“Sudah bangun, Nay?” tanya Kak Yuni tepat saat aku baru membuka mata.
Aku mengerjap-ngerjap sesaat, mengumpulkan kesadaran baru kemudian memindai sekitar. Tampak wanita yang baru menyapaku itu tengah membuka tirai dan jendela kamar.
“Sejak kapan kamu punya maag sampai parah begitu, Nay? Mulai hari ini, kamu harus makan yang teratur! Tiap ngerasa lapar jangan ditunda-tunda lagi. Kalau masih gak enak badan, gosok gigi cuci muka sama ganti baju aja, trus makan,” pesannya panjang lebar.
Aku bangkit dari berbaring, hanya mengangguk tepat saat Kak Yuni berpaling menatap.
Setelah Kak Yuni meninggalkan kamar, barulah aku berani mengangkat bantal untuk mengambil obat yang tadi malam disembunyikan. Kak Makmur dan Kak Aulia sepertinya benar-benar tak menceritakan apa-apa selain mengatakan aku yang sakit maag saja. Dan, sesuai saran mereka pula obat yang dibelikan Kak Yuni terpaksa kusembunyikan karena memang tak diperlukan.
Meski masih
Cukup mengejutkan ketika melihat Husin yang tiba-tiba datang, terlebih dia tampak berpakaian lebih rapi dengan ditambah sedikit wewangian. Setiap tak sengaja bersitatap dengannya, ingatan tentang ciuman itu selalu berhasil membuat pipiku terasa memanas.“Aku boleh ajak Nayla jalan-jalan?”Mendengar pertanyaan itu, aku segera menoleh ke arah Kak Yuni. Membulatkan kedua mata berusaha menyampaikan isyarat padanya agar permintaan itu ditolak saja. Tampak wanita yang tak pernah mengenakan daster sekali pun itu sedang berpikir setelah menarik simpul senyum misterius di sudut bibirnya.Hingga jawaban yang diberikannya itu membuat Husin semringah, tapi tidak denganku yang hanya bisa mengempaskan napas kasar. Jika Kak Yuni saja mengizinkan, lalu bagaimana aku harus menolaknya?“T-Tapi Kak Yuni minta aku buat fokus belajar dulu, kan?” kelitku.“Cuma satu kali! Kakak juga pernah muda, Nay,” goda Kak Yuni yang tiba-tiba bang
Setelah mengajak makan, tak lupa membelikan apa yang diminta Kak Yuni, Husin membawaku pergi ke pantai yang cukup jauh dari perbatasan kota. Suasana semakin sunyi seiring pendar jingga yang menghitam. Kami duduk bersisian pada pasir, menatap sisa-sisa senja yang tenggelam pada pantulan air laut di bawahnya.Cukup mengejutkan karena ternyata kesempatan ini bertepatan bulan yang sedang purnama. Bintang-bintang bertaburan di langit, bulan yang sempurna dikelilingi cahaya terang yang terasa menenangkan. Beberapa saat, hanya ada suara air laut yang menghantam pinggiran pantai.Diamku terusik oleh tangan Husni yang lagi-lagi menggenggam tanpa izin.“Kalau alasan kamu menolakku karena sedang fokus ujian, aku bakal nunggu kamu sampai lulus nanti, Nay,” ungkapnya dengan nada penuh pengharapan.“Maaf, Sin. Tapi aku bener-bener gak kepikiran buat menjalin hubungan istimewa dengan siapa pun, kapan pun itu.” Kutolak dengan hati-hati. Tak hanya
Malam semakin larut, Kak Yuni pun tampak telah benar-benar nyenyak dalam tidurnya. Kukantongi ponsel kemudian berjalan dengan sangat hati-hati meninggalkan kamar. Baru membuka pintu depan, angin malam yang menyambut sejenak menyisakan gigil. Kutahan rasa dingin saat terus melangkahkan kaki menuju pantai.Beberapa kali aku menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada yang mengikuti. Setelah apa yang terjadi seharian ini, aku hanya ingin mencari ketenangan sendiri. Rasanya benar-benar melelahkan saat semua yang terjadi malah menjadi rumit.Terkadang, aku berpikir luka-luka ini akan sedikit membaik seiring waktu. Tetapi kenyataannya, aku hanya terus berusaha menutupi dengan rapi saja agar bisa berpura-pura telah melupakannya.Sesekali, kedua tangan yang terlipat di depan dada kugerakkan mengusap bahu pelan. Gerak kecil yang aku tak tahu untuk sekadar mengurangi rasa dingin atau malah tengah memeluk diri yang lemah.Walau banyak hal-hal yang tak bisa dipa
[Kenapa kamu menghindariku, Nay?][Gimana keadaan kamu? Aku benar-benar khawatir.]Satu per satu orang yang datang pada akhirnya hanya kubiarkan pergi berlalu seiring waktu. Hari-hari yang mungkin sama di mata orang-orang, sejujurnya malah sudah banyak berubah bagiku. Entah itu Kak Ijul yang akhirnya tak pernah lagi mengganggu, Husin yang benar-benar berhenti muncul, hingga aku yang terlalu malu dan hanya bisa menghindari Kak Makmur.Seringkali, rasanya cukup membingungkan saat Kak Makmur terus mengirimi pesan yang menanyakan keadaan. Padahal dia seharusnya sudah cukup melihat keadaanku yang tentu sudah jauh lebih baik-baik saja.Aku mengempaskan tubuh pada ranjang, membiarkan ponsel yang masih menyala tergeletak di sisi lalu perlahan-lahan meredup dengan sendirinya. Sekali lagi, aku hanya bisa membiarkan pesan-pesan itu berakhir dua centang biru tanpa terbalas.Baru aku hendak berpejam, Kak Yuni tiba-tiba memasuki kamar. Kualihkan pandangan pada w
Kak Yuni baru saja pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan serta kassa baru. Kaki yang masih sakit jika menjejak membuatku hanya bisa tinggal di rumah dan menunggu. Sejak kemarin, aku lebih banyak menghabiskan waktu dalam kamar agar tak terlalu merepotkan karena berjalan ke kamar mandi pun terpaksa harus dibantu.Selain setiap sisi kamar maupun langit-langit, aku hanya bisa menikmati sedikit pemandangan dari jendela yang terbuka. Kipas angin yang menyala cukup membuat rasa panas sedikit berkurang.Getar pada ponsel diiringi jeda sesaat pada musik yang sedang kudengarkan. Saat membalikkan layar, tampak satu pesan Kak Makmur pada bar notifikasi.[Gimana keadaan kamu, Nay?]Sejenak, aku yang telah membuka pesan itu hanya berdiam hingga layar ponsel kembali meredup. Menimbang-nimbang antar rasa malu dan juga rasa segan karena pun merasa harus berterima kasih pada banyak pertolongan yang sudah dia berikan.Meski kedua pilihan itu membawa pada pertimb
Nyeri yang mulai berkurang membuatku bisa sedikit lebih leluasa bergerak. Meski untuk berjalan menuju pelatar pun masih harus dibantu, setidaknya sudah tak terlalu bergantung dengan Kak Yuni saja.Aku sengaja memposisikan kedua kaki menjuntai ke bawah pelatar. Kak Yuni sendiri sesekali meraih ponselnya untuk membalas pesan yang masuk kemudian kembali mengajakku berbicara.Walau sekadar menjadi istri kedua, dia tampak begitu ceria saat menceritakan janji-janji Kak Anto yang akan membelikan rumah lengkap dengan isinya. Mengingat cerita bahwa sepeda motor yang dipakai pun lebih dari sebagiannya adalah uang pemberian dari Kak Anto, rasanya janji-janji itu pun bisa sedikit kupercaya.Seringkali, cinta yang dibaluti kemewahan itu memang terlihat lebih menggiurkan.Aku hanya terus tersenyum sekaligus melangitkan doa-doa baik untuk wanita yang terlihat seperti kekanak-kanakan meski sudah tak lagi sebagai seorang remaja itu. Pun dengan harap bahwa akan ada pula do
Malam ini meski tak terlalu banyak bintang, langit tetap terlihat cerah. Dari rumah Kak Aulia, terdengar sedikit ramai karena anak-anak mereka yang telah dijemput dari rumah neneknya. Kak Yuni pun tadi sore menjemput Roby dari rumah Husin. Atas usul Kak Makmur, kami akan pergi mengunjungi sebuah acara yang hanya ada sekali dalam setiap tahunnya di kota ini. Di mana banyak orang dari berbagai daerah berdatangan baik sebagai pengunjung maupun pedagang. Tak hanya itu, beberapa artis ternama pun didatangkan untuk memeriahkan hingga acara selesai.Tak lama, Kak Yuni dan Roby yang telah siap menghampiriku. Kak Makmur pun sudah diiringi Rizwan, Yovie serta Riza yang juga telah berpakaian rapi. Sambil menunggu Kak Aulia dan kedua anak mereka yang paling kecil, Roby bergabung dengan anak-anak Kak Makmur, saling berbincang dan berbicara khas obrolan anak-anak yang sedang bahagia.Ketegangan yang sempat terasa perlahan-lahan mulai mereda. Kak Makmur serta Kak Aulia berhasil meyak
Rasanya, sudah lama sekali sejak aku terakhir mengunjungi pantai pada tengah malam seperti ini. Dingin dari embusan angin yang cukup kencang menusuk hingga ke tulang meski aku telah berpakaian cukup tebal.Perasaan ini, debar-debar ini, dan juga sesak ini … masih saja tak berbeda walau jelas alasanku ke sini bukan orang yang sama.Jernih air laut yang tak tercemari seakan memantulkan terangnya langit malam. Kerlip bintang yang sesekali disembunyikan awan tipis tak jua kehilangan pesonanya.Aku sengaja duduk pada akar pohon yang menonjol, menjuntaikan kedua kaki sambil menikmati pemandangan di sekitar. Tempat ini, tetaplah terlihat indah meski dalam diamnya menyimpan banyak cerita kelam. Tempat di mana pahit yang ditorehkan selalu menjadi rasa pilu tak terlupakan.“Aku tadi ngerampungin kerjaan dulu baru bisa ke sini, Nay. Udah nunggu lama?” tanya sosok yang menepuk pundak, kemudian melompat ke hadapan.Aku menoleh ke arahnya dan