Kak Yuni baru saja pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan serta kassa baru. Kaki yang masih sakit jika menjejak membuatku hanya bisa tinggal di rumah dan menunggu. Sejak kemarin, aku lebih banyak menghabiskan waktu dalam kamar agar tak terlalu merepotkan karena berjalan ke kamar mandi pun terpaksa harus dibantu.
Selain setiap sisi kamar maupun langit-langit, aku hanya bisa menikmati sedikit pemandangan dari jendela yang terbuka. Kipas angin yang menyala cukup membuat rasa panas sedikit berkurang.
Getar pada ponsel diiringi jeda sesaat pada musik yang sedang kudengarkan. Saat membalikkan layar, tampak satu pesan Kak Makmur pada bar notifikasi.
[Gimana keadaan kamu, Nay?]
Sejenak, aku yang telah membuka pesan itu hanya berdiam hingga layar ponsel kembali meredup. Menimbang-nimbang antar rasa malu dan juga rasa segan karena pun merasa harus berterima kasih pada banyak pertolongan yang sudah dia berikan.
Meski kedua pilihan itu membawa pada pertimb
Nyeri yang mulai berkurang membuatku bisa sedikit lebih leluasa bergerak. Meski untuk berjalan menuju pelatar pun masih harus dibantu, setidaknya sudah tak terlalu bergantung dengan Kak Yuni saja.Aku sengaja memposisikan kedua kaki menjuntai ke bawah pelatar. Kak Yuni sendiri sesekali meraih ponselnya untuk membalas pesan yang masuk kemudian kembali mengajakku berbicara.Walau sekadar menjadi istri kedua, dia tampak begitu ceria saat menceritakan janji-janji Kak Anto yang akan membelikan rumah lengkap dengan isinya. Mengingat cerita bahwa sepeda motor yang dipakai pun lebih dari sebagiannya adalah uang pemberian dari Kak Anto, rasanya janji-janji itu pun bisa sedikit kupercaya.Seringkali, cinta yang dibaluti kemewahan itu memang terlihat lebih menggiurkan.Aku hanya terus tersenyum sekaligus melangitkan doa-doa baik untuk wanita yang terlihat seperti kekanak-kanakan meski sudah tak lagi sebagai seorang remaja itu. Pun dengan harap bahwa akan ada pula do
Malam ini meski tak terlalu banyak bintang, langit tetap terlihat cerah. Dari rumah Kak Aulia, terdengar sedikit ramai karena anak-anak mereka yang telah dijemput dari rumah neneknya. Kak Yuni pun tadi sore menjemput Roby dari rumah Husin. Atas usul Kak Makmur, kami akan pergi mengunjungi sebuah acara yang hanya ada sekali dalam setiap tahunnya di kota ini. Di mana banyak orang dari berbagai daerah berdatangan baik sebagai pengunjung maupun pedagang. Tak hanya itu, beberapa artis ternama pun didatangkan untuk memeriahkan hingga acara selesai.Tak lama, Kak Yuni dan Roby yang telah siap menghampiriku. Kak Makmur pun sudah diiringi Rizwan, Yovie serta Riza yang juga telah berpakaian rapi. Sambil menunggu Kak Aulia dan kedua anak mereka yang paling kecil, Roby bergabung dengan anak-anak Kak Makmur, saling berbincang dan berbicara khas obrolan anak-anak yang sedang bahagia.Ketegangan yang sempat terasa perlahan-lahan mulai mereda. Kak Makmur serta Kak Aulia berhasil meyak
Rasanya, sudah lama sekali sejak aku terakhir mengunjungi pantai pada tengah malam seperti ini. Dingin dari embusan angin yang cukup kencang menusuk hingga ke tulang meski aku telah berpakaian cukup tebal.Perasaan ini, debar-debar ini, dan juga sesak ini … masih saja tak berbeda walau jelas alasanku ke sini bukan orang yang sama.Jernih air laut yang tak tercemari seakan memantulkan terangnya langit malam. Kerlip bintang yang sesekali disembunyikan awan tipis tak jua kehilangan pesonanya.Aku sengaja duduk pada akar pohon yang menonjol, menjuntaikan kedua kaki sambil menikmati pemandangan di sekitar. Tempat ini, tetaplah terlihat indah meski dalam diamnya menyimpan banyak cerita kelam. Tempat di mana pahit yang ditorehkan selalu menjadi rasa pilu tak terlupakan.“Aku tadi ngerampungin kerjaan dulu baru bisa ke sini, Nay. Udah nunggu lama?” tanya sosok yang menepuk pundak, kemudian melompat ke hadapan.Aku menoleh ke arahnya dan
Persiapan perpisahan yang dilakukan di sekolah membuatku merasa memiliki sedikit celah untuk bernapas. Setidaknya, hanya di tempat ini saja aku tak pernah mendapat gangguan apa-apa.Setelah membagikan satu lembar kertas berisi lagu perpisahan yang harus dihafalkan, Pak Haris kembali pamit meninggalkan kelas. Tak ada lagi jam pelajaran malah membuat suasana kelas terasa lebih bebas dan menyenangkan.Udin dan tiga murid laki-laki lain memasuki kelas membawa dua buah kayu serta tali. Di depan kelas, mereka tampak simbuk membuat sebuah tandu darurat sambil terus berdebat tentang ikatan yang seharusnya.Suasana yang semula terpecah karena kegiatan masing-masing, berubah terpusat pada mereka. Beberapa menit setelahnya, Udin serta Tarmizi menyeringai puas dan memamerkan kepada kami.Dibanding tengah memeragakan evakuasi darurat seperti yang dilakukan, mereka lebih seperti bermain-main. Para murid laki-laki saling tunjuk dan mendorong satu sama lain untuk dit
[Dasar anak gak tahu malu! Sudah dibilang jangan pernah menginjakkan kaki ke rumah lagi!] Balasan itu serupa jarum panjang yang menusuk dan menembus jantung.Seperti udara yang tiba-tiba dirampas dari pernapasan, rasa sesak diiringi nyeri membuatku terdiam memukul-mukul dada sendiri. Pesan berisi berita kelulusan serta keinginan untuk pulang yang kukirimkan pada Ibu beberapa menit lalu, sama sekali tak mendapat respon baik.Rasa panas berlomba-lomba menumpuk di pelupuk mata, meski begitu aku malah tertawa. Tertawa begitu keras hingga sudut mata hanya mengantarkan sedikit basah dan kedua pipi yang terasa kebas. Aku, hampir-hampir tak mengingat lagi bagaimana harus mendeskripsikan rasa sakit dan kecewa yang mendera.Beberapa saat, tubuhku mulai lemas. Masih dengan sisa tawa yang tak benar-benar mereda, kuangkat kaki yang semula menjuntai pada pinggiran ranjang. Menekuk kedua lutut, kemudian membenamkan wajah ke dalamnya. Gelap menyambut saat mata berpejam. Namun,
“Udah jelas, aku gak mau sakit karena maksain mau hidup sama orang yang gak pantas dipertahankan seperti itu.” Tak terdengar keraguan sedikit pun pada ucapan Kak Aulia yang menjadi jawaban dari pertanyaan Kak Yuni.Hal yang semakin membuatku merasa harus lebih berusaha keras untuk menyimpan rahasia sebenarnya.**[Nay, bisa ketemu di pantai belakang SMA 1? Kebetulan, ada yang mau kubicarakan.]Andai tidak membuka pesan itu, mungkin aku takkan tahu siapa pengirimnya karena pada bar notifikasi hanya terlihat kalimat di baris pertama yang juga terpotong di bagian akhir.[Kalau Bapak mau, ke rumah Nayla aja,] balasku yang tak berani untuk menolak langsung permintaan itu walaupun pasti akan terlihat jelas tengah bersikap kurang sopan.[Gak enak sama kakak kamu malam itu, Nay. Kita di luar sekolah, panggil namaku aja. Aku belum terlalu tua, kan?]Tanpa sadar, aku yang membaca balasan dari Pak Je malah terkikik kecil. Yang kuketa
Kak Yuni sibuk mengemasi barang-barang yang akan dibawa. Tak terasa, waktu yang dia jadwalkan untuk pindah telah berada di depan mata. Hanya hitungan jam yang tersisa untukku memutuskan.“Nay, hiduplah buat masa depan kamu. Jangan terus-terusan terjebak masa lalu seperti ini. Sampai saat ini, kamu sudah melakukannya dengan sangat baik, kan? Ke depannya, kamu hanya perlu mempertahankan saja apa yang sudah kamu perbaiki,” nasehat Kak Yuni di sela sibuk gerak tangannya yang memasukkan pakaian ke dalam koper.Aku hanya bergeming, tersenyum getir.“Apa kamu gak rindu sama orang tua kamu? Kalau memang kamu berubah pikiran buat pulang ke rumah Ibu, biar nanti Kakak sama Anto yang anterin. Kasihan Ayah kamu bolak-balik buat jemput ke sini,” tawarnya yang jauh di dalam lubuk hati sangat ingin kuiyakan.“Sebenarnya aku masih mau di sini. Rasanya, keberadaanku bisa diterima dengan lebih baik. Sangat berbeda, jika bukan di tempat ini,&rd
[Yuni bilang kamu gak mau ikut pindah sama dia? Dibiarin malah ngelunjak, banyak tingkah. Mau tinggal sendirian? Ngekost? Kamu pikir uang dari mana? Belum lagi buat biaya makan sama sekolah kamu!]Aku termenung membaca pesan yang baru masuk dari kontak Ibu. Belum usai menelan getir dari setiap kata yang tertulis di sana, satu pesan baru kembali masuk.[Daripada gitu, mending langsung kerja aja. Gak usah sekolah, nanti baru setengah jalan udah bikin masalah lagi. Ujung-ujungnya cuma ngabisin uang orang tua aja!]Lagi, jauh dari kendali yang kuinginkan, tawa malah pecah dengan keras seiring genggaman pada ponsel yang mulai melemah hingga terlepas dan jatuh ke lantai. Semakin rasa nyeri menggerogoti dada, semakin keras pula aku tertawa. Rasanya, batas antara perasaan sedih, bahagia, dan perasaan lain yang kumiliki sudah begitu samar sampai-sampai aku tak tahu bagaimana harus mengekspresikannya dengan benar.Cukup lama hingga aku berhasil mengontrol diri untu