Berita kematian Yasir Pranadipa dengan cepat sampai ke telinga petinggi aliansi. Ketakutan mereka kian memuncak. Teodro lantas mengadakan rapat aliansi di pertengahan tahun secara mendadak. Mereka mengundang hanya beberapa anggota yang telah ditentukan sebelumnya. Undangan dibagikan oleh Profesor Alan langsung. Tentu Adhira tidak mendapatkan undangannya malam itu.
“Akan ada rapat aliansi lagi dalam waktu dekat,” ucap Lodra seraya mengibas-ibaskan kartu undangan berkode acak itu.
“Apa mereka mengundangku?” tanya Adhira.
“Aku bisa membuatmu diundang.”
“Bu Tamara bilang kalau selama ini undangan yang kamu kasih ke aku adalah darinya,” kata Adhira. “Apa hubungan kalian?”
Lodra terkekeh geli, “Bukan cuma kamu murid kesayangan Tamara, Adhira. Dia asisten Prof. Alan, orang yang sangat vital bagi aliansi Lima Pilar. Posisinya strategis, tapi juga sangat riskan. Saat para anggota tahu kalau dia adalah keluarga Limawan, dia langsung didepak dari aliansi
Angkasa hitam memayungi bangunan besar di puncak bukit yang gemerlap. Sebuah gedung megah berdiri di antara pepohonan dan danau yang indah. Anggota aliansi mulai memenuhi kediaman Refendra dari kesunyian. Adhira memasuki pintu utama paviliun dengan pakaian super mewah yang baru dibelinya dari hasil berjudi. Semerbak rockrose yang menyeruak dari tubuhnya, membuat beberapa tamu undangan sempat terkesima dengan pemuda yang biasanya selalu tampil lebih kumal dari para pelayan. Rambutnya tertata rapi dan licin. Jas merah kirmizi yang melingkupi tubuh rampingnya kontras dengan semarak paviliun besar itu. Dia melangkah sambil memandang ke para ketua aliansi. Orang pertama yang akan diamatinya tak lain adalah Teodro Refendra. Pria itu masuk bersama rombongan keluarga Refendra yang lain. Lodra tak tampak dalam peredaran. Teodro tersenyum ke setiap pengunjung yang hadir. Tak jauh darinya ada keluarga Pranadipa. Mereka mengenakan pakaian serba putih karena masi
“Aku tidak membunuhnya!” Tawa Teodro kembali mengisi ketegangan ruangan itu. “Adhira, kita tidak bisa menuduhmu tanpa bukti. Begitupun dengan dirimu tak bisa menuduh kami tanpa bukti,” ujar Haris. “Jika yang ingin kamu tanyakan adalah persekongkolan kami menghabisi nyawa ayahmu, kurasa ucapanmu itu sangat tidak berdasar. Bagaimanapun Furan adalah adik iparku. Dia mati di tambang yang dimiliki Limawan. Aku tidak akan tinggal diam bila memang ada orang yang merencanakan pembunuhan terhadapnya.” “Haris benar,” timpal Teodro. “Pulangkah, Nak. Kulihat kamu sangat lelah dan frustrasi. Semua yang kami kerjakan di sini semata-mata untuk kebaikan anggota aliansi. Kamu salah satunya. Jadi, jangan berburuk sangka pada kami, atau kamu akan gila sendiri.” Adhira menahan amarahnya yang meletup-letup itu. “Kuswan, ajak temanmu berjalan-jalan di taman!” “Dia bukan temanku!” lontar Kuswan dengan aura kebencian yang tak berkurang satu inci pun.
Setelah mengantar Odin melalui prosesi pemakaman ibu dan neneknya, anak itu pun dibawa ke Panti Asuhan Karya Asih. Seorang wanita paruh baya menyambut mereka di depan pintu masuk. Mereka mendaftarkan Odin dan menjadikan Ervan wali dari anak tersebut.“Apa aku juga bisa tinggal di sini?” celetuk Adhira dengan tampang tanpa malu itu.“Ini panti asuhan. Bukan panti sosial,” tandas Laila geram.“Maaf sekali, tapi ini untuk anak-anak di bawah delapan belas tahun.” Ibu kepala pun menjawab pertanyaan Adhira dengan sopan. “Tapi kalau memang mau berkunjung, tentu saja bisa.”Ervan mengangguk. Dia menatap Odin yang masih terlihat belum siap pindah dari rumah lamanya yang sudah terbakar hangus itu. Adhira menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke ruangan tempat di mana dia pernah tinggal selama beberapa tahun itu.“Hei, di sini lebih seru lho. Ada berbagai jenis kebun buah yang bisa kamu makan buahnya set
“Daffin… ada kecoa!”Atas entakan yang dilakukan Adhira, minuman soda yang tengah diteguk Ervan sebagian tumpah, membuat cairan lengket kebiruan itu mengotori tubuhnya. Sementara Adhira sendiri masih gemetar ketakutan. Dia memeluk tubuh Ervan dengan erat dengan mata terpejam. Kini dua pria itu tepat melekat satu sama lain dengan hanya dibatasi oleh handuk basah dari bagian pinggang ke bawahnya.“Daffin, aku minta maaf kalau sering mengusilimu. Aku juga minta maaf kalau aku buat kamu selalu kesal. Aku bakal memberikan apa pun yang kamu minta. Tapi tolong aku! Tolong singkirkan kecoa itu!”Adhira memelas berulang kali. Dia sudah tidak peduli tubuhnya yang bugil dan bersabun itu membuat Ervan tak bisa berkutik dari tempatnya berdiri.Kepala Adhira yang masih berbusa berada di atas dada Ervan yang bidang. Dia menatap jakunnya bergejolak naik turun.Ervan tak menyingkirkannya sebab dia tahu Adhira tidak menggunakan apa-apa
“Daffin… darahnya… mengapa tidak mau berhenti?”Ervan melirih pilu. Dia sadar Adhira yang dikenalnya ini tak kuasa menahan sakit begitu lama. Dulu dia akan bermanja-manja pada pemuda bunga es ini demi mencari perhatian. Kini yang muncul di hadapannya adalah pria gizi buruk yang bersimbah darah.Dengan lembut Ervan meraih tubuh Adhira. Dia mengangkatnya dari lantai toilet yang sudah basah, kembali ke kamarnya.“Biarkan aku membantumu, Hira.”Ervan mendudukannya ke atas kasur dan mulai mengusap luka yang masih sebagian terobati itu. Perasaannya hancur lebur saat membayangkan tentang cara Adhira mendapatkan luka-luka ini. Bekas-bekas penyiksaan bertahun-tahun lalu tumpang tindih dengan luka yang baru. Jaringan parut yang belum sepenuhnya hilang kembali dilukai berulang kali.“HAhhkk….” Desau perih Adhira membuat Ervan tersentak. “Daffin… sakit….”Adhira merebahka
Adhira ingat sebelas tahun yang lalu, setelah kematian Profesor Alan, dia diringkus dan disiksa habis-habisan oleh orang-orang dari aliansi. Jelas peristiwa itu membakar kemarahan seluruh anggota aliansi dan Adhira adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kematian tersebut.Dia pingsan dan baru bangun keesokan harinya. Dia tidak bangun di dalam rumah tahanan atau lapas. Dia berada di tempat yang tidak diketahui. Gelap, pengap, dan berbau alkohol.Kedua tangannya terikat ke belakang tubuhnya. Darah dan sembab mewarnai wajahnya.Ketika dia mencob bangkit, seorang pria muncul dari sebuah pintu. Dia menyalakan lampu yang menyilaukan. Adhira berusaha mengintip dari celah kelopak matanya yang bengkak.“Kau sudah melakukan tugasmu dengan sangat baik, Hira.”Jantung Adhira bergemuruh bagai badai. Dia bereaksi saat tangan itu menyentuh wajahnya yang masih terluka.“Sayangnya, kau kalah dalam pertempuran akhir.”A
Adhira melangkah masuk ke pekarangan rumah lamanya. Semak memenuhi halaman depan. Gudang tempatnya dulu tinggal sudah terbengkalai. Ervan menyusulnya dari belakang. Setelah keduanya mencapai teras depan, seseorang muncul dari dalam.“Om Willian?”“A… dhi… ra?”Suara pelo terdengar dari mulut pria yang tengah duduk di kursi roda itu. Dia mendongak ke arah Adhira dengan pandangan kosong dan dalam, seperti ada sesuatu yang ingin diungkapkan, tapi tak sanggup diutarakannya.“Papa, siapa yang….” Seorang perempuan muncul dari dalam sambil membawa nampan berisi minuman dan tiga butir obat. “Kak Adhi?!”“Kiara, hai,” sapa Adhira ramah.Raut muka Kiara membeku. Dia menatap Adhira seperti menembus ke jaringan otak di balik tempurung kepalanya. Nampan yang dipegangnya hampir terjatuh jika Willian tak segera memotong lamunan tersebut.“Apakah Adhi
Adhira dan Ervan bersembunyi di balik tembok. Keberadaan mereka belum bisa diketahui orang-orang.“Lodra meminta kami menjemputmu.”“Aku bisa ke sana sendiri. Kalian tidak perlu menjemputku,” jawab Kiara.“Kami hanya menjalankan perintah, Nona,” jawab laki-laki dengan suara serak itu lagi.“Perintah siapa?”“Calon suami Anda tentu saja.”Kiara mendorong kursi roda Willian seolah enggan melibatkan ayahnya dalam percekcokannya dengan dua orang laki-laki di depan.“Bilang sama dia, aku bisa ke sana sendiri. Silakan kalian kembali.” Kiara hendak menutup pintunya ketika salah satu dengan mereka menghadang pintu.“Kalian mau apa?” tandas Kiara lebih keras.Dengan cepat tangan laki-laki tadi mencengkeram pergelangan tangan Kiara.Adhira nyaris muncul dari balik tembok untuk mencegah orang asing itu memaksa Kiara keluar dari rumah ini jika
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A