"M-maaf." Ingin rasanya Bela memukul mulutnya sendiri. Bela pernah dengar mengenai ayah Yoga yang berselingkuh.
Waktu itu mereka membahas nama tokoh dalam cerita mereka dan Yoga menolak nama tokoh yang Bela sarankan dengan alasan nama itu sama dengan nama selingkuhan ayahnya.
Saat itu Bela tidak terlalu memikirkan ucapan Yoga dan langsung mencari nama lain walau dia merasa nama itu sangat cocok dengan tokoh mereka.
"Bukan masalah. Ini sudah jadi rahasia umum Semua temanku tahu hal ini." jawab Yoga sambil menggidikan bahunya.
Yoga terlihat tidak peduli dan kembali memakai kemejanya lagi. Bela melirik ke arah Yoga dari sudut matanya sebelum merapikan kotak P3K dan barang-barang yang dia gunakan untuk mengobati Yoga.
Suasana tiba-tiba menjadi hening dan ini membuat Bela merasa tidak nyaman. Dia mengambil kotak P3K dan mengembalikannya pada laci di bawah TV.
"Tadi...kau bilang akan pergi, mungkin kau harus bersiap-siap." Tidak ingin berada dalam situasi yang canggung seperti ini terlalu lama, Bela berusaha mencari topik pembicaraan.
"Apa kau sudah sarapan?" Seolah tidak mendengar pertanyaan Bela sebelumnya, YOga menanyakan hal lain.
Melirik sekilas ke arah Yoga, kepala Bela menggeleng. "Belum. Aku buru-buru ke kantor polisi tadi. Kau sendiri bagaimana?"
"Belum juga. Mau makan bersama? Aku akan pesan sesuatu. Kau mau apa?" Yoga mengeluarkan ponselnya siap memesan makanan.
"Apa kau tidak ada bahan makanan di rumah? Aku bisa membuat sesuatu untuk kita sarapan."
Seulas senyum tipis muncul di wajah Yoga tapi itu cepat menghilang seolah tidak pernah ada. "Kau bisa cek kulkas. Ibuku sering membawakan lauk matang untuk disimpan." jawab Yoga cepat.
Melihat pada kulkas yang berada di dapur, Bela berjalan menuju dapur dan membuka kulkas berwarna silver itu.
Di dalamnya terdapat begitu banyak kotak makanan yang terususn rapi. Isinya ada makanan yang sudah dimasak dan juga sayuran yang masih perlu diolah.
"Woah, ibumu pasti sangat sayang kepadamu." decak kagum Bela melihat isi kulkas Yoga.
"Hm, aku sangat disayang." kata Yoga tanpa malu. Bela menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Yoga dan hanya mencibir kepadanya.
"Apa kau mau makan masakan ini atau yang lain?" tanya Bela yang sibuk mengecek isi kulkas Yoga.
"Aku ingin sesuatu yang mudah dimasak dan cepat tapi mengenyangkan. Sebentar lagi makan siang."
Yoga melihat jam tangannya sebelum memasukan kedua tangannya ke dalam saku dan menyandarkan bahu kirinya pada dinding dapur.
"Umm....," Bela memiringkan kepala, berpikir mengenai menu makanan apa yang harus dia buat.
"Bagaimana kalau pasta?" Jemari lentik itu menunjuk toples bening dari kaca yang berisikan pasta di rak atas.
"Tidak masalah." jawab Yoga sambil mengangkat bahunya.
Bela menggulung lengan bajunya hingga siku. "Oke." jawabnya menyanggupi.
Dengan lihai dan terampil Bela segera mencuci bahan-bahan makanan yang akan dia gunakan dan mulai meracik bahan-bahannya.
Yoga, masih berdiri di tempatnya, dia begitu fokus memandang Bela yang sedang memasak. Dia tidak pernah tahu kalau melihat orang memasak bisa semenarik itu.
Dia suka melihat bagaimana dahi Bela akan berkerut ketika dia akan memotong bagian yang hanya tersisa sedikit.
Dia juga suka bagaimana Bela akan menyeka rambutnya untuk tetap di belakang selama dia memasak dan terlihat kesal ketika ada anak rambut yang malah jatuh di wajahnya.
Sudut bibir Yiga terangkat sedikit sebelum dia berpaling ke kamarnya dan kembali lagi ke dapur dengan sebuah ikat rambut berwarna hitam.
"Biar aku bantu." ujarnya sambil mengambil rambut Bela yang tergerai.
Terkejut, Bela hampir menjatuhkan pisau yang dia pegang. "Kau bisa menguncirkan rambut?" tanya Bela tidak percaya.
"Hebat bukan?" Yoga tidak menyembunyikan kesombongannya. Jemari panjang Yoga menyisir rambut Bela dan merapikannya menjadi tatu kumpulan sebelum dia ikat.
Bela merasa sensasi geli pada lehernya. Sudah lama sekali sejak ada seseorang yang memegang rambutnya dan ini sesuatu yang tidak biasa untuk Bela.
"Selesai."
Yoga mundur satu langkah dan Bela bisa merasakan punggungnya menjadi dingin karena tidak ada lagi kehangatan tubuh manusia di belakangnya.
Tangan Bela terangkat untuk menyentuh kunciran Yoga namun tangannya segera ditahan oleh Yoga. "Jangan dipegang. Tanganmu kotor."
Benar juga. Bagaimana bisa Bela lupa kalau dia sedang memasak saat ini. "Terima kasih." ujar Bela kembali pada masakannya.
Membuat pasta bukan sesuatu yang sulit untuk Bela apalagi memang itu masakan yang tidak terlalu banyak bahan dan mudah dibuat.
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk Bela menyelesaikan masakannya. "Rio, bisa tolong ambil piring?"
Tidak ada jawaban dari Yoga ini membuat Bela menengok kearah Yoga yang tidak bergeming sama sekali. "Yoga!"
"Hm? Kau memanggilku apa tadi?"
"Aku memintamu mengambil piring."
"Bukan itu, kau tadi panggil aku apa?"
Dahi bela mnegerut dan bibirnya sedikit mengerucut melihat tingkah Yoga. "Rio." jawab Bela dengan ragu-ragu.
Hati Yoga terasa senang ketika mendengar Bela memanggilnya dengan nama Rio. Nama itu jauh lebih terdengar dekat dan intim di telinganya dibanding ketika Bela memanggilnya Yoga.
"Kenapa kau tidak memanggilku dengan Rio saja?" tanya Yoga sambil menyodorkan piring yang diminta oleh Bela.
"Tidak." tolak Bela yang membuat Yoga kaget. Satu alisnya terangkat, heran dengan penolakan itu.
"Memang kenapa dengan memanggilku Rio?"
"Nanti aku kebiasaan dana keceplosan memanggilmu Rio saat dikantor."
"Memangnya ada masalah dengan itu?"
Masalah, tentu saja. Setidaknya itu yang dipikirkan Bela walau dia tidak bisa memberikan jawaban dimana masalahnya. "Kalau orang kantor tahu kita sudah saling kenal sebelum ini tidak masalah?"
Yoga mengangkat bahunya acuh. Dia memperhatikan Bela yang sepertinya tidak ingin ada orang yang tahu kalau mereka saling kenal. Yoga sudah merasakan ini semenjak hari kedua Bela bekerja.
"Kenapa kau tidak suka dengan itu?" Mengambil alih piring yang Bela bawa, Yoga berjalan duluan menuju meja makan.
"Entah?" jawab Bela dengan dua piring kecil dan juga garpu di tangannya. Dia menarik kursi dan duduk."Aku hanya merasa lebih baik tidak ada yang tahu dan merasa akan merepotkan kalau ada yang tahu?"
Menurutnya, memberi tahu orang lain mengenai hubungan mereka itu aneh dan terlalu ikut campur. Rekan kerjanya memang akan dia temui setiap hari tapi Bela tidak suka membagi kehidupan pribadinya dengan mereka walau sering juga dia membahas hal-hal kecil seperti bagaimana gas di kosannya bocor.
Tapi untuk lebih dari itu, Bela menarik garis keras yang tidak bisa dilewati. Yoga sadar betul akan hal ini.
Selama dua tahun ini, kehidupan muram Yoga dipenuhi oleh celotehan Bela mengenai hari-harinya sampai hal terkecil.
Seperti saat Bela mengeluh perutnya terasa sakit melilit karena datang bulan dan tidak ingin bergerak sama sekali.
Perempuan yang tingginya tidak melebihi pundak Yoga itu dengan pintar membohongi semua orang seolah dia terbuka karena mengetahui hari-harinya tapi tidak.
Bela memberikan batas tak kasat mata yang selalu dia jaga seolah memang tidak boleh dilihat oleh siapapun.
"Bagaimana kalau kita biarkan saja tapi jika ada yang bertanya, ya beri tahu saja?" saran Bela sambil menyuap sendok pertama spagetinya.
Yoga hanya bergumam kecil sebagai jawaban sebelum ikut memakan spageti. Untuk hal ini dia tidak punya banyak pendapat.
Hanya saja, dia kurang setuju dan ada sesuatu yang menggajal di hatinya dan itu mengganggu pikirannya.
Halo, salam kenal!! Aku Irisha. Terima kasih sudah mau membaca buku ini. Jangan lupa untuk masukan ke pustaka kalian agar tidak tertinggal update chapter terbarunya ya!! Happy reading~
Yoga mengesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Pikirannya kalut mengingat percakapan dengan ibunya. Ya, setelah mengantar Bela pulang, dia segera pergi ke rumah sakit dan tinggal disana hingga hari ini. Wanita yang sejak dua malam tidak membuka mata itu akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan memberikan senyuman kepada Yoga yang langsung berubah menjadi raut khawatir dan cemas karena melihat luka lebam segar pada wajah Yoga. Ibunya terlalu tahu Yoga dan tentu tahu darimana asal luka lebab pada wajah Yoga. Wanita yang selalu dijaga oleh Yoga itu segera mencermahinya mengenai sikapnya yang terlalu impulsif dan terbawa emosi. Dia khawatir ayah bangsat Yoga akan datang dan menggunakan ini untuk semakin meraup keuntungan dan menekan Yoga. Ibunya juga tidak ingin kejadian ini dijadikan alasan untuk menceraikan dirinya. Yoga menghela napas frustasi mengingat bagaimana ibunya bersikeras mempertahankan rumah t
Tepat pukul delapan pagi begitu perkantoran mulai bekerja, Seorang perempuan dengan pakaian mewah dan kacamata besar menutpi wajahnya muncul di firma hukum Andreas. Di sebelah kanannya berdiri seorang lelaki dengan jas rapi dan sepatu hitam mengkilap membawa tas jinjing kotak. Sementara sebelah kirinya berdiri seorang permpuan yang memakai pakaian lebih sederhana namun dengan merk mahal juga. Bela tidak tahu apa dia harus memuji perempuan itu karena tepat waktu atau mengatakan dia tidak punya pekerjaan sehingga bisa datang secepat pegawai kantor ini bahkan mendahlui beberapa yang belum datang. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" petugas resepsionis di depan menyapa tamu tidak diundang itu dengan senyuman ramah. Perempuan yang disapa menurnkan kacamatanya sebelum melepas seluruhnya, menampilkan paras rupawan tanpa cacat. Bela yang melihatnya dari ruang sekrearis hampir membuka mulutnya lebar secara tidak
Celine segera menundukan kepalanya menghindari tatapan dingin Yoga. "M-maaf, aku...,""Diam." Suara dingin Yoga membuat Celine merinding dan dia segera membungkam mulutnya rapat.Yoga tidak punya waktu untuk memperpanjang masalah ini. Perhatiannya beralih pada layar ponselnya dan melihat nama Bela disana."Halo...halo..um....mbak?""Ini aku, ada apa?""Yoga? Itu, Reika ada disini.""Oke, aku segera kesana. Bilang padanya suruh menunggu setengah jam lagi, jika tidak mau datang saja ke DS. Bilang aku yang menyampaikannya."Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih panjang Yoga sudah tahu apa yang terjadi disana. Jadi dia memutus telepon sepihak dan segera mengganti pakaiannya."Aku harus segera ke kantor. Kau bisa menunggu disini dan aku antar kau pulang nanti setelah aku selesai bekerja atau ikut keluar bersamaku sekarang tapi kau pulang sendiri."Tanpa menunggu jawaban dari Celine, Yoga m
Yoga membuka pintu kantornya dan melihat Kasih berdiri di meja resepsionis seperti biasanya. "Dimana mereka?" 'Mereka' yang Yoga maksud langsung dimengerti oleh Kasih dan dia menunjuk ke arah pintu ruang rapat. Yoga mengangguk kepada Kasih. Baru dia akan melangkah, suara teriakan terdengar dari ruang rapat. "AHH!!" Teriakan itu mengejutkan Yoga dan Kasih. Keduanya bertukar pandang sebelum sama-sama berlari menuju ruang rapat. "Ada apa?!" Yoga membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Pemandangan yang menyambutnya adalah Bela yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. Disebelah kaki Bela, Yoga melihat ada cangkir yang isinya sudah tumpah di atas kaki Bela dan terlihat ada uap mengepul di sekitar cairan itu. "Aduh, maaf. Tanganku licin jadi...maaf." ujar Reika berpura-pura terkejut dan panik. Dia mengeluarkan sapu tangan dan mencoba mengelap kaki Bela yang ketumpahan air panas.
Diana baru saja kembali setelah selama satu jam berada di ruang sidang yang membosankan hanya untuk melihat kantornya kosong. Dia bertanya kepada OB kemana Kasih yang seharusnya ada di meja resepsionis dan juga Bela dan segera tahu kalau keduanya sedang di ruang istirahat. Mendorong pintu yang tidak memiliki gagang itu, Diana melihat kedua perempuan yang dia cari sedang asik mengobrol dan sepertinya rahasia. "Siapa yang masuk lewat pintu belakang?" tanya Diana yang tidak sengaja mendengar percakapan Kasih dengan Bela. Dia yakin kalau keduanya sedang bergosip. Sudah jadi naluri seorang perempuan untuk menyukai hal-hal seperti ini jadi Diana segera menghampiri Kasih dan Bela. "Astaga Bela, kakimu kenapa?" Menutup kedua mulutnya dengan tangan, Diana menatap terkejut kaki Bela. Yang ditanya hanya memberikan senyuman masam dengan bahu terangkat. "Itu karena tamu kita, Mbak!" Berbeda dengan Bela, K
"Bukan." jawab Yoga santai. "Calon?" tanya Gilbert lagi. "Tidak, kami cuman teman." Gilbert mengerutkan dahinya, dia masih tidak percaya. Dia sudah kenal Yoga cukup lama untuk bisa tahu kalau sikap Yoga pada perempuan itu beda dari sikapnya ke para mantan kekasih Yoga dulu. "Kau terlihat sangat peduli kepadanya." aku Gilbert. Dia tidak ingin terlihat begitu ingin tahu jadi menutuskan untuk berhenti sampai disini saja. Yoga hanya bergumam kecil. "Kami kenal lumayan lama." jelas Yoga yang hanya diberi angukan oleh Gilbert. "Aku mau menjenguknya. Sampai jumpa lagi nanti." Setelah mendapat anggukan dari Gilbert, Yoga meninggalkan ruangan dokter itu. Dia menemui suster yang tadi membantu Bela dan menanyakan dimana kamar Bela di rawat. Di dalam kamar rawatnya, Bela sedang duduk di atas kasur. Dia sudah berganti pakaian menjadi baju pasien. Bela menatap kakinya yang melepuh. Suara pintu dibuka membuat Bela mengalihkan pandangannya ke pintu. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Bel
Pintu kaca yang tertutup itu terbuka kasar dan menampakan sosok lelaki yang berjalan masuk dengan cepat. Bela menatap lelaki itu penuh rasa penasaran dan heran tapi tidak untuk kedua rekan kerjanya yang menegang.Dina, salah satu rekan kerjanya, yang duduk di sebelahnya bahkan terlihat meneguk ludah dan tangannya gemetar."Siapa yang membuat nota pembelaan Paladin Palace?" Suara bariton khas milik lelaki itu membuat Bela sedikit terkejut. Suaranya itu lugas, berat dan memberi kesan seksi.Semua pujian itu sayangnya tidak menutup amarah yang bergejolak disana. Keadaan semakin menegang ketika lelaki itu melempar berkasnya ke lantai. Saat itulah Bela menyadari betapa seriusnya keadaan ini."S-saya, pak." ujar Dina, sambil menyembunyikan tangannya yang gemetar ke bawah meja.Kepalanya tertundung dan bahunya turun. Dina menarik napas lalu menghembuskannya lembut berusaha menenangkan diri. Bela bisa melihat di bawah meja, Dina mencengkram roknya kuat.
"Aku bisa pulang sendiri." "Rumahmu berjarak satu setengah jam perlajanan dari sini." Bela memutar bola matanya. "Bukan berarti aku tidak bisa pulang sendiri, 'kan?" Yoga menoleh ke arah Bela dan mendengus. "Tidak salah juga jika kau bisa pulang lebih cepat dari biasanya, 'kan?" nada bicaranya mengikuti bagaimana Bela tadi berbicara. Jelas sekali kalau dia sedang mengolok Bela. Matanya menatap Yoga geram. "Setidaknya lepaskan tanganku dulu. Aku kesulitan berjalan." keluh Bela yang tersandung beberapa kali karena harus mengikuti tempo langkah kaki Yoga. "Kau ingin kabur dariku." Mulut mungil Bela terbuka tidak percaya. Dia kehabisan kata-kata. Perkataan Yoga itu memang Benar. Kesan pertamanya yang tidak baik dimata Bela membuatnya ingin menjauhi lelaki yang sebenarnya sudah dikenal Bela selama dua tahun belakangan ini. "Wajahmu menunjukan semuanya." tambah Yoga seolah tahu apa yang ada dipikiran Bela dan itu membuanya meri
"Bukan." jawab Yoga santai. "Calon?" tanya Gilbert lagi. "Tidak, kami cuman teman." Gilbert mengerutkan dahinya, dia masih tidak percaya. Dia sudah kenal Yoga cukup lama untuk bisa tahu kalau sikap Yoga pada perempuan itu beda dari sikapnya ke para mantan kekasih Yoga dulu. "Kau terlihat sangat peduli kepadanya." aku Gilbert. Dia tidak ingin terlihat begitu ingin tahu jadi menutuskan untuk berhenti sampai disini saja. Yoga hanya bergumam kecil. "Kami kenal lumayan lama." jelas Yoga yang hanya diberi angukan oleh Gilbert. "Aku mau menjenguknya. Sampai jumpa lagi nanti." Setelah mendapat anggukan dari Gilbert, Yoga meninggalkan ruangan dokter itu. Dia menemui suster yang tadi membantu Bela dan menanyakan dimana kamar Bela di rawat. Di dalam kamar rawatnya, Bela sedang duduk di atas kasur. Dia sudah berganti pakaian menjadi baju pasien. Bela menatap kakinya yang melepuh. Suara pintu dibuka membuat Bela mengalihkan pandangannya ke pintu. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Bel
Diana baru saja kembali setelah selama satu jam berada di ruang sidang yang membosankan hanya untuk melihat kantornya kosong. Dia bertanya kepada OB kemana Kasih yang seharusnya ada di meja resepsionis dan juga Bela dan segera tahu kalau keduanya sedang di ruang istirahat. Mendorong pintu yang tidak memiliki gagang itu, Diana melihat kedua perempuan yang dia cari sedang asik mengobrol dan sepertinya rahasia. "Siapa yang masuk lewat pintu belakang?" tanya Diana yang tidak sengaja mendengar percakapan Kasih dengan Bela. Dia yakin kalau keduanya sedang bergosip. Sudah jadi naluri seorang perempuan untuk menyukai hal-hal seperti ini jadi Diana segera menghampiri Kasih dan Bela. "Astaga Bela, kakimu kenapa?" Menutup kedua mulutnya dengan tangan, Diana menatap terkejut kaki Bela. Yang ditanya hanya memberikan senyuman masam dengan bahu terangkat. "Itu karena tamu kita, Mbak!" Berbeda dengan Bela, K
Yoga membuka pintu kantornya dan melihat Kasih berdiri di meja resepsionis seperti biasanya. "Dimana mereka?" 'Mereka' yang Yoga maksud langsung dimengerti oleh Kasih dan dia menunjuk ke arah pintu ruang rapat. Yoga mengangguk kepada Kasih. Baru dia akan melangkah, suara teriakan terdengar dari ruang rapat. "AHH!!" Teriakan itu mengejutkan Yoga dan Kasih. Keduanya bertukar pandang sebelum sama-sama berlari menuju ruang rapat. "Ada apa?!" Yoga membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Pemandangan yang menyambutnya adalah Bela yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. Disebelah kaki Bela, Yoga melihat ada cangkir yang isinya sudah tumpah di atas kaki Bela dan terlihat ada uap mengepul di sekitar cairan itu. "Aduh, maaf. Tanganku licin jadi...maaf." ujar Reika berpura-pura terkejut dan panik. Dia mengeluarkan sapu tangan dan mencoba mengelap kaki Bela yang ketumpahan air panas.
Celine segera menundukan kepalanya menghindari tatapan dingin Yoga. "M-maaf, aku...,""Diam." Suara dingin Yoga membuat Celine merinding dan dia segera membungkam mulutnya rapat.Yoga tidak punya waktu untuk memperpanjang masalah ini. Perhatiannya beralih pada layar ponselnya dan melihat nama Bela disana."Halo...halo..um....mbak?""Ini aku, ada apa?""Yoga? Itu, Reika ada disini.""Oke, aku segera kesana. Bilang padanya suruh menunggu setengah jam lagi, jika tidak mau datang saja ke DS. Bilang aku yang menyampaikannya."Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih panjang Yoga sudah tahu apa yang terjadi disana. Jadi dia memutus telepon sepihak dan segera mengganti pakaiannya."Aku harus segera ke kantor. Kau bisa menunggu disini dan aku antar kau pulang nanti setelah aku selesai bekerja atau ikut keluar bersamaku sekarang tapi kau pulang sendiri."Tanpa menunggu jawaban dari Celine, Yoga m
Tepat pukul delapan pagi begitu perkantoran mulai bekerja, Seorang perempuan dengan pakaian mewah dan kacamata besar menutpi wajahnya muncul di firma hukum Andreas. Di sebelah kanannya berdiri seorang lelaki dengan jas rapi dan sepatu hitam mengkilap membawa tas jinjing kotak. Sementara sebelah kirinya berdiri seorang permpuan yang memakai pakaian lebih sederhana namun dengan merk mahal juga. Bela tidak tahu apa dia harus memuji perempuan itu karena tepat waktu atau mengatakan dia tidak punya pekerjaan sehingga bisa datang secepat pegawai kantor ini bahkan mendahlui beberapa yang belum datang. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" petugas resepsionis di depan menyapa tamu tidak diundang itu dengan senyuman ramah. Perempuan yang disapa menurnkan kacamatanya sebelum melepas seluruhnya, menampilkan paras rupawan tanpa cacat. Bela yang melihatnya dari ruang sekrearis hampir membuka mulutnya lebar secara tidak
Yoga mengesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Pikirannya kalut mengingat percakapan dengan ibunya. Ya, setelah mengantar Bela pulang, dia segera pergi ke rumah sakit dan tinggal disana hingga hari ini. Wanita yang sejak dua malam tidak membuka mata itu akhirnya memutuskan untuk membuka mata dan memberikan senyuman kepada Yoga yang langsung berubah menjadi raut khawatir dan cemas karena melihat luka lebam segar pada wajah Yoga. Ibunya terlalu tahu Yoga dan tentu tahu darimana asal luka lebab pada wajah Yoga. Wanita yang selalu dijaga oleh Yoga itu segera mencermahinya mengenai sikapnya yang terlalu impulsif dan terbawa emosi. Dia khawatir ayah bangsat Yoga akan datang dan menggunakan ini untuk semakin meraup keuntungan dan menekan Yoga. Ibunya juga tidak ingin kejadian ini dijadikan alasan untuk menceraikan dirinya. Yoga menghela napas frustasi mengingat bagaimana ibunya bersikeras mempertahankan rumah t
"M-maaf." Ingin rasanya Bela memukul mulutnya sendiri. Bela pernah dengar mengenai ayah Yoga yang berselingkuh. Waktu itu mereka membahas nama tokoh dalam cerita mereka dan Yoga menolak nama tokoh yang Bela sarankan dengan alasan nama itu sama dengan nama selingkuhan ayahnya. Saat itu Bela tidak terlalu memikirkan ucapan Yoga dan langsung mencari nama lain walau dia merasa nama itu sangat cocok dengan tokoh mereka. "Bukan masalah. Ini sudah jadi rahasia umum Semua temanku tahu hal ini." jawab Yoga sambil menggidikan bahunya. Yoga terlihat tidak peduli dan kembali memakai kemejanya lagi. Bela melirik ke arah Yoga dari sudut matanya sebelum merapikan kotak P3K dan barang-barang yang dia gunakan untuk mengobati Yoga. Suasana tiba-tiba menjadi hening dan ini membuat Bela merasa tidak nyaman. Dia mengambil kotak P3K dan mengembalikannya pada laci di bawah TV. "Tadi...kau bilang akan pergi, mun
Dengan rambut yang diikat asal dan tubuh berbalut kaos serta celana jeans, Bela datang ke kantor polisi. Napasnya tersengal dan pipinya memerah karena kelelahan berlari secepat yang dia bisa untuk datang ke sana.Setelahnya semua prosedur berjalan begitu cepat dan Bela tidak begitu mengerti hingga akhirnya dia bisa membawa Yoga keluar dari kantor polisi. Kini keduanya berdiri di depan kantor polisi dan Bela masih mengatur napasnya.Selama di dalam karena ini pertama kalinya bagi Bela, dia gugup dan jantungnya berdegup dengan kencang. Sekarang setelah semuanya berlalu, Bela bisa bernapas dengan lega dan tubuhnya lebih santai."Sebenarnya kenapa kau berkelahi dengan orang itu?" tanya Bela sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena berlari tadi.Polisi tidak menjelaskan ini kepada Bela secara detail. Dia hanya tahu Yoga berkelahi dan memiliki beberapa luka di wajahnya yang membuat Bela merasakan nyerinya juga."Karena dia menyebalka
Bela menatap frustasi tumpukan hadiah yang kembali datang tadi sore. Dia tidak mengerti bagaimana cara kerja otak Yoga. Bela rasa sikapnya sudah sangat jelas ketika mengembalikan hadiah yang Yoga berikan sebelumnya tapi kenapa lelaki itu malah mengiriminya hadiah lagi dan kali ini lebih besar, bentuk dan harganya. Dengan ujung jarinya, Bela menyentuh tutup kotak itu untuk mengintipnya dengan enggan. "Aku tidak tahu kalau kau punya phobia terhadap barang malah." ejek Jiah yang meihat kelakuan aneh Bela. Merasa malu dengan kelakuannya, Bela berdeham dan menetralkan ekspresi wajahnya. "Aku tidak phobia kepada barang-barang itu!" belanya sambil menunjuk kotak hadiah itu dengan dagu. "Orang akan mengataimu gila jika kau phobia pada barang bagus seperti itu." sindir Jiah yang membuat Bela kembali diam. Oke, dia memang tidak mungkin menang beradu mulut dengan Jiah. Tidak mau membalas Jiah lagi, Bela memilih membuka kotak h