Selang seminggu sejak masa pengobatan selesai Adhira harus menjalani pemantauan terhadap reaksi terapi baru tersebut. Selama itu pula Ervan tidak tidur di apartemennya. Hari-hari dia habiskan dengan menyiapkan makanannya, memeriksa kesehatannya, meladeni gurauannya, merawat lukanya. Dan di saat Adhira tak sanggup bangkit dari tempat tidur, Ervan bahkan tidak segan membersihkan kotorannya.
Semua ritual ini seperti hobi baru yang dijalani dengan penuh suka cita. Matanya tak berpindah dari Adhira setiap pria itu bangun atau masuk dalam ke mimpi. Ruang perawatan itu sudah jadi seperti ruang kerjanya sendiri. Setiap perubahan diawasi secara terperinci oleh Ervan sendiri.
Sesekali Ervan meninggalkannya untuk urusan mendesak. Di waktu itu pula Adhira akhirnya punya kesempatan untuk keluar seorang diri. Walau Adhira menyukai tingkah posesif Ervan, tabiat bandelnya tetap melekat jelas.
Ervan kalang kabut saat mendapati kamar rawat Adhira kosong. Saat ditemukan, Adhira te
Kedua pasang mata itu teralihkan ke kedatangan dua bocah remaja dari luar. Laila dan Odin masuk bersamaan dan mengambil tempat di sofa depan. Mereka meletakkan dua kotak makanan di atas meja kerja Ervan. “Huff… di luar macet parah!” desah Laila seraya mengibas-kibas rambutnya yang basah oleh keringat. Odin memperhatikan ruangan yang berantakan ini seakan tak percaya orang seperti Ervan bisa membiarkan tempat ini sedemikian kacau. “Ini makanan pesanan Dokter. Aku sudah beli khusus. Penjualnya sampe salah tiga kali. Sudah dibilang sayurnya direbus, tapi masih juga ditumis. Benar-benar menyebalkan!” Adhira menyambar kotak makanan tadi gembira. Saat melirik ke dalam kotak itu hatinya merintih kecewa. Rupanya makanan khusus yang dipesan Ervan tak lebih dari makanan bayi yang baru tumbuh gigi. Lambungnya kejang saat mengintip ke isinya. Dia menggeser kotak tadi tanpa minat. “Hei, sebaiknya kamu makan makanan ini. Dokter Ervan sudah pesan spesial bua
Ervan ingat sebelas tahun lalu saat mereka keluar dari danau. Dia mendudukkan Adhira yang bawah kuyub di bawah pohon beringin yang berbatasan dengan jalur keluar. Daun yang rimbun serta sulur tanaman menyamarkan keberadaan keduanya dari kerumunan orang di seberang danau.“Hira?” Ervan memanggil Adhira yang masih belum sadar sepenuhnya.Adhira terbatuk kecil. Dia membuka matanya dan mendapati Ervan di sampingnya memegangi tubuhnya dengan resah. Kepalanya terpaling ke segala arah, masih takut dengan pengejaran orang-orang dari paviliun.“Mereka di sana!” jerit seseorang sayup-sayup mendekati mereka.Gelombang air danau sempat menyelinap ke dalam hidungnya, tapi ia bisa dengan cepat menyingkirkannya. Adhira bangkit sempoyongan menghindari gerombolan penjaga yang sudah tak jauh darinya. Ervan memegangi tubuhnya agar tidak timpang.Menyadari hal tersebut dia langsung mendorong temannya itu hingga tersungkur ke tanah. Tatapa
“Ada satu cara untuk menangkap pembunuh itu….”Sejenak Ervan berpikir kalau Kuswan hendak menjadikannya tumbal. Namun Ervan tahu Adhira tidak akan peduli lagi dengan dirinya. Dia sudah mengganggap Ervan juga bagian dari aliansi yang menyebabkan orang tuanya mati. Jadi menggunakan dirinya sebagai tumbal bukan pilihan yang tepat.“Tamara adalah keluarga Limawan. Dia tidak akan membiarkan orang yang dia pedulikan itu mati sia-sia demi dirinya.”Profesor Alan terperangah. Wanita yang dia percaya sejak dulu itu memang sempat dia singkirkan dengan keluarga Ribes. Namun semua tahu kalau Ribes tidak benar-benar menikahinya. Itu hanya jalan agar orang-orang dari aliansi ini bersih dari sisa-sisa keluarga Limawan.Tidak ada yang tahu dari mana Kuswan tahu tentang identitas Tamara. Semua terlalu murka dan hanya menerima informasi itu mentah-mentah. Jadi mereka tak punya pilihan lagi selain mengikuti arahan Kuswan.Haris mengangg
Aku harus kembali. Sekilas keinginan tersebut menjadi abu-abu saat Adhira berpikir seluruh usahanya ini akan sirna jika dia jatuh ke tangan mereka. Sudah tidak ada yang bisa dia dapatkan lagi. Teodro telah dibunuh. Satu per satu dari ketua aliansi mati diperantarai dirinya. Terlepas mereka menganggap Adhira sebagai pembunuh atau itu hanya unsur ketidaksengajaan, Adhira tetap akan menjadi tumbal.Adhira tahu dia harus menyusun rencana yang kedua. Dia harus menghubungi Nahif sekarang. Kemarin dia yang membantunya mencari peledak rancangan mahasiswa elektro itu untuknya.Pagi yang mendung menyambut Adhira di luar sana. Bahkan hingga saat ini Adhira belum berhasil melacak keberadaan mantan narapidana itu. Dia menghilang setelah membawa Kiara keluar dari kediaman Refendra. Saat Adhira menelepon ke rumahnya, Willian yang menyambutnya. Kiara sudah pulang walau dalam keadaan setengah waras.Willian membentaknya di telepon, tapi Adhira hanya diam mendeng
“Ervan! Minggirlah! Apa yang kau lakukan? Melindungi jahanam seperti dia?” hardik Haris setelah mengacungkan tangannya agar para penjaga itu tak kembali memberikan pukulan lagi.Dengan susah payah Adhira mengatur napasnya. Dia masih bisa menggerakkan tubuhnya, tapi yang muncul hanya sengatan nyeri yang tak terperi.“Daffin, mengapa kamu selalu muncul di saat aku nyaris mati? Apa tidak bisa lebih cepat sedikit?” gurau Adhira dengan suara parau.Pertanyaan dari Adhira tadi membuat Kuswan mendengus geram. “Ervan, kamu kenapa kemari? Bukannya Profesor Alan memintamu introspeksi diri di Lavandula itu?”Ervan memejamkan matanya sambil mengusap darah yang sempat keluar dari kerongkongannya itu. Dia langsung melepas ikatan di tangan Adhira.“Ervan! Kamu mau membelanya?” Haris mulai memberang. “Hm… kamu sudah bisa membelot sekarang?”“Daffin, kumohon bantu aku! Hubungi Bu Tamara
"Adhira!”Adhira menjatuhkan batang kayunya dan langsung berlari ke arah wanita tersebut.Tamara berkata lirih, “Saya tidak apa-apa.”Adhira berusaha memastikan ini bukan lagi mimpi atau angan-angannya. Wanita itu memang benar-benar ada di hadapannya secara utuh. Tidak seperti yang diberitakan atau diancam mereka.“Apa yang mereka lakukan padamu?” tanya Adhira resah.Tamara menggeleng. “Adhira, Profesor Alan hanya memintaku menenangkanmu.”Kedua tangannya mengelus wajah Adhira yang penuh dengan luka pukulan. Wanita itu segera menarik Adhira ke belakang tubuhnya, seolah melindunginya dari Haris dan anggota aliansi yang lain. Lalu dia menjelit kepada Haris. “Haris, kamu apakan dia?”Haris berdiri sempoyongan. Dia membelalak ke arah Tamara dengan sekujur wajah yang sudah memar. “Dia mau membunuhku!”“Dia tidak membunuhmu!”“Dia sudah membunu
Kejadian itu sudah terjadi begitu lama, tapi sekuat apa pun mereka melupakannya, kenangan itu akan tetap muncul.Sinar matahari menyeruak masuk menimpa kelopak Adhira yang masih terkatup rapat. Dalam-dalam dia menghirup udara pagi yang menyegarkan itu. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya juga pelan-pelan memudar. Adhira bangkit di atas kasur empuk berlapis katun catra berwarna biru laut.Suara letupan dengan aroma daun pandan menguar dari balik pintu kamar, membuat Adhira segera merasa lapar. Dia mendapat Ervan dengan celemek putihnya itu tengah membubuhi panci rebusan dengan bumbu masakan. Adhira mendekati tanpa suara. Dia tahu dia tak pernah melihat Ervan memasak sebelumnya. Diam-diam ia mengambil gambar dengan ponselnya dari belakang.Ervan berbalik dan tersipu kedapatan tengah diperhatikan sedemikian lekat oleh Adhira yang berseri-seri itu. Dia meletakkan mangkok sup sayur di hadapan Adhira sebelum panas menjalari tangannya.“Kamu bisa masak j
“Ayo, ambil gambar di sini. Ombaknya lagi bagus nih!” Laila berlarian menyepak buih-buih air di kedua kakinya. “Iya, cepat ke sini,” seru Adhira ikut meramaikan suasana. Dia menyerahkan ponselnya pada Laila dan bergantian mengambil gambar. “Aduh, ini bagaimana kodenya?” Laila bertanya sambil melirik ke pola sentuh yang dibuat Adhira di layar hapenya itu. “Rumit amat sih bikin kode.” “Biarin. Biar tidak dibajak anak iseng sepertimu!” cela Adhira menjulurkan lidahnya ke gadis itu. Laila yang kesal justru malah menyipratkan air ke wajahnya. “Ervan, ayo kita ke sana!” ujar Adhira menunjuk ke bagian pantai berbatu dengan air yang lebih tenang. “Ajari aku berenang!” Kali ini permintaan Adhira langsung dibalas oleh Laila, “Om Gauhar tidak bisa berenang? Hahaha!” “Memang kenapa kalau tidak bisa berenang? Aku bukan dugong, yang mesti berenang untuk bisa tinggal di laut,” tukas Adhira tak senang. “Di laut juga ti