Keterkejutan keduanya menjadikan situasi di ruangan tersebut kian panas. Adhira menoleh dengan senyum getir. Kuswan langsung berlari menyerang tubuhnya. Ervan melangkah menengahi mereka, yang segera disergah olehnya.
“Ervan, minggirlah, jangan ikut campur!”
Ervan bergeming. Dia memelotot ke arah Kuswan sebagai tanda perlawanan. Adhira yang berdiri di belakangnya segera menggeser tubuh Ervan, “Tidak apa-apa. Biar aku berbicara dengannya.”
Dengan enggan Ervan melangkah ke samping. Kuswan masih melihat ke arah Adhira dengan geram. Dia menarik kerah baju Adhira dan mendorongnya ke salah satu sisi dinding. “Kau pembunuh!”
Adhira berucap pasrah, “Kamu sudah memakiku dengan sebutan itu, Kuswan. Aku terima makianmu. Kamu mau memukulku? Membunuhku? Aku juga terima.”
“Kak Kuswan, jangan lakukan ini,” pinta Kiara.
“Heh, lihatlah, betapa rendahnya dirimu sekarang. Bahkan adik perempuanmu
“Aku setuju,” cetus Adhira tanpa berpikir lebih lama. “Jika kamu benar-benar ingin membantuku, aku dengan senang hati akan menerimanya.” Senyum kecil sedikit tersembul dari wajah Ervan. Lagi pula pendekatan Ervan sangat baik. Dia menyuguhinya makan malam. Sering kali, sangat mudah membujuk seseorang ketika perutnya sudah kenyang. Setelah mempersiapkan berbagai data, hasil penelitian, pencarian, serta menghubungi ribuan perusahaan farmasi, tetap saja tujuan Ervan adalah membantu Adhira menghadapi penyakitnya. Adhira menarik tablet yang sempat dipaparkan Ervan padanya dan membaca-baca e-booklet yang berisi 3000-an halaman. Tentu saja Adhira tak benar-benar membacanya. Dia hanya melihat halaman depan dan menggais-ngais layar tablet sampai menyentuh halaman 3478. Bahkan tanpa membacanya, dia butuh waktu 15 menit untuk mencapai akhir buku! “Sebenarnya kamu juga tidak perlu terlalu memaksakan diri. Aku tak semenderita yang kamu bayangkan kok
“Ceritakanlah.”Laila kembali muram, “Kemarin, aku memergokinya mau mencuri hape di ruang guru. Karena itu dia kena sanksi buat membersihkan toilet. Bukannya jera, dia malah pakai baju olahragaku buat mengelap toilet. Maka aku pun memarahinya habis-habisan. Karena dia kesal, dia mengejarku sampai ke tangga. Lantainya kan licin karena baru dipel, jadi aku terpeleset.”“Dokter Ervan, pertengkaran semacam ini biasa terjadi pada para remaja. Tindakan Joris pasti akan kami evaluasi ulang. Anda jangan khawatir. Lagian luka di kaki Laila bukan luka yang serius.”“Dia nyaris kehilangan nyawanya dan menurut Anda itu bukan luka serius?” tandas Ervan tajam.Wanita paruh baya tersebut terbungkam separuh merunduk. “Maafkan ketidakbecusan kami membina anak ini.”Ervan kembali mengelus memar yang ada di kening Laila. Anak itu sontak mengaduh saat penekanan yang diberikan Ervan melewati ambang nyerinya.
Terlepas pengobatan yang diteliti Ervan pada Adhira, berbagai terapi juga diberikan padanya. Dua minggu belakangan Adhira harus mendekam di rumah sakit demi memulihkan tubuhnya yang sudah reyot ini. Walau begitu, efek yang ditimbulkan regimen obat pemberian Ervan berulang kali menggerogoti tubuhnya.Adhira bisa merasakan perutnya tidak pernah senyaman dulu. Dia selalu memuntahkan makanannya setiap dia memasukkan sesuatu ke mulutnya. Lambungnya menolak segala jenis makanan yang disuguhkan untuknya. Penderitaan itu tak berhenti sampai di sana.Mimpi buruk kerap menghantuinya setiap malam. Ingatannya pada tahun-tahun awal di penjara kembali menghampirinya.Tidak ada orang yang tahu bahwa sebenarnya Adhira ditahan di ruang bawah tanah kediaman Refendra selama sembilan tahun. Ruang penyimpanan anggur yang pernah diledakkannya dulu. Jauh dari perhatian orang-orang dan para anggota aliansi.Haris, demi membuat Ervan tak mengingat Adhira, sudah memasang pengumuma
Adhira terjaga oleh nyeri hebat di perutnya. Sejak Ervan mengganti regimen obatnya kemarin, lambung dan ususnya seperti tengah menggiling ribuan jarum. Dia memuntahkan seluruh isi perutnya. Lendir bercampur darah membasahi lantai. Adhira memanggil perawat, tapi mereka tak kunjung datang.Saat Ervan baru kembali dari kliniknya, Adhira sudah menggelepar di depan pintu kamar dengan kepala yang terkulai di atas lantai.“Daffin… tolong aku! Apa yang terjadi padaku? Perutku sakit sekali.”Biasa Adhira akan menahan rasa sakit itu bila memang masih tahap ringan, tapi kini dia bahkan sampai merintih kesakitan. Apa yang salah?“Hira.”Dia menggendongnya naik ke ranjang dan sekilas melakukan pemeriksaan.Perawat berlarian masuk saat Ervan murka dan memaki singkat pada tombol darurat. Mereka terbirit-birit memberikan pertolongan pada Adhira yang masih gemetar sambil meringis kesakitan.“Daffin…
Selang seminggu sejak masa pengobatan selesai Adhira harus menjalani pemantauan terhadap reaksi terapi baru tersebut. Selama itu pula Ervan tidak tidur di apartemennya. Hari-hari dia habiskan dengan menyiapkan makanannya, memeriksa kesehatannya, meladeni gurauannya, merawat lukanya. Dan di saat Adhira tak sanggup bangkit dari tempat tidur, Ervan bahkan tidak segan membersihkan kotorannya.Semua ritual ini seperti hobi baru yang dijalani dengan penuh suka cita. Matanya tak berpindah dari Adhira setiap pria itu bangun atau masuk dalam ke mimpi. Ruang perawatan itu sudah jadi seperti ruang kerjanya sendiri. Setiap perubahan diawasi secara terperinci oleh Ervan sendiri.Sesekali Ervan meninggalkannya untuk urusan mendesak. Di waktu itu pula Adhira akhirnya punya kesempatan untuk keluar seorang diri. Walau Adhira menyukai tingkah posesif Ervan, tabiat bandelnya tetap melekat jelas.Ervan kalang kabut saat mendapati kamar rawat Adhira kosong. Saat ditemukan, Adhira te
Kedua pasang mata itu teralihkan ke kedatangan dua bocah remaja dari luar. Laila dan Odin masuk bersamaan dan mengambil tempat di sofa depan. Mereka meletakkan dua kotak makanan di atas meja kerja Ervan. “Huff… di luar macet parah!” desah Laila seraya mengibas-kibas rambutnya yang basah oleh keringat. Odin memperhatikan ruangan yang berantakan ini seakan tak percaya orang seperti Ervan bisa membiarkan tempat ini sedemikian kacau. “Ini makanan pesanan Dokter. Aku sudah beli khusus. Penjualnya sampe salah tiga kali. Sudah dibilang sayurnya direbus, tapi masih juga ditumis. Benar-benar menyebalkan!” Adhira menyambar kotak makanan tadi gembira. Saat melirik ke dalam kotak itu hatinya merintih kecewa. Rupanya makanan khusus yang dipesan Ervan tak lebih dari makanan bayi yang baru tumbuh gigi. Lambungnya kejang saat mengintip ke isinya. Dia menggeser kotak tadi tanpa minat. “Hei, sebaiknya kamu makan makanan ini. Dokter Ervan sudah pesan spesial bua
Ervan ingat sebelas tahun lalu saat mereka keluar dari danau. Dia mendudukkan Adhira yang bawah kuyub di bawah pohon beringin yang berbatasan dengan jalur keluar. Daun yang rimbun serta sulur tanaman menyamarkan keberadaan keduanya dari kerumunan orang di seberang danau.“Hira?” Ervan memanggil Adhira yang masih belum sadar sepenuhnya.Adhira terbatuk kecil. Dia membuka matanya dan mendapati Ervan di sampingnya memegangi tubuhnya dengan resah. Kepalanya terpaling ke segala arah, masih takut dengan pengejaran orang-orang dari paviliun.“Mereka di sana!” jerit seseorang sayup-sayup mendekati mereka.Gelombang air danau sempat menyelinap ke dalam hidungnya, tapi ia bisa dengan cepat menyingkirkannya. Adhira bangkit sempoyongan menghindari gerombolan penjaga yang sudah tak jauh darinya. Ervan memegangi tubuhnya agar tidak timpang.Menyadari hal tersebut dia langsung mendorong temannya itu hingga tersungkur ke tanah. Tatapa
“Ada satu cara untuk menangkap pembunuh itu….”Sejenak Ervan berpikir kalau Kuswan hendak menjadikannya tumbal. Namun Ervan tahu Adhira tidak akan peduli lagi dengan dirinya. Dia sudah mengganggap Ervan juga bagian dari aliansi yang menyebabkan orang tuanya mati. Jadi menggunakan dirinya sebagai tumbal bukan pilihan yang tepat.“Tamara adalah keluarga Limawan. Dia tidak akan membiarkan orang yang dia pedulikan itu mati sia-sia demi dirinya.”Profesor Alan terperangah. Wanita yang dia percaya sejak dulu itu memang sempat dia singkirkan dengan keluarga Ribes. Namun semua tahu kalau Ribes tidak benar-benar menikahinya. Itu hanya jalan agar orang-orang dari aliansi ini bersih dari sisa-sisa keluarga Limawan.Tidak ada yang tahu dari mana Kuswan tahu tentang identitas Tamara. Semua terlalu murka dan hanya menerima informasi itu mentah-mentah. Jadi mereka tak punya pilihan lagi selain mengikuti arahan Kuswan.Haris mengangg
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A