke ruangan Yoga?" Melihat bagaimana Dina tidak menggunakan panggilan sopan ke Yoga membuat Bela merasa sedikit terganggu.
Kemarin saat Yoga marah kepadanya, dan ada Sarah disini, walau kesal dan menggerutu Dina masih memanggil Yoga dengan embel-embel 'Pak' tapi ketika hanya berdua dengannya kenapa Dina menghilangkan itu?
"Iya, aku mau memastikan jadwal dengan Pak Yoga." ucap Bela dengan penekanan pada kata Pak. Sebenarnya Bela bukan seseorang yang terlalu kaku tapi ada saatnya dia akan keras kepala mengenai sopan santun yang perlu dijaga.
"Ada apa?" Dina tersenyum girang yang kemudian berubah jadi memasang wajah memelas.
"Bisa sekalian memberikan ini kepadanya? Kebetulan kau mau ke sana dan aku masih memiliki banyak pekerjaan, kau baca sendiri tugas yang diberikan Sarah kepadaku, 'kan? Jadi, Please?"
Tidak ada yang salah dari perkataan Din akarena memang Bela sudah melihat tugas yang diberikan Sarah kepada Dina tapi entah kenapa Bela merasa dimanfaatkan oleh Dina dan jika dia tidak mau membantu, itu membuat Bela terlihat tidak pengertian dan tidak bisa diajak kerjasama ketika rekan kerjanya yang sedang sibuk sementara pekerjaan Bela tidak banyak.
Dengan enggan Bela mengambil map dari tangan Dina. "Oke." ujarnya dan meninggalkan ruangan menuju kantor Yoga. Bela mengetuk pintu yang tertutup rapat itu. "Pak, saya Bela."
"Masuk." Balasan itu datang dengan cepat dan Bela tidak menunggu lama untuk membuka pintu dan masuk. Ruangan kerja Yoga terlihat minimalis dengan cat dan furnitur berwarna putih atau hitam dan yang Bela sadari dengan ruangan ini adalah suasananya yang dingin dan tidak bersahabat.
Bela berdiri di depan meja Yoga dan menaruh berkas titipan Dina. "Aku ingin memberitahu jadwalmu dan ini berkas titipan Dina." Jari telunjuknya mengetuk berkas dengan map berwana kuning itu lalu membuka buku catatan yang sudah bertuliskan jadwal Yoga.
"Kenapa kau yang mengantarkan ini?" tanya Yoga dingin sambil mengangkat berkas itu.
Bela yang sedang membaca catatannya mengangkat kepalanya perlahan. Dia tidak mengerti kenapa Yoga marah karena hal itu.
Bela juga tidak tahu harus menjawab apa kepada Yoga. Dia hanya membantu temannya membawa berkas. Itu saja. Apa yang perlu dipertanyakan?
"Dina memintaku untuk...," belum sempat menyelesaikan ucapannya, Yoga sudah melempar berkas itu ke lantai. Bela berjengit mundur ketika berkas itu hampir mengenai kakinya. Dia menatap Yoga tidak percaya.
"Kau ini kenapa?!" tanya Bela yang berusaha menahan amarahnya. Tangannya gemetar ketika matanya bertemu dengan mata Yoga yang menatapnya tajam dan wajahnya penuh amarah.
"Pungut itu dan berikan lagi kepada Dina. Suruh dia bawa sendiri kesini." Tidak peduli dengan bagaimana Bela bereaksi, Yoga kembali fokus pada layar komputernya.
"Tidak mau. Kau yang membuangnya kenapa aku harus memungutnya? Ambil saja sendiri!"
"Bukannya kau babu yang mau saja disuruh Dina untuk mengantar itu?" Yoga menunjuk berkas itu dengan dagu. "Lalu kenapa tidak mau kusuruh?" Yoga mencemooh Bela.
Matanya memandang rendah Bela. Tangan yang tadinya gemetar kini Bela kepal erat. Dia sudah sering bertengkar dengan Yoga melalui obrolan di aplikasi tapi ini pertama kalinya Bela mendengar perkataan Yoga secara langsung kepadanya.
Ini berbeda dengan kemarin dia melihat Yoga memarahi Dina. Ada perasaan tidak adil dan Bela merasa sudah disalahkan tanpa alasan.
Wajah putih itu memerah karena menahan emosinya yang membuncah dan mata jernih itu mulai menggenangkan air mata.
Melihat ekspresi Bela, untuk sesaat Yoga merasa sudah kelewatan dengan ucapannya dan hanya diam melihat Bela yang membuka buku catatannya lalu merobek kertas pada buku itu.
"Ini jadwalmu hari ini. Kalau ada jam yang tidak sesuai, kau bisa hubungi aku." Bela menggebrak kertas itu ke atas meja lalu berbalik mengambil berkas yang berserakan di lantai dan pergi keluar dari ruangan Yoga begitu saja.
Tidak tahu apa yang ada dipikirannya ketika Yoga menyetujui ajakan Sean untuk membebaskan diri di akhir pekan membuatnya duduk di salah satu deretan meja yang ada di kelab malam.Suara musik yang kencang dan cahaya lampu redup bermandikan lampu disko, lantai dansa yang penuh dengan orang bergeliat dan menempelkan diri kepada satu sama lain seolah tidak ada hari esok membuat Yoga merasa pusing.Tempat ramai seperti ini bukan tempat yang Yoga sukai. Selain bising, dia tidak suka bagaimana wanita-wanita itu memandangnya seolah dia santapan lezat bagi mereka.Seperti wanita dengan terusan ketat sepanjang paha berwarna silver itu. Dia sudah mondar mandir di depan meja Yoga berkali-kali tapi Yoga tidak peduli padanya.Sekarang wanita itu tengah berliuk seksi di lantai dansa tepat di depan meja Yoga berusaha menarik perhatian lelaki itu.Yoga melirik perempuan itu dengan jijik. Dia pikir Yoga akan tertarik kepadanya dengan memamerkan tubuhnya sepert
Bela menatap frustasi tumpukan hadiah yang kembali datang tadi sore. Dia tidak mengerti bagaimana cara kerja otak Yoga. Bela rasa sikapnya sudah sangat jelas ketika mengembalikan hadiah yang Yoga berikan sebelumnya tapi kenapa lelaki itu malah mengiriminya hadiah lagi dan kali ini lebih besar, bentuk dan harganya. Dengan ujung jarinya, Bela menyentuh tutup kotak itu untuk mengintipnya dengan enggan. "Aku tidak tahu kalau kau punya phobia terhadap barang malah." ejek Jiah yang meihat kelakuan aneh Bela. Merasa malu dengan kelakuannya, Bela berdeham dan menetralkan ekspresi wajahnya. "Aku tidak phobia kepada barang-barang itu!" belanya sambil menunjuk kotak hadiah itu dengan dagu. "Orang akan mengataimu gila jika kau phobia pada barang bagus seperti itu." sindir Jiah yang membuat Bela kembali diam. Oke, dia memang tidak mungkin menang beradu mulut dengan Jiah. Tidak mau membalas Jiah lagi, Bela memilih membuka kotak h
Dengan rambut yang diikat asal dan tubuh berbalut kaos serta celana jeans, Bela datang ke kantor polisi. Napasnya tersengal dan pipinya memerah karena kelelahan berlari secepat yang dia bisa untuk datang ke sana.Setelahnya semua prosedur berjalan begitu cepat dan Bela tidak begitu mengerti hingga akhirnya dia bisa membawa Yoga keluar dari kantor polisi. Kini keduanya berdiri di depan kantor polisi dan Bela masih mengatur napasnya.Selama di dalam karena ini pertama kalinya bagi Bela, dia gugup dan jantungnya berdegup dengan kencang. Sekarang setelah semuanya berlalu, Bela bisa bernapas dengan lega dan tubuhnya lebih santai."Sebenarnya kenapa kau berkelahi dengan orang itu?" tanya Bela sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena berlari tadi.Polisi tidak menjelaskan ini kepada Bela secara detail. Dia hanya tahu Yoga berkelahi dan memiliki beberapa luka di wajahnya yang membuat Bela merasakan nyerinya juga."Karena dia menyebalka
"M-maaf." Ingin rasanya Bela memukul mulutnya sendiri. Bela pernah dengar mengenai ayah Yoga yang berselingkuh. Waktu itu mereka membahas nama tokoh dalam cerita mereka dan Yoga menolak nama tokoh yang Bela sarankan dengan alasan nama itu sama dengan nama selingkuhan ayahnya. Saat itu Bela tidak terlalu memikirkan ucapan Yoga dan langsung mencari nama lain walau dia merasa nama itu sangat cocok dengan tokoh mereka. "Bukan masalah. Ini sudah jadi rahasia umum Semua temanku tahu hal ini." jawab Yoga sambil menggidikan bahunya. Yoga terlihat tidak peduli dan kembali memakai kemejanya lagi. Bela melirik ke arah Yoga dari sudut matanya sebelum merapikan kotak P3K dan barang-barang yang dia gunakan untuk mengobati Yoga. Suasana tiba-tiba menjadi hening dan ini membuat Bela merasa tidak nyaman. Dia mengambil kotak P3K dan mengembalikannya pada laci di bawah TV. "Tadi...kau bilang akan pergi, mun
Yoga mengesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Pikirannya kalut mengingat percakapan dengan ibunya. Ya, setelah mengantar Bela pulang, dia segera pergi ke rumah sakit dan tinggal disana hingga hari ini. Wanita yang sejak dua malam tidak membuka mata itu akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan memberikan senyuman kepada Yoga yang langsung berubah menjadi raut khawatir dan cemas karena melihat luka lebam segar pada wajah Yoga. Ibunya terlalu tahu Yoga dan tentu tahu darimana asal luka lebab pada wajah Yoga. Wanita yang selalu dijaga oleh Yoga itu segera mencermahinya mengenai sikapnya yang terlalu impulsif dan terbawa emosi. Dia khawatir ayah bangsat Yoga akan datang dan menggunakan ini untuk semakin meraup keuntungan dan menekan Yoga. Ibunya juga tidak ingin kejadian ini dijadikan alasan untuk menceraikan dirinya. Yoga menghela napas frustasi mengingat bagaimana ibunya bersikeras mempertahankan rumah t
Tepat pukul delapan pagi begitu perkantoran mulai bekerja, Seorang perempuan dengan pakaian mewah dan kacamata besar menutpi wajahnya muncul di firma hukum Andreas. Di sebelah kanannya berdiri seorang lelaki dengan jas rapi dan sepatu hitam mengkilap membawa tas jinjing kotak. Sementara sebelah kirinya berdiri seorang permpuan yang memakai pakaian lebih sederhana namun dengan merk mahal juga. Bela tidak tahu apa dia harus memuji perempuan itu karena tepat waktu atau mengatakan dia tidak punya pekerjaan sehingga bisa datang secepat pegawai kantor ini bahkan mendahlui beberapa yang belum datang. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" petugas resepsionis di depan menyapa tamu tidak diundang itu dengan senyuman ramah. Perempuan yang disapa menurnkan kacamatanya sebelum melepas seluruhnya, menampilkan paras rupawan tanpa cacat. Bela yang melihatnya dari ruang sekrearis hampir membuka mulutnya lebar secara tidak
Celine segera menundukan kepalanya menghindari tatapan dingin Yoga. "M-maaf, aku...,""Diam." Suara dingin Yoga membuat Celine merinding dan dia segera membungkam mulutnya rapat.Yoga tidak punya waktu untuk memperpanjang masalah ini. Perhatiannya beralih pada layar ponselnya dan melihat nama Bela disana."Halo...halo..um....mbak?""Ini aku, ada apa?""Yoga? Itu, Reika ada disini.""Oke, aku segera kesana. Bilang padanya suruh menunggu setengah jam lagi, jika tidak mau datang saja ke DS. Bilang aku yang menyampaikannya."Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih panjang Yoga sudah tahu apa yang terjadi disana. Jadi dia memutus telepon sepihak dan segera mengganti pakaiannya."Aku harus segera ke kantor. Kau bisa menunggu disini dan aku antar kau pulang nanti setelah aku selesai bekerja atau ikut keluar bersamaku sekarang tapi kau pulang sendiri."Tanpa menunggu jawaban dari Celine, Yoga m
Yoga membuka pintu kantornya dan melihat Kasih berdiri di meja resepsionis seperti biasanya. "Dimana mereka?" 'Mereka' yang Yoga maksud langsung dimengerti oleh Kasih dan dia menunjuk ke arah pintu ruang rapat. Yoga mengangguk kepada Kasih. Baru dia akan melangkah, suara teriakan terdengar dari ruang rapat. "AHH!!" Teriakan itu mengejutkan Yoga dan Kasih. Keduanya bertukar pandang sebelum sama-sama berlari menuju ruang rapat. "Ada apa?!" Yoga membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Pemandangan yang menyambutnya adalah Bela yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. Disebelah kaki Bela, Yoga melihat ada cangkir yang isinya sudah tumpah di atas kaki Bela dan terlihat ada uap mengepul di sekitar cairan itu. "Aduh, maaf. Tanganku licin jadi...maaf." ujar Reika berpura-pura terkejut dan panik. Dia mengeluarkan sapu tangan dan mencoba mengelap kaki Bela yang ketumpahan air panas.
"Bukan." jawab Yoga santai. "Calon?" tanya Gilbert lagi. "Tidak, kami cuman teman." Gilbert mengerutkan dahinya, dia masih tidak percaya. Dia sudah kenal Yoga cukup lama untuk bisa tahu kalau sikap Yoga pada perempuan itu beda dari sikapnya ke para mantan kekasih Yoga dulu. "Kau terlihat sangat peduli kepadanya." aku Gilbert. Dia tidak ingin terlihat begitu ingin tahu jadi menutuskan untuk berhenti sampai disini saja. Yoga hanya bergumam kecil. "Kami kenal lumayan lama." jelas Yoga yang hanya diberi angukan oleh Gilbert. "Aku mau menjenguknya. Sampai jumpa lagi nanti." Setelah mendapat anggukan dari Gilbert, Yoga meninggalkan ruangan dokter itu. Dia menemui suster yang tadi membantu Bela dan menanyakan dimana kamar Bela di rawat. Di dalam kamar rawatnya, Bela sedang duduk di atas kasur. Dia sudah berganti pakaian menjadi baju pasien. Bela menatap kakinya yang melepuh. Suara pintu dibuka membuat Bela mengalihkan pandangannya ke pintu. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Bel
Diana baru saja kembali setelah selama satu jam berada di ruang sidang yang membosankan hanya untuk melihat kantornya kosong. Dia bertanya kepada OB kemana Kasih yang seharusnya ada di meja resepsionis dan juga Bela dan segera tahu kalau keduanya sedang di ruang istirahat. Mendorong pintu yang tidak memiliki gagang itu, Diana melihat kedua perempuan yang dia cari sedang asik mengobrol dan sepertinya rahasia. "Siapa yang masuk lewat pintu belakang?" tanya Diana yang tidak sengaja mendengar percakapan Kasih dengan Bela. Dia yakin kalau keduanya sedang bergosip. Sudah jadi naluri seorang perempuan untuk menyukai hal-hal seperti ini jadi Diana segera menghampiri Kasih dan Bela. "Astaga Bela, kakimu kenapa?" Menutup kedua mulutnya dengan tangan, Diana menatap terkejut kaki Bela. Yang ditanya hanya memberikan senyuman masam dengan bahu terangkat. "Itu karena tamu kita, Mbak!" Berbeda dengan Bela, K
Yoga membuka pintu kantornya dan melihat Kasih berdiri di meja resepsionis seperti biasanya. "Dimana mereka?" 'Mereka' yang Yoga maksud langsung dimengerti oleh Kasih dan dia menunjuk ke arah pintu ruang rapat. Yoga mengangguk kepada Kasih. Baru dia akan melangkah, suara teriakan terdengar dari ruang rapat. "AHH!!" Teriakan itu mengejutkan Yoga dan Kasih. Keduanya bertukar pandang sebelum sama-sama berlari menuju ruang rapat. "Ada apa?!" Yoga membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Pemandangan yang menyambutnya adalah Bela yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. Disebelah kaki Bela, Yoga melihat ada cangkir yang isinya sudah tumpah di atas kaki Bela dan terlihat ada uap mengepul di sekitar cairan itu. "Aduh, maaf. Tanganku licin jadi...maaf." ujar Reika berpura-pura terkejut dan panik. Dia mengeluarkan sapu tangan dan mencoba mengelap kaki Bela yang ketumpahan air panas.
Celine segera menundukan kepalanya menghindari tatapan dingin Yoga. "M-maaf, aku...,""Diam." Suara dingin Yoga membuat Celine merinding dan dia segera membungkam mulutnya rapat.Yoga tidak punya waktu untuk memperpanjang masalah ini. Perhatiannya beralih pada layar ponselnya dan melihat nama Bela disana."Halo...halo..um....mbak?""Ini aku, ada apa?""Yoga? Itu, Reika ada disini.""Oke, aku segera kesana. Bilang padanya suruh menunggu setengah jam lagi, jika tidak mau datang saja ke DS. Bilang aku yang menyampaikannya."Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih panjang Yoga sudah tahu apa yang terjadi disana. Jadi dia memutus telepon sepihak dan segera mengganti pakaiannya."Aku harus segera ke kantor. Kau bisa menunggu disini dan aku antar kau pulang nanti setelah aku selesai bekerja atau ikut keluar bersamaku sekarang tapi kau pulang sendiri."Tanpa menunggu jawaban dari Celine, Yoga m
Tepat pukul delapan pagi begitu perkantoran mulai bekerja, Seorang perempuan dengan pakaian mewah dan kacamata besar menutpi wajahnya muncul di firma hukum Andreas. Di sebelah kanannya berdiri seorang lelaki dengan jas rapi dan sepatu hitam mengkilap membawa tas jinjing kotak. Sementara sebelah kirinya berdiri seorang permpuan yang memakai pakaian lebih sederhana namun dengan merk mahal juga. Bela tidak tahu apa dia harus memuji perempuan itu karena tepat waktu atau mengatakan dia tidak punya pekerjaan sehingga bisa datang secepat pegawai kantor ini bahkan mendahlui beberapa yang belum datang. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" petugas resepsionis di depan menyapa tamu tidak diundang itu dengan senyuman ramah. Perempuan yang disapa menurnkan kacamatanya sebelum melepas seluruhnya, menampilkan paras rupawan tanpa cacat. Bela yang melihatnya dari ruang sekrearis hampir membuka mulutnya lebar secara tidak
Yoga mengesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Pikirannya kalut mengingat percakapan dengan ibunya. Ya, setelah mengantar Bela pulang, dia segera pergi ke rumah sakit dan tinggal disana hingga hari ini. Wanita yang sejak dua malam tidak membuka mata itu akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan memberikan senyuman kepada Yoga yang langsung berubah menjadi raut khawatir dan cemas karena melihat luka lebam segar pada wajah Yoga. Ibunya terlalu tahu Yoga dan tentu tahu darimana asal luka lebab pada wajah Yoga. Wanita yang selalu dijaga oleh Yoga itu segera mencermahinya mengenai sikapnya yang terlalu impulsif dan terbawa emosi. Dia khawatir ayah bangsat Yoga akan datang dan menggunakan ini untuk semakin meraup keuntungan dan menekan Yoga. Ibunya juga tidak ingin kejadian ini dijadikan alasan untuk menceraikan dirinya. Yoga menghela napas frustasi mengingat bagaimana ibunya bersikeras mempertahankan rumah t
"M-maaf." Ingin rasanya Bela memukul mulutnya sendiri. Bela pernah dengar mengenai ayah Yoga yang berselingkuh. Waktu itu mereka membahas nama tokoh dalam cerita mereka dan Yoga menolak nama tokoh yang Bela sarankan dengan alasan nama itu sama dengan nama selingkuhan ayahnya. Saat itu Bela tidak terlalu memikirkan ucapan Yoga dan langsung mencari nama lain walau dia merasa nama itu sangat cocok dengan tokoh mereka. "Bukan masalah. Ini sudah jadi rahasia umum Semua temanku tahu hal ini." jawab Yoga sambil menggidikan bahunya. Yoga terlihat tidak peduli dan kembali memakai kemejanya lagi. Bela melirik ke arah Yoga dari sudut matanya sebelum merapikan kotak P3K dan barang-barang yang dia gunakan untuk mengobati Yoga. Suasana tiba-tiba menjadi hening dan ini membuat Bela merasa tidak nyaman. Dia mengambil kotak P3K dan mengembalikannya pada laci di bawah TV. "Tadi...kau bilang akan pergi, mun
Dengan rambut yang diikat asal dan tubuh berbalut kaos serta celana jeans, Bela datang ke kantor polisi. Napasnya tersengal dan pipinya memerah karena kelelahan berlari secepat yang dia bisa untuk datang ke sana.Setelahnya semua prosedur berjalan begitu cepat dan Bela tidak begitu mengerti hingga akhirnya dia bisa membawa Yoga keluar dari kantor polisi. Kini keduanya berdiri di depan kantor polisi dan Bela masih mengatur napasnya.Selama di dalam karena ini pertama kalinya bagi Bela, dia gugup dan jantungnya berdegup dengan kencang. Sekarang setelah semuanya berlalu, Bela bisa bernapas dengan lega dan tubuhnya lebih santai."Sebenarnya kenapa kau berkelahi dengan orang itu?" tanya Bela sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena berlari tadi.Polisi tidak menjelaskan ini kepada Bela secara detail. Dia hanya tahu Yoga berkelahi dan memiliki beberapa luka di wajahnya yang membuat Bela merasakan nyerinya juga."Karena dia menyebalka
Bela menatap frustasi tumpukan hadiah yang kembali datang tadi sore. Dia tidak mengerti bagaimana cara kerja otak Yoga. Bela rasa sikapnya sudah sangat jelas ketika mengembalikan hadiah yang Yoga berikan sebelumnya tapi kenapa lelaki itu malah mengiriminya hadiah lagi dan kali ini lebih besar, bentuk dan harganya. Dengan ujung jarinya, Bela menyentuh tutup kotak itu untuk mengintipnya dengan enggan. "Aku tidak tahu kalau kau punya phobia terhadap barang malah." ejek Jiah yang meihat kelakuan aneh Bela. Merasa malu dengan kelakuannya, Bela berdeham dan menetralkan ekspresi wajahnya. "Aku tidak phobia kepada barang-barang itu!" belanya sambil menunjuk kotak hadiah itu dengan dagu. "Orang akan mengataimu gila jika kau phobia pada barang bagus seperti itu." sindir Jiah yang membuat Bela kembali diam. Oke, dia memang tidak mungkin menang beradu mulut dengan Jiah. Tidak mau membalas Jiah lagi, Bela memilih membuka kotak h