Adhira ingat sebelas tahun yang lalu, setelah kematian Profesor Alan, dia diringkus dan disiksa habis-habisan oleh orang-orang dari aliansi. Jelas peristiwa itu membakar kemarahan seluruh anggota aliansi dan Adhira adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kematian tersebut.
Dia pingsan dan baru bangun keesokan harinya. Dia tidak bangun di dalam rumah tahanan atau lapas. Dia berada di tempat yang tidak diketahui. Gelap, pengap, dan berbau alkohol.
Kedua tangannya terikat ke belakang tubuhnya. Darah dan sembab mewarnai wajahnya.
Ketika dia mencob bangkit, seorang pria muncul dari sebuah pintu. Dia menyalakan lampu yang menyilaukan. Adhira berusaha mengintip dari celah kelopak matanya yang bengkak.
“Kau sudah melakukan tugasmu dengan sangat baik, Hira.”
Jantung Adhira bergemuruh bagai badai. Dia bereaksi saat tangan itu menyentuh wajahnya yang masih terluka.
“Sayangnya, kau kalah dalam pertempuran akhir.”
A
Adhira melangkah masuk ke pekarangan rumah lamanya. Semak memenuhi halaman depan. Gudang tempatnya dulu tinggal sudah terbengkalai. Ervan menyusulnya dari belakang. Setelah keduanya mencapai teras depan, seseorang muncul dari dalam.“Om Willian?”“A… dhi… ra?”Suara pelo terdengar dari mulut pria yang tengah duduk di kursi roda itu. Dia mendongak ke arah Adhira dengan pandangan kosong dan dalam, seperti ada sesuatu yang ingin diungkapkan, tapi tak sanggup diutarakannya.“Papa, siapa yang….” Seorang perempuan muncul dari dalam sambil membawa nampan berisi minuman dan tiga butir obat. “Kak Adhi?!”“Kiara, hai,” sapa Adhira ramah.Raut muka Kiara membeku. Dia menatap Adhira seperti menembus ke jaringan otak di balik tempurung kepalanya. Nampan yang dipegangnya hampir terjatuh jika Willian tak segera memotong lamunan tersebut.“Apakah Adhi
Adhira dan Ervan bersembunyi di balik tembok. Keberadaan mereka belum bisa diketahui orang-orang.“Lodra meminta kami menjemputmu.”“Aku bisa ke sana sendiri. Kalian tidak perlu menjemputku,” jawab Kiara.“Kami hanya menjalankan perintah, Nona,” jawab laki-laki dengan suara serak itu lagi.“Perintah siapa?”“Calon suami Anda tentu saja.”Kiara mendorong kursi roda Willian seolah enggan melibatkan ayahnya dalam percekcokannya dengan dua orang laki-laki di depan.“Bilang sama dia, aku bisa ke sana sendiri. Silakan kalian kembali.” Kiara hendak menutup pintunya ketika salah satu dengan mereka menghadang pintu.“Kalian mau apa?” tandas Kiara lebih keras.Dengan cepat tangan laki-laki tadi mencengkeram pergelangan tangan Kiara.Adhira nyaris muncul dari balik tembok untuk mencegah orang asing itu memaksa Kiara keluar dari rumah ini jika
Keterkejutan keduanya menjadikan situasi di ruangan tersebut kian panas. Adhira menoleh dengan senyum getir. Kuswan langsung berlari menyerang tubuhnya. Ervan melangkah menengahi mereka, yang segera disergah olehnya.“Ervan, minggirlah, jangan ikut campur!”Ervan bergeming. Dia memelotot ke arah Kuswan sebagai tanda perlawanan. Adhira yang berdiri di belakangnya segera menggeser tubuh Ervan, “Tidak apa-apa. Biar aku berbicara dengannya.”Dengan enggan Ervan melangkah ke samping. Kuswan masih melihat ke arah Adhira dengan geram. Dia menarik kerah baju Adhira dan mendorongnya ke salah satu sisi dinding. “Kau pembunuh!”Adhira berucap pasrah, “Kamu sudah memakiku dengan sebutan itu, Kuswan. Aku terima makianmu. Kamu mau memukulku? Membunuhku? Aku juga terima.”“Kak Kuswan, jangan lakukan ini,” pinta Kiara.“Heh, lihatlah, betapa rendahnya dirimu sekarang. Bahkan adik perempuanmu
“Aku setuju,” cetus Adhira tanpa berpikir lebih lama. “Jika kamu benar-benar ingin membantuku, aku dengan senang hati akan menerimanya.” Senyum kecil sedikit tersembul dari wajah Ervan. Lagi pula pendekatan Ervan sangat baik. Dia menyuguhinya makan malam. Sering kali, sangat mudah membujuk seseorang ketika perutnya sudah kenyang. Setelah mempersiapkan berbagai data, hasil penelitian, pencarian, serta menghubungi ribuan perusahaan farmasi, tetap saja tujuan Ervan adalah membantu Adhira menghadapi penyakitnya. Adhira menarik tablet yang sempat dipaparkan Ervan padanya dan membaca-baca e-booklet yang berisi 3000-an halaman. Tentu saja Adhira tak benar-benar membacanya. Dia hanya melihat halaman depan dan menggais-ngais layar tablet sampai menyentuh halaman 3478. Bahkan tanpa membacanya, dia butuh waktu 15 menit untuk mencapai akhir buku! “Sebenarnya kamu juga tidak perlu terlalu memaksakan diri. Aku tak semenderita yang kamu bayangkan kok
“Ceritakanlah.”Laila kembali muram, “Kemarin, aku memergokinya mau mencuri hape di ruang guru. Karena itu dia kena sanksi buat membersihkan toilet. Bukannya jera, dia malah pakai baju olahragaku buat mengelap toilet. Maka aku pun memarahinya habis-habisan. Karena dia kesal, dia mengejarku sampai ke tangga. Lantainya kan licin karena baru dipel, jadi aku terpeleset.”“Dokter Ervan, pertengkaran semacam ini biasa terjadi pada para remaja. Tindakan Joris pasti akan kami evaluasi ulang. Anda jangan khawatir. Lagian luka di kaki Laila bukan luka yang serius.”“Dia nyaris kehilangan nyawanya dan menurut Anda itu bukan luka serius?” tandas Ervan tajam.Wanita paruh baya tersebut terbungkam separuh merunduk. “Maafkan ketidakbecusan kami membina anak ini.”Ervan kembali mengelus memar yang ada di kening Laila. Anak itu sontak mengaduh saat penekanan yang diberikan Ervan melewati ambang nyerinya.
Terlepas pengobatan yang diteliti Ervan pada Adhira, berbagai terapi juga diberikan padanya. Dua minggu belakangan Adhira harus mendekam di rumah sakit demi memulihkan tubuhnya yang sudah reyot ini. Walau begitu, efek yang ditimbulkan regimen obat pemberian Ervan berulang kali menggerogoti tubuhnya.Adhira bisa merasakan perutnya tidak pernah senyaman dulu. Dia selalu memuntahkan makanannya setiap dia memasukkan sesuatu ke mulutnya. Lambungnya menolak segala jenis makanan yang disuguhkan untuknya. Penderitaan itu tak berhenti sampai di sana.Mimpi buruk kerap menghantuinya setiap malam. Ingatannya pada tahun-tahun awal di penjara kembali menghampirinya.Tidak ada orang yang tahu bahwa sebenarnya Adhira ditahan di ruang bawah tanah kediaman Refendra selama sembilan tahun. Ruang penyimpanan anggur yang pernah diledakkannya dulu. Jauh dari perhatian orang-orang dan para anggota aliansi.Haris, demi membuat Ervan tak mengingat Adhira, sudah memasang pengumuma
Adhira terjaga oleh nyeri hebat di perutnya. Sejak Ervan mengganti regimen obatnya kemarin, lambung dan ususnya seperti tengah menggiling ribuan jarum. Dia memuntahkan seluruh isi perutnya. Lendir bercampur darah membasahi lantai. Adhira memanggil perawat, tapi mereka tak kunjung datang.Saat Ervan baru kembali dari kliniknya, Adhira sudah menggelepar di depan pintu kamar dengan kepala yang terkulai di atas lantai.“Daffin… tolong aku! Apa yang terjadi padaku? Perutku sakit sekali.”Biasa Adhira akan menahan rasa sakit itu bila memang masih tahap ringan, tapi kini dia bahkan sampai merintih kesakitan. Apa yang salah?“Hira.”Dia menggendongnya naik ke ranjang dan sekilas melakukan pemeriksaan.Perawat berlarian masuk saat Ervan murka dan memaki singkat pada tombol darurat. Mereka terbirit-birit memberikan pertolongan pada Adhira yang masih gemetar sambil meringis kesakitan.“Daffin…
Selang seminggu sejak masa pengobatan selesai Adhira harus menjalani pemantauan terhadap reaksi terapi baru tersebut. Selama itu pula Ervan tidak tidur di apartemennya. Hari-hari dia habiskan dengan menyiapkan makanannya, memeriksa kesehatannya, meladeni gurauannya, merawat lukanya. Dan di saat Adhira tak sanggup bangkit dari tempat tidur, Ervan bahkan tidak segan membersihkan kotorannya.Semua ritual ini seperti hobi baru yang dijalani dengan penuh suka cita. Matanya tak berpindah dari Adhira setiap pria itu bangun atau masuk dalam ke mimpi. Ruang perawatan itu sudah jadi seperti ruang kerjanya sendiri. Setiap perubahan diawasi secara terperinci oleh Ervan sendiri.Sesekali Ervan meninggalkannya untuk urusan mendesak. Di waktu itu pula Adhira akhirnya punya kesempatan untuk keluar seorang diri. Walau Adhira menyukai tingkah posesif Ervan, tabiat bandelnya tetap melekat jelas.Ervan kalang kabut saat mendapati kamar rawat Adhira kosong. Saat ditemukan, Adhira te